Secarik Rekomendasi yang Menggurat Riwayat
Oleh GERSON POYK
SEBUAH tulisan kenangan adalah alat pendidikan bagi pembaca terutama yang muda-muda. Kepergian wartawan Kompas, Valens Doi misalnya yang mendapat publisitas lumayan di media televisi maupun di koran, merupakan sugesti edukatif karena dipaparkan bagaimana kegiatan almarhum tak kenal waktu sebagai wartawan olahraga dan aktivitasnya mengembangkan koran-koran daerah dengan modal yang diperoleh dari Harian Kompas. Begitulah. Kenangan kecil ini barangkali ada gunanya buat pembaca.
Di tahun 1972, sekembalinya dari menikmati grant yang lumayan dari International Creative Writing Program di Universitas Iowa di AS, saya kembali ke Indonesia. Miskin keparat lagi seperti semula sejak saya keluar dari Sinar Harapan. Ketika jendela pesawat terbuka, saya berseru dalam hati, "Siap! Penderitaan dimulai lagi!"
Maka saya mengontrak kamar di sebuah gang sempit di pinggir By Pass. (persisnya di Polonia, di depan Penas). Kamarnya sempit, berdinding gedek, bertempelan koran dan bagian bawahnya sudah lapuk sehingga tikus bisa belarian keluar masuk. Jendelanya cukup besar terbuat dari kawat kandang ayam. Di kamar itu saya mengetik siang dan malam. `Tik-tik-tik' sampai pagi.
Ketika saya meminta maaf pada tetangga yang punya bayi, syukurlah mereka mengatakan bawa sang bayi nyenyak tertidur mendengar `musik' mesin tik saya. Sebaliknya dari tetangga sebelah saya mendengar denting-denting gelas susu ketika sang ibu memutar sendok.
Tidak banyak teman yang tahu sarang saya yang melahirkan beberapa novel, novela, cerpen dan sebagainya. Selain bertetangga dengan Julius yang jarang ke kamar saya, hanya seorang mantan murid saya di SGA Negeri Ternate, seorang oknum AURI pelatih terjun payung asal Timor yang menjadi teman minum sekaligus pengawal saya di Jatinegara dan seorang Inggris bernama Anthony Goldstone, anak industrialis besar Inggris yang menjadi wartawan yang suka berkeliling dunia dengan gaya kere.
(Menjelang Timor Timor merdeka, ia muncul di Dili, bertemu Peter Rohi dan bertanya tentang nasib kawan kere benarannya. Anthony mengunjungi Dili sebagai Sekjen Amnesty International).
Tiba-tiba pada suatu hari datang Julius Siyaranamual bersama seorang teman sebaya. "Ini teman saya, Valens Doi, teman sekolah saya di SMA Katolik di Ende, Flores." Julius meminta tanda tangan saya di atas konsep rekomendasi yang mereka buat untuk melamar kerja sebagai wartawan di Kompas. Lama saya tercenung, ingin menolak permintaan Julius karena saya tak kenal Valens tetapi kepercayaan saya kepada Julius Siyaranamual terlalu besar.
Dalam hati, walaupun tidak pasti, apa yang dikatakan Julius bahwa kawannya itu bisa menulis, bisa diterima, apalagi kawan Julius itu lulusan pendidikan sebuah SMA Katolik. Ini pengalaman kedua perkara menandatangani rekomendasi. Pertama, ketika Frans Harahap teman kos di Surabaya menyuruh menandatangani surat keterangan yang mengatakan bahwa ijazah SMA-nya hangus di rumahnya yang dilalap api. Saya tercenung, tetapi mengingat dialah yang mengajak saya untuk pertama kalinya mengarang seperti dia, maka saya pun meneken surat keterangan itu. Benar, dia mendapat penghargaan sebagai wartawan Sinar Harapan.
Walaupun demikian, saya tetap berdebar-debar apalagi ketika dengar bahwa dia diterima sebagai wartawan budaya. Bosnya, Alfons Taryadi, redaktur budaya ketika itu, mungkin karena rekomendasi dari seorang sastrawan, menyuruh dia meliput kegiatan seni dan tingkah-polah para seniman di TlM. Saya makin berdebar. Jacob Utama akan bilang apa kalau Valens tak mampu menjadi wartawan budaya ukuran Kompas.
Biasanya kalau seorang wartawan berpos di Istana, maka dia kenal dengan para menteri dan presiden. Bila dia wartawan ABRI, maka dia kenal dengan para jenderal. Menjadi wartawan press release sudah cukup keren. Dengan tape recorder laporan dan berita bisa mulus, aman tetapi dengan `jenderal seni-budaya' diperlukan pengetahuan mengenai filsafat dan sejarah kesenian di samping pengetahuan umum yang luas. Saya berdoa semoga Valens mampu.
Ketika bertemu, dia jujur. "Saya dipindahkan ke olahraga. Menjadi wartawan olahraga, karena Alfons Taryadi tidak puas dengan tulisan-tulisan saya," katanya kurang lebih.
Lama saya tidak jumpa dengannya. Pertemuan terakhir ketika saya meliput Timor Portugis sebelum dimasuki Indonesia. Ia mengatakan bahwa ia dikejar-kejar karena menulis tentang korupsi di perbatasan. Saya ikut kuatir. Setelah itu saya lupakan dia bertahun-tahun.
Pada suatu hari ketika sedang `berolahraga cangkul' di sepetak tanah terlantar yang saya jadikan kebun singkong, Valens dan Damianus Godho muncul. Mereka meminta untuk memajang nama sebagai redaktur khusus di Pos Kupang yang akan dibiayai Kompas. Harmoko mengeluarkan SIUPP dan Pos Kupang pun terbit. Tercantum nama Julius Siyaranamual dan nama saya. Setelah itu hanya satu kali saya bertemu Valens ketika saya jalan kaki ke Kompas mengambil honor. Dia mengajak saya naik jip besarnya ke sebuah restoran.
Ketika tinggal di Kupang selama 8 bulan (1997-1998) Valens tidak tampak. Ada yang mengatakan bahwa dia mendirikan koran di Australia. Walaupun demikian saya menikmati honor dari Pos Kupang Rp 25.000 setiap tulisan. Inisiatif Valens mendirikan Pos Kupang menyebabkan saya berkesempatan berjumpa dengan pembaca di daerah kelahiran saya. Beberapa tulisan opini mendapat sambutan baik lewat artikel tanggapan, antara lain dari Romo Leo Kleden SVD yang ketika itu menjadi dosen di Seminari Hokeng.
Bulan Juli tahun 2004, ketika saya berkeliling Flores untuk pembuatan film dokumenter kehidupan sastrawan Indonesia asal NTT, saya mampir di perpustakaan Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Ledakro, menanyakan Romo Leo Kleden tetapi diperoleh kabar bahwa beliau telah pindah ke Roma menjadi pembesar SVD. Saya bangga, ada putra NTT yang menjadi pembesar dunia.
Mobil yang meluncur ke arah Ruteng berhenti di padang sabana Aireka (?) yang luas di kawasan Boawae. Di sela-sela syuting saya bertanya kepada orang yang menonton apakah mereka mengenal Valens Doi. "Ya, Valens Doi, wartawan. Dia anak Boawae."
Ketika kembali ke Jakarta, saya mendapat khabar teman kelasnya di SMA Ende, Julius Siyaranarmual telah lama kena stroke. Adik Julius mengatakan bahwa Pos Kupang ikut membantu pengobatan. Dengan demikian Valens secara tak langsung membantu kawannya yang sakit.
Kini dia telah tiada, tetapi di kamar kerja saya setiap kali melirik ke Tropy Adinegoro, saya melihat namanya terukir bersama nama pemenang hadiah jurnalistik bergengsi itu. Ia memperolehnya di tahun 1983 (?). n
Sumber http://www.sinarharapan.co.id/berita/0505/21/jab04.html
Oleh GERSON POYK
SEBUAH tulisan kenangan adalah alat pendidikan bagi pembaca terutama yang muda-muda. Kepergian wartawan Kompas, Valens Doi misalnya yang mendapat publisitas lumayan di media televisi maupun di koran, merupakan sugesti edukatif karena dipaparkan bagaimana kegiatan almarhum tak kenal waktu sebagai wartawan olahraga dan aktivitasnya mengembangkan koran-koran daerah dengan modal yang diperoleh dari Harian Kompas. Begitulah. Kenangan kecil ini barangkali ada gunanya buat pembaca.
Di tahun 1972, sekembalinya dari menikmati grant yang lumayan dari International Creative Writing Program di Universitas Iowa di AS, saya kembali ke Indonesia. Miskin keparat lagi seperti semula sejak saya keluar dari Sinar Harapan. Ketika jendela pesawat terbuka, saya berseru dalam hati, "Siap! Penderitaan dimulai lagi!"
Maka saya mengontrak kamar di sebuah gang sempit di pinggir By Pass. (persisnya di Polonia, di depan Penas). Kamarnya sempit, berdinding gedek, bertempelan koran dan bagian bawahnya sudah lapuk sehingga tikus bisa belarian keluar masuk. Jendelanya cukup besar terbuat dari kawat kandang ayam. Di kamar itu saya mengetik siang dan malam. `Tik-tik-tik' sampai pagi.
Ketika saya meminta maaf pada tetangga yang punya bayi, syukurlah mereka mengatakan bawa sang bayi nyenyak tertidur mendengar `musik' mesin tik saya. Sebaliknya dari tetangga sebelah saya mendengar denting-denting gelas susu ketika sang ibu memutar sendok.
Tidak banyak teman yang tahu sarang saya yang melahirkan beberapa novel, novela, cerpen dan sebagainya. Selain bertetangga dengan Julius yang jarang ke kamar saya, hanya seorang mantan murid saya di SGA Negeri Ternate, seorang oknum AURI pelatih terjun payung asal Timor yang menjadi teman minum sekaligus pengawal saya di Jatinegara dan seorang Inggris bernama Anthony Goldstone, anak industrialis besar Inggris yang menjadi wartawan yang suka berkeliling dunia dengan gaya kere.
(Menjelang Timor Timor merdeka, ia muncul di Dili, bertemu Peter Rohi dan bertanya tentang nasib kawan kere benarannya. Anthony mengunjungi Dili sebagai Sekjen Amnesty International).
Tiba-tiba pada suatu hari datang Julius Siyaranamual bersama seorang teman sebaya. "Ini teman saya, Valens Doi, teman sekolah saya di SMA Katolik di Ende, Flores." Julius meminta tanda tangan saya di atas konsep rekomendasi yang mereka buat untuk melamar kerja sebagai wartawan di Kompas. Lama saya tercenung, ingin menolak permintaan Julius karena saya tak kenal Valens tetapi kepercayaan saya kepada Julius Siyaranamual terlalu besar.
Dalam hati, walaupun tidak pasti, apa yang dikatakan Julius bahwa kawannya itu bisa menulis, bisa diterima, apalagi kawan Julius itu lulusan pendidikan sebuah SMA Katolik. Ini pengalaman kedua perkara menandatangani rekomendasi. Pertama, ketika Frans Harahap teman kos di Surabaya menyuruh menandatangani surat keterangan yang mengatakan bahwa ijazah SMA-nya hangus di rumahnya yang dilalap api. Saya tercenung, tetapi mengingat dialah yang mengajak saya untuk pertama kalinya mengarang seperti dia, maka saya pun meneken surat keterangan itu. Benar, dia mendapat penghargaan sebagai wartawan Sinar Harapan.
Walaupun demikian, saya tetap berdebar-debar apalagi ketika dengar bahwa dia diterima sebagai wartawan budaya. Bosnya, Alfons Taryadi, redaktur budaya ketika itu, mungkin karena rekomendasi dari seorang sastrawan, menyuruh dia meliput kegiatan seni dan tingkah-polah para seniman di TlM. Saya makin berdebar. Jacob Utama akan bilang apa kalau Valens tak mampu menjadi wartawan budaya ukuran Kompas.
Biasanya kalau seorang wartawan berpos di Istana, maka dia kenal dengan para menteri dan presiden. Bila dia wartawan ABRI, maka dia kenal dengan para jenderal. Menjadi wartawan press release sudah cukup keren. Dengan tape recorder laporan dan berita bisa mulus, aman tetapi dengan `jenderal seni-budaya' diperlukan pengetahuan mengenai filsafat dan sejarah kesenian di samping pengetahuan umum yang luas. Saya berdoa semoga Valens mampu.
Ketika bertemu, dia jujur. "Saya dipindahkan ke olahraga. Menjadi wartawan olahraga, karena Alfons Taryadi tidak puas dengan tulisan-tulisan saya," katanya kurang lebih.
Lama saya tidak jumpa dengannya. Pertemuan terakhir ketika saya meliput Timor Portugis sebelum dimasuki Indonesia. Ia mengatakan bahwa ia dikejar-kejar karena menulis tentang korupsi di perbatasan. Saya ikut kuatir. Setelah itu saya lupakan dia bertahun-tahun.
Pada suatu hari ketika sedang `berolahraga cangkul' di sepetak tanah terlantar yang saya jadikan kebun singkong, Valens dan Damianus Godho muncul. Mereka meminta untuk memajang nama sebagai redaktur khusus di Pos Kupang yang akan dibiayai Kompas. Harmoko mengeluarkan SIUPP dan Pos Kupang pun terbit. Tercantum nama Julius Siyaranamual dan nama saya. Setelah itu hanya satu kali saya bertemu Valens ketika saya jalan kaki ke Kompas mengambil honor. Dia mengajak saya naik jip besarnya ke sebuah restoran.
Ketika tinggal di Kupang selama 8 bulan (1997-1998) Valens tidak tampak. Ada yang mengatakan bahwa dia mendirikan koran di Australia. Walaupun demikian saya menikmati honor dari Pos Kupang Rp 25.000 setiap tulisan. Inisiatif Valens mendirikan Pos Kupang menyebabkan saya berkesempatan berjumpa dengan pembaca di daerah kelahiran saya. Beberapa tulisan opini mendapat sambutan baik lewat artikel tanggapan, antara lain dari Romo Leo Kleden SVD yang ketika itu menjadi dosen di Seminari Hokeng.
Bulan Juli tahun 2004, ketika saya berkeliling Flores untuk pembuatan film dokumenter kehidupan sastrawan Indonesia asal NTT, saya mampir di perpustakaan Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Ledakro, menanyakan Romo Leo Kleden tetapi diperoleh kabar bahwa beliau telah pindah ke Roma menjadi pembesar SVD. Saya bangga, ada putra NTT yang menjadi pembesar dunia.
Mobil yang meluncur ke arah Ruteng berhenti di padang sabana Aireka (?) yang luas di kawasan Boawae. Di sela-sela syuting saya bertanya kepada orang yang menonton apakah mereka mengenal Valens Doi. "Ya, Valens Doi, wartawan. Dia anak Boawae."
Ketika kembali ke Jakarta, saya mendapat khabar teman kelasnya di SMA Ende, Julius Siyaranarmual telah lama kena stroke. Adik Julius mengatakan bahwa Pos Kupang ikut membantu pengobatan. Dengan demikian Valens secara tak langsung membantu kawannya yang sakit.
Kini dia telah tiada, tetapi di kamar kerja saya setiap kali melirik ke Tropy Adinegoro, saya melihat namanya terukir bersama nama pemenang hadiah jurnalistik bergengsi itu. Ia memperolehnya di tahun 1983 (?). n
Sumber http://www.sinarharapan.co.id/berita/0505/21/jab04.html