Ketika Bung di Ende...

Sukmawati bersama Baim Wong dan Paramitha Rusadi di Ende
PUTRI proklamator RI Sukmawati Soekarno Putri berada di Ende, Flores, NTT, Jumat (11/10/2013) dalam rangka menyaksikan proses pengambilan gambar Film layar lebar "Ketika Bung di Ende" (KBdE).

Menurut Egy Massadiah, produser pelaksana film tersebut, kedatangan Sukmawati Soekarno merupakan bentuk dukungan konkret terhadap film ini.

Sukmawati tidak hanya menonton syuting, namun ikut memberi wejangan dan masukan masukan penting kepada Baim Wong yang berperan sebagai Bung Karno dan Paramitha Rusady yang memerankan Ibu Inggit.

Saat melakukan pengambilan gambar di Pasar Bonawangi, Ende, Sukmawati ikut mengecek posisi peci hitam yang dikenakan Baim Wong. "Bung Karno itu sangat perfect dan rapi dalam berpakaian termasuk posisi pecinya," kata Sukmawati.

"Mbak Sukmawati pun banya bercerita kepada pemain dan sutradara detail detail dari kehidupan Bung Karno," tambah Egy yang juga aktor Teater Mandiri.

Film KBdE ini mendapat dukungan penuh dari keluarga Bung Karno: Guruh Soekarno Putra, Sukmawati Soekarno dan juga Toto Suryawan Soekarno Putra (putra Bung Karno dengan Kartini Manoppo).

Film ini pun telah melalui tahapan riset sejarah dibawah koordinasi Prof Kacung Maridjan, Dirjen Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbud dengan melibatkan antara lain, Peter Kasenda (Bidang sejarah perjuangan Kemerdekaan RI), Zen Tito Asmarahadi (cucu dari Bu Inggit/Yayasan Inggit Garnasih), Peter A Rohi ( Direktur Soekarno Institute, bidang sejarah pembuangan Soekarno di Ende dan Riwu Ga - ajudan Bung Karno sampai proklamasi), Roso Daras (penulis buku Total Soekarno bidang ideologi dan nasionalisme BK), Giat Wahyusi (Yayasan BK, bidang ideologi dan karakter kebangsaan), Agnes Sripoerbasari (Kajian Wanita dari Universitas Indonesia bidang Soekarno dan feminisme).

Film yang disutradarai Viva Westi ini berkisah tentang serpihan-serpihan peristiwa dari sebuah fase penting dalam sejarah panjang perjuangan Soekarno, founding father Indonesia. Ruang dan waktu pengisahan berlangsung sekitar 1934-1938 di Ende, Flores, NTT.

Empat tahun di pengasingan yang jauh dari habitus politiknya, membuat Soekarno mengalami keterasingan eksistensial paling parah di sepanjang hidupnya. Jauh sebelum kedatangan Soekarno, pemerintah kolonial Belanda telah melakukan propaganda bahwa laki-laki yang akan tiba dikampung Ambugaga, Ende, adalah seorang ekstrimis anti-kolonial yang sangat berbahaya. Kiprah dan sepak terjangnya dalam organisasi politik adalah ancaman laten.

Namun di tengah keterasingan secara sosial-politik, Soekarno bukannya menjadi tak berdaya, namun menemukan kekuatan baru dalam melawan kolonialisme dan imperialisme.

Di Ende-lah, dibawah pohon Sukun di pinggir pantai, Soekarno merumuskan jati diri bangsa Indonesia, yang kelak kemudian dikenal sebagai Pancasila --dasar Negara Republik Indonesia; di Ende pula, Soekarno melakukan perlawanan dengan membentuk kelompok tonil yang mementaskan kisah perjuangan dan ramalan kejayaan Indonesia, sebutlah karyanya yang berjudul "Doktor Setan" dan "1945". (*)

Sumber: Tribun Manado


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes