BUKAN tanpa maksud kalau kita mengungkap fakta bahwa masih amat banyak warga Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) yang belum terpenuhi kebutuhan dasarnya yakni menikmati penerangan listrik. Kita kutip kembali data Dinas Pertambangan Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Sulut seperti diwartakan Tribun Manado edisi 2 Oktober 2013.
Data itu menyebutkan, sebanyak 130.584 keluarga di Sulut belum menikmati layanan listrik. Mereka bisa dilukiskan masih menikmati kegelapan sejak negara ini merdeka tahun 1945. Tercatat dari total 587.655 kepala keluarga (KK), baru 447.660 KK yang mendapat pelayanam Perusahaan Listrik Negara (PLN).
Sementara 9.141 KK menikmati listrik non PLN. Jika dipresentasikan atau disebut ratio elektirifikasi baru 76.43 persen masyarakat Sulut yang menikmati listrik.
Bahkan di Manado sebagai ibu kota Provinsi Sulut, dari 108.648 KK, ratio elektrifikasi baru 89,07 persen. Artinya masih ada warga Manado yang menggunakan lampu botol berbahan dasar minyak tanah.
Semoga data ini membuka mata dan hati kita semua bahwa di antara gema gaung dan gemerlapnya kampanye pembangunan di Bumi Nyiur Melambai masih banyak saudara-saudari kita yang terlupakan. Ketika jutaan warga Sulut bisa menonton televisi, memakai handphone serta kemewahan hidup lainnya, ratusan ribu sesama kita bahkan harus tidur malam lebih awal, memakai baju yang jarang disetrika dan HP hanyalah impian semata.
Kue pembangunan Sulut yang belum merata ini kiranya menjadi atensi super serius tatkala pemimpin wilayah ini menyatakan siap menyambut tahun emas Sulawesi Utara 2014 dengan tagline menjadikan Sulut sebagai pintu gerbang Asia Pasifik di Timur Indonesia.
Ikhwal kelistrikan di negeri masih terjadi salah kaprah di masyarakat bahwa itu merupakan urusan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) Persero. Masyarakat lupa bahwa PLN hanyalah operator. Motor utamanya adalah bagaimana program pemerintah pusat dan daerah dibumikan guna memenuhi kebutuhan masyarakatnya. Era otonomi daerah (otda) yang bergulir sejak awal tahun 2000-an makin memberi ruang kepada daerah untuk sungguh berpikir dan bertindak konkret demi memenuhi kebutuhan dasar masyarakat.
Dengan mengungkap kisah lampu botol di Sulawesi Utara pesan kita jelas dan tegas. Jangan sampai para pemimpin daerah ini terlalu jauh berpikir tentang Amerika Serikat, tentang Asia Pasifik atau tentang Jakarta sembari melupakan urusan di dalam kampung sendiri yang tidak kalah urgen.
Jangan-jangan nyamuk di seberang lautan terlihat terang benderang, sementara gajah di pelupuk mata justru tidak kelihatan atau memang sengaja tidak dilihat. Kita kembali mengingatkan bahwa tanggung jawab negara, tanggung jawab pemerintah yang paling pokok adalah memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Hanya dengan demikian eksistensi pemerintah ada maknanya! *
Sumber: Tribun Manado 3 Oktober 2013 hal 10