Pelajar Miangas Merindukan Komputer

Lokasi Bandara di Pulau Miangas (foto Rizky)
Hari itu masyarakat Miangas berkumpul di lapangan satu-satunya Desa Miangas untuk mengikuti upacara bendera peringati Hari Kebangkitan Nasional.

SUARA debur ombak dan desau angin sesekali mengiringi upacara Hari Kebangkitan Nasional ke-105 di lapangan Desa Miangas, Pulau Miangas, Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara, Senin 21 Mei 2013.

Seolah-olah mereka turut bersenandung merayakan kegembiraan masyarakat pulau yang menjadi etalase Indonesia di bagian paling utara. Hari itu masyarakat Miangas berkumpul di lapangan satu-satunya Desa Miangas yang berhadapan langsung dengan laut untuk mengikuti upacara bendera.

Para pelajar berbaris rapi sambil memegang satu persatu Bendera Merah Putih yang diikatkan di tiang bambu. Ibu-ibu dan bapak berkerumun di sekitar lapangan. Rentetan pohon kelapa menjadi latar upacara yang dihadiri Menteri Pemuda dan Olahraga Roy Suryo, Gubernur Sulawesi Utara (Sulut) Sinyo Harry Sarundajang serta pejabat lainnya.

"Di sini kami hadir bersama-sama untuk menancapkan semangat kebangkitan nasional di titik terdepan Indonesia. Ini adalah pulau kebanggaan Indonesia. Pulau ini sempat diklaim Filipina, di sini Merah Putih masih tegak berdiri dan Miangas bukan pulau terluar Indonesia tetapi terdepan," ujar Roy Suryo.

Kehadiran pemerintah bagaikan cambuk semangat bagi sekitar 700 penduduk yang mendiami pulau seluas 3,2 km tersebut. Seperti disampaikan Bupati Kepulauan Talaud Constantine Ganggali, hal ini sebagai penegasan kepada dunia bahwa Miangas adalah milik Indonesia dan menjadi pulau kebanggaan.

"Kehadiran pemerintah pusat dan provinsi akan memberi semangat bagi masyarakat di sini untuk menyerukan kepada dunia bahwa Miangas merupakan milik NKRI dan diperjuangkan bersama-sama oleh masyarakat Indonesia," kata  Ganggali.

Pulau Miangas  yang jaraknya lebih dekat dengan Pulau Davao, Filipina (sekitar 48 mil laut) kerap dimasukkan sebagai bagian dari negara Filipina, yang hingga kini masih ditampilkan oleh aplikasi jejaring Google Maps.

Pulau Miangas yang terletak di tepi Samudera Pasifik seperti terisolasi. Jika gelombang laut  tinggi, masyarakat hanya bisa berdiam di pulau. Kapal-kapal pun urung merapat ke sana. Bahkan kalau air pasang tinggi bisa menjangkau hingga 200 meter ke daratan. Padahal warga Miangas harus berlayar ke kota untuk berbelanja kebutuhan hidup. Mereka harus menempuh semalaman suntuk jika ingin berbelanja ke Tahuna, Kabupaten Kepulauan Talaud. Dan kalau ingin  ke Manado, mereka bisa menghabiskan waktu hingga empat hari.

Alternatifnya, warga yang kebanyakan nelayan itu belanja di Filipina. "Biasanya kami barter barang. Tetapi di sini kan juga ada kantor konsulat Filipina (Border Crossing Agreement), jadi bisa juga tukar uang peso untuk belanja di sana," kata salah satu penduduk, Reni.  Reni menampik barang-barang yang digunakan masyarakat kebanyakan dari Filipina.

Persoalan lainnya, kapal perintis Melikunusa yang menjadi angkutan satu-satunya penyambung Miangas dengan wilayah lainnya hanya singgah dua minggu sekali.

Tertinggal
Fasilitas yang serba terbatas membuat Pulau Miangas yang terbentang jauh sekitar 320 mil laut dari Kota Manado, akhirnya tertinggal. Harga BBM yang mahal, kapal yang hanya dua minggu sekali singgah, sinyal telepon yang tersendat-sendat, dan listrik yang belum 24 jam menyala adalah "makanan sehari-hari" warga di sana. Pergerakan ekonomi di sana pun terseok-seok. Padahal, Miangas sangat berpotensi untuk menjadi tujuan wisata dan penghasil kopra.

Selain itu, pelajar di Miangas belum mengenal komputer. Pulau Miangas memiliki satu sekolah dasar, satu sekolah menengah pertama, dan sekolah kejuruan kelautan. "Ketika mereka harus mengenal alat-alat canggih seperti komputer atau laptop, di sini belum ada. Maka saya berharap sekali kepada pemerintah untuk pengenalan media komputer dan internet," kata Kepala SD Miangas Rita Matama.

Rita menambahkan tenaga pengajar di sekolah Miangas juga belum ada yang sarjana."Dengan pendidikan sekarang, seorang pengajar harus sarjana. Tetapi kendalanya kalau kami mau kuliah juga jauh dari kabupaten," ujar Rita yang telah mengajar selama 20 tahun. "Di sini kapal saja susah apalagi kalau sudah musim angin kencang," kata salah satu warga Dorkas Lantaah yang biasa menjual kopra setiap tiga bulan ke Manado. Dorkas menjual kopra seharga Rp 3.500 per kg.

Penghasilannya tidak seberapa ditambah lagi jika cuaca sedang buruk. Angin kencang dan gelombang laut yang tinggi memang sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Miangas. Namun bukan itu yang mereka keluhkan. Bagi Dorkas dan warga lainnya, transportasi yang memadai adalah mimpi mereka untuk bisa merasa lebih dekat dengan wilayah Indonesia lainnya, bukan Filipina.

Secercah harapan dengan rencana dibangunnya bandara perintis pun bisa menjadi cambuk semangat masyarakat Miangas. "Kami akan meningkatkan fasilitas perhubungan di Miangas. Tahun ini akan dibangun landasan perintis sehingga ada penerbangan di sini," kata Gubernur Sarundajang. Pembebasan lahan landasan perintis seluas 1.200x175 meter persegi di areal kebun kelapa saat ini masih berlangsung.  Menurut Kepala Desa Miangas, Suwardi Padeng, pembangunan akan dimulai Agustus tahun ini."Semoga ini bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat Miangas," ujar Suwardi. (monalisa/antara)

Sumber: Tribun Manado 24 Mei 2013 hal 8

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes