Ben Wowor Dikira Dokter Pribadi Soekarno

Ben Wowor rayakan hut ke-91
BANYAK wartawan yang menjadi tokoh perjuangan.  Itulah potret wartawan zaman perjuangan sejak Sumpah Pemuda hingga Proklamasi Kemerdekaan yang direkam Ben Wowor, sejarawan dan wartawan senior Sulawesi Utara (Sulut). Di usianya yang telah menginjak 91 tahun, mantan Pimpinan SK Bulletin Merdeka Manado tersebut masih mempunyai ingatan kuat tentang masa lalu dan analisa yang tajam tentang masa kini dan nanti.

Ben yang dijumpai Tribun Manado di kediamannya di Lingkungan Empat Kelurahan Paal IV  Manado  menyatakan, para tokoh seperti Muhammad Yamin dan Sukarno belajar jurnalistik sembari berpolitik. Bekal pengetahuan jurnalistik membuat para tokoh nasional itu mudah menuangkan ide melalui tulisan. "Sukarno itu pintar nulis, ia bisa menulis Indonesia Menggugat," kata Ben Wowor, Minggu (10/2/2013).

Ben yang lahir pada 8 Januari 1922  menyatakan, pers saat itu menjadi alat perjuangan mencapai kemerdekaan bangsa Indonesia. Para wartawan adalah penyeru zaman. Akan hal ini, Belanda tidak tinggal diam.  Sebutan merdeka, negara ataupun Merah Putih haram diucapkan, apalagi dituliskan. Para wartawan dan politisi kala itu harus bersiasat.

Lahirnya Sumpah Pemuda 1928, ujar Ben Wowor,  merupakan jerih payah para wartawan dalam menghadapi tekanan kolonial itu.  Berkali-kali gagal berkongres, para pemuda yang cerdik ini menemukan sebuah cara dan berhasil. "Waktu itu seorang anggota PNI dan pengacara muda yakni Mr Sunario berhasil memperoleh izin kepala PID (Politieke Inlichtingen Dienst)," ujarnya. Ben menyebut OH Pantouw, wartawan asal Manado yang punya andil besar dalam tercetusnya Sumpah Pemuda yang bersejarah itu.

Pantouw dalam kongres pemuda II tanggal 28 Oktober 1928 membawakan satu dari tiga makalah yaitu "Satu bahasa ialah bahasa Indonesia". Pantouw yang akrab dipanggil Ingka  awalnya membandingkan pemakaian bahasa di berbagai negara seperti di Swiss ada tiga bahasa dan Belgia ada dua bahasa.
Ben Wowor

Dari situ muncul pemikiran, jika saja bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa menggunakan satu bahasa yang sama, itulah jalan terpendek menuju pembebasan.  Pemikirannya ini menjadi satu butir dari Sumpah Pemuda. Selain Pantouw, banyak putra Kawanua yang berkiprah jadi wartawan pada masa itu.
Ben  ingat sejumlah nama antaranya GE Dauhan, Max Tumbel, Jan Sariowan, Kres Pontoh, John Rahasia dan lainnya. "Kres Pontoh bahkan sempat masuk penjara," kata Ben. Tak hanya dalam aras nasional, para wartawan asal Kawanua itu berperan penting dalam perjuangan di daerahnya.

Tak banyak yang tahu jika aktor dalam peristiwa merah putih 14 Februari adalah para wartawan. "Yang merancang semua itu adalah para wartawan," katanya.  Lepas dari kemerdekaan, bangsa Indonesia melewati beberapa era, sebelum akhirnya Presiden Soekarno mengukuhkan Demokrasi Terpimpin.

Pada masa itu seluruh komponen bangsa terhisap dalam pusaran revolusi, yang gampang menuding yang berbeda  pandangan sebagai kontra revolusi. Tak terkecuali kalangan pers.  Isi produk jurnalistik di zaman itu harus sejalan dengan revolusi. Yang coba memuat ide lain akan dicap nekolim atau kontra revolusi.

Saat itulah, Ben bertemu dengan salah seorang pendiri Harian  Kompas yaitu Petrus Kanisius Ojong. Terhadap Ojong yang waktu itu masih menulis di Star Weekly, Ben punya kesan sendiri.  "Ia sangat tekun dan pekerja keras, meski banyak tantangan ia tetap teguh," ujarnya. Orde Lama  tumbang, kekuasaan baru segera menggantikannya. Sayangnya demokrasi belum juga terwujud dan insan pers paling pahit pergumulannya.  "Ada Kopkamtib yang mengatur segalanya mulai dari eksekutif, legislatif serta yudikatif," tuturnya.

Bagi Ben sendiri, kemampuan jurnalistik yang dimilikinya sangat membantu tugasnya sebagai Koordinator Penerangan Pada Penguasa perang Daerah Sulawesi Utara/Tengah dari tahun 1958-1961.  "Saya pernah mengikuti Akademi Pers di Ujung Pandang (kini Makassar)  dari tahun 1955-1958," bebernya.

Jurnalistik dalam hal ini bukan hanya kehebatan menulis, tapi juga kedekatan dengan nara sumber. "Saya waktu itu punya akses dengan pejabat," sebutnya.
Ia ingat ketika Presiden Soekarno mengunjungi Manado untuk kedua kalinya pada tanggal 30 Januari 1953.  Sebagai koordinator penerangan, Ben berperan sebagai pengumpul massa.  Pada hari H, massa dari berbagai penjuru telah memadati lapangan Tikala sejak pagi. Soekarno naik podium, juga Ben.  Sewaktu Soekarno pidato berapi-api, orang yang berdiri di sampingnya adalah Ben. Sampai-sampai ia dikira dokter pribadi Bung Karno. "Ada yang mengira saya sebagai dokter pribadi Soekarno," katanya sambil tertawa.

Begitu pensiun dari Deppen RI, Ben tak lantas lupa dengan jurnalistik. Ia justru semakin keranjingan menulis. Ia menulis tentang sejarah.  Salah satu buku karangannya yaitu Sulawesi Utara Bergolak, ia tunjukkan kepada Tribun Manado pada pertemuan siang itu.

Pada halaman terakhir, tertulis sebaris puisi karya Chairil Anwar berjudul Krawang Bekasi. Pandangan Tribun Manado tertumbuk pada kata di bait keempat puisi yang lirih itu. Kami cuma tulang-tulang berserakan tapi adalah kepunyaanmu, Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan. "Di era kebebasan pers saat ini wartawan harus mematuhi kode etik," pesan Ben Wowor. (arthur rompis)

Sumber: Tribun Manado 11 Februari 2013 hal 1


Semua tentang KAWANUA
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes