Palmerston 29 Juni

PAGI ini pukul 08.30, saya beruntung. Bersama Walikota Kupang, Bapak SK Lerik keliling Kota Palmerston. Syukur buat kado pulang kampung, ole-ole kembali Kupang, akan saya tulis di Pos Kupang. Satu jam kami menelusuri Palmerston bersama Walikota Kevin Diflo. Ada Ferdi Tanoni. Dia banyak membantu. Palmerston-NT (Northern Territory-Australia), hari Sabtu 29 Juni 1996.

BEGITULAH catatan harian sembilan tahun lalu. Kubuka lagi mengenang Palmerston, kota di selatan Darwin, Northern Territory (NT) Australia yang namanya menjulang hari-hari ini. Nama yang tak asing -- bukan karena akan dikunjungi Walikota Kupang, Bapak SK Lerik bersama rombongan 5-9 Juli 2005. Dia tak asing karena sebagian warganya adalah orang Indonesia kelahiran NTT dan banyak anak NTT sudah pernah ke sana.


Ferdi -- dialah yang membangunkanku saat jarum jam menunjukkan pukul 06.40 waktu Darwin (lebih cepat sekitar dua jam daripada waktu Kupang). Bagi orang seperti saya yang sudah biasa kerja malam sampai dinihari, waktu seperti itu sedang nikmatnya tidur. Pulas. Masih di alam mimpi.

Sayalah yang lupa bahwa hari itu, Sabtu 29 Juni 1996, akan ada kunjungan ke Palmerston bersama Pak Walikota dan Ibu Mia Lerik. Kunjungan yang difasilitasi Ferdi Tanoni. Saya keenakan menikmati kasur empuk Hotel Mirambeena di pusat Kota Darwin. Lima sampai enam kali ketukan Ferdi Tanone di pintu kamar tak membuatku bangun. Ketukan yang sia-sia.

Ferdi, jabatannya ketika itu cukup prestisius, Ketua Forum Komunikasi Pengusaha NTT, NT dan Timtim terpaksa balik ke meja resepsionis. Menekan nomor interkom langsung ke kamar tidur. Kringg...kringg...kringg.... Saya terjaga, buka mata, mengangkat gagang telepon dan langsung disambut sapaan khas Kupang, "Ade, karmana lu ini. Pak Wali dan ibu su tunggu di lobi hotel. Kan lu musti ikut ke Palmerston to... Pos Kupang harus tulis rencana Sister City ini!"
Wah, saya baru sadar sudah terlambat. "Bae, beri beta waktu sepuluh menit," jawabku.

Tergopoh-gopolah pemandangan di kamar sejuk itu. Agak kakaranga, menurut bahasa ibuku. Mengguyur badan seadanya, berpakaian, menyambar tas pinggang berisi notebook dan kamera lalu meluncur ke lobi hotel. Di sana sudah menunggu Pak Walikota dan ibu juga Ferdi Tanoni. Masuk mobil. Sopir tancap gas. Di dalam mobil, Pak Walikota bercanda. "Seumur-umur o..., walikota harus tunggu wartawan mandi. Ha...ha..."

Saya mohon maaf karena sudah membuat Pak Lerik dan Ibu menunggu. "Sonde apa-apa," kata beliau. Kami pun meluncur menuju Palmerston. Lewat jalan bebas hambatan Stuart Highway. Tak sampai 20 menit melaju di jalan licin, mulus dan lengang pagi itu. Di Kantor Walikota Palmerston, Pak Lerik dan Ibu disambut Walikota Kevin Diflo dan Nyonya Eleanor Diflo. Turut menyambut dengan ramah Administratur Kota Palmerston, Mike Buthcer. Momen indah itu terekam lensa kamera. Masih tersimpan sampai sekarang. Setelah beramah-tamah beberapa saat di kantor itu, Kevin Diflo mengajak Pak Lerik keliling Palmerston. Menjelaskan seluruh isi perut kota itu dan rencana-rencana masa depannya. Catatan tentang kota itu disiarkan Pos Kupang secara serial pada tanggal 3, 4 dan 5 Juli 1996.

Palmerston, sekitar 21,5 km selatan Darwin adalah kota yang sedang bertumbuh. Itu sembilan tahun yang lalu. Sekarang? "Sudah berubah, Dion! Sudah ada Palmerston Shopping Centre. Rumah penduduk makin padat. Sekolah dan pusat perbelanjaan kian banyak. Keramaiannya tak jauh beda dari Darwin." Begitulah e-mail dari paman John Gawa pekan lalu. John Gawa, putra Ende-Lio yang tinggal di Australia sejak tahun 1974 itu adalah salah seorang warga Palmerston. Annete Burke yang melawat ke Kota Kupang awal April 2005 lalu adalah tetangganya, seorang ibu rumah tangga yang dipilih menjadi Walikota Palmerston karena tekadnya membagun kota pasca kepemimpinan Diflo. Kevin Diflo sekarang sudah alih profesi menjadi pengusaha sukses, berdomisili di Adelaide, Australia selatan.

***

SISTER City alias Kota Kembar Kupang-Palmerston bukan gagasan baru. Usaha mewujudkannya telah berlangsung sejak satu dekade lalu, semenjak Timor Leste masih bagian dari NKRI, propinsi ke-27 Indonesia. Mengacu pada strategisnya posisi Kota Kupang sebagai pintu masuk Indonesia dari selatan. Awalnya mula dari keikutsertaan NTT secara rutin pada NT Expo di Kota Darwin di era 1990-an. Pembicaraan serius sejak 1995 dan menjadi kesepakatan dengan kunjungan Walikota SK Lerik ke Palmerston 29 Juni 1996 itu.

Tapi tanpa dinyana, krisis moneter menghantam Indonesia tahun 1997. Hancur-lebur bangsa ini karena kurang siap dan sigap untuk bangkit. Kita tidak segesit Thailand dan Malaysia. Apalagi Korea dan Cina yang tertimpa prahara sama. Suasana politik makin rumit menyusul kejatuhan Soeharto 1998, lahirnya reformasi dengan segala eforianya serta jajak pendapat memisahkan Timtim dari Ibu Pertiwi 1999.

Rencana mulia tersebut tinggal rencana. Terbenam oleh geliat reformasi, tingkah genit otonomi daerah dan memburuknya hubungan Indonesia-Australia sejak Lorosae mengucapkan sayonara RI. Kupang dan wilayah NTT lainnya -- teristiwa Timor Barat kena imbasnya. Sibuk mengurus pengungsi lebih dari empat tahun. Kita tidak mungkin menutup mata terhadap tragedi kemanusiaan yang tersembul di depan hidung pasca jajak pendapat tahun 1999 silam.

Maka sebuah harapan baru ketika Annete Burke menginjakkan kakinya di Kupang tanggal 5 April lalu. Tiba-tiba mata kita menengok ke selatan, merindukan negeri kanguru yang dulu mudah kita jangkau bolak-balik, diterbangi Merpati saban minggu. Cuma 120 menit tiba di Darwin, lebih lekas ketimbang terbang ke Denpasar, Bali.

Sejujurnya, demi merealisasikan ide Sister City itu dan bentuk kerja sama di bidang lainnya, saya setuju Walikota Kupang pergi ke Palmerston awal Juli nanti. Harus itu. Wajib pergi karena kita patut menghormati Ibu Annete Burke. Ini etika pergaulan antarbangsa. Kelaziman dalam diplomasi antarnegara. Tapi biarlah Pak Lerik berangkat ditemani beberapa kepala dinas/badan terkait. Wakil Dewan, bolehlah. Paling banyak lima orang. Cukup! Toh rombongan Ibu Annete ke Kupang tidak sampai sepuluh orang kan?

Untuk apa (rencananya) seluruh kepala dinas dan badan di lingkup Pemerintah Kota Kupang ikut terbang ke Australia? Untuk apa unsur Muspida? Tak ada manfaatnya membawa rombongan besar ke Palmerston. Pembicaraan inti pastilah antara dua pucuk pimpinan kota, SK Lerik dan Annete Burke. 


Setidaknya menurut pengalaman saya mengikuti perjalanan mantan Gubernur NTT, Herman Musakabe dan Gubernur NTT saat ini, Piet A Tallo, S.H ke negara yang sama. Membawa banyak orang ke Australia dalam kurun waktu kurang dari sepekan, apa yang hendak mereka kerjakan. Sulit menemukan argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan. "Jangan sampai hanya bisa ternganga-nganga," secuil kalimat Piet A Tallo saat memberi pengarahan singkat sebelum delegasi NTT meninggalkan Bandara El Tari Kupang medio Juni 1996. Ketika itu kapasitas beliau adalah ketua delegasi NTT.

Tentu akan ada jawaban ini, "Kami harus pergi karena diundang Walikota Annete." Agaknya tidak sulit mencari alasan Annete mengundang. Biasalah itu dalam basa-basi pergaulan. Orang Australia itu beraroma Asia. Kulturnya dekat sekali dengan kita. Tahu baik cara berpikir tetangga yang mereka takuti kalau menyerbu dengan kekerasan dari utara. Mengundang berarti tidak wajib hadir bukan? Apalagi ke Palmerston bukan ikut kondangan.

Tetapi semua ini sekadar saran, pendapat dari seorang warga Kupang ber-KTP Maulafa. Namanya saran dan pendapat -- tak harus diikuti. Tak apa-apa kalau dianggap sepi. Bukan kewenangan saya memutuskan berangkat atau tidak. Saya hanya punya hak bersuara sebagai warga Kota Kupang yang dilindungi UU. Warga negara Indonesia yang dijamin kebebasan mengemukakan gagasan dan pandangan. Tidak lebih!

***
KEMBAR. Artinya sama rupanya (keadaannya), berwajah mirip. Sepasang. Demikian menurut KUBI (Kamus Umum Bahasa Indonesia). Apa kemiripan yang hendak dicapai Kupang-Palmerston? Alam sudah memberikan kemiripan itu. Seperti daerah Australia Utara umumnya, kondisi geografis dan iklim Palmerston, Darwin tidak beda jauh dari tanah Timor, bumi hunian kita ini.

Rumput, bebatuan, pepohonan, angin kering, terik matahari, bukit bergelombang, air yang tak mudah didapat -- hampir sama dan sebangun. Di sana ada lontar juga kusambi. Keunggulan mereka terletak pada dukungan teknologi, cara berpikir dan pola hidup manusianya yang mau dan mampu mengolah alam secara bijaksana. Alam kering terlihat hijau-memanjakan mata. Batu karang tampil seksi-eksotik, rerumputan bebas tebas bakar dan air bersih tersedia secukupnya dengan cara membor kulit bumi--memompa keluar dengan teknologi yang sudah lama kita kenal di Kupang. Seperti air bor yang dikerumuni puluhan truk tangki di persawahan Oepoi sana.

Tata kota Palmerston (juga Darwin) dirancang dengan antisipasi perkembangan 50-100 tahun ke depan. Tak heran jika Palmerston masih tampak lengang (memakai kacamata kita orang Kupang), jarak antara rumah diatur, tidak bedesak-desakan. Perumahan kita di sini, jalan-jalan kita di sini? Ah, Anda pasti bisa menjawab sendiri.

Iklim kering Palmerston-Darwin dipermanis dengan banyak taman dengan kolam air mancur dan bunga warna-warni. Disiram rutin saban hari. Sedap dipandang mata. Tersedia bangku taman. Tempat muda-mudi mengikat janji. Suami-istri dan anak bercengkerama. Jangan kecewa, kota kita pun kaya taman seperti mereka. Bedanya berhiaskan patung, tanpa air bening dan bunga terawat. Kota karang, angin kering, mentari menikam kulit lalu menatap patung tegak berdiri. Mana tahan eja..? Tanyalah pada Tilong, Baumata, Oeba dan Oepura, mengapa kau mengalir sampai jauh...

