Oleh Jacobus Embu Lato
VALENS Goa Doy tidak bisa dikubur bersama cinta, kata-kata dan karyanya. Sebagai substansi otonom, semua kompleksitas kekayaan cinta, kata-kata dan karyanya tetap hidup, tumbuh dalam hati keluarganya, rekan-rekannya dan mantan karyawannya.
Orang-orang sekitarnya dengan kapasitas, kualitas dan atensi serta konsistensi pribadinya akan membiarkannya hidup abadi. Xanana Gusmao, kini Presiden Timor Leste, yang pernah menjadikannya mediator ketika massa pendukungnya terlibat konflik dengan militer Indonesia bisa menjadikan cinta, kata dan karya Valens untuk membimbing dan mengembangkan masyarakat dan negaranya yang kini didikte hampir total oleh masyarakat internasional.
Rekan-rekan yang masih setia berkutat di media menjadikannya inspirasi untuk mengembangkan betapa kerasulan inklusif bisa meretas polarisasi eksklusif masyarakat Indonesia akibat menguatnya potensi tribalisme dalam kehidupan politik Indonesia kini.
Berita kematiannya yang getir saya peroleh lewat SMS, ketika saya mencoba mengikuti jejaknya. Menyusun kata-kata. Ketika menyusun kata-kata ini untuk sekadar mengenang idealisme yang mengagumkan, cintanya yang mengembangkan manusia lain secara utuh dan karya-karyanya yang membuat namanya terpahat abadi, saya ingat kata-katanya, pada suatu Minggu senja awal Januari 1997 di Jakarta. "Kekristenan tidak pernah menempatkan karya-karya karikatif sebagai ekspresi diri, tetapi sebagai ekspresi cinta Allah. Karena itu kebijaksanaan tentang perbuatan kasih diungkapkan Injil secara ekstrim. Jika engkau memberi dengan tangan kanan, janganlah tangan kiri tahumu". Urainya sambil keluar dari mobil lalu masuk ke gereja.
Kata-kata itu mengganggu saya selama misa petang itu. Kata-katanya tetap hidup dalam jiwa saya. Kapan pun dan di mana pun. Potensi ini terjadi karena dia memberikan praksis dari kata-katanya sendiri. Suatu ketika, Mantan Wakil Pemimpin Umum Harian Surya, Surabaya itu mengajak kami sejumlah wartawan muda menghabiskan malam dengan menjalani jalan-jalan Surabaya setelah deadline yang melelahkan.
Keinginannya menyenangkan kami yang addicted dengan rokok, mendorong dia untuk membelikan rokok pada sejumlah tempat. Pembayaran selalu dilakukannya dengan uang Rp 50.000,00. Yang membuat saya yakin kutipan Injil yang disampaikannya kepada saya dalam mobil sebelum masuk gereja dipraktekkannya secara konsisten, adalah Valens tidak meminta uang kembalian harga rokok. Karena malam itu dia membeli lima bungkus rokok pada lima penjual yang berbeda, saya perhitungkan dia memberikan derma Rp 250.000,00 kepada para penjual rokok.
Adakah kata-katanya jatuh di atas tanah subur hati masyarakat NTT? Pada masa tuanya yang dijalani dengan sangat ketat, dia mencoba agar kata-katanya bisa meraih hati masyarakat NTT. Dia membangun Harian Pos Kupang di Kupang bersama Damyan Godho dan Rudolph Nggai, sambil mengembangkan Suara Timor bersama Salvador yang ketika itu anggota DPR dan MPR RI. Upaya itu pun dilakukannya juga di Flores dengan mendirikan Flores Pos. Saya tidak percaya Valens mengembangkan berbagai media demi bisnis.
Sebagai wartawan dengan reputasi nasional dan pengamat pasar modal, dia pasti tidak bersemangat menggandeng tangan SVD untuk mendirikan Flores Pos dan bermarkas di kabupaten dengan pendapatan kurang dari 150 dolar AS perkapita pertahun. Dia pun saya kira tidak terlampau bersemangat mendirikan Pos Kupang mengidealkan pendapatan besar dari investasi itu. Aspek lain yang justru ingin ditunjukkannya, dia mencintai masyarakat yang kerapkali rusuh setiap penerimaan tes pegawai negeri itu.
Saya ingat, dalam berbagai telepon pribadi pada penghujung 1992 untuk mengajakku bergabung dengan Pos Kupang yang didirikannya itu, dia selalu menegaskan, "Kita tidak bisa mengharapkan koran baru itu nanti seperti Surya. Jauh. Kita harus melakukan edukasi kepada masyarakat. Mereka harus mencintai media sebagai pembuka cakrawala berpikir mereka". Menghadapi kebingunan penulis yang ketika itu bekerja di harian Surya dan pengajar paruh waktu pada sebuah universitas kota itu yang ragu, dia pun melanjutkan,
"Kapan lagi kita bisa berbuat untuk kampung halaman kita sendiri, Kobus". Sapaannya, persis seperti ayah saya, mengganggu, membangkitkan keinginan saya untuk kembali ke NTT dan mengorbankan banyak hal dari kekurangan saya yang baru dua tahun memasuki dunia kerja.
Dari perspektif apa pun, Valens sangat mencintai NTT. Tokoh yang pada masa mudanya itu terpaksa merantai sepeda motornya agar tidak dicuri itu, rindu melihat NTT pantas diperhitungkannya seperti propinsi-propinsi lain. Dalam laporan perjalanannya ke NTT yang dipublikasikan oleh Kompas ketika dia masih menjadi redaktur olarahga Kompas, Januari 1985, dia mengekspresikan bernas-bernas cinta itu. Kerinduan itu dipadukan dalam gaya jurnalistik yang mampu menjuwil hati banyak pihak. Dan dia pun membuktikannya dengan membangun bisnis media di NTT. Dan seperti saya katakan di atas, bisnisnya lebih mengekspresikan bernas-bernas cinta kepada tanah kelahiran.
Adakah kaum muda NTT yang kini menikmati kekayaan informasi termasuk internet tahu bahwa para pendiri media NTT adalah para pionir sejati yang harus berjuang mengalahkan berbagai rasa takut, takut bahwa medianya tidak bisa terbit karena pengiriman kertasnya terlambat dan terlampau mahal karena diangkut dengan truk dari Surabaya, takut bahwa sedikit kelengahan menyebabkan dia diancam surat kaleng dengan nyawa taruhannya, takut bahwa medianya tidak terserap pasar, takut bahwa ketidakhati-hatian dan sedikit kelengahan menjebaknya dalam satu arus menyebabkannya dianggap menentukan keberpihakannya dan berdampak terhadap sirkulasi media yang dipimpinnya?
Sebagai wartawan muda, saya tidak bisa melupakan betapa pada suatu pagi yang cerah, Damyan Godho, Pemimpin Umum Pos Kupang diancam lewat surat kaleng untuk dikirimkan ke pekuburan Kapadala, Kupang di tengah konflik pemilihan kepala daerah yang harus diakui menyebabkan masyarakatnya terpola dalam arus kepentingan geografis dan etnis. Saya pun tidak bisa melupakan ketika sebagai redaktur, saya didatangi seorang pengusaha muda yang mempertautkan namanya dengan the incumbent governor at that time, memaksa saya menyerahkan seorang wartawan puteri kami kepadanya untuk "diinterogasi".
Para pastor SVD yang mengelola sejumlah berkala yang silih berganti di Ende, sejumlah wartawan senior yang mengelola sebuah media berbahasa Belanda di Kupang dan berkala-berkala lainnya di kota karang itu, para misionaris pendiri media di Sumba adalah contoh dari masa lalu tentang semangat kepioniran. Ketika Valens mendirikan Pos Kupang, dia pun berhasil menarik kembali para pemuda yang penuh idealisme. Sejumlah rekan dari Surabaya, Jakarta, rekan-rekan dosen dari Universitas Widya Mandira Kupang adalah sedikit contoh yang pantas diperhitungkan.
Basis ini menyebabkan meski Kupang kini dibanjiri media-media lokal dengan nama universal seperti Timor Ekspress maupun yang bernama lokal seperti Udik, saya yakin sumberdaya manusia Pos Kupang paling siap. Media ini mampu membuktikan diri diperhitungkan sebagai bagian dari kerajaan bisnis Kompas di Indonesia sekaligus sebagai bagian dari salah satu unsur intelektual yang pantas diperhitungkan di tanahnya sendiri.
Cinta Valens pada NTT bisa saja ditelikungi pihak-pihak yang berkepentingan. Saya yakin dia tahu itu. Tetapi karakter yang paling saya ingat dari hidup Valens adalah pengabdiannya yang tidak kenal lelah. Ketika duduk di depan komputer menjelang deadline, dia mulai alpa dengan berbagai sakitnya. Dalam usianya yang belum terlalu tua, dia menjalani died ketat. Sebagai mantan staf yang pernah tinggal bersamanya di rumahnya yang asri di Cileduk, Jakarta, saya ingat, betapa kekuatan pikirannya mampu mendikte tubuhnya agar tetap bisa mengabdi sesama.
Jika malam larut, dia menghabiskan satu apel dan beberapa gelas air untuk menguatkan tubuhnya yang lelah lalu berangkat tidur. Pagi hari tubuhnya dia isi dengan sedikit nasi dan sayur, tanpa daging dan lauk-pauk lain yang cenderung disalahpahami sebagai bagian dari ekspresi kemampuan dan kemapanan ekonomi oleh sejumlah kalangan. Rumahnya merupakan pelabuhan bagi para mahasiswa Ngada untuk mencari pelabuhan akhir, ketika kiriman uang dari orangtua tidak datang. Banyak dari mereka akan datang ke sana. Pengurus rumah tangga -- karena isteri Om Valens menetap di Bandung dan mengelola restorannya -- akan meminta uang belanja untuk membeli makanan untuk anak-anak muda itu.
Jika ingin hidup mewah dan enak, Valens tidak perlu ke NTT. Dia tetap bercokol di Jakarta dan menjadi konsultan media-media pers daerah Kompas. Jika menginginkan nama, dia tidak perlu meninggalkan imperium media rujukan para intelektual Indonesia itu.
Langkah ini tidak dilakukannya. Valens memilih memberikan dirinya untuk NTT. Dia dikuburkan dan ditangisi keluarga dan orang-orang dekatnya. Tetapi cinta, kata dan karyanya tetap ada. Semoga kata-katanya yang kauajarkan dulu cukup untuk memberikan ucapkan selamat jalan. Om mungkin masih ingat judul cerpen Majalah Horizon, tahun 1960-an, karya penyair dan esais mbeling yang saya suka sekaligus benci karena dia mengatakan "otak saya rumit seperti rambut saya yang keriting", Dr. Jatmanto Jatman "Kita pasti akan bertemu lagi". **
VALENS Goa Doy tidak bisa dikubur bersama cinta, kata-kata dan karyanya. Sebagai substansi otonom, semua kompleksitas kekayaan cinta, kata-kata dan karyanya tetap hidup, tumbuh dalam hati keluarganya, rekan-rekannya dan mantan karyawannya.
Orang-orang sekitarnya dengan kapasitas, kualitas dan atensi serta konsistensi pribadinya akan membiarkannya hidup abadi. Xanana Gusmao, kini Presiden Timor Leste, yang pernah menjadikannya mediator ketika massa pendukungnya terlibat konflik dengan militer Indonesia bisa menjadikan cinta, kata dan karya Valens untuk membimbing dan mengembangkan masyarakat dan negaranya yang kini didikte hampir total oleh masyarakat internasional.
Rekan-rekan yang masih setia berkutat di media menjadikannya inspirasi untuk mengembangkan betapa kerasulan inklusif bisa meretas polarisasi eksklusif masyarakat Indonesia akibat menguatnya potensi tribalisme dalam kehidupan politik Indonesia kini.
Berita kematiannya yang getir saya peroleh lewat SMS, ketika saya mencoba mengikuti jejaknya. Menyusun kata-kata. Ketika menyusun kata-kata ini untuk sekadar mengenang idealisme yang mengagumkan, cintanya yang mengembangkan manusia lain secara utuh dan karya-karyanya yang membuat namanya terpahat abadi, saya ingat kata-katanya, pada suatu Minggu senja awal Januari 1997 di Jakarta. "Kekristenan tidak pernah menempatkan karya-karya karikatif sebagai ekspresi diri, tetapi sebagai ekspresi cinta Allah. Karena itu kebijaksanaan tentang perbuatan kasih diungkapkan Injil secara ekstrim. Jika engkau memberi dengan tangan kanan, janganlah tangan kiri tahumu". Urainya sambil keluar dari mobil lalu masuk ke gereja.
Kata-kata itu mengganggu saya selama misa petang itu. Kata-katanya tetap hidup dalam jiwa saya. Kapan pun dan di mana pun. Potensi ini terjadi karena dia memberikan praksis dari kata-katanya sendiri. Suatu ketika, Mantan Wakil Pemimpin Umum Harian Surya, Surabaya itu mengajak kami sejumlah wartawan muda menghabiskan malam dengan menjalani jalan-jalan Surabaya setelah deadline yang melelahkan.
Keinginannya menyenangkan kami yang addicted dengan rokok, mendorong dia untuk membelikan rokok pada sejumlah tempat. Pembayaran selalu dilakukannya dengan uang Rp 50.000,00. Yang membuat saya yakin kutipan Injil yang disampaikannya kepada saya dalam mobil sebelum masuk gereja dipraktekkannya secara konsisten, adalah Valens tidak meminta uang kembalian harga rokok. Karena malam itu dia membeli lima bungkus rokok pada lima penjual yang berbeda, saya perhitungkan dia memberikan derma Rp 250.000,00 kepada para penjual rokok.
Adakah kata-katanya jatuh di atas tanah subur hati masyarakat NTT? Pada masa tuanya yang dijalani dengan sangat ketat, dia mencoba agar kata-katanya bisa meraih hati masyarakat NTT. Dia membangun Harian Pos Kupang di Kupang bersama Damyan Godho dan Rudolph Nggai, sambil mengembangkan Suara Timor bersama Salvador yang ketika itu anggota DPR dan MPR RI. Upaya itu pun dilakukannya juga di Flores dengan mendirikan Flores Pos. Saya tidak percaya Valens mengembangkan berbagai media demi bisnis.
Sebagai wartawan dengan reputasi nasional dan pengamat pasar modal, dia pasti tidak bersemangat menggandeng tangan SVD untuk mendirikan Flores Pos dan bermarkas di kabupaten dengan pendapatan kurang dari 150 dolar AS perkapita pertahun. Dia pun saya kira tidak terlampau bersemangat mendirikan Pos Kupang mengidealkan pendapatan besar dari investasi itu. Aspek lain yang justru ingin ditunjukkannya, dia mencintai masyarakat yang kerapkali rusuh setiap penerimaan tes pegawai negeri itu.
Saya ingat, dalam berbagai telepon pribadi pada penghujung 1992 untuk mengajakku bergabung dengan Pos Kupang yang didirikannya itu, dia selalu menegaskan, "Kita tidak bisa mengharapkan koran baru itu nanti seperti Surya. Jauh. Kita harus melakukan edukasi kepada masyarakat. Mereka harus mencintai media sebagai pembuka cakrawala berpikir mereka". Menghadapi kebingunan penulis yang ketika itu bekerja di harian Surya dan pengajar paruh waktu pada sebuah universitas kota itu yang ragu, dia pun melanjutkan,
"Kapan lagi kita bisa berbuat untuk kampung halaman kita sendiri, Kobus". Sapaannya, persis seperti ayah saya, mengganggu, membangkitkan keinginan saya untuk kembali ke NTT dan mengorbankan banyak hal dari kekurangan saya yang baru dua tahun memasuki dunia kerja.
Dari perspektif apa pun, Valens sangat mencintai NTT. Tokoh yang pada masa mudanya itu terpaksa merantai sepeda motornya agar tidak dicuri itu, rindu melihat NTT pantas diperhitungkannya seperti propinsi-propinsi lain. Dalam laporan perjalanannya ke NTT yang dipublikasikan oleh Kompas ketika dia masih menjadi redaktur olarahga Kompas, Januari 1985, dia mengekspresikan bernas-bernas cinta itu. Kerinduan itu dipadukan dalam gaya jurnalistik yang mampu menjuwil hati banyak pihak. Dan dia pun membuktikannya dengan membangun bisnis media di NTT. Dan seperti saya katakan di atas, bisnisnya lebih mengekspresikan bernas-bernas cinta kepada tanah kelahiran.
Adakah kaum muda NTT yang kini menikmati kekayaan informasi termasuk internet tahu bahwa para pendiri media NTT adalah para pionir sejati yang harus berjuang mengalahkan berbagai rasa takut, takut bahwa medianya tidak bisa terbit karena pengiriman kertasnya terlambat dan terlampau mahal karena diangkut dengan truk dari Surabaya, takut bahwa sedikit kelengahan menyebabkan dia diancam surat kaleng dengan nyawa taruhannya, takut bahwa medianya tidak terserap pasar, takut bahwa ketidakhati-hatian dan sedikit kelengahan menjebaknya dalam satu arus menyebabkannya dianggap menentukan keberpihakannya dan berdampak terhadap sirkulasi media yang dipimpinnya?
Sebagai wartawan muda, saya tidak bisa melupakan betapa pada suatu pagi yang cerah, Damyan Godho, Pemimpin Umum Pos Kupang diancam lewat surat kaleng untuk dikirimkan ke pekuburan Kapadala, Kupang di tengah konflik pemilihan kepala daerah yang harus diakui menyebabkan masyarakatnya terpola dalam arus kepentingan geografis dan etnis. Saya pun tidak bisa melupakan ketika sebagai redaktur, saya didatangi seorang pengusaha muda yang mempertautkan namanya dengan the incumbent governor at that time, memaksa saya menyerahkan seorang wartawan puteri kami kepadanya untuk "diinterogasi".
Para pastor SVD yang mengelola sejumlah berkala yang silih berganti di Ende, sejumlah wartawan senior yang mengelola sebuah media berbahasa Belanda di Kupang dan berkala-berkala lainnya di kota karang itu, para misionaris pendiri media di Sumba adalah contoh dari masa lalu tentang semangat kepioniran. Ketika Valens mendirikan Pos Kupang, dia pun berhasil menarik kembali para pemuda yang penuh idealisme. Sejumlah rekan dari Surabaya, Jakarta, rekan-rekan dosen dari Universitas Widya Mandira Kupang adalah sedikit contoh yang pantas diperhitungkan.
Basis ini menyebabkan meski Kupang kini dibanjiri media-media lokal dengan nama universal seperti Timor Ekspress maupun yang bernama lokal seperti Udik, saya yakin sumberdaya manusia Pos Kupang paling siap. Media ini mampu membuktikan diri diperhitungkan sebagai bagian dari kerajaan bisnis Kompas di Indonesia sekaligus sebagai bagian dari salah satu unsur intelektual yang pantas diperhitungkan di tanahnya sendiri.
Cinta Valens pada NTT bisa saja ditelikungi pihak-pihak yang berkepentingan. Saya yakin dia tahu itu. Tetapi karakter yang paling saya ingat dari hidup Valens adalah pengabdiannya yang tidak kenal lelah. Ketika duduk di depan komputer menjelang deadline, dia mulai alpa dengan berbagai sakitnya. Dalam usianya yang belum terlalu tua, dia menjalani died ketat. Sebagai mantan staf yang pernah tinggal bersamanya di rumahnya yang asri di Cileduk, Jakarta, saya ingat, betapa kekuatan pikirannya mampu mendikte tubuhnya agar tetap bisa mengabdi sesama.
Jika malam larut, dia menghabiskan satu apel dan beberapa gelas air untuk menguatkan tubuhnya yang lelah lalu berangkat tidur. Pagi hari tubuhnya dia isi dengan sedikit nasi dan sayur, tanpa daging dan lauk-pauk lain yang cenderung disalahpahami sebagai bagian dari ekspresi kemampuan dan kemapanan ekonomi oleh sejumlah kalangan. Rumahnya merupakan pelabuhan bagi para mahasiswa Ngada untuk mencari pelabuhan akhir, ketika kiriman uang dari orangtua tidak datang. Banyak dari mereka akan datang ke sana. Pengurus rumah tangga -- karena isteri Om Valens menetap di Bandung dan mengelola restorannya -- akan meminta uang belanja untuk membeli makanan untuk anak-anak muda itu.
Jika ingin hidup mewah dan enak, Valens tidak perlu ke NTT. Dia tetap bercokol di Jakarta dan menjadi konsultan media-media pers daerah Kompas. Jika menginginkan nama, dia tidak perlu meninggalkan imperium media rujukan para intelektual Indonesia itu.
Langkah ini tidak dilakukannya. Valens memilih memberikan dirinya untuk NTT. Dia dikuburkan dan ditangisi keluarga dan orang-orang dekatnya. Tetapi cinta, kata dan karyanya tetap ada. Semoga kata-katanya yang kauajarkan dulu cukup untuk memberikan ucapkan selamat jalan. Om mungkin masih ingat judul cerpen Majalah Horizon, tahun 1960-an, karya penyair dan esais mbeling yang saya suka sekaligus benci karena dia mengatakan "otak saya rumit seperti rambut saya yang keriting", Dr. Jatmanto Jatman "Kita pasti akan bertemu lagi". **
* Penulis, psikolog sosial, tinggal di Surabaya