* Dialog KKP Indonesia-Timor Leste (2)
KAMIS 4 Januari 2007 itu bergerak menuju tengah hari. Ruangan Kristal tetap penuh. Lebih dari 150 orang masih menghuni Ballroom. Tak satupun yang beranjak pulang, termasuk Gubernur NTT, Piet A Tallo, S.H, Danrem 161 Wirasakti, Kolonel (Inf) Arief Rachman, Kapolda NTT, Brigjen Pol. Robