Simon Petrus Goni dan istri |
JALANNYA terlihat tertatih-tatih ketika masuk lobi hotel Aryaduta Manado di tengah hilir mudik peserta dari berbagai daerah di Indonesia yang sedang mengikuti kegiatan Serikat Perusahaan Pers (SPS) dua hari lalu. Namun ketika bertatap muka langsung dengan pria yang sudah berumur senja itu, siapapun pasti segera menyimpulkan semangat hidupnya masih menyala-nyala.
Simon Petrus Goni atau yang akrab dipanggil Spego Goni merupakan salah seorang wartawan senior Sulawesi Utara (Sulut) yang sampai saat ini masih terus menulis untuk menuangkan pikiran demi kemajuan bangsa.
"Sampai saat ini saya masih menulis dan menjadi wartawan. Ini buku saya yang terbaru," ujarnya sambil menunjukkan buku berjudul Putra Sang Fajar. Buku ini merupakan otobiografinya.
Awal kewartawan Spego Goni dimulai setelah dia melepas jabatan politik sebagai ketua umum DPP Pemuda Pancasila pada tahun 1953. Kala itu dia mendirikan Mingguan Lensa Utara yang mula-mula cetak di percetakan negara. "Selain itu, karena pada waktu itu belum ada surat kabar dari luar, saya juga menerbitkan buletin daerah dalam bentuk stensilan," katanya..
Namun ketika surat kabar dari Pulau Jawa mulai merambah Sulut, akhirnya secara perlahan-lahan Lensa Utara kalah bersaing. "Kemudian saya hijrah ke Cirebon dan Jakarta bergabung dengan Harian Berita Republik dan Berita Tunggal," katanya.
Ketika itu bersama HB Jasin dan Iwan Simatupang dia pernah dipenjara selama satu tahun karena tulisan tidak senangi oleh pemerintah pada waktu itu. "Waktu itu saya hanya pasrah saja, namun keinginan untuk menulis tetap kuat," ungkapnya.
Pengalaman paling berkesan bagi Spego Goni selama menjadi wartawan adalah ketika dia mengikuti rombongan Menkohankam AH Nasution pada tahun 1965 saat melawat ke negara Eropa Timur, yaitu Jerman Timur, Yugoslavia dan Polandia selama satu minggu untuk melihat berbagai kemajuan di negara tersebut. Sekembali dari Eropa Timur dia justru dicurigai berorientasi komunis. Namun pada waktu dia menjabat Sekretaris Umum Liga Demokrasi, kecurigaan itu terbantahkan.
Menurut suami dari Juliana Lapian itu, perkembang pers dewasa ini sangat maju. Siapa saja yang punya modal bisa menerbitkan koran, majalah, mendirikan stasiun radion atau televisi. Sangat berbeda dengan masanya dulu. Pun dengan menjadi wartawan di zaman Spego Goni harus mengikuti tes dari PWI yang sangat ketat. Untuk menjabat pemimpin redaksi harus lulus penataran P4 dan penataran kewaspadaan nasional. "Saat ini siapa pun bisa menjadi wartawan, yang tidak bisa menulis juga jadi wartawan sehingga kualitas wartawan semakin menurun," kata pria kelahiran Tomohon, 10 Desember 1931 tersebut.
Itulah sebabnya Goni sangat setuju dengan adanya uji kompetesi wartawan yang dilakukan Dewan Pers untuk meningkatkan kualitas wartawan serta karya jurnalistik mereka. Menurutnya wartawan merupakan profesi yang mulia jika berada di jalur yang benar. "Julukan wartawan Ratu dunia adalah benar. Profesi ini harus dimanfaatkan sepositif mungkin, jangan sembarangan," tuturnya. (herviansyah)
Sumber: Tribun Manado 10 Februari 2013 hal 1
Artikel terkait DI SINI