AWAN mendung masih menyelimuti sebagian langit Kota Manado Kamis (7/2) sekitar pukul 12.00 Wita. Akan tetapi, suasana alam itu tidak membuat murung pria yang satu ini, Hans Ratag. Pria gagah berwajah ceria itu menyambut ramah saat Tribun Manado menemuinya.
Baju batik yang dikenakannya menambah wibawanya sebagai seorang jurnalis berpengalaman. Empat puluh enam tahun sudah dia menekuni profesi jurnalis. Sejuta pembelajaran hidup patut diwariskan kepada para penerusnya.
Pria kelahiran Balikpapan, 23 Desember 1940 masih mengingat dengan baik tapak langkahnya sebagai seorang waratawan. Ia ingat ketika pertama kali bergabung dengan Harian Api Pancasila (di kemudian hari menjadi Obor Pancasila), salah satu harian tertua di Sulawesi Utara (Sulut), bukan sebagai reporter.
"Saya masuk tahun 1966 di harian itu sebagai corrector. Tugas saya bantu mengedit berita yang masuk ke redaksi," ujarnya. Hanya setahun, Ratag sudah dianggap layak menjadi reporter. Ia selalu memasukkan berita kepada redaktur dan kemudian mendapat persetujuan dari pemimpin redaksi untuk dipublikasikan. Walaupun tulisannya hampir selalu diterima, ia merasa kesulitan menuangkan ide jadi sebuah tulisan. "Waktu itu saya kesulitan menggunakan konsep piramida terbalik," katanya.
Tahun 1967, Ratag diterima sebagai anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan setahun kemudian resmi menjadi anggota biasa. Seiring perjalanan waktu Hans Ratag semakin banyak mengenal nara sumber baik pejabat pemerintah, tokoh masyarakat dan lainnya. "Waktu itu tidak ada istilah telepon terlebih dahulu. Kita langsung pergi ke tempat pejabat itu. Beda dengan sekarang," ujarnya.
Pemimpin redaksinya saat itu yaitu Phil Sulu mengakui kemampuan Hans dalam menulis. Ia kemudian dipercayakan mengikuti rombongan Gubernur Worang, suatu tanggung jawab yang dianggap luar biasa saat itu.Kedekatan dengan pejabat tidak membuat Hans Ratag kehilangan independensinya. Ia setidaknya dua kali berhadapan dengan bahaya.
Peristiwa pertama terjdi tahun 1970 ketika ia meliput tentang Desa Sulu, Kecamatan Tumpaan, Kabupaten Minahasa saat itu. "Saya menulis bahwa warga Desa Sulu akan menyingkir. Mereka ditakuti oknum staf satu (istilah untuk intel militer). Camat Tumpaan saat itu yang saya lupa namanya kemudian datang ke kantor PWI. Ia datang dan mau memukul saya. Ia katanya sudah didesak oleh oleh bupati Lelemboto saat itu,"kata Hans.
Camat itu memintanya untuk ikut dengannya ke Desa Sulu. Hans Ratag awalnya tidak mau. Namun, setelah dibujuk pemimpin redaksi, dia pun pergi melihat Desa Sulu. "Saya yakin benar karena banyak orang yang sudah saya wawancarai. Apalagi berita itu saya dapatkan di kantor camat. Setelah diajak melihat Desa Sulu saya diberi makan," ujarnya.
Camat mau memberikan uang tapi ia menolaknya mentah-mentah. Nanti setelah dijelaskan bahwa dia tidak akan diantar pulang ke dan uang itu untuk ongkos transport, Hans menerima pemberian itu dan langsung diserahkan kepada sopir yang mengantarnya.
Peristiwa kedua terjadi tahun 1972. Seorang kusir bendi dipukul oknum TNI Angkatan Laut.Hans menulis peristiwa itu dan lagi-lagi ia didatangi oknum TNI yang diberitakan tersebut. Ia pun nyaris dipukul."Saat itu saya diselamatkan oleh teman-teman. Mereka melapor kepada panglima KKO saat itu. Ajudannya datang dan tiba-tiba ia meminta maaf," tuturnya.
Tahun 1973 karir Hans Ratag mulai melesat. Dia dipercaya menjadi redaktur pelaksana (Redpel). Pada tahun 1975, ia mengikuti job training di Harian Sinar Harapan. Di tahun 1976, ia mengikuti kegiatan yang sama di Harian Pikiran Rakyat Bandung. Ia juga sempat mengikutinya di Harian Kompas. "Saat itu kami yang berasal dari Manado dianggap hebat. Saya lumayan mengetahui banyak hal tentang jurnalistik," katanya.
Tahun 1978, ia menjadi wakil pemimpin redaksi. Tahun itu pula ia sudah membuat Harian Media Koperasi yang modalnya dari koperasi. Maklum saat itu dianggapnya sebagai tahun emas perkoperasian di Indonesia. "Saya diangkat sebagai ketua pusat informasi perkoperasian Sulut. Tahun 1999 saya bisa membuat harian Warta Pembangunan yang sudah terbit sampai saat ini," ujarnya.
Gara-gara larut dalam dunia jurnalistik Hans baru menyelesaikan sarjana hukum tahun 1990-an di Universitas Negeri Sulawesi Utara (Unisu, sekarang Universitas Sam Ratulangi Manado). Akan tetapi pengorbanannya diganjar dengan berbagai penghargaan. Salah satunya ia menerima penghargaan dari PWI dan Bank Sulut. "Saat itu saya memenangkan lomba karena menulis tentang perkembangan Bank Sulut tahun 1983. Saya juga diberikan rumah oleh PWI,"katanya.
Om Hans, sapaan akrabnya memang punya segudang pengalaman. Dalam organisasi PWI Sulut, Om Hans pernah menjabat bendahara selama enam tahun dan sekarang merupakan anggota Dewan Kehormatan Daerah. (david manewus)
Sumber: Tribun Manado 9 Februari 2013 hal 1
Artikel Terkait DI SINI