Kami Akan Merindukanmu

Paus Benediktus XVI (afp photo)
"Terima Kasih Bapa Suci. Kami akan merindukanmu." Kata-kata tersebut tertulis dalam salah satu spanduk yang dikibar-kibarkan umat Katolik asal Jerman yang bergabung dengan ribuan orang di Lapangan Basilika St Petrus Vatikan, Rabu (27/2/2013).

Sekitar 150 ribu peziarah dari seluruh dunia  membanjiri Lapangan St. Petrus Vatikan untuk melihat Paus Benediktus XVI dalam audiensi umumnya yang terakhir. Paus kelahiran Jerman itu pun menyampaikan pidato perpisahannya yang mengharukan sebelum dirinya resmi mundur dari Takhta St Petrus pada hari Kamis  28 Februari 2013 pukul 19.00 waktu Roma.

Puluhan ribu orang dari berbagai negara menghadiri audiensi terakhir dengan Paus tersebut dan mereka sudah berdatangan beberapa jam sebelum acara dimulai. Mereka membawa berbagai spanduk dan gambar Paus Benediktus serta meneriakkan kata  "terima kasih" ketika paus berkeliling dengan mobil saat menuju altar.  Sebagian dari mereka mengikuti misa melalui TV layar lebar yang dipasang di berbagai tempat di sekitar Basilika St Petrus.

Seorang umat perempuan yang berusia 53 tahun, Jan Marie, mengatakan suasananya amat emosional. ''Kami datang untuk mendukung keputusan Paus," tuturnya kepada kantor berita Associated Press.

"Terima kasih atas kehadiran kalian. Aku melihat Gereja yang hidup! Kita bersyukur kepada Tuhan atas hari yang cerah di musim dingin ini. Bahtera Gereja bukanlah milikku, tetapi milik Allah. Kita yakin Tuhan tidak akan meninggalkan Gereja tenggelam," kata Paus Benediktus XVI dalam kotbahnya.

Para peziarah tampak mengibarkan bendera dari berbagai bangsa termasuk Indonesia, banyak  pula poster dari berbagai Komunitas awam Katolik Gerejawi, seperti Comunione e Liberazione, Movimento Focolare, Rinnovamento dello Spirito Santo, Azione Cattolica. 

Paus Benediktus selama 10 menit mengelilingi berbagai ruas jalan di lapangan Santo Petrus dengan mobil, disambut oleh umat yang dengan berbagai rasa haru, sedih, gembira, bahagia, bersorak-sorai melambaikan tangan untuk terakhir kalinya bagi Paus Benediktus tercinta. Di dalam perjalanan,  Paus Benediktus menyalami dan memberkati umat, termasuk beberapa anak kecil dan bayi yang diangkat oleh Mgr. Georg, Sekretaris pribadi Paus ke dalam mobil Paus.

Di depan para ratusan ribu  orang yang datang dari berbagai belahan dunia, Paus Benediktus XVI  mengatakan dirinya mengundurkan diri demi kebaikan Gereja Katolik, bukan dirinya sendiri. Paus juga mengatakan dirinya akan terus berdoa untuk gereja. "Saya akan terus menyertai Gereja dengan doa-doa saya," kata pemimpin tertinggi Gereja Katolik Roma itu. "Tuhan membimbing gereja-Nya, bahkan di masa-masa sulit," imbuhnya seperti dilansir CBS News, Rabu (27/2).

Paus pun mengucapkan terima kasih kepada semua orang yang telah membantunya selama dirinya memimpin Takhta Apostolik sejak tahun 2005. Paus mengatakan dia merasakan Tuhan selalu bersamanya setiap hari dalam kepemimpinannya dan menghadapi kegembiraan maupun masa-masa yang sulit.

"Aku mengharapkan agar setiap umat merasakan diri sebagai orang Kristiani. Setiap hari saat bangun pagi, bersyukur kepada Tuhan telah menjadikan diri kita orang Kristen. Selama menjalankan tugasku, saya tidak pernah merasa sendirian. Saya selalu merasa Tuhan selalu mendampingi, bersama dengan para kardinal dan semua orang yang banyak membantu," katanya.

Paus  menyadari keseriusan dari pengunduran dirinya namun tetap memutuskannya karena keyakinannya atas Tuhan dan Gereja. "Saya mengambil keputusan ini dengan sepenuhnya sadar akan keseriusannya namun dengan kedamaian hati. Mencintai gereja berarti cukup berani untuk mengambil keputusan yang sulit," tuturnya.

Biasanya audiensi dengan Paus dilakukan di dalam ruangan Vatikan. Namun karena peristiwa kemarin menyedot perhatian banyak orang, maka acara  berlangsung di lapangan terbuka Basilika St Petrus. Tiket yang dipesan mencapai 50.000, namun otoritas  Vatikan memperkirakan lebih dari 150 ribu orang menghadiri acara perpisahan dengan Paus Benediktus XVI ini.

Dalam keterangannya Selasa (26/2), Vatikan menyebutkan bahwa Paus Benediktus akan diberi gelar sebagai "Paus Emeritus"  dan akan menghabiskan masa pensiunnya dengan berdoa dan meditasi di Vatikan. Sebelumnya tak pernah ada Paus yang memutuskan mengundurkan diri sejak Paus Gregory XII pada tahun 1415.  Dengan mundurnya Paus Benediktus, maka para kardinal dari seluruh dunia akan mengikuti konklaf untuk memilih Paus baru. Paus baru diharapkan  terpilih satu pekan sebelum pekan  Suci dan akan memimpin misa Paskah. (bbc/ap/kps)

Sumber: Tribun Manado 28 Februari 2013 hal 1

Grazie Santo Padre

Audiensi terakhir Paus Benediktus XVI, Rabu 27 Februari 2013 (afp photo)
CUACA di kota Roma, Rabu 27 Februari 2013 waktu setempat, tak seperti biasanya. Meski dirundung musim dingin, matahari, hari ini, begitu indah. Ia bersinar cerah sejak pagi, membawa suasana hangat dan nyaman.

Ada apakah gerangan, kata Romo Markus Solo, Staf Dewan Kepausan untuk Dialog Antarumat Beragama (Pontifical Council for Interreligious Dialogue) di Vatikan. Rupanya, Sang Surya turut menyambut hari penting di dalam sejarah Gereja Katolik, di mana Sri Paus Benediktur XVI akan tampil dalam upacara audiensi umum untuk terakhir kalinya, setelah pengumuman pengunduran dirinya dua pekan silam.

Sejak pukul 07.00 pagi waktu Roma, ribuan peziarah sudah membanjiri Via della Conciliazione, tepatnya di ruas jalan panjang membujur dari Lapangan Santo Petrus hingga sungai Tiber. Di ruas jalan itu pula sudah dipasang beberapa layar lebar. Di situ, terdapat beberapa titik kontrol, selain dari arah Porta Santa Anna, tepi barat, dan Porta Sant'Angelo dari tepi arah timur Vatikan. Ribuan polisi dan aparat keamanan pun siaga sekeliling Vatikan.

Para peziarah berjuang masuk ke Lapangan Santo Petrus dan mengambil tempat paling depan, supaya bisa melihat Sri Paus dari dekat, dan mengucapkan kata-kata pisah yang bisa didengar oleh Bapa Suci sendiri.

Dari saat ke saat Lapangan Santo Petrus seperti digenangi lautan manusia. Mereka melambai-lambaikan berbagai bentuk dan ragam spanduk dengan tulisan bermacam-macam. Seperti 'Grazie Santo Padre' (Terima kasih Bapa Suci), atau 'Arrivederci' (Sampai jumpa lagi), atau 'Perga per noi' (doakan kami), dan berbagai tulisan dalam berbagai bahasa. Mereka pun tak berhenti meneriakkan yel-yel 'Benedetto', nama Sri Paus dalam bahasa Italia. Kadang pula terdengar teriakan 'Viva il Papa' dan diikuti oleh paduan suara campur yang menggetarkan suasana pagi ini.

Tepat pkl. 10.35 pagi waktu Roma, Papa Mobile meluncur pelan, masuk ke Lapangan Santo Petrus dari samping kanan Basilika. Di belakangnya duduk Sekretaris pribadi, Mons. Georg Gaenswein, yang sudah ditahbiskan Sri Paus menjadi Uskup Agung pada 6 Januari lalu, dan merangkap Kepala Rumah Tangga (Prefettura) Sri Paus.

Ketika melihat Papa Mobile, massa semakin kuat dan ramai meneriakkan yel-yel, seraya bertepuk tangan meriah. Setelah melewati beberapa blok untuk menyalami massa dan disaluti oleh Musik Militer dari wilayah kelahirannya, Bavaria, Jerman, beliau naik ke Singgahsana. Di tempat itu, sudah menyambut sebuah Kursi putih yang sudah akrab dengannya sejak 8 tahun ini. Seperti biasa, sebelum duduk, beliau merentangkan kedua tangan ke arah para hadirin, seolah-olah ingin merangkul mereka satu persatu. Di saat itu keharuan mulai terasa.

Setelah rangkaian salam dan pembacaan dari Kitab Suci, Sri Paus mulai membacakan wejangannya yang terakhir. Hadirin hening dan mendengar dengan penuh perhatian. Sering juga hadirin menyela Sri Paus dengan tepukan tangan panjang dan yel 'Benedetto', terutama ketika beliau mengungkapkan kata-kata peneguhan dan pujian yang masuk hingga ke lubuk hati pendengar.

Dalam sambutannya, pertama-tama, Sri Paus mengucapkan terima kasih kepada Tuhan yang telah memilih dan mempercayakan tugas ini kepadanya. "Delapan tahun lalu, ketika sudah jelas bahwa diri saya terpilih menjadi Paus, pertanyaan yang dominan di dalam hati saya adalah: Tuhan, apa yang Kau inginkan dariku? Mengapa Engkau memilih saya? Saya tahu bahwa sejak itu saya memikul beban berat di bahuku."

"Delapan tahun yang lalu adalah tahun-tahun yang indah dan penuh arti. Tetapi juga masa-masa penuh tantangan, sehingga Gereja ibarat bahtera para rasul yang terombang-ambing di Danau Genesaret. Badai dan gelombang menerjang menimbulkan rasa takut dan panik, dan Tuhan tidur di buritan. Tetapi syukur, Tuhan tidak meninggalkan bahtera ini, karena bahtera ini bukan milik kita manusia atau milik saya pribadi, tetapi milik Tuhan sendiri," kata Sri Paus, yang disambut gemuruh tepuk tangan para peziarah.

Sri Paus juga mengungkapkan terima kasih kepada para pekerjanya di Tahta Suci Vatikan dan seluruh umat yang tersebar di seluruh dunia. Selama masa jabatannya, beliau betul merasakan dukungan dan kedekatan umat Katolik se-jagad, sekalipun banyak dari mereka yang belum pernah berjumpa dengannya secara langsung.

Menjelang sambutannya yang berdurasi kurang lebih 20 menit itu, beliau meneguhkan hati dan iman umat Katolik se-dunia. Katanya dalam nada getar, "Saya pergi. Itu keputusan yang saya ambil dengan sukarela. Tetapi kamu harus tetap riang gembira di dalam iman. Saya pergi bukan untuk urusan pribadi. Saya pergi untuk membaktikan diri kepada doa untuk Gereja kita yang kita cintai ini. Tuhan yang memanggil kita ke dalam satu komunitas iman, akan tetap bersama kita, memenuhi hati kita dengan harapan dan menyinari kita dengan kasihNya tanpa batas."

Usai sambutan terakhir itu, hadirin yang kian membludak hingga ujung Via della Conciliazione pun berdiri. Mereka kembali memberikan aplaus panjang. Lambaian bendera-bendera dan spanduk-spanduk kelihatan semakin tenang pertanda sedih. Sri Paus pun berdiri, melambaikan tangan kepada hadirin. Sebuah momentum kuat yang sempat menuai deraian air mata.

