Menangkap Suara-suara di Dili

Bersama Ramos Horta di depan kantornya di Dili (2009)
  Saya tiba-tiba membayangkan wajah Timor Leste dalam kurun waktu lima belas atau dua puluh tahun yang akan datang.Bukan mustahil mereka amat lekas maju dan jauh meninggalkan Indonesia yang pernah bersamanya selama 23 tahun.

DIRIKU  larut dan menikmati hiruk-pikuk serta kemeriahan pesta rakyat Timor Leste merayakan HUT ke-7 restorasi kemerdekaan. Hari Rabu tanggal 20 Mei 2009 rakyat Timor Leste khususnya warga Kota Dili tumpah ruah di sepanjang pantai ibu kota negeri itu,  sambung-menyambung mulai dari kawasan Pantai Kelapa di barat  Dili hingga Pantai Pasir Putih.

Pesta rakyat berlangsung hingga Rabu larut malam. Sebagian orang bahkan baru pulang ke rumah  Kamis dinihari 21 Mei 2009. Beragam permainan dan atraksi mereka gelar di pantai tersebut. Atraksi tradisional hingga kontemporer. Ada United Nations (UN) Police, ada PNTL (Polisi Nasional Timor Leste). Tetapi mereka tidak menebarkan wajah seram. Mereka cuma mengawal pesta rakyat. Bahkan berbaur.
Ah, saya sungguh merasa seperti di kampung sendiri, di Timor Barat, Indonesia.

Sekilas kesan menyeruak,  Republik Demokratik Timor Leste di bawah kepemimpinan Perdana Menteri (PM), Xanana Gusmao sudah jauh lebih baik dibandingkan masa lalu. Lebih baik dari sisi rasa nyaman dan aman. Tidak lagi terbelenggu dengan  kontak senjata yang menebarkan ketakutan setiap saat.

Saya pernah merasakan suasana mencekam itu tatkala melakukan liputan jurnalistik keliling Timor Leste tahun 1997 atau dua tahun sebelum referendum untuk menentukan nasib sendiri. Rakyat Timor Leste kini tentu boleh berbangga dengan pemimpin kharismatik itu karena Xanana memberikan kedamaian.
Kemacetan lalu lintas di Dili

Di antara keramaian di kawasan Lecidere Rabu malam itu, perbincangan sekelompok pria dan wanita menarik perhatianku. Mereka bercakap dalam bahasa Tetun diselingi bahasa Indonesia. Saya mengerti alurnya. Saya tangkap makna kontekstualnya. Mereka berdiskusi tentang kondisi politik terkini di Indonesia. Tentang hasil pemilu legislatif 9 April 2009 dan terutama isu panas mengenai calon presiden dan wakil presiden Republik Indonesia yang berkompetisi pada 8 Juli 2009.

Saya menikmati diskusi informal ala warung kopi itu sebagai pendengar sambil menikmati tarian Tebe Tebe, alunan musik dan lagu Timor. Mereka membahas tentang figur Prabowo Subianto, Wiranto, Megawati Soekarnoputri, Jusuf Kalla, Boediono dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Luar biasa! Analisis mereka tak kalah mendalam dibandingkan pandangan pakar politik Indonesia yang hampir saban malam hadir di televisi.

Sekilas kesan yang kutangkap dari diskusi "pinggir jalan" itu nama Prabowo paling populer di Timor Leste disusul Wiranto dan Megawati Soekarnoputri. Berkali-kali mereka menyebut nama Prabowo dan Wiranto. Maklumlah dua mantan pejabat tinggi TNI tersebut pernah bersentuhan langsung dengan rakyat Timor Leste ketika masih menjadi Provinsi ke-27 Indonesia (1976-1999). Tetapi yang mengejutkan adalah mereka menilai SBY lebih baik dan paling berpeluang terpilih kembali sebagai Presiden RI. "Di antara tiga calon presiden RI, tidak ada tokoh yang lebih berpengaruh dan populer daripada SBY," kata salah seorang dari mereka.

Pengibaran bendera Timor Leste
SBY dinilai lebih berani dibanding presiden RI terdahulu dalam memberantas kasus korupsi. SBY lebih akomodatif terhadap pemerintahan Timor Leste dan Australia, SBY juga dianggap lebih populer di mata rakyat yang dibuktikan lewat kemenangan Partai Demokrat pada pemilu legislatif 2009. Salah seorang peserta diskusi mengatakan, pesaing kuat SBY adalah pasangan Jusuf Kalla-Wiranto, bukan Mega-Prabowo. Terbukti pada Pilres 8 Juli 2009, pasangan SBY-Budiono meraih suara mayoritas. SBY memimpin Indonesia untuk periode kedua.

Tapi setidaknya analisis itu sungguh menggugah saya untuk menelusuri lebih jauh mengapa warga Dili terlihat begitu "paham" tentang konstelasi politik Indonesia? Tak butuh waktu lama untuk mendapatkan jawaban. Program acara dari saluran televisi Indonesia merupakan menu harian hampir setiap rumah tangga di Dili. Demikian pula dengan bar, restoran dan hotel. Jadi warga Timor Leste mengikuti dengan baik semua perkembangan yang terjadi di tanah air kita.

Seperti kecelakaan pesawat Hercules di Magetan pada tanggal 20 Mei 2009 itu, saya justru mendengar pertama kali informasi itu dari warga Dili yang menonton parade pasukan usai upacara bendera memperingati HUT ke-7 Timor Leste di halaman depan Kantor Perdana Menteri (Palacio do Governo) Dili. "Ada pesawat jatuh di Magetan, barusan saya lihat breaking news di Metro TV," kata warga Dili tersebut yang mengaku lulusan Universitas Brawijaya Malang.

Joao, kawan saya yang bekerja di sebuah LSM internasional di Dili bahkan bercerita bahwa putrinya yang duduk di kelas 4 SD sudah fasih bicara bahasa Indonesia dengan dialek Jakarta. "Bung tahu dia belajar di mana? Saya tidak pernah ajarkan dia Bahasa Indonesia di rumah karena saya dan istri pakai bahasa ibu kami, Tetun. Anakku bisa bahasa Indonesia karena tiap hari nonton televisi Indonesia. Dia nonton acara untuk anak-anak, nonton sinetron dan lain-lain," kata Joao yang menyelesaikan studi S1-nya di Universitas Katolik Atmajaya Yogyakarta.

Meskipun telah satu dasawarsa lebih berpisah dengan Indonesia (sejak referendum 1999), warna Indonesia masih kuat melekat di bumi Timor Lorosae. Bahasa resmi negara baru itu adalah Portugis dan Tetun, tetapi "bahasa bisnis dan bahasa kerja" sehari-hari adalah Bahasa Indonesia dan Inggris.  Berada di Dili Anda serasa berada di negeri sendiri.

Perbatasan Motaain
Tata upacara bendera, misalnya,  sungguh kental warna Indonesia. Petugas pengibar bendera (semacam paskibraka = pasukan pengibar bendera pusaka di Indonesia) persis sama warna seragam dan komposisi grup pengibar bendera nasional. Yang berbeda cuma lambang dan atribut yang melekat pada busana mereka.

Bahkan di daerah pelosok Timor Leste, murid sekolah dasar, SLTP dan SLTA masih mengenakan seragam warisan Indonesia, paduan Putih Merah, Putih Biru dan Putih Abu-abu. Bahasa pengantar di sekolah pun sebagian masih  menggunakan Bahasa Indonesia.  Yang berubah adalah papan nama tempat sudah dialihkan ke Bahasa Portugis dan Tetun. Dan, mereka menggunakan uang dolar Amerika Serikat (US Dollar).

Satu lagi yang berubah drastis sekarang, arus lalulintas Kota Dili yang tidak seberapa luas itu tersendat-sendat pada pukul 07.00 pagi saat orang berangkat kerja atau ke sekolah dan pukul 17.00 saat mereka pulang. Pertambahan jumlah mobil meningkat amat lekas di negara baru itu. Orang Dili  secara parodial melukiskan demikian, "Kami  orang Dili bisa saja tidak punya rumah, tapi mobil pasti ada."

Bangun Desa Perbatasan
Denyut perekonomian memang mulai bertumbuh di Timor Leste! Di jalan-jalan berseliweran mobil berbagai merk buatan mancanegara. Dari beberapa sumber saya mendapat informasi bahwa mobil-mobil itu berasal dari Singapura dan Australia. Pemerintahan Xanana konon membuka kran impor relokasi mobil dari kedua negara tersebut. Tentu saja harga jualnya menjadi lebih murah, sehingga terjangkau kantong  warga Timor Leste.

Kehidupan malam di Dili, ibu kota Timor Leste pun sudah lebih marak. Restoran dan cafe tumbuh bak jamur di musim hujan. Melayani konsumen hingga larut malam.  Pertokoan dan pasar-pasar menggeliat. Kehidupan di Dili sudah berjalan jauh lebih produktif dibanding masa-masa konflik beberapa tahun lalu. Mudah menemukan remaja Kota Dili memakai hot pants atau busana yang selalu mengikuti trend dunia mode. Selain Tetun, mereka juga fasih  berbahasa Inggris.

Dili berubah. Negara baru  Timor Leste penuh semangat mengisi kemerdekaan. Itulah suara-suara yang saya tangkap di Dili. Tidak lengkap memang karena perjalanan jurnalistik saya  hanya beberapa saat. Tetapi  setidaknya menangkap apa yang sedang direncanakan pemerintah negara tersebut untuk membangun negerinya.

Ketika meliput pertemuan antara Wakil Gubernur NTT Ir. Esthon L Foenay, M.Si dengan PM  Xanana Gusmao, Presiden Ramos Horta serta sejumlah menteri  di sela-sela peringatan kemerdekaan Timor Leste kala itu, saya menangkap  gairah yang bergelora dari para pemimpin negeri itu untuk segera mengeluarkan Timor Leste sebagai negara termiskin di Asia.

Satu hal yang menghentak adalah cara pandang pemerintahan Xanana tentang dari mana harus mulai membangun. Xanana ternyata ingin membangun mulai dari desa dan sasaran pertama justru desa-desa di perbatasan dengan wilayah Indonesia. Dan, itu berarti pemerintahan Xanana Gusmao akan membangun daerah tapas batas dengan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), baik yang berbatasan dengan Kabupaten Belu, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) dan Kabupaten Kupang.

Sebagai orang yang lama bersinggungan dengan Indonesia, rencana pemerintahan Xanana bukan hal baru. Selama puluhan tahun tekad pemerintah Indonesia pun sama yaitu bangun bangsa mulai dari desa. Persoalannya itu sebatas jargon pemanis di bibir,  tidak membumi pada level eksekusi. Terdapat jurang pemisah yang amat lebar antara desa dan kota di Indonesia. Desa selalu terpinggirkan karena hampir semua sumber daya terbaik tersedot ke daerah perkotaaan.

Selain desa termarjinalkan, fokus pembangunan Indonesia selama puluhan tahun justru melupakan wilayah perbatasan dengan negara tetangga, seperti daerah tapal batas dengan Malaysia, Australia, Filipina, Singapura dan Papua Nugini. Baru dalam tahun-tahun belakangan ini kesadaran itu muncul bahwa tapal batas sesungguhnya merupakan beranda terdepan NKRI, pintu masuk, teras rumah Indonesia.

Lucu dan menyakitkan manakala orang masuk ke Indonesia melihat beranda rumah berlepotan, miskin dan tertinggal.  Maka lahirlah apa yang disebut pulau-pulau terdepan NKRI. Pemerintah Indonesia mengubah paradigma, perbatasan mesti dibangun dengan lebih fokus dan ofensif.

Saya menduga pemerintahan Xanana coba belajar dari kegagalan Indonesia. Xanana fokus membangun daerah perbatasan sebagai halaman depan Timor Leste. Sebagai negara yang baru, memang masih banyak kekurangan Timor Leste dibandingkan dengan Indonesia. Namun, geliat membangun perbatasan sudah terlihat setidaknya antara perbatasan antara Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia dengan Distrik Oekusi, Timor Leste.

Surat kabar tempat saya mengabdi, Harian Pos Kupang sudah berulang kali memberitakan betapa  Distrik Oekusi, Republik Demokratik Timor Leste (RDTL) yang berbatasan langsung dengan Kabupaten TTU memiliki infrastruktur dasar yang lebih baik. Sebut misalnya infrastruktur air minum dan listrik.

Jika malam tiba,  warga desa-desa  perbatasan TTU kembali ke peraduannya guna melepas lelah setelah seharian bekerja di ladang. Mereka menikmati malam hanya bermodalkan lampu pelita yang redup. Sementara desa tetangga yang hanya selemparan batu di Distrik Oekusi, listrik terang-benderang. Warganya bisa menonton televisi, mendengarkan radio. Anak-anak mereka bisa belajar dengan penerangan yang memadai.  Miris memang! Toh ketika masih bergabung dengan Indonesia nasib mereka sama yaitu tidur malam berselimutkan kegelapan.

Begitulah  suara-suara yang kurekam sejenak di Dili. Negara baru dengan populasi penduduk belum menembus angka 1 juta tersebut terus berbenah guna mengejar ketertinggalannya dalam berbagai bidang kehidupan. Saya tiba-tiba membayangkan wajah Timor Leste dalam kurun waktu lima belas atau dua puluh tahun yang akan datang.Bukan mustahil mereka amat lekas maju dan jauh meninggalkan Indonesia yang pernah bersamanya selama 23 tahun.*

Sumber:  Buku Bunga Rampai Hari Pers Nasional 2014: Dari Gampong Pande hingga UU Otsus Plus Papua halaman 97. Buku yang disunting Usman Yatim ini diterbitkan Panitia Hari Pers Nasional (HPN) 2014 dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat.  Buku ini diluncurkan pada puncak HPN 2014  di Bengkulu yang antara lain dihadiri Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dan Ibu Negara Ani Yudhoyono.


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes