Fenomena Gemu Fa Mi Re di Kotamobagu

Banyak cara dilakukan kandidat untuk menarik simpati masyarakat. Salah satunya adalah melalui lagu.

Hampir dua bulan terakhir ini, telinga warga Kotamobagu, Provinsi Sulawesi Utara akrab dengan berbagai lagi persembahan tim sukses kontestan Pemilihan Wali Kota Kotamobagu 2013. Lagu-lagu berisi pesan politik ini memang menjadi bagian strategi membidik sekitar 90.971 pemilih.

Ada lagu dari daerah Flores, Nusa Tenggara Timur berjudul Gemu Fa Mi Re yang diubah syairnya. Lirik lagu tersebut berubah menjadi ajakan untuk memilih pasangan calon wali kota dan wakil wali kota.

Hebohnya lagi, dua pasangan yang bersaing ketat sejak awal, Tatong Bara- Jainuddin Damopolii dan Djelantik Mokodompit-Rustam Simbala, menggunakan lagu itu untuk mempromosikan diri.

Ternyata, persaingan dua pasangan calon ini tak hanya terjadi saat pengumpulan massa dalam pembentukan tim pemenangan di tiap kelurahan atau iven-iven tertentu, juga melalui lagu-lagu yang liriknya penuh dengan pesan politik. Dan audio set di bentor menjadi sarana memperdendangkan lagu itu keliling kota.

Juf Tubuon dari Tim Pemenangan TB-Jadi mengatakan, lebih dari 10 lagu yang mereka miliki intinya memberikan pesan kepada masyarakat untuk memilih pasangan yang diusung PAN.

"Lagu-lagu tersebut ada yang orisinil buatan dari tim kami, ada juga berirama pantun yang biasanya dinyanyikan oleh masyarakat di sini dan ada juga yang memang gubahan dari lagu yang sudah ada," kata Juf, Minggu (12/5/2013).

Juf mengatakan, lagu-lagu tersebut saat ini memang menjadi fenomena sebagai media untuk menarik perhatian masyarakat. Bahkan, Tim Pemenangan TB-Jadi telah menyiapkan lagu-lagu tersebut beberapa bulan lalu.

"Pesan-pesan lagu tersebut bisa masuk di memori pemilih. Dengan demikian, diharapkan para pemilih tergerak untuk memilih pasangan TB-Jadi," kata Juf lagi.


Tak hanya antara pasangan TB-Jadi dan Djelas saja yang memiliki koleksi lagu-lagu politik. Pasangan Muhammad Salim Landjar-Ishak Sugeha pun memiliki 11 lagu.

Ketua Tim Pemenangan Laris, Yusra Alhabsyie mengatakan, lagu-lagu tersebut memang ditujukan untuk masyarakat sebagai target pemilih. Dengan lagu juga menunjukkan eksistensi pasangan Laris di luar kegiatan-kegiatan lainya.

Namun ternyata lagu-lagu tersebut juga bisa mengganggu ketenangan masyarakat. Ini jika diputar bukan pada waktu dan tempat yang tepat.

 "Saya secara pribadi tidak keberatan dengan adanya lagu-lagu tersebut. Bahkan, lagu-lagu tersebut juga bisa menjadi hiburan bagi kami sebagai masyarakat. Sayangnya, pemutaran lagu kadang tidak mengenal waktu. Pernah saya terbangun gara-gara lagu tersebut diputar tengah malam," ujar Eding Manoppo, warga Sinindian.

Senada, Ali atau biasa disapa Papa Askar, warga Motoboi Kecil, mengatakan lagu-lagu tersebut memang bisa dinikmati kendati dia sendiri tak terlalu memperhatikan liriknya. "Mau ke kiri, ke kanan, saya hanya menikmatinya. Namun saya berharap, lagu-lagu tersebut jangan diputar kencang-kencang pada malam hari dan jam-jam salat," kata dia.

Budayawan Mongondow asal Kotamobagu, Anuar Syukur, mengatakan, fenomena lagu-lagu bermuatan politik tersebut sudah terjadi sejak beberapa kali pilkada.
Para calon terbiasa untuk bersaing membuat lagu-lagu tersebut. Dia mengatakan, persaingan ini bisa menjadi hiburan pada pesta demokrasi lima tahunan tersebut.

Sayangnya dia memandang, ada sedikit pergeseran yang terjadi pada Pemilukada Kotamobagu kali ini. Jarang sekali lagu-lagu tersebut mengangkat ke-mongondow-an, khususnya lirik dan pesan yang disampaikan. Padahal, menurutnya, aspek lokalitas sebagai pelestarian budaya semestinya tetap dilakukan para calon. (edi sukasah)

Sumber: Tribun Manado 13 Mei 2013 hal 1
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes