PERHELATAN politik lima tahunan dalam ajang pemilu kepala daerah (Pilkada) di Kabupaten Sumba Barat Daya (SBD), Nusa Tenggara Timur telah usai pada 5 Agustus 2013.
Namun, hasil yang dicapai dari produk demokrasi rakyat itu masih menyisakan tanda tanya besar setelah KPU SBD pimpinan Yohanes Bili Kii menetapkan dua pasangan calon sebagai pemenangnya.
Berdasarkan pleno rekapitulasi penghitungan surat suara pada 10 Agustus 2013, KPU menetapkan pasangan Markus Dairo Talu-Dara Tanggu Kaha (MDT-DT) sebagai Bupati dan Wakil Bupati Sumba Barat Daya terpilih periode 2013-2018.
Pasangan dr Kornelius Kodi Mete-Daud Lende Umbu Moto (KONco OLE ATE) menolak penetapan pasangan tersebut sebagai pemenang, dan menggugatnya ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada tanggal 14 Agustus 2013.
MK dalam amar putusannya tertanggal 29 Agustus 2013 menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya, dan menguatkan hasil pleno KPU Sumba Barat Daya yang telah menetapkan pasangan MDT-DT sebagai Bupati dan Wakil Bupati SBD terpilih untuk periode 2013--2018.
Namun, ketika kasus ini digiring ke ranah hukum pidana oleh pasangan KONco OLE ATE karena merasa dirugikan oleh KPU, barulah terkuak adanya indikasi kecurangan dalam pilkada tersebut dalam bentuk penggembungan surat suara sekitar 13.000 lebih yang seharusnya menjadi hak pasangan KONco OLE ATE.
Barang bukti berupa kotak suara sebanyak 144 buah yang diduga kuat sebagai bukti kecurangan, sudah dibawa pula ke Jakarta atas permintaan MK pada saat itu untuk dilakukan penghitungan ulang dalam persidangan. Namun, majelis hakim MK tidak melaksanakan dengan alasan sudah lewat waktu masa persidangan atas sengketa Pilkada SBD.
KPU SBD terpaksa melakukan pleno ulang rekapitasi penghitungan surat suara atas permintaan Panwaslu Sumba Barat Daya pada 26 September 2013, yang hasil akhirnya menetapkan pasangan KONco OLE ATE sebagai Bupati dan Wakil Bupati SBD terpilih periode 2013--2018, dan menganulir hasil keputusan pleno KPU SBD sebelumnya yang telah menetapkan pasangan MDT-DT sebagai pemenangnya.
Bagian hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang mencatatnya sebagai sebuah kasus yang menarik dalam proses demokrasi di Indonesia, sekaligus sebagai wacana hukum yang perlu ditelaah lebih mendalam dalam kajian akademik.
Mereka secara khusus membedah kasus tersebut dalam sebuah seminar bertajuk "Kontroversi Pilkada Sumba Barat Daya" di Kupang, Jumat (28/9), guna mencari solusi terbaik dalam menyelesaikan kasus tersebut tanpa mempedulikan pasangan mana yang ditetapkan sebagai pemenang dari dua pasangan yang telah ditetapkan sebagai pemenang tersebut.
Dosen hukum tata negara Dr John Kotan Stefanus SH.MHum berpendapat kasus sengketa pilkada di SBS dapat diterobos melalui mekanisme peninjauan kembali terhadap putusan Mahkamah Konstitusi, meski tidak ada aturan hukum yang mengatur soal PK.
"PK merupakan salah satu solusinya dalam menyelesaikan krisis pilkada di SBD, karena ada bukti hukum baru (novum) yang dapat dijadikan sebagai dasar alasan untuk mementahkan keputusan MK yang disebut bersifat final dan mengikat itu," katanya.
John Kotan sangat menyadari bahwa tidak ada aturan yang mengatur soal mekanisme peninjauan kembali (PK) terhadap putusan MK, tetapi dalam kasus Pilkada SBD, dapat dijadikan sebagai contoh kasus dalam menerobos aturan UU yang mengatur tentang fungsi dan kedudukan MK sebagai pengadilan yang mengadili kasus sengketa pilkada.
"Terobosan hukum dalam bentuk PK terhadap putusan MK ini memang harus dilakukan oleh pasangan KONco OLE ATE yang merasa dirugikan dalam sengketa Pilkada SBD. Dan, MK harus berjiwa besar menerima terobosan hukum tersebut," ujar mantan Ketua Ombudsman RI Perwakilan NTT-NTB itu.
Dosen hukum tata negara Nicolaus Pira Bunga SH. MHum mengatakan kasus sengketa Pilkada SBD yang sampai menimbulkan pertumpahan darah dan terus melahirkan masalah sampai sekarang, karena ulah majelis hakim MK sendiri yang tidak mau membuka kotak surat suara yang telah dijadikan sebagai alat bukti kecurangan.
"Jika majelis hakim MK mau bersedia membuka kotak suara sebelum menjatuhkan putusan pada saat itu, maka persoalan pilkada di SBD telah selesai. MK sendiri ikut menciptakan blunder politik dalam pilkada di SBD," kata mantan Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Undana Kupang tersebut.
Juru bicara KPU NTT Djidon de Haan juga mengakui bahwa tidak ada aturan UU yang mengatur soal pleno ulang atau melakukan peninjauan kembali (PK) terhadap putusan MK yang bersifat final dan mengikat terhadap sengketa pilkada seperti dalam kasus pilkada SBD tersebut.
"Tawaran untuk melakukan PK mungkin merupakan suatu wacana baru dalam hukum ketatanegaraan kita. Akan tetapi, upaya untuk melakukan pilkada ulang juga merupakan sebuah langkah solutif dalam mengatasi krisis pilkada di SBD," kata mantan Asisten Tata Praja Setda NTT itu.
Menurut dia, dalam beberapa kasus sengketa pilkada di NTT, seperti di Kabupaten Timor Tengah Utara dan Manggarai Barat, tidak bisa dieksekusi oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Kupang, karena sudah ada putusan dari MK yang bersifat final dan mengikat tersebut.
Dalam kasus pilkada di Timor Tengah Utara, pihak penggugat Fredy Meol harus disertakan dalam pilkada setelah gugatannya terhadap KPU setempat dikabulkan oleh PTUN, namun hal ini tidak bisa dieksekusi karena sudah ada putusan yang bersifat final dan mengikat.
Demikian pun halnya dengan pilkada di Manggarai Barat. Memang ada bukti "money politik" yang dilakukan oleh pasangan bupati dan wakil bupati terpilih, tetapi hal ini juga tidak bisa dieksekusi.
Menurut Hyronimus Buyanaya SH.MHum dari Fakultas Hukum Undana Kupang, ketika ada pasangan sedang melayangkan gugatan hukum terhadap sebuah proses politik, KPU sebagai penyelenggara pilkada harus menghentikan dulu proses politik tersebut sambil menunggu hasil final dari sebuah proses hukum.
"Ini penting untuk mendapat kepastian hukum terhadap sebuah proses politik. Namun yang terjadi, ketika proses hukum berlangsung, proses politik pun tetap dijalankan oleh KPU sehingga melahirkan kontroversi karena tidak ada kepastian," ujarnya.
KPU sebagai penyelenggara pilkada juga tidak bisa dipersalahkan dalam kasus ini, karena tidak ada aturan hukum yang mengatur mereka untuk menghentikan proses politik jika ada gugatan hukum yang sedang dilakukan oleh pasangan calon yang merasa dirugikan dari sebuah keputusan KPU.
Dalam tataran ini, regulasi yang mengatur soal fungsi dan wewenang KPU dan MK perlu direvisi kembali jika semua pihak mengharapkan adanya keadilan substantif dari sebuah proses hukum yang lahir dari sebuah proses demokrasi seperti dalam kasus pilkada pada sejumlah daerah di NTT tersebut.
Pandangan Djidon de Haan soal pilkada ulang dipandang cukup positif, namun Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Undana Kupang Dr Karolus Kopong Medan SH.MHum kemudian mempertanyakan itikad dilakukannya pilkada ulang tersebut dengan hasil pilkada yang telah diputusan, baik melalui putusan MK maupun pleno ulang KPU SBD.
"Jika tidak ada aturan yang mengatur soal PK dan dilakukannya pilkada ulang untuk mendapatkan hasil pemilu yang sahih, apakah hasil pleno KPU SBD yang telah menetapkan pasangan MDT-DT sebagai Bupati dan Wakil Bupati SBD terpilih, tetap dianggap sahih?"
"Apakah dengan melegitimasi kepemimpinan dari sebuah produk yang tidak sah, apakah mendapat legitimasi dari rakyat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi? Ini juga menjadi sebuah pertanyaan besar yang patut dijawab jika upaya ke arah itu terwujud," katanya dalam nada tanya.
Penetapan paket terpilih untuk selanjutnya dilantik menjadi Bupati dan Wakil Bupati Sumba Barat Daya periode 2013--2018, masih terus menuai masalah dan kontroversi karena masing-masing pasangan memiliki bukti kekuatan hukum dan legitimasi yang berbeda-beda untuk dinyatakan sebagai pemenang dalam hajatan politik lima tahunan itu.
John Kota mengatakan status hukum MDT-DT dalam konteks demokrasi, memang sudah ditetapkan sebagai bupati dan wakil bupati terpilih dalam legitimiasi demokrasi, tetapi telah kehilangan legitimasi moral dari rakyat karena kemenangan yang diraih dalam proses demokrasi tersebut ternyata diperolehnya dengan cara tidak sah.
Artinya, bupati dan wakil bupati terpilih sebagai aktor demokrasi dari pilkada tersebut tidak memiliki dukungan konstituensi dan integritas serta memiliki kekuatan hukum yang rapuh.
"Putusan pengadilan bisa dilukai atau diterobos melalui proses peninjauan kembali, tetapi hasil pilihan rakyat melalui suatu proses demokrasi, tidak bisa dilukai atau diterobos dengan cara apa pun," katanya.
Dalam konteks ini, apakah wewenang dan fungsi MK harus dikembalikan ke rel sebenarnya sebagai penguji UU, dan wewenang mengadili dikembalikan ke MA? Wacana ini juga menjadi sebuah diskusi yang menarik dalam seminar membedah kontroversi Pilkada SBD.
Menurut John Kotan, jika MK masih tetap diberi wewenang untuk mengadili sengketa pemilihan umum, hal itu tidak akan memberi ruang bagi para pencari keadilan untuk melakukan PK, karena lembaga negara itu memiliki kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan pengadilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Atas dasar pemikiran tersebut, ia mengharapkan negara dapat mengembalikan wewenang dan kedudukan MK sebagai penguji UU, sedangkan wewenang mengadili dikembalikan ke MA, agar ke depan, para pencari keadilan yang merasa dirugikan dalam sebuah sengketa pilkada, bisa mengajukan PK terhadap putusan mahkamah yang dipandang merugikan. Menurut dia, kasus Pilkada SBD adalah sebuah persoalan hukum yang serius karena melahirkan benturan hukum antara keputusan MK yang bersifat final dan mengikat dengan sebuah bukti hukum yang justru dapat dijadikan sebagai alat bukti dalam menguji legalitas kepemimpinan yang dipilih melalui proses demokrasi.
Agaknya, langkah politik yang perlu dilakukan dalam mengatasi persoalan pilkada di SBD adalah melalui mekanisme PK terhadap putusan MK, meski hal ini tidak diatur dalam UU, atau melalui proses pilkada ulang seperti gagasan yang ditawarkan Djidon de Haan tersebut. (Larensius Molan/ANTARA)