Ada hutan di Darwin-Palmerston. Itulah paru-paru, penghisap debu dan udara kotor. Polusi industri dan kendaraan bermotor. Tong sampah di mana-mana. Sulit kau temui sampah berserakan. Buang sampah sembarangan, bayar denda! Sungguh enak kita di sini. Manusia bebas. Silakan buang sampah sesukamu. Tak ada yang melarang. Kelolalah sampahmu sendiri karena belum tentu didatangi mobil kuning. Mohon maaf Pak Wali..., jangan marah kawan-kawan pasukan kuning. Beta maklumi masalah kita yang masih serba kekurangan.

Jangan takut melancong ke Palmerston, Darwin atau kota-kota lainnya di Australia. Anda tak mungkin tersesat karena lupa jalan pulang. Anda pasti selamat biar jalan sendirian dan pertama kalinya. Datangi saja halte atau terminal, hotel atau pusat perbelanjaan. Lihatlah di sana, terpampang jelas peta kota. Tinggal pilih hendak ke mana. Di situ jelas tercetak letak, jarak, sarana transportasi, lama perjalanan dan berapa ongkosnya.

Betapa bahagianya kita kalau itu ada di Kupang. Kita akan dikenang sebagai kota yang ramah kepada para tamu. Kota cinta, kota bertaburan KASIH. Mau ke Mall Flobamora, Sikumana, Lasiana atau Bakunase, tak perlu banyak tanya. Tamu kita tak perlu cemas.

Anda tidak perlu ke Darwin untuk tahu isi perut mereka. Cukup duduk di depan komputer (jaringan internet) klik ... segalanya ada di sana. Kita di sini, saban tahun resmikan website ini dan itu. Upacaranya megah-meriah, terkesan melek teknologi. Panas-panas tahi ayam. Paling data yang ada di sana cuma sehari dua. Tak pernah di-up-dating, diperbarui. Coba klik website pemerintah propinsi NTT sekarang, percayalah Anda tidak akan menemukannya. Apa soalnya? Pasti begitulah SDM kita. Ah, saya termasuk orang yang tidak sependapat. Masalah kita hanya salah urus! Betapa banyak magister di pemerintahan. Doktor. Tenaga mereka kerap tidak dipakai. Watak birokrasi dengan urut kacang masih kental.

Begitulah beberapa hal kecil yang kurekam ulang dari catatan harian. Kupang-Palmerston menjadi kota kembar? Seharusnya sudah terwujud sejak 1996. Kalau kita mau. Bukan 2005.
Selamat jalan rombongan Pemkot Kupang. Kami tunggu hasilnya.

Saya teringat kata-kata Drs. Frans Seda saat makan malam di Wisma Indonesia Darwin, juga tanggal 29 Juni 1995, tepat setahun sebelum kunjungan Walikota Kupang ke Palmerston. "Ingatlah bahwa ke Darwin bukan untuk jalan-jalan. Anda dibiayai dengan uang negara, uang dari pajak rakyat. Semoga datang ke sini ada guna-gananya," kata Seda di depan delegasi NTT yang mengikuti NT Expo ketika itu.

Casuarina Shoping Centre, Palmerston Shoping Centre atau Plaza Darwin menunggu. Rindu menarik ingin. Banyak barang bagus. Sekarang sedang musim libur di Australia Utara, Northern Territory alias Top End.

Turis dari selatan menyerbu utara, menikmati panas matahari yang teriknya tak jauh beda dari Kupang. Memandang bintang di langit Darwin, mendengar gemerisik air Alice Springs, pesona Kakadu National Park. Mencumbui geliat buaya yang dipiara dan terawat. Menghirup udara bersih yang jarang mereka dapatkan di kota-kota selatan Aussie yang dingin bersalju juga metropolis. Padat manusia! Apa yang dibuat rombongan besar Pemkot Kupang. Maaf, beta pun tak tahu. Selamat jalan, Palmerston sudah menunggu.**
Pos Kupang, 29 Juni 2005

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes