Cinta adalah keputusan. Perbedaan apapun tidak akan menghalanginya. Cinta yang langgeng dari pasangan ini bisa menjadi pembelajaran bagi kita.
SENYUM tak henti-hentinya tersungging di bibir Agustinus Saba dan Janneke Elisabeth Mangindaan. Keramahan terpancar saat menyapa Tribun Manado di kediaman mereka, Kamis (12/4/2012). Agustinus dan Elisabeth sedang berbahagia. Pasangan suami istri (pasutri) ini baru saja mengadakan pesta emas (50 tahun) perkawinan mereka tanggal 11 April 2012.
Kisah cinta keduanya bak sinetron. Agustinus yang berasal dari Flores, Nusa Tenggara Timur tidak menyangka akan bertemu pujaan hatinya Elisabeth ketika mereka sama-sama berada di Makassar, Sulawesi Selatan.
Sebagai perantau Agustinus terbentuk menjadi seorang pekerja keras. Ia rajin dan ulet, menjalani pekerjaan apa saja mulai dari koster (pembantu pastoran di Gereja Katolik) hingga office boy di rumah Sakit di Makassar. Berkat ketekunannya Agustinus disekolahkan menjadi perawat. Kedua hati kemudian berpadu karena sekolah di tempat yang sama tahun 1957.
Tahun 1962 mereka menikah. Elisabeth menjalani ikatan dinas di Makassar sedangkan Agustinus mengikuti wajib militer di Angkatan Laut sebagai tenaga kesehatan tahun 1962 sampai dengan 1967.
Bagi Elisabeth ketika memilih Agustinus sebagai pendamping hidupnya, dia berusaha menyesuaikan kepribadiannya dengan suami yang berasal dari daerah berbeda, dengan latar belakang dan kultur berbeda. Nilai-nilai kesabaran tumbuh dalam dirinya. Ia melihat dari setiap kemarahan ada perhatian dan cinta yang harus dipersembahkan. "Saya harus mengisi kekosongan hatinya. Saya tidak boleh menggunakan ego," kata Elisabeth sambil melirik mesra kepada suaminya.
Menurut Elisalbeth, cinta seorang perempuan penuh dengan pertimbangan. Dan, cinta merupakan keputusan yang menuntut kesetiaan. Ia telah memilih Agustinus dan ia setia kepadanya. "Agamaku Katolik. Dalam Katolik ajarannya satu dan tidak terceraikan. Saya berusaha untuk menaatinya,"kata Elisabeth.
Godaan, menurutnya bisa datang sewaktu-waktu. Suara hati menjadi pemeran penting. "Ketika saya melihat ada yang tidak beres dengan perasaan saya di luar suami saya, Saya berefleksi dengan perasaan itu,"katanya lagi
Agustinus seperti mengiayakan perkataan istrinya. "Sebagai laki-laki saya juga butuh perhatian dari orang lain. Tapi saya selalu berkomunikasi dengan istri saya supaya tidak terjadi hal yang tidak diinginkan. Perhatian kecil seperti bertanya sudah makan atau belum saya pertahankan sampai saat ini. Hal kecil itu dipelihara agar rumah tangga bisa langgeng,"katanya.
Agustinus menambahkan ia juga belajar budaya dan latar belakang istrinya agar mampu menerima Elisabeth apa adanya. "Saya belajar banyak hal tentang budaya Manado. Dengan demikian, rumah tangga kami bisa harmonis," tuturnya.
Anak-anak mereka kini tersebar di mana-mana. Anak pertama dari keluarga Legoh Saba tinggal di Manado. Kemudian berturut-turut Nasir Saba di Kendari, Hendrica Saba di Manado, Lasut Saba di Belanda, Saba Mandagi di Manado, Abqori Saba di Jakarta dan Vastenhout Saba di Belanda. Mengenai hal itu, mereka sepakat keputusan memilih kerja dan domisili diberikan sepenuhnya kepada anak-anak mereka. "Kami hanya bisa berdoa dan mengawasi," kata keduanya serempak. Kedua insan ini menyadari generasi anak mereka sudah berbeda.
Mereka juga menyentil gaya hidup generasi sekarang. "Sekarang banyak yang lebih mementingkan prestasi daripada relasi. Sekarang semua dihitung untung rugi. Semuanya diperjualbelikan termasuk kehidupan rumah tangga. Ada penurunan rasa hormat. Itu yang menyebabkan kehidupan cinta seperti indah di awal saja," demikian Elisabeth. (david manewus)
Sumber: Tribun Manado 14 April 2012 hal 1
Terkait
Rasa Sayangku tak Pernah Berubah