Upacara dilanjutkan dengan penyampaian ucapan Salam pisah dan terima kasih dari para hadirin yang diwakili melalui kelompok bahasa Inggris, Italia, Jerman, Spanyol, Portugis, Polandia dan Arab.

Di akhir audiensi, Sri Paus dan hadirin bersama-sama menyanyikan lagu Bapa Kami di dalam bahasa Latin. Lalu beliau menutup dengan berkat terakhirnya sebagai Paus.

Beliau turun tahta. Berjalan menuju Papa Mobil, mengambil tempat duduk. Papa Mobil turun perlahan dari pelataran Basilika menuju hadirin. Tahtanya, Kursi putih, tinggal kosong.

Sri Paus bergerak keluar, diiringi aplaus panjang, memanggil-manggil namanya dan seraya air mata tetap berderai. Di atas Papa Mobil beliau terus merentangkan kedua tangannya, seakan-akan ingin membawa pergi sekitar 200.000-an hadirin bersamanya.

Rangkulan lengannya tentu terlalu pendek untuk jumlah sebesar ini, apalagi untuk umat Katolik sedunia. Tetapi di dalam doa dari atas bukti Mons Vaticanus, beliau dan seluruh umat Katolik di lima benua akan tetap bersatu. Terima kasih Bapa Suci Bekediktus XVI. (*)

Penulis: P Markus Solo, SVD

Sumber: www.beritasatu.com

Hari Terakhir Paus Benediktus di Vatikan

Paus Benediktus XVI
Paus Benediktus XVI  muncul untuk terakhir kalinya dihadapan 150 ribu orang peziarah yang datang ke Lapangan St Petrus  pada Rabu (27/2/2013), sebelum mengundurkan diri.

Pada musim dingin audiensi dengan Paus biasanya dilakukan di dalam ruangan Vatikan. Tetapi karena peristiwa itu menyedot perhatian yang sangat besar, maka digelar di lapangan terbuka dan sekitar 50.000 tiket telah dipesan. Tetapi diperkirakan orang yang akan hadir mencapai 200.000 orang.

Penyelenggara mengatakan tidak akan ada ritual mencium tangan pemimpin umat Katolik itu, karena orang yang hadir dalam acara tersebut sangat banyak.

"Dia tidak ingin bersikap tidak adil terhadap satu umat  dengan yang lainnya," kata juru bicara Vatikan, Federico Lombardi kepada kantor berita AFP.

Paus yang berusia 85 tahun  tampil untuk dihadapan publik untuk terakhir kalinya Rabu (27/2/2013)   dengan menggunakan ciri khasnya "mobil paus" yang berwarna putih untuk menyapa umat yang berada di Lapangan St Petrus.

Wartawan BBC di Roma, Alan Johnston melaporkan Kamis (28/2/2013) Paus menuju kediaman musim panasnya di Kastil Gandolfo, yang berjarak 24 km dari Roma, dengan menggunakan helikopter.

Dalam keterangannya pada Selasa (26/2/2013) lalu, Vatikan menyebutkan Benedictus XVI  dikenal sebagai paus emeritus dan akan menghabiskan masa pensiunnya dengan berdoa dan meditasi.

Sebelumnya tak pernah ada Paus yang memutuskan pengunduran diri sejak Paus Gregory XII pada tahun 1415. Dengan mundurnnya Paus Benedictus, maka pemilihan untuk mencari penggantinya yang harus terpilih satu pekan sebelum minggu Suci, dan akan memimpin misa Paskah tahun 2013.

Dia juga akan dikenal dengan gelar Benedict XVI, dibandingkan dengan nama aslinya Joseph Ratzinger. Dia akan tetap menggunakan jubah putih paus tanpa hiasan mantel. Dia  menyerahkan cincin emasnya, yang dikenal sebagai cincin nelayan, dan segelnya dihancurkan dengan cara yang sama seperti seorang paus meninggal.

Proses pemilihan penggantinya akan dimulai pad 4 Maret 2013 oleh para kardinal dari berbagai negara yang akan menggelar konklaf. Pengganti paus akan dipilih oleh 115 kardinal yang berusia di bawah 80 tahun di Kapel Sistine Vatikan. Paus yang baru harus dipilih oleh dua pertiga suara mayoritas. (*)

Wartawan yang juga Blogger!

Bersama teman-teman dari berbagai negara di Nusa Dua 8 Nov 2012

Surel (surat elektronik)  Christiana Chelsia Chan dari Dewan Pers tanggal 25 Oktober 2012 sungguh mengejutkan saya.  Saya kutip kembali isi surel atau email tersebut.

Yth Pak Dion,

Apa kabar di Manado? Sehat selalu ya.

Apakah memungkinkan atas nama Dewan Pers dan partner kami mengundang Pak Dion dalam kapasitas sebagai blogger yang juga jurnalis untuk hadir dalam acara Bali Media Forum di Bali yang akan dilaksanakan tgl 7-9 November 2012. Topik kali ini terkait dengan tantangan yang dihadapi Dewan Pers atas perkembang sosial media.

Terlampir undangan dan background paper. Detail program menyusul.

Sekiranya berkenan kami menanggung biaya tiket pesawat pulang pergi Denpasar Manado kelas ekonomi dan penginapan selama acara berlangsung.

Mohon konfirmasinya segera. Terima kasih.

Salam,
Chelsia



Untuk menepis rasa penasaran, saya buru-buru membuka lampiran undangan dan background paper yang dikirim Chelsia. Di sana antara lain tertulis demikian.


Citizen Media: Giving People a Voice in Support of Democracy
Bali, November 7-9, 2012

Dear Mr Dion DB Putra
Blogger: www.dionbata.com
Manado

The Indonesian Press Council and the Thomson Foundation are pleased to invite you to the 4th Bali Media Forum: Ethical Journalism and Citizen Media: Giving People a Voice in Support of Democracy to be held in Bali, Indonesia on November 7-9, 2012.


The meeting will build on the conclusions of the three previous Bali Media Forums and will reaffirm the principles adopted by these meetings as well as agreeing a strategy on how pres councils, editors and journalists can meet the challenge of journalists' ethics in a global multi-platform media environment. You can find information about the previous events at: http://gfmd.info/index.php/regions/bali_media_forum_2011/.

The conference will also prepare an intervention for the Bali Democracy Forum on the importance of self-regulatory bodies as instruments for helping media and journalists to contribute to increased democratic participation.

Several high-level speakers including the Mr Espen Barth Eide, Foreign Minister of Norway as well as editors-in chief and presidents of press councils from Indonesia, Pakistan, India and Thailand, will address the event.

We will send you the draft programme for the conference in the coming days. As we have little time to organise the event, please do confirm receipt of this invitation, and let us know if you can attend as soon as possible.

Thank you for taking the time to reply to us and we look forward to seeing you in Bali.

Best regards
Bettina Peters
Director of Development Thomson Foundation

Bambang Harymurti
Vice Chairman Indonesian Press Council


Surel yang sungguh  spesial buat saya. Saya diundang mengikuti seminar internasional Bali Media Forum 2012 dalam kapasitasku sebagai jurnalis yang juga blogger! Batinku sontak bergumam.. "Wah, ternyata ada institusi yang selama ini diam-diam mengamati aktivitasku berblog ria. Dan, blog kini mengantarku ke Bali untuk berdiskusi tentang citizen media." Event bergengsi. Bali Media Forum selalu digelar bersamaan dengan Bali Democracy Forum, suatu forum dialog antara para pemimpin Asia Pasifik tentang demokrasi. Rekomendasi Bali Media Forum selalu menjaid bagian dari rekomendasi Bali Democracy Forum (BDF).

Setelah mendapat izin dari pimpinanku di Harian Tribun Manado, berangkatlah saya ke Bali sebagai jurnalis yang blogger.

Sewaktu berada di Nusa Dua,  saya bertemu teman-teman wartawan dari berbagai media yang meliput BDF 2012.  Kepada rekan wartawan yang meliput Bali Democracy Forum,   termasuk dari Harian Kompas,  saya sempat bercanda, "Hai kawan, kalian datang ke sini karena penugasan dari bosmu untuk meliput. Saya hadir di sini sebagai undangan. Jadi saya naik pangkat sebagai subyek liputan kalian. Jadi sesuatu banget. Hahahahaha..."

Prolog cerita ini sengaja saya angkat untuk menjawab pertanyaanku sendiri mengapa saya terus bertahan mengisi Blog pada saat banyak orang beralih ke Facebook dan Twitter?

Ikhwal blog, saya pertama kali diperkenalkan Arif ER  Rachman, rekan wartawan Harian Tribun Kaltim di Balikpapan tahun 2005. Kala itu Arif mengolok-olok saya sebagai manusia gaptek (gagap teknologi) dari Flores  karena tidak bergaul dengan jejaring sosial. Dia pun mengajak saja bergabung di Friendster.

Lama kelamaan ternyata asyik juga, saya jadi keranjingan. Tahun 2007 saya beralih ke Blogspot. Saya pun sempat buka akun di Wordpress tetapi saya tinggalkan karena saya anggap Blogspot lebih cocok.

Agar tidak ketinggalan zaman dan dipandang kurang gaul, saya juga buka akun Facebook dan Twitter. Hemat saya, untuk kebutuhan pertemanan kita butuh FB dan Twitter. Tapi saya tidak pernah meninggalkan blog. Saya tetap mengurus blog, meski  isinya rumpu-rampe alias gado gado.

Bagi saya blog merupakan kliping online yang sewaktu-waktu sangat membantu pekerjaanku sebagai jurnalis. Di blog ini saya isi segala macam informasi yang saya anggap penting dan perlu. Jadi blog tidak melulu tulisan karya saya sendiri. Blog ini malah berisi macam-macam artikel dari berbagai sumber. Dari lalulintas mesin pencari saya tahu tidak sedikit pula yang menikmati isi blog saya ketika mereka mencari suatu topik tulisan.

Bukan rahasia lagi bila seseorang menulis di Twitter atau FB, hati kecilnya mengharapkan agar orang lain  menyukai atau minimal menanggapi status atau tulisannya. Di blog agak susah mendapatkan interaksi langsung seperti itu. Saya menduga banyak teman jurnalis yang tidak lagi up date informasi di blognya karena sudah telanjur kecanduan FB atau Twitter. Mereka lebih suka memperbarui status di FB dan berkicau ria di Twitter ketimbang menulis di akun blognya.

Bagi saya, orang akan mengomentari atau tidak, bukanlah sesuatu yang penting amat. Saya tetap berusaha mengisi blog saya dengan berbagai informasi. Saya kliping dan kliping itu pasti ada manfaatnya bukan? Dari kebiasaan mengumpulkan tulisan di blog saya sudah menghasilkan beberapa buku yang bisa Anda nikmati juga di blog ini.

Setiap kali bertemu orang-orang muda, baik pelajar maupun mahasiswa saya selalu mengkampanyekan blog. Saya mendorong mereka agar mau membuka akun blog karena blog dapat menjadi salah satu wahana bagi mereka belajar menulis tentang sesuatu. Kalau dulu di zaman saya SMA dan kuliah masih mengandalkan mading (majalah dinding), sekarang mading itu bisa dialihkan ke blog. Zaman  digital sudah tidak bisa dibendung lagi.

Lebih-lebih lagi kepada wartawan, saya selalu berkicau tentang pentingnya blog. Menurut saya wartawan tanpa blog adalah wartawan yang bloon. Hehehe... Mengapa? Banyak wartawan berbangga diri sebagai jurnalis yang memproduksi karya jurnalistik saban hari. Tapi ketika ditanya mana contoh karyamu? Biasanya dia bingung menjawab. Cuma bisa menggaruk-garuk kepala.

Mencari dokumentasi edisi cetak (print) majalah atau koran tidak mudah, meskipun sebuah institusi media memiliki lembaga litbang yang bagus. Coba kalau wartawan terbiasa kliping tulisannya di blog, niscaya dia akan mudah menunjukkan hasil karyanya. Kapan dan di mana saja (asal ada jaringan internet) dia bisa membuka alamat blog dan memperlihatkan karyanya.

Saya sadar betul ajakan itu tidak selalu berhasil. Banyak wartawan yang berprinsip panas-panas tahi ayam. Buka akun blog lalu secepat kilat melupakannya. Tak apalah. Mau jadi jurnalis yang juga blogger, monggo! Mau jadi jurnalis semata pun tak apalah.

Salam blogger!

Paus: Saya Melayani dengan Dedikasi yang Sama

Paus Benediktus XVI
Paus Benediktus XVI menyampaikan berkat Angelus terakhir untuk ratusan ribu umat di Lapangan Santo Petrus, Minggu (24/2/2013).

VATIKAN - Paus Benediktus XVI menyampaikan berkat mingguan terakhirnya di depan puluhan ribu umat Katolik yang memadati Lapangan Santo Petrus, Vatikan, Minggu (24/2/2013). Dari jendela apartemennya, Paus mengatakan, dirinya tak akan meninggalkan gereja setelah mengundurkan diri dari jabatan serta akan menjalani hidup dengan meditasi dan berdoa.

”Tuhan meminta saya untuk mendedikasikan diri lebih banyak lewat meditasi dan doa. Ini bukan berarti saya meninggalkan gereja. Jika Tuhan meminta saya melakukan ini, saya akan melayani dengan dedikasi dan kasih yang sama, tetapi dengan cara yang lebih sesuai dengan usia dan kondisi saya,” ujar Paus, menyinggung rencananya setelah mundur dari takhta kepausan.

Meski terlihat lelah, Paus berusia 85 tahun itu berbicara dengan jelas, dengan suara yang kuat. Berulang kali Paus yang akan mengundurkan diri secara resmi pada Kamis, 28 Februari, pukul 20.00 waktu Vatikan itu menyampaikan terima kasih atas dukungan dan kedekatan umat yang hadir.

Paus menutup berkat singkatnya dengan ucapan, ”Kita akan tetap dekat!” yang tidak terdapat dalam teks yang dibacanya.

Hampir seratus ribu orang yang hadir di Lapangan Santo Petrus berulang kali menginterupsi pesan Paus dengan sorakan dan tepuk tangan, terutama saat pemimpin tertinggi umat Katolik itu berbicara dengan bahasa negara mereka.

Jumlah orang yang hadir ini jauh lebih banyak dari peziarah yang biasanya hadir saat Paus menyampaikan berkat Angelus setiap Minggu tengah hari waktu setempat.

Umat membawa sejumlah spanduk, yang antara lain bertuliskan ”Bapa Suci, Kami Mengasihi Anda”. Pada spanduk lainnya tertulis ”Terima Kasih, Bapa Suci”.

”Saya datang untuk mendukung Paus dan memohon berkat,” ujar Joao-Paulo (26), yang datang bersama rekan-rekannya sesama seminaris dari Brasil.

Bigit Marschall (37), seorang guru asal Jerman, memuji Paus yang berbicara dengan bahasa yang mudah dipahami orang awam. ”Dia intelektual yang berbicara dengan bahasa sederhana, yang menulis apa yang ada di hati kami,” ujarnya.

Benediktus XVI mengejutkan dunia dua pekan lalu saat mengumumkan niatnya untuk mundur. Pengunduran dirinya mengakhiri masa kepausan selama delapan tahun yang diwarnai skandal pelecehan seksual dan upaya untuk menahan bangkitnya sekularisme di dunia Barat.

Setelah mundur, Paus yang terlahir dengan nama Joseph Ratzinger ini akan tinggal sekitar dua bulan di tempat peristirahatan kepausan di Castel Gandolfo sebelum menjalani meditasi dan doa di Biara Mater Ecclesiae di dalam Vatikan.

Keamanan semakin diperketat di Vatikan menjelang mundurnya Paus. Sekitar 100 polisi dan penembak jitu disiagakan di sekitar Basilika Santo Petrus saat para kardinal dari seluruh dunia mulai berdatangan ke Vatikan.

Sehari sebelumnya, Sekretariat Negara Vatikan mengambil langkah tidak biasa dengan mengeluarkan pernyataan resmi yang mengecam ”berita yang sepenuhnya keliru” terkait beredarnya sejumlah isu tentang alasan pengunduran diri Paus. (AP/AFP/Reuters/was)
 
Sumber: Kompas.Com

Pelajaran dari Paus Benediktus XVI

Paus Benediktus XVI

Oleh F Rahardi

Mundurnya Paus Benediktus XVI terhitung 28 Februari 2013 mengingatkan dunia pada mundurnya Paus Gregorius XII, 4 Juli 1415. Ingatan terhadap Gregorius XII juga berarti ingatan kembali akan Skisma 1378-1417.

Skisma (Skisma Barat) adalah perpecahan intern Gereja Katolik menjadi dua kelompok. Kelompok pertama mendukung Takhta Kepausan di Avignon, Perancis, yang terdiri dari negara Perancis, Aragon, Kastil dan León (Wilayah Otonomi di Spanyol), Siprus, Burgundia, Savoy, Napoli, dan Skotlandia. Kelompok kedua pendukung Takhta Kepausan di Roma yang terdiri dari Denmark, Inggris, Flandria (Belgia), Kekaisaran Romawi Suci (Takhta Kepausan Roma), Hongaria, Italia Utara, Irlandia, Norwegia, Polandia, dan Swedia.

Takhta Kepausan di Avignon waktu itu dipimpin Benediktus XIII dan Takhta Kepausan di Roma dipimpin Gregorius XII. Selain dua paus itu, selama Skisma masih ada dua paus lagi: Aleksander V (1409-1410) dan Yohanes XXIII (1410-1414) yang dipilih Dewan Kardinal dari dua kelompok dalam Konsili Pisa 1409.

Hingga saat mundurnya Gregorius XII tahun 1415, Gereja Katolik punya tiga paus: Benediktus XIII di Avignon, Gregorius XII di Roma, dan Yohanes XXIII di Florensia. Konflik intern Gereja Katolik ini berakhir dengan diselenggarakannya Konsili Konstanz (selatan Jerman) pada 16 November 1414-22 April 1418. Pada awal konsili, Dewan Kardinal dari dua kelompok berhasil membujuk Yohanes XXIII mengundurkan diri.

Nama Yohanes XXIII kemudian dipakai secara resmi oleh Paus ke-261 (28 Oktober 1958-3 Juni 1963). Para paus Avignon periode Skisma, Aleksander V dan Yohanes XXIII, tidak diakui Gereja Katolik, dan disebut sebagai antipaus. Selama Konsili Konstanz, Paus Gregorius XII juga mengundurkan diri dan menyerahkan kekuasaan kepada konsili. Pada 1415-1417 Takhta Kepausan kosong sampai terpilihnya Paus Martinus V tahun 1417 dan berakhirlah Skisma.

Mundurnya Paus Gregorius XII dan penyerahan kekuasaan ke Konsili Konstanz dianggap telah berhasil menyelamatkan Gereja Katolik dari perpecahan. Ternyata mundurnya Gregorius XII dalam Konsili Konstanz hanya ibarat analgesik, yang mampu menghilangkan rasa sakit tanpa menyembuhkan penyakit itu sendiri.

Makin menguat

Korupsi dan kekerasan terhadap kemanusiaan akibat penyatuan kekuasaan agama dengan negara terus berlangsung sepanjang abad ke-15. Ini bukan hanya terjadi pada Gereja Katolik, melainkan juga pada Kekaisaran Ottoman, yang waktu itu masih beribu kota Adrianopel, dan dianggap representatif mewakili Islam. Kekecewaan dan ketidakpuasan rakyat terhadap kekuasaan negara dan kekuasaan agama makin menguat. Secara ideologis, kritik paling tajam dilontarkan Machiavelli.

Melalui Il Principle (1513), Machiavelli menunjukkan, kekuasaan negara harus dipisahkan dari kekuasaan agama (desakralisasi kekuasaan negara). Machiavelli dikritik karena secara rinci menunjukkan cara mempertahankan kekuasaan negara dengan cara-cara yang melanggar norma, etika, dan kemanusiaan. Namun, justru itulah makna desakralisasi kekuasaan. Kalau mau berbuat dosa, janganlah melalui (atau atas nama) lembaga keagamaan.

Meski selesai ditulis tahun 1513, Il Principle baru diterbitkan tahun 1532, saat Machiavelli telah wafat. Penerbitan Il Pinciple tahun 1532 seperti sia-sia. Reformasi Gereja Katolik (pemisahan Kristen Protestan dari Gereja Katolik) sudah terjadi.

Tahun 1521, Gereja Katolik Jerman memisahkan diri dari Vatikan akibat ekskomunikasi terhadap Pastor Martin Luther. Kemudian John Calvin di Perancis (sekarang Swiss) tahun 1530 memisahkan diri dari Vati- kan dan mendirikan Gereja Kalvinis. Tahun 1534, menyusul Gereja Katolik Inggris menyatakan pisah dari Vatikan menjadi Anglikan.

Negara agama

Pemisahan Gereja Katolik Inggris dari Vatikan bukan semata-mata akibat Henry VIII, melainkan karena rakyat gerah dengan korupsi dan kesewenang- wenangan kekuasaan negara yang menyatu dengan kekuasaan agama. Di Indonesia, Gereja Kristen dengan nama daerah, misalnya Gereja Kristen Jawa, Sunda, Manado, beraliran Kalvinis. Sebagai jajahan Belanda, Gereja Kalvinis diberi prioritas utama masuk Indonesia. Gereja Katolik Belanda banyak yang jadi Kalvinis akibat penguasaan Perancis atas Belanda tahun 1795–1814.

Gereja Lutheran di Indonesia (Huria Kristen Batak Protestan, HKBP) tumbuh tanpa campur tangan Pemerintah Hindia Belanda, sementara Anglikan tak berkembang. Gereja Anglikan di Jakarta berada di selatan Patung Pak Tani.

Setelah reformasi, gereja terus tersegmentasi menjadi ratusan, baik pemisahan gereja hasil reformasi, Gereja Katolik, maupun Ortodoks. Meski terlambat, Gereja Katolik mau introspeksi pascareformasi dengan penyelenggaraan Konsili Trent (Italia), antara 1553 dan 1569. Banyak perubahan dihasilkan Konsili Trent. ”Penemuan” benua baru (Amerika) dan eksplorasi ke selatan Afrika serta pelayaran ke Asia mengakibatkan perhatian Gereja Katolik tertuju ke benua baru itu.

Kelahiran Tarekat Imam Katolik Serikat Jesus pada 1540 serta aktivitas misi antara lain juga diakibatkan gerakan Kontra Reformasi. Gereja Katolik terus berubah, terutama dengan melepaskan diri dari kekuasaan negara. Perang Dunia I dan II membantu perubahan ini. Takhta Kepausan (Kekaisaran Romawi Suci) dengan wilayah seluruh Eropa runtuh, tinggal menjadi negara kota.

Meski masih berstatus negara, sekarang Vatikan hanya berwilayah 0,44 kilometer persegi dengan jumlah penduduk 836 jiwa. Paus lebih berfungsi sebagai pemimpin tertinggi Gereja Katolik dan bukan penguasa Kekaisaran Romawi Suci. Negara agama pada dasarnya hanyalah pengelabuan publik bahwa penguasa boleh berbuat apa saja, bukan atas nama rakyat, melainkan atas nama Tuhan.

Benediktus XVI, paus ke-265 ini, memberi pelajaran bahwa kekuasaan keagamaan pun tak harus dipegang seumur hidup. Gregorius XII mundur sebagai paus pada 1415. Setelah 60 paus, selang 598 tahun, Benediktus XVI mengingatkan kembali tentang kegagalan negara agama, juga tentang kekuasaan keagamaan yang tak harus dikukuhi sampai mati.

F Rahardi Sastrawan

Sumber: Kompas.Com

Kejujuranmu yang Manis Billy...

Billy Ray Harris (giverforward.com)
Tidak ada pedang seperti kebenaran dan tidak ada pertolongan seperti kejujuran. Pepatah ini agaknya tepat diberikan untuk Billy Ray Harris. 

BILLY Harris, pengemis di Amerika Serikat mengembalikan sebuah cincin berlian milik seorang wanita di jalanan negara bagian Missouri. Akibat kejujurannya, dia mendapatkan balasan yang luar biasa besarnya dari orang-orang di seluruh dunia.

Seperti diberitakan CNN, Sabtu 23 Februari 2013, peristiwa ini terjadi saat Sarah Darling dari Kansas City melepaskan cincin berliannya karena iritasi. Cincin berlian itu kemudian dimasukkannya ke dalam dompetnya.

Saat itu Sarah bertemu pengemis Billy Ray Harris. Darling tidak menyadari saat memberikan uang koin kepada Harris, cincin berliannya yang berharga itu ikut jatuh ke dalam gelas kertas yang dipegang Harris.

Sarah Darling baru menyadarinya keesokan harinya. Dia panik luar biasa, membongkar seluruh isi tasnya. "Sangat buruk, nilainya jauh lebih bernilai ketimbang harganya," kata Sarah Darling.

Dia teringat Billy Harris dan kembali mencari lelaki tua itu di tempatnya kemarin bertemu. Harris sudah tidak ada di sana. Darling semakin panik. Keesokan harinya, dia kembali lagi dan menemukan Billy Harris duduk di tempat sebelumnya.

"Apakah Anda ingat saya, saya tidak sengaja memberikan sesuatu yang sangat berharga bagi saya," tanya Sarah

"'Apakah itu cincin?" jawab Billy Harris.

 "Ya"

"Saya memang sengaja menyimpannya dan berharap engkau kembali lagi," kata Billy.

Billy Harris bisa saja menjual cincin tersebut dan menggunakannya untuk makan atau membeli keperluannya sehari-hari. Namun, lelaki tunawisma ini tetap menyimpannya selama dua hari untuk dikembalikan pada pemiliknya.

Sumbangan Online

Tindakan Harris ini menyentuh Darling dan suaminya. Keduanya lantas menggagas bantuan online untuk Harris di situs giveforward.com. Cerita Darling ini membuat ribuan orang dari seluruh dunia ikut menyumbang.

"Di kehidupan ini, semua pasti ada balasannya. Billy, kebaikanmu yang manis, walaupun kau sendiri kesusahan, membuktikan masih ada kemanusiaan di dunia ini. Kau adalah contoh terbaik," kata seorang penyumbang Chris dan Mel dari Inggris yang memberikan US$20 atau setara Rp194.000.

"Saya dari Singapura dan saya bersyukur atas kejujuran Anda," tulis penyumbang lainnya dari Singapura, Wong Zen-na, yang memberikan 10 dolar AS (Rp 97.000).

Sumbangan ini akan terbuka selama 90 hari. Saat kisah  ini ditulis (23 Februari 2013), sudah delapan hari sumbangan dibuka, 4.753 orang yang menyumbang dengan total senilai 120.383 dolar AS setara Rp1,173 miliar.

Mendengar perihal sumbangan ini, Harris mengaku terkejut. Dia merasa tindakannya tidak luar biasa dan seharusnya memang dia lakukan.

"Saya kaget mendengarnya, saya menyukainya, tapi saya kira saya tidak pantas mendapatkannya. Apa yang saya rasakan adalah, 'seperti apa dunia ini jika seseorang mengembalikan sesuatu yang bukan miliknya dan ini yang terjadi?'," kata Harris. (*)

Sumber: VIVANews

Manado yang Indah Sekaligus Mendebarkan Hati

Alat berat bersihkan longsoran di Ring Road Manado 17-2-2013 (foto Dion)
TIDAK mudah menemukan tanah datar di Kota Manado. Manado adalah kota berbukit bertebing serta berhiaskan lembah dan ngarai. Itulah yang membuat Manado unik, indah sekaligus mendebarkan hati.

Dulu kawasan Boulevard adalah pesisir pantai biasa. Kalau sekarang warga Manado bisa menikmati tanah datar yang luas, hal itu berkat reklamasi pantai dari para pemodal. Kawasan Boulevard sekarang berubah menjadi ruang publik warga kota ini. Di sana berjejer pusat perbelanjaan. Di sana juga ada ruang rekreasi, tempat berolahraga dan berbagai aktivitas publik lainnya.

Bayangkan kalau Boulevard masih asli seperti puluhan tahun lalu? Bisa dipastikan betapa sesak berdesaknya ibu kota Nyiur Melambai ini. Hampir tak ada ruang terbuka untuk bersantai di akhir pekan. Nyaris tak ada tempat untuk menggelar hajatan yang melibatkan massa. Dalam konteks ini reklamasi pantai di Manado adalah pilihan yang tidak keliru. Reklamasi itu sebuah kebutuhan.

Sebagai ibu kota Provinsi Sulawesi Utara, Manado merupakan magnet yang menarik orang dari seluruh penjuru datang mencari hidup. Dalam tempo sepuluh tahun belakangan ini Manado sulit menampik banjir urbanisasi. Pertumbuhan penduduk meroket. Properti perumahan pun menjadi kebutuhan vital.

Di sinilah letak soalnya. Tidak mudah bagi pengembang properti mencari lahan siap pakai. Mereka harus membelah perbukitan dan meratakannya hingga secara teknis konstruksi dianggap layak untuk membangun perumahan. Kita mudah menemukan kawasan perumahan di Kota Manado dan sekitarnya yang seperti itu. Bukit-bukit digusur dan diratakan lalu di atasnya didirikan rumah.

Minggu 17 Februari 2013, enam orang tewas ketika tanah longsor menerjang rumah di Citraland. Kita setuju dengan sikap manajemen Citraland yang segera melakukan evaluasi agar kejadian serupa tidak terulang di kemudian hari. Peristiwa tersebut pun menjadi pembelajaran bagi pengembang properti lainnya di Kota Manado dan sekitarnya. Mesti dilakukan evaluasi menyeluruh apakah kawasan perumahan yang dibangun di atas bukit yang diratakan itu aman dan nyaman bagi penghuninya?

Faktor keselamatan merupakan pertimbangan utama ketika seseorang memutuskan membeli rumah. Di Kota Manado, rumah itu harus aman dari banjir dan longsor yang sudah menjadi bencana langganan kota ini.

Tentu saja pemerintah daerah tidak boleh berpangku tangan. Malu bila aparatur pemerintah sekadar omong akan melakukan ini atau itu. Pemerintah wajib menunjukkan langkah konkret agar korban banjir dan tanah longsor bisa diminimalir. Sejak lama sudah disuarakan soal relokasi bertahap warga yang bermukim di bantaran sungai serta lereng perbukitan.

 Namun, sejauh yang kita amati seruan itu hanya nyaring sesaat ketika bencana datang. Seiring berlalunya waktu, pemerintah daerah seolah lupa dan lebih sibuk dengan urusan yang lain. Sebanyak 16 orang tewas dalam bencana banjir dan tanah longsor yang menerjang Manado dan sekitarnya 17 Februari 2013. Ini jumlah korban terbesar pada  bencana serupa dalam kurun waktu dua puluh tahun terakhir. Jadi, para pemimpin daerah ini mestinya tidak lagi bermain retorika. Jangan lagi pandang enteng! *

Sumber: Tribun Manado 21 Februari 2013 hal 10

Rafda Hanya Sempat Bertahan 6 Jam

Evakuasi korban tanah longsor di Citraland Manado (foto Riyo Noor)
RINTIHAN Rafda Oroh (18) terdengar menyayat hati. Gadis warga perumahan Citraland Blok Eden Brigde EB8/2 tengah berjuang  bertahan hidup di bawah reruntuhan beton rumah yang menimpa setengah tubuhnya. Tuhan berkehendak lain.

Rafda akhirnya mengembuskan napas terakhir setelah bertahan selama enam jam dalam kesakitan. Rafda merupakan satu dari enam korban tewas akibat tanah longsor di Citraland. Lima korban lainnya adalah  Lady Oroh (30),  Franky Palit (30-an), Elisabet Kawilarang (30), 5. Gioklie Palit (3) dan  Tommy Maripi (28)

"Tolong, tolong, kase keluar akang kita dari sini (Tolong, keluarkan saya dari sini," ujar Rafda merintih kesakitan di bawah reruntuhan. Tribun Manado mendengar sendiri rintihan Rafda sekitar pukul 12.40 Wita.

Hari Minggu (17/2/2013) sekitar pukul 09:00 Wita, tiba-tiba rumah tinggal Rafda diterjang tanah longsor. Naas nasib kakaknya Lady Oroh (30) langsung tewas di lokasi, tertimbun bersama seorang petugas sekuriti Citra Land bernama Tommi Maripi. Hanya Rafda yang bertahan hidup. Kaki mahasiswi Fakultas Ekonomi Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado itu dari bagian paha ke bawah terjepit reruntuhan tembok. Meski begitu perjuangannya untuk  hidup begitu kuat.Saat tertimbun, mahasiswi semester II itu tengah memegang boneka beruang teddy.

Petugas dari Basarnas dan kepolisian dibantu staf Dinas Pekerjaan umum berusaha mengeluarkan Rafda dari reruntuhan. Sementara Rafda tertimbun, diperkirakan ratusan warga berkumpul berharap wanita berambut panjang itu selamat. Tubuh gadis itu pun terkulai lemas tertelungkup di lantai. Sesekali  ia mengangkat kepala dan minta pertolongan "Tolong keluarkan saya dari sini," ujar si gadis.

Dua detik berselang ia kembali terkulai lemas, merebahkan kepalanya di lantai. Tim dokter ikut diturunkan ke sana. Mereka menyuplai oksigen ke paru-paru Rafda yang terlihat sudah kesulitan bernapas. Satu meter dari tempat Rafda, tampak tubuh sang kakak, Lady sudah tak bernyawa. Seluruh tubuh Lady tertimpa beton, hanya wajahnya terlihat samar-samar muncul di antara reruntuhan

Petugas pun sempat gamang. salah bertindak sedikit saja bisa-bisa kehilangan nyawa gadis itu karena puing beton di atas kepala Rafda dikhawatirkan roboh. Petugas pun berupaya menopang reruntuhan dengan balok, membentengi tubuhnya dengan papan. Kepalanya dikenakan helm.

Sejak tertimbun pukul 09:00 Wita, hingga empat jam berikutnya, posisi Rafda terhimpit reruntuhan. Petugas tak punya ide menyelamatkan gadis itu, karena dibayangi ketakutan salah bertindak. Ada usaha mengangkut beton secara manual dengan tenaga manusia, namun beton terlampau berat. Menggunakan eskavator pun ditakutkan memicu reruntuhan kembali roboh.

 Asupan oksigen terus diberikan, namun berangsur keadaan fisik Rafda terus memburuk. Sekitar pukul 14.40 Wita, dokter memeriksa keadaannya, nadi Rafda tak lagi berdenyut. Tim medis tak bisa berbuat banyak, mereka pasrah melepas kepergian gadis itu. Peralatan oksigen dicabut. Sekitar enam  jam bertahan di reruntuhan Rafda berpulang.

Nada kekecewaan melanda warga yang dari pagi menunggu proses evakuasi. Tampak juga di sana Wakil Gubernur Djouhari Kansil, Anggota DPRD Minahasa Careigh N Runtu dan Sekda Minahasa Warouw Karouan. Sedari awal mereka optimis Rafda bisa diselamatkan, apalagi kabar kekuatan gadis itu bertahan hidup begitu besar menambah keyakinan. Harapan mereka pun pupus, bersama kepergian Rafda.

Sartika Londonaung (21) Warga Winangun Atas pun mengungkapkan penyesalannya. Sartika merupakan saksi mata bencana longsor. Ia melihat tiga rumah di Citra Land tertimpa tanah dan air. Ia pula yang pertama kali mendengar teriakan minta tolong Rafda "Dia (Rafda) teriak minta-minta tolong, saya dengar langsung masuk ke rumah, saya lihat dia tertindis beton," ujar Sartika.

Sartika mengaku, langsung meraih tangan Rafda, namun ia pun tak berdaya mengeluarkan gadis itu dari reruntuhan. Air mata Sartika meleleh,. "Kita lihat dia (Rafda) sampai menangis. Kasihan, seandainya saya yang terjepit. kita tidak bisa tolong, sedih sekali," katanya.

Di tengah kebingungan Sartika, tiba-tiba rumah kembali bergemuruh hendak roboh, suami Sartika pun terpaksa menarik Sartika keluar dari rumah "Saya tak bisa tolong, saya terpaksa meminta tolong warga yang lain," ungkapnya. Dari Sartika, kabar perjuangan hidup Rafda tertimbun longsor pun menyebar dari mulut ke mulut. Warga yang awalnya berkumpul di lokasi longsor Gereja Kalam Kudus Citra Land, akhirnya pindah di blok Eden Brigde.

Kehilangan Dua Putri
Rintihan pilu Leni Repi, ibunda Rafda dan Lady pun pecah. Leni bersama suaminya pendeta Johan Oroh baru saja tiba dari Desa Bangunan Wuwuk, Boltim ketika menemukan dua puterinya tak lagi bernyawa. "Oh Tuhan," ujar Leni histeris

Pendeta Oroh pun tak kuasa menahan sedih, air matanya mengalir deras, usai menyaksikan tubuh dua anaknya di reruntuhan. Ia keluar ditopang kerabatnya dan duduk menangis di depan rumah. Setelah berhasil mengendalikan diri, Pendeta Oroh bertutur kisah terakhir bersama anaknya. Pendeta GPDI Bangunan Wuwuk ini mengatakan, Rafda dan Lady tinggal berdua. Sebenarnya di rumah itu ada juga suami dan anak Lady, namun saat kejadian berada di Jawa. Johan Oroh punya tiga orang anak,  Rafda anak bungsunya masih berkuliah, sementara Lady telah bekerja sebagai Kepala Bagian di Bank Pundi Manado.

Sedangkan anak keduanya laki-laki tengah sekolah pendeta di pulau Jawa. Malam sebelum kejadian naas itu, Pendeta Oroh sempat telepon Rafda. Ketika itu sekitar pukul 20:000 Wita, hujan deras mengguyur Manado, firasatnya tak baik, apalagi mengetahui rumah di Citra Land di bawah tebing curam "Saya sudah sampaikan untuk keluar dari rumah, karena takut longsor," ujarnya.

Ketika itu, kata Pendeta Oroh, dua puterinya sedang memasak pisang kukus "Namun firasat saya tak baik, karena kata puteri saya sudah satu jam pisang kukusnya tak juga masak," ungkapnya. Oroh pun pasrah, ia berencana memakamkan dua puterinya di Bangunan Wuwuk tempat asal mereka "Saya harus terima, mereka berdua hanya dititipkan Tuhan pada keluarga saya," ujarnya.

Suasana memilukan juga terlihat saat tubuh penuh lumpur Gioklie Palit, bocah berusia tiga tahun berhasil dikeluarkan dari reruntuhan beton rumah tinggalnya di Citra Land Blok Eden Bridge. Gio ditemukan  di kamar mandi dalam keadaan tanpa busana. Diduga Gio sedang mandi, saat longsor menerjang rumah. Gio tewas berssama orangtuanya, pasangan Frangky Palit dan Elisabet Kawilarang.

Petugas TNI yang mengevakuasi bocah itu pun diberikan kepada sang paman. Lelaki itu  meraih tubuh tak bernyawa bocah itu sambil mentikikan air mata.
Ning Kawilarang, bibi bocah itu pun histeris, ia meratap sedih nasib naas ponakannya. Ia hanya tak menyangka, sejam sebelum longsor pukul 09.00 Wita kemarin, ia masih saling telepon dengan Elisabet, adik kandungnya. "Rencana saya mau jemput dia (Gio), mau bawa berdoa di klenteng (Calaca). Dia suka sekali kita jemput, minta dibelikan baju putih," ujar Ning meratap sedih.

Tewas Berpelukan
Gracia Gosal (3) dan Ripka Gosal (10) ditemukan tewas dalam posisi berpelukan. Keduanya adalah korban tanah longsor di Lingkungan VIII, Kelurahan Tingkulu, Kecamatan Wanea, Manado, Minggu (17/2/203) pagi.

 "Kejadiannya sekitar pukul 9.30. Kejadiannya sangat cepat sekali, tanah langsung ambruk," kata Kepala Lingkungan VIII, Lucky Sumangkut. Selain Gracia dan Ripka, Ibu Gracia, Ripka Ruru (25), juga ditemukan tewas di dalam rumahnya. Lucky mengatakan, Ruru tak sempat melarikan diri saat tanah longsor menerjang. "Suami dan opanya berhasil selamatkan diri," ujarnya.

Masih di Kelurahan Tingkulu, Lingkungan V, Charles Taroreh (27) juga tewas tertimpa longsor. Charles tewas di dalam ruma nya. "Ini kejadian sekitar pukul 7.30 pagi. Papa dan adiknya sempat keluar, hanya korban tidak sempat selamatkan diri," tutur Lucky. (ryo/ton/dru/def/erv/kev)

Sumber: Tribun Manado Senin 18 Februari 2013 hal 1

Butuh Beras, Eh... Si Desy Malah Dapat Pil dan Kondom

Banjir di kawasan Tikala Manado 17-2-2013  (foto dion)
Bencana pascabencana kadang ada benarnya. Bencana so pasti bikin sedih mengiris batin karena kehilangan orang-orang terkasih serta harta benda. Tapi bencana kerap pula bikin geli.

WARGA korban banjir di Paal 2 Lingkungan X, Kecamatan Paal 2, Kota Manado, mengeluh. Berharap memperoleh bantuan pangan untuk mengganjal perut kosong, eh malah memperoleh bantuan berupa  pil KB dan kondom.

Pengalaman itu diceritakan Desy Sariowan, warga Paal 2 Manado kepada wartawan  Tribun Manado, Riyo Noor, hari Kamis 21 Februari 2013.

Kata Desy, alat kontrasepsi itu dibagikan kepadanya  saat kedatangan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, HR Agung Laksono hari Selasa 19 Februari 2013 atau dua hari pascabencana banjir dan tanah longsor di Kota Manado dan sekitarnya yang menewaskan 16 orang. Banjir dan longsor kali ini pun merusak 4.220 rumah penduduk yang memaksa 12.453 jiwa harus mengungsi. Pada hari Selasa itu, Menko Kesra datang membawa bantuan dari pemerintah pusat senilai  Rp 2 miliar terdiri dari uang tunai Rp 500 juta dan 1,5 miliar berbentuk natura.
Banjir di kawasan Tikala Manado 17-2-2013  (foto dion)

Awalnya Desy berharap setidaknya warga bisa memperoleh beberapa karung beras untuk modal ganjal perut satu dua hari ke depan. Apalagi penyerahan bantuan itu berlangsung di posko Kodim 1309 Manado, tempatnya mengungsi bersama ratusan warga korban banjir yang lain.

Ia pun harus kecewa. Meski sudah melihat bantuan diserahkan Menko Kesra kepada pejabat pemerintah daerah,  nyatanya ia tak menikmati. "Kami malah dibagikan pil KB dan kondom. Kan kami butuhnya beras untuk makan," ujarnya.

Ia mengaku kebagian tiga pak kondom dan beberapa butir pil KB. Kekecewaan Desy pun makin menjadi kala Kamis, 21 Februari 2013, Ketua DPD RI Irman Gusman membawa bantuan Rp 150 juta, terdiri dari uang tunai Rp 25 juta dan sisanya natura.

Awalnya wajah Desy berseri-seri ketika menyaksikan mobil bak terbuka memuat bertumpuk-tumpuk beras di parkir depan posko tempat pengungsian. Dia cukup yakin bantuan tersebut akan disalurkan kepada warga korban banjir termasuk dirinya.
Banjir di kawasan Tikala Manado 17-2-2013  (foto dion)

Acara seremonial penyerahan bantuan dari Ketua DPD RI ke Wali Kota Manado GS Vicky Lumentut  pun ia ikuti dari awal. Ia asyik-asyik saja mendengar Ketua DPD Irman Gusman memuji-muji penanganan bencana di Manado. Walaupun dalam hatinya sejak bencana terjadi ia  baru menerima lima bungkus mie instan dan dua bungkus nasi campur, ditambah tiga pak kondom dan pil KB, senasib dengan warga di lingkungannya.

Acara seremonial pun akhirnya berakhir. Mata Desy menatap tumpukan beras untuk dibagikan ke warga.  Matanya terbelak, kala mobil pembawa beras berlalu bersama mobil sedan Ketua DPD RI.

Desy pun duduk sembari menggerutu karena kesal. "Jadi cuma show saja berasnya. Saya kira mau dibagikan, malah dibawa lagi. Ternyata mobil cuma parkir di posko," ungkapnya.

Abson Laberu, Kepala Lingkungan X, pun jadi sasaran gerutuan  warga. Ia yang membawa kabar ada penyerahan bantuan di posko pengungsian. Ketika DPD RI tiba bersama rombongan ia mengumpulkan warga mengikuti acara seremonial penyerahan bantuan. "Yah, sudah risiko jadi pala (kepala lingkungan)," ucapnya pasrah.
Longsor di Gereja Kalam Kudus 17-2-2013  (foto dion)

Laberu pun membenarkan, selama pengungsian warga Lingkungan X baru kebagian lima bungkus mie instan untuk masing-masing keluarga dan nasi bungkus. Hari-hari, berikutnya pun dibantu oleh Kodim 1303. "Nda dapat bantuan, cuma dari tentara yang kasih," ungkapnya.

Menurut seorang anggota Kodim 1309, bantuan yang disalurkan warga justru diperoleh dari swasta, bukan dari pemerintah. "Lalu dari pengusaha keturunan Tionghoa yang bawa. Itu yang dibagikan," katanya. Untuk petugas TNI sendiri pun tak kebagian. Mereka terpaksa harus menguras isi dompet sendiri untuk membeli makanan di warung. "Kita malah beli makan di warung," ujar anggota TNI  itu.

Sumbang Rp 15 juta
Dalam kunjungannya ke Manado, rombongan DPD RI membawa sumbangan total Rp 150 juta. Rp 25 juta di antaranya dalam bentuk natura yang dibagikan secara khusus ke Gereja Torsina Tuminting Rp 5 juta, Gereja Dolorosa Rp 10 juta, dan masjid di Komo Luar Rp 10 juta.

Ketua DPD Irman Gusman mengatakan, pemerintah harus mengidentifikasi daerah-daerah mana saja yang rawan longsor maupun banjir. Jika sudah dilakukan kemudian masyarakat yang tinggal di daerah tersebut harus dievakuasi. "Masukkan ke dalam program, nanti akan kami perjuangkan ke pemerintah pusat," katanya.
Longsor di Gereja Kalam Kudus 17-2-2013  (foto dion)

Kata dia, meski baru datang ke Manado, peristiwa bencana sering ia pantau melalui media massa.
"Hal ini tentu saja membuat prihatin bagi kita semua. Bencana seperti ini tidak diinginkan oleh siapapun. Kami berharap masyarakat yang menjadi korban tabah menghadapinya," ujarnya.

Wali Kota Manado GS Vicky Lumentut menjelaskan, bencana banjir dan tanah longsor yang terjadi di Manado terdapat di 10 titik. Pihaknya saat ini akan melakukan relokasi masyarakat yang ditinggal di kawasan yang rawan bencana ke daerah yang jauh lebih aman.  (Sumber: Tribun Manado, 22 Februari 2013 hal 9).*


Menangkap Suara-suara di Dili

Bersama Ramos Horta di depan kantornya di Dili (2009)
  Saya tiba-tiba membayangkan wajah Timor Leste dalam kurun waktu lima belas atau dua puluh tahun yang akan datang.Bukan mustahil mereka amat lekas maju dan jauh meninggalkan Indonesia yang pernah bersamanya selama 23 tahun.

DIRIKU  larut dan menikmati hiruk-pikuk serta kemeriahan pesta rakyat Timor Leste merayakan HUT ke-7 restorasi kemerdekaan. Hari Rabu tanggal 20 Mei 2009 rakyat Timor Leste khususnya warga Kota Dili tumpah ruah di sepanjang pantai ibu kota negeri itu,  sambung-menyambung mulai dari kawasan Pantai Kelapa di barat  Dili hingga Pantai Pasir Putih.

Pesta rakyat berlangsung hingga Rabu larut malam. Sebagian orang bahkan baru pulang ke rumah  Kamis dinihari 21 Mei 2009. Beragam permainan dan atraksi mereka gelar di pantai tersebut. Atraksi tradisional hingga kontemporer. Ada United Nations (UN) Police, ada PNTL (Polisi Nasional Timor Leste). Tetapi mereka tidak menebarkan wajah seram. Mereka cuma mengawal pesta rakyat. Bahkan berbaur.
Ah, saya sungguh merasa seperti di kampung sendiri, di Timor Barat, Indonesia.

Sekilas kesan menyeruak,  Republik Demokratik Timor Leste di bawah kepemimpinan Perdana Menteri (PM), Xanana Gusmao sudah jauh lebih baik dibandingkan masa lalu. Lebih baik dari sisi rasa nyaman dan aman. Tidak lagi terbelenggu dengan  kontak senjata yang menebarkan ketakutan setiap saat.

Saya pernah merasakan suasana mencekam itu tatkala melakukan liputan jurnalistik keliling Timor Leste tahun 1997 atau dua tahun sebelum referendum untuk menentukan nasib sendiri. Rakyat Timor Leste kini tentu boleh berbangga dengan pemimpin kharismatik itu karena Xanana memberikan kedamaian.
Kemacetan lalu lintas di Dili

Di antara keramaian di kawasan Lecidere Rabu malam itu, perbincangan sekelompok pria dan wanita menarik perhatianku. Mereka bercakap dalam bahasa Tetun diselingi bahasa Indonesia. Saya mengerti alurnya. Saya tangkap makna kontekstualnya. Mereka berdiskusi tentang kondisi politik terkini di Indonesia. Tentang hasil pemilu legislatif 9 April 2009 dan terutama isu panas mengenai calon presiden dan wakil presiden Republik Indonesia yang berkompetisi pada 8 Juli 2009.

Saya menikmati diskusi informal ala warung kopi itu sebagai pendengar sambil menikmati tarian Tebe Tebe, alunan musik dan lagu Timor. Mereka membahas tentang figur Prabowo Subianto, Wiranto, Megawati Soekarnoputri, Jusuf Kalla, Boediono dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Luar biasa! Analisis mereka tak kalah mendalam dibandingkan pandangan pakar politik Indonesia yang hampir saban malam hadir di televisi.

Sekilas kesan yang kutangkap dari diskusi "pinggir jalan" itu nama Prabowo paling populer di Timor Leste disusul Wiranto dan Megawati Soekarnoputri. Berkali-kali mereka menyebut nama Prabowo dan Wiranto. Maklumlah dua mantan pejabat tinggi TNI tersebut pernah bersentuhan langsung dengan rakyat Timor Leste ketika masih menjadi Provinsi ke-27 Indonesia (1976-1999). Tetapi yang mengejutkan adalah mereka menilai SBY lebih baik dan paling berpeluang terpilih kembali sebagai Presiden RI. "Di antara tiga calon presiden RI, tidak ada tokoh yang lebih berpengaruh dan populer daripada SBY," kata salah seorang dari mereka.

Pengibaran bendera Timor Leste
SBY dinilai lebih berani dibanding presiden RI terdahulu dalam memberantas kasus korupsi. SBY lebih akomodatif terhadap pemerintahan Timor Leste dan Australia, SBY juga dianggap lebih populer di mata rakyat yang dibuktikan lewat kemenangan Partai Demokrat pada pemilu legislatif 2009. Salah seorang peserta diskusi mengatakan, pesaing kuat SBY adalah pasangan Jusuf Kalla-Wiranto, bukan Mega-Prabowo. Terbukti pada Pilres 8 Juli 2009, pasangan SBY-Budiono meraih suara mayoritas. SBY memimpin Indonesia untuk periode kedua.

Tapi setidaknya analisis itu sungguh menggugah saya untuk menelusuri lebih jauh mengapa warga Dili terlihat begitu "paham" tentang konstelasi politik Indonesia? Tak butuh waktu lama untuk mendapatkan jawaban. Program acara dari saluran televisi Indonesia merupakan menu harian hampir setiap rumah tangga di Dili. Demikian pula dengan bar, restoran dan hotel. Jadi warga Timor Leste mengikuti dengan baik semua perkembangan yang terjadi di tanah air kita.

Seperti kecelakaan pesawat Hercules di Magetan pada tanggal 20 Mei 2009 itu, saya justru mendengar pertama kali informasi itu dari warga Dili yang menonton parade pasukan usai upacara bendera memperingati HUT ke-7 Timor Leste di halaman depan Kantor Perdana Menteri (Palacio do Governo) Dili. "Ada pesawat jatuh di Magetan, barusan saya lihat breaking news di Metro TV," kata warga Dili tersebut yang mengaku lulusan Universitas Brawijaya Malang.

Joao, kawan saya yang bekerja di sebuah LSM internasional di Dili bahkan bercerita bahwa putrinya yang duduk di kelas 4 SD sudah fasih bicara bahasa Indonesia dengan dialek Jakarta. "Bung tahu dia belajar di mana? Saya tidak pernah ajarkan dia Bahasa Indonesia di rumah karena saya dan istri pakai bahasa ibu kami, Tetun. Anakku bisa bahasa Indonesia karena tiap hari nonton televisi Indonesia. Dia nonton acara untuk anak-anak, nonton sinetron dan lain-lain," kata Joao yang menyelesaikan studi S1-nya di Universitas Katolik Atmajaya Yogyakarta.

Meskipun telah satu dasawarsa lebih berpisah dengan Indonesia (sejak referendum 1999), warna Indonesia masih kuat melekat di bumi Timor Lorosae. Bahasa resmi negara baru itu adalah Portugis dan Tetun, tetapi "bahasa bisnis dan bahasa kerja" sehari-hari adalah Bahasa Indonesia dan Inggris.  Berada di Dili Anda serasa berada di negeri sendiri.

Perbatasan Motaain
Tata upacara bendera, misalnya,  sungguh kental warna Indonesia. Petugas pengibar bendera (semacam paskibraka = pasukan pengibar bendera pusaka di Indonesia) persis sama warna seragam dan komposisi grup pengibar bendera nasional. Yang berbeda cuma lambang dan atribut yang melekat pada busana mereka.

Bahkan di daerah pelosok Timor Leste, murid sekolah dasar, SLTP dan SLTA masih mengenakan seragam warisan Indonesia, paduan Putih Merah, Putih Biru dan Putih Abu-abu. Bahasa pengantar di sekolah pun sebagian masih  menggunakan Bahasa Indonesia.  Yang berubah adalah papan nama tempat sudah dialihkan ke Bahasa Portugis dan Tetun. Dan, mereka menggunakan uang dolar Amerika Serikat (US Dollar).

Satu lagi yang berubah drastis sekarang, arus lalulintas Kota Dili yang tidak seberapa luas itu tersendat-sendat pada pukul 07.00 pagi saat orang berangkat kerja atau ke sekolah dan pukul 17.00 saat mereka pulang. Pertambahan jumlah mobil meningkat amat lekas di negara baru itu. Orang Dili  secara parodial melukiskan demikian, "Kami  orang Dili bisa saja tidak punya rumah, tapi mobil pasti ada."

Bangun Desa Perbatasan
Denyut perekonomian memang mulai bertumbuh di Timor Leste! Di jalan-jalan berseliweran mobil berbagai merk buatan mancanegara. Dari beberapa sumber saya mendapat informasi bahwa mobil-mobil itu berasal dari Singapura dan Australia. Pemerintahan Xanana konon membuka kran impor relokasi mobil dari kedua negara tersebut. Tentu saja harga jualnya menjadi lebih murah, sehingga terjangkau kantong  warga Timor Leste.

Kehidupan malam di Dili, ibu kota Timor Leste pun sudah lebih marak. Restoran dan cafe tumbuh bak jamur di musim hujan. Melayani konsumen hingga larut malam.  Pertokoan dan pasar-pasar menggeliat. Kehidupan di Dili sudah berjalan jauh lebih produktif dibanding masa-masa konflik beberapa tahun lalu. Mudah menemukan remaja Kota Dili memakai hot pants atau busana yang selalu mengikuti trend dunia mode. Selain Tetun, mereka juga fasih  berbahasa Inggris.

Dili berubah. Negara baru  Timor Leste penuh semangat mengisi kemerdekaan. Itulah suara-suara yang saya tangkap di Dili. Tidak lengkap memang karena perjalanan jurnalistik saya  hanya beberapa saat. Tetapi  setidaknya menangkap apa yang sedang direncanakan pemerintah negara tersebut untuk membangun negerinya.

Ketika meliput pertemuan antara Wakil Gubernur NTT Ir. Esthon L Foenay, M.Si dengan PM  Xanana Gusmao, Presiden Ramos Horta serta sejumlah menteri  di sela-sela peringatan kemerdekaan Timor Leste kala itu, saya menangkap  gairah yang bergelora dari para pemimpin negeri itu untuk segera mengeluarkan Timor Leste sebagai negara termiskin di Asia.

Satu hal yang menghentak adalah cara pandang pemerintahan Xanana tentang dari mana harus mulai membangun. Xanana ternyata ingin membangun mulai dari desa dan sasaran pertama justru desa-desa di perbatasan dengan wilayah Indonesia. Dan, itu berarti pemerintahan Xanana Gusmao akan membangun daerah tapas batas dengan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), baik yang berbatasan dengan Kabupaten Belu, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) dan Kabupaten Kupang.

Sebagai orang yang lama bersinggungan dengan Indonesia, rencana pemerintahan Xanana bukan hal baru. Selama puluhan tahun tekad pemerintah Indonesia pun sama yaitu bangun bangsa mulai dari desa. Persoalannya itu sebatas jargon pemanis di bibir,  tidak membumi pada level eksekusi. Terdapat jurang pemisah yang amat lebar antara desa dan kota di Indonesia. Desa selalu terpinggirkan karena hampir semua sumber daya terbaik tersedot ke daerah perkotaaan.

Selain desa termarjinalkan, fokus pembangunan Indonesia selama puluhan tahun justru melupakan wilayah perbatasan dengan negara tetangga, seperti daerah tapal batas dengan Malaysia, Australia, Filipina, Singapura dan Papua Nugini. Baru dalam tahun-tahun belakangan ini kesadaran itu muncul bahwa tapal batas sesungguhnya merupakan beranda terdepan NKRI, pintu masuk, teras rumah Indonesia.

Lucu dan menyakitkan manakala orang masuk ke Indonesia melihat beranda rumah berlepotan, miskin dan tertinggal.  Maka lahirlah apa yang disebut pulau-pulau terdepan NKRI. Pemerintah Indonesia mengubah paradigma, perbatasan mesti dibangun dengan lebih fokus dan ofensif.

Saya menduga pemerintahan Xanana coba belajar dari kegagalan Indonesia. Xanana fokus membangun daerah perbatasan sebagai halaman depan Timor Leste. Sebagai negara yang baru, memang masih banyak kekurangan Timor Leste dibandingkan dengan Indonesia. Namun, geliat membangun perbatasan sudah terlihat setidaknya antara perbatasan antara Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia dengan Distrik Oekusi, Timor Leste.

Surat kabar tempat saya mengabdi, Harian Pos Kupang sudah berulang kali memberitakan betapa  Distrik Oekusi, Republik Demokratik Timor Leste (RDTL) yang berbatasan langsung dengan Kabupaten TTU memiliki infrastruktur dasar yang lebih baik. Sebut misalnya infrastruktur air minum dan listrik.

Jika malam tiba,  warga desa-desa  perbatasan TTU kembali ke peraduannya guna melepas lelah setelah seharian bekerja di ladang. Mereka menikmati malam hanya bermodalkan lampu pelita yang redup. Sementara desa tetangga yang hanya selemparan batu di Distrik Oekusi, listrik terang-benderang. Warganya bisa menonton televisi, mendengarkan radio. Anak-anak mereka bisa belajar dengan penerangan yang memadai.  Miris memang! Toh ketika masih bergabung dengan Indonesia nasib mereka sama yaitu tidur malam berselimutkan kegelapan.

Begitulah  suara-suara yang kurekam sejenak di Dili. Negara baru dengan populasi penduduk belum menembus angka 1 juta tersebut terus berbenah guna mengejar ketertinggalannya dalam berbagai bidang kehidupan. Saya tiba-tiba membayangkan wajah Timor Leste dalam kurun waktu lima belas atau dua puluh tahun yang akan datang.Bukan mustahil mereka amat lekas maju dan jauh meninggalkan Indonesia yang pernah bersamanya selama 23 tahun.*

Sumber:  Buku Bunga Rampai Hari Pers Nasional 2014: Dari Gampong Pande hingga UU Otsus Plus Papua halaman 97. Buku yang disunting Usman Yatim ini diterbitkan Panitia Hari Pers Nasional (HPN) 2014 dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat.  Buku ini diluncurkan pada puncak HPN 2014  di Bengkulu yang antara lain dihadiri Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dan Ibu Negara Ani Yudhoyono.


Om Bas Wie yang Legendaris Itu...

Om Bas dan istri
HARI ini, Sabtu  16 Februari 2013 di Kota Manado yang dipayungi rinai hujan,  memoriku sontak mengenang kisah puluhan tahun lalu dari mulut Peter Apollonius Rohi atau akrab disapa Om Peter Rohi. Ini gara-gara sobatku Fehan Ohan berbagi foto dan status dari akun FB Om Peter.

Di akun Facebooknya Om Peter Rohi mentag selembar  foto disertai tulisan sebagai berikut: Inilah Om Bas Wie, dan istrinya. Om Bas tahun 1946, ketika berusia 11 tahun bergantung di kaki roda pesawat dari Kupang menuju Australia. Beberapa waktu lalu ditampilkan di Chanel - 9 dalam program This is Your Life di TV Australia. Dia orang pertama yang bergantung di roda pesawat melintasi samudera dari Kupang, Timor menuju Darwin, dengan pesawat RAAF selama dua jam. Media Australia dan dunia memuat peristiwa itu di halaman muka. Masih bisa dicopy dari Google.

Ini foto ketika lima puluh tahun perkawinannya dengan perempuan Eropa, Margareth yang sangat mencintainya. Di Australia om Bas diangkat anak oleh walikota Darwin disekolahkan sampai menjadi insinyur, dan ahli tata kota. ANAK INDONESIA ASAL PULAU SABU PERTAMA YANG (LAYAK) TERCATAT DALAM GUINNESS BOOK OF RECORD!

Status FB  Om Peter Rohi sungguh memantik kenanganku sebagai wartawan pemula di Harian Pos Kupang yang terbit perdana akhir tahun 1992. Dalam suatu kesempatan ketika itu, saya dan sejumlah teman seperti Viktus Murin, Ferry Jahang, Yulius Lopo, Paul Bolla, Key Tokan Abdulasis dan lainnya  terkagum- kagum mendengar kisah Om Peter Rohi tentang seorang bocah asal Sabu yang bergantung di kaki roda pesawat RAFF dalam penerbangan selama tiga jam dari Kupang ke Darwin, Australia Utara pada tahun 1946.

Bocah lelaki asal Pulau Sabu tersebut memang mengalami luka-luka namun dia hidup. Sesuatu yang menakjubkan mengingat terbang bergelantungan di roda pesawat bukan sesuatu yang lazim dilakukan manusia.

Om Bas Wie
Tahun 1995 saya mendapat kesempatan meliput NT Expo di Darwin Australia Utara. Dalam suatu jamuan makan malam dengan keluarga  Flobamora, saya sempat bersua sejenak dengan Om Bas Wie. Namun, dasar wartawan yang baru berusia setahun jagung,  saya melewatkan kesempatan emas mewawancarai beliau, sesuatu yang sangat saya sesali di kemudian hari (hehehe...semoga jadi pelajaran berharga bagi siapapun bahwa kesempatan itu emas sehingga harus ditangkap!) Saya sempat mengambil foto-foto, tetapi foto tersebut agaknya susah ditelusuri lagi mengingat dokumentasi Pos Kupang pada masa-masa awal ala kadarnya (manual) sehingga banyak momen bersejarah terbuang percuma.

Nah, tentang kisah Om Bas Wie baik kiranya kita menikmati tulisan Bram di http://kabarntt.blogspot.com.au berikut ini.

Bas Wie telah menjadi legenda. Kisah bocah 12 tahun yang terbang dari Kupang ke Darwin dengan duduk di bagian roda pesawat (wheel compartment) milik tentara Belanda di tahun 1946 telah menjadi bagian dari ingatan abadi orang Australia dan mendunia. Ia akan selalu dikenang, dengan aksi beraninya, bergantung di bagian roda pesawat selama 3 jam. Itu lah sebabnya sebutan `Kupang Kid' hanya akan menjadi milik Bas seorang.

Koki kecil di Penfui ini menjadi saksi akhir Perang Dunia Kedua. Kupang, dan daerah Timor secara keseluruhan kala itu menjadi medan pedang Australia dan Jepang. Pulau Timor menjadi buffer zone bagi tentara Australia, yang memilih menghadang Jepang di Timor sebelum tentara matahari terbit sempat bergerak menuju daratan Australia. Perang telah memisahkan ia dari keluarga besarnya.

Kisah koki kecil pemberani

Bas Wie, anak yatim piatu, bekerja sebagai koki di bandara. Setelah Jepang kalah perang. Ia hanya ingin naik pesawat dan pergi. "Saat itu, karena masih kecil, sungguh beta sonde tau kalau ada negeri lain di luar sana," kata Bas jujur di usianya yang sudah melewati kepala tujuh.

Saat itu Bas menyelinap, dan mencoba mencari pintu pesawat, tetapi semuanya terkunci. Hanya bagian roda lah yang kosong. Ia pun hinggap di situ.

Saat pesawat meninggalkan landasan pacu di Penfui, baru lah garis hidup atau mati menjadi begitu dekat dengan Bas. Tarikan balik roda pesawat, saat pesawat lepas landas membuatnya kembali panik. Ia nyaris remuk dimakan roda pesawat DC-3. Bas pun bergeser mencari posisi aman yang paling mungkin. Ia pun meringkuk di bagian pesawat yang dalamnya sekita 20 centimeter, dan tingginya sekitar 51 centimeter. Atau tepat diantara tengki minyak dan pipa pembuangan. Di tempat itu panas dan dingin menjadi satu. Selama tiga jam ia bertahan di sana.

Langit sudah gelap, saat pesawat DC-3 mendarat di markas RAAF (Royal Australian Air Force) di Darwin. "Saat saya menyalakan senter, dan sorot ke atas, ada tubuh seorang bocah di sana. Ia sudah tidak sadarkan diri lagi, setengah tubuhnya terbakar parah, dan di sisi tubuh yang lain membeku," tutur Jim Fleming, pensiunan air vice-marshal RAAF. Saat itu Jim memang yang bertugas untuk memeriksa pesawat DC-3 milik angkatan udara Belanda yang bermalam di sana.

"Kedua bola matanya berputar, dan yang tampak hanya dua bola mata putih, saat itu kami berpikir bocah ini sudah mati," kata Jim mengenang kejadian malam itu. Meskipun ia terluka parah di bagian perut, Bas bisa diselamatkan. Hingga hari ini Jim yang akrab dengan sekian jenis pesawat, masih tak percaya bahwa Bas bisa bertahan hidup. Ia pulih setelah dirawat di Australia Utara selama tiga bulan.

Terancam dideportasi


Setelah dinyatakan sembuh, Bas oleh pemerintah setempat hendak dikirim pulang ke Kupang. Menteri urusan Imigrasi kala itu, Arthur Caldwell, beteriak kencang untuk memulangkan Bas, namun keputusannya dihujani protes luar biasa oleh warga Darwin. Masyarakat Darwin, menggangap anak kecil dengan keberanian semacam itu, tak patut dideportasi. Akhirnya Bas Wie pun ditampung dan menjadi tanggungan Negara. Tetapi setiap tahunnya Bas harus memperbarui ijin tinggal di sana. Kebijakan rasial itu memang belum lah dihapus. Untuk itu Bas setiap tahunnya memang harus menghitung apakah akan tetap tinggal atau dideportasi.

Keputusan final baru ada pada tahun 1958 Bas resmi menjadi warga Negara Australia. Penetapan ini memang melengkapi kebahagiaannya, sebab pada Bulan Desember tahun sebelumnya (1957), Bas telah menyunting nona manis dari Perth. Di usia 24 tahun, Bas Wie `anak Kupang' menikah dengan Margaret.

Pertemuan keduanya, menurut Margaret atau kini dikenal sebagai Mrs.Wie sangat berkesan. Saat bertemu pertama kali Margaret baru berusia 15 tahun, dan baru mulai bekerja sebagai junior draftswoman, sedangkan Bas Wie bekerja sebagai internal mail officer di Departemen Pekerjaan dan Perumahan.

"Saat itu ia datang ke meja saya sambil membawa surat, personal delivery," kata Margaret mengenang dan ia kemudian melanjutkan, "menurut saya, itu memang cinta dalam pandangan pertama." Delapan belas bulan kemudian Bas dan Margareth menikah di sebuah gereja kecil tempat Bas kecil bekerja sebagai putra altar (ajuda).

Penggalan kisah hidup Bas Wie mendunia di tahun 1978, saat Bas dan keluarganya diangkat dalam program `This Is Your Life'. Kisah hidupnya tak hanya mendunia, tetapi sudah menjadi bahan sejarah museum Australia Utara.

Pulang ke Sabu

Setelah sekian lama tahun merantau, pada tahun 1991 Bas pulang dan bertemu keluarga besarnya di Sabu. Pertemuan yang sangat mengharukan. Bocah 12 tahun ini, sudah setengah abad lebih merantau. Entah apa yang dipikirkan Bas Wie saat kembali ke Sabu saat itu, melihat kekeringan, juga kebersahajaan keluarga besarnya. Suka dan duka adalah satu, sama seperti panas dan dingin yang menjadi satu saat itu meringkuk di roda pesawat.

Bas sendiri sudah tidak bisa berbahasa Sabu lagi, dan jarang kontak dengan keluarga besarnya. Menurut Bas keluarga besarnya memang susah, tapi mereka bahagia. Hingga kini ia masih menyimpan foto keluarganya, menurut Margaret kemampuan mengingat jangka pendek Bas sudah menurun, namun ingatannya untuk peristiwa lampau masih lah kuat.

Minggu kedua Bulan Desember 2007, Opa Bas dan Oma Margaret merayakan 50 tahun pernikahan mereka. Keduanya dikaruniai lima orang anak dan tujuh cucu. Dari Kupang, anak-anak Kupang yang lain hanya ingin mengucapkan Selamat Ulang Tahun Pernikahan Opa dan Oma. Kisah hidup Opa Bas adalah kisah yang luar biasa, nyaris seperti dongeng. (Bram, bahan diolah dari Time/ntnews.com/ABC).

Bagi Anda terutama putra-putri Flobamora yang ingin tahu lebih lanjut tentang Om Bas, bisa baca cuplikan-cuplikan kisah tentang beliau pada link di bawah ini.

1. Bas Wie's Future

2. Great Escape To Adventure Unforeseen. by Trevor Wie

3. Guest of honour was the "Kupang Kid", Darwin resident Mr Bas Wie.

4. Kupang Kid marks a marriage half century


5. NT remembers Bas Wie's great escape

Semua Artikel tentang MUTIARA FLOBAMORA

Rasa Sayangku tak Pernah Berubah

Herling Hart dan Maritje Lapian
Setiap pasangan yang menikah pasti menginginkan bahtera rumah tangga mereka bertahan hingga maut  memisahkan.

KEHIDUPAN rumah tangga pasangan suami istri, Herling Hart Patras dan Maritje Lapian patut menjadi contoh. Mereka tetap mesra hingga usia pernikahan mencapai 52 tahun atau melewati pesta emas. 

Saat ditemui Tribun Manado di kediaman mereka di Kelurahan Mahakeret Barat, Manado,  Rabu (13/2/2013), pasangan suami istri ini membagi resep dalam menjaga hubungan pernikahan agar tetap harmonis.

Keduanya menyadari untuk mencapai usia pernikahan selama itu tidaklah mudah. Suka duka dalam perkawinan selalu ada. Tetapi melalui tekad dan niat yang tulus untuk tetap setia,  pernikahan mereka harmonis dan langgeng hingga bisa dilukiskan sebagai golden couple.

"Kami rukun karena mengandalkan Tuhan. Intinya adalah komitmen dan kejujuran. Rasa sayangku kepada istri dari dulu hingga sekarang tidak pernah berubah, " kata Herling Hart Patras. Menurutnya, dalam menjalani rumah tangga, cekcok (pertengkaran) adalah hal yang biasa. Pertengkaran itu bisa diatasi dengan saling mengerti dan memahami.

"Kuncinya saling pengertian. Terkadang istri marah, suami harus mengalah. Begitu juga sebaliknya. Hal itu tanpa sengaja sudah biasa kami lakukan sehingga pertengkaran demi pertengkaran bisa dilalui," jelas pria yang akrab disapa Opa Hart ini.

Pria kelahiran Manado, 7 Agustus 1938 itu mengungkapkan, rasa saling pengertian membuat hubungan mereka harmonis. Rasa ego dari masing-masing pihak harus dihilangkan dan jangan ditonjolkan dalam pertengkaran. "Kalau sudah begitu, komunikasi pun berjalan dengan sendirinya dan lancar," ucap Hart

Menurutnya, dalam berumah tangga tidak mungkin tanpa pertengkaran. Adu mulut adalah hal yang biasa. Namun jangan sampai berlama-lama. "Marah boleh saja, asalkan masih wajar. Dalam ajaran agama kan diajarkan, apabila kita marah, jangan marah hingga matahari terbenam. Jadi harus cepat diselesaikan dan tidak menyimpan dendam. Begitu matahari terbit keesokan harinya masalah tersebut sudah tidak ada, " jelasnya.

Hart mengatakan, romantisme pun perlu dipelihara meskipun usia perkawinan sudah puluhan tahun. Komitmen untuk sehidup semati bersama pasangan harus dibangun dan harus ada usaha dari kedua belah pihak untuk mewujudkannya. "Meskipun sudah kakek namun kita harus tetap romantis, karena wanita pada umumnya senang dipuji dan disanjung, " kata Opa Hart.

Pasangan yang menikah pada 26 Agustus 1961 itu memiliki empat orang anak yang sukses dalam karir masing-masing. Ada yang menjadi pendeta, pegawai negeri sipil, dan bekerja di perusahaan swasta. Kebahagiaan pasangan ini juga terasa semakin lengkap dengan kehadiran tujuh orang cucu.

"Rumah tangga kami melewati proses dari nol, berbagai  masalah ekonomi telah kami rasakan. Namun kami berdua menjalaninya dengan sabar dan mengandalkan Tuhan, sehingga kami bisa menyekolahkan anak hingga ke perguruan tinggi. Anak-anak bisa sukses juga karena campur tangan Tuhan serta nilai-nilai kehidupan yang kami tanamkan sejak mereka kecil," kata Hart.

Diakuinya, mengingat masa pertama kali berkenalan dan masa-masa bahagia bisa membuat hubungan menjadi tetap harmonis. "Perkawinan kami ini mungkin bisa dijadikan contoh terutama bagi anak-anak kami yang semuanya sudah menikah.  Kalau bertengkar, jangan sampai memecahkan barang rumah tangga karena  akan memberikan contoh yang buruk, " ujar Hart.

Maritje Lapian juga mengakui dalam rumah tangga harus ada saling pengertian. Kebanyakan orang bercerai karena sudah tidak saling cocok satu sama lain. "Kita memiliki sifat yang berbeda sehingga saling pengertian itu sangat diperlukan dalam rumah tangga, " ujar wanita yang akrab disapa Oma Marie ini

Wanita kelahiran Manado, 7 Januari 1942 itu mengatakan,  pernikahan dapat berakhir dengan perceraian penyebab utamanya adalah masalah ekonomi dan perselingkuhan. Oleh karena itu suami maupun istri harus bersikap lebih bijak.

"Memang karakter pria dikenal dengan kegombalannya dan suka mendua tetapi sebagai seorang wanita, kita bisa mengajarkan pasangan kita untuk setia, kita yang beri contoh," ujarnya.  Menurutnya, komunikasi dan saling memuji kelebihan masing-masing, sangat diperlukan agar pernikahan tetap awet. "Dengan menjalin komunikasi yang baik dijamin pernikahan akan terus bertahan dalam keharmonisan yang abadi sampai maut memisahkan, " demikian Oma Marie. (joice hape)

Sumber: Tribun Manado 14 Februari 2013 hal 1


Terkait
Saya Mengisi Kekosongan Hatinya

Saya Mengisi Kekosongan Hatinya

Cinta adalah keputusan. Perbedaan apapun tidak akan menghalanginya. Cinta yang langgeng dari pasangan ini bisa menjadi pembelajaran bagi kita.

SENYUM tak henti-hentinya tersungging di bibir Agustinus Saba dan Janneke Elisabeth Mangindaan. Keramahan terpancar saat menyapa Tribun Manado di kediaman mereka, Kamis (12/4/2012). Agustinus dan Elisabeth sedang berbahagia. Pasangan suami istri (pasutri) ini baru saja mengadakan pesta emas  (50 tahun) perkawinan mereka tanggal 11 April 2012.

Kisah cinta keduanya bak sinetron. Agustinus yang berasal dari Flores, Nusa Tenggara Timur   tidak menyangka akan bertemu pujaan hatinya Elisabeth ketika mereka sama-sama berada di Makassar, Sulawesi Selatan.

Sebagai perantau Agustinus terbentuk menjadi seorang pekerja keras. Ia rajin dan ulet, menjalani pekerjaan apa saja mulai dari koster (pembantu pastoran di Gereja Katolik) hingga  office boy di rumah Sakit di Makassar. Berkat ketekunannya Agustinus disekolahkan menjadi perawat. Kedua hati kemudian berpadu karena sekolah di tempat yang sama tahun 1957.

Tahun 1962 mereka menikah. Elisabeth  menjalani ikatan dinas di Makassar sedangkan Agustinus mengikuti wajib militer di Angkatan Laut sebagai tenaga kesehatan tahun 1962 sampai dengan 1967.

Bagi Elisabeth ketika memilih Agustinus sebagai pendamping hidupnya, dia berusaha menyesuaikan kepribadiannya dengan suami yang berasal dari daerah berbeda, dengan latar belakang dan kultur berbeda. Nilai-nilai kesabaran tumbuh dalam dirinya. Ia melihat dari setiap kemarahan ada perhatian dan cinta yang harus dipersembahkan. "Saya harus mengisi kekosongan hatinya. Saya tidak boleh menggunakan ego," kata Elisabeth sambil melirik mesra kepada suaminya.

Menurut Elisalbeth, cinta seorang  perempuan penuh dengan pertimbangan. Dan, cinta merupakan keputusan yang menuntut kesetiaan.  Ia telah memilih Agustinus dan ia setia kepadanya. "Agamaku Katolik. Dalam Katolik ajarannya satu dan tidak terceraikan. Saya berusaha untuk menaatinya,"kata Elisabeth.

Godaan, menurutnya bisa datang sewaktu-waktu. Suara hati menjadi pemeran penting. "Ketika saya melihat ada yang tidak beres dengan perasaan saya di luar suami saya, Saya berefleksi dengan perasaan itu,"katanya lagi

Agustinus seperti mengiayakan perkataan istrinya. "Sebagai laki-laki saya juga butuh perhatian dari orang lain. Tapi saya selalu berkomunikasi dengan istri saya supaya tidak terjadi hal yang tidak diinginkan. Perhatian kecil seperti bertanya sudah makan atau belum saya pertahankan sampai saat ini. Hal kecil itu dipelihara agar rumah tangga bisa langgeng,"katanya.

Agustinus menambahkan ia juga belajar budaya dan latar belakang istrinya agar mampu menerima Elisabeth apa adanya. "Saya belajar banyak hal tentang budaya Manado. Dengan demikian, rumah tangga kami bisa harmonis," tuturnya.

Anak-anak mereka kini tersebar di mana-mana. Anak pertama dari keluarga Legoh Saba tinggal di Manado. Kemudian berturut-turut Nasir Saba di Kendari, Hendrica Saba di Manado, Lasut Saba di Belanda, Saba Mandagi di Manado, Abqori Saba di Jakarta dan Vastenhout Saba di Belanda. Mengenai hal itu, mereka sepakat keputusan memilih kerja dan domisili diberikan sepenuhnya kepada anak-anak mereka. "Kami hanya bisa berdoa dan mengawasi,"  kata keduanya serempak. Kedua insan ini menyadari generasi anak mereka sudah berbeda.

Mereka juga menyentil gaya hidup generasi sekarang. "Sekarang banyak yang lebih mementingkan prestasi daripada relasi. Sekarang semua dihitung untung rugi. Semuanya diperjualbelikan termasuk kehidupan rumah tangga. Ada penurunan rasa hormat. Itu yang menyebabkan kehidupan cinta seperti indah  di awal saja," demikian Elisabeth. (david manewus)
Sumber: Tribun Manado 14 April 2012 hal 1

Terkait
Rasa Sayangku tak Pernah Berubah
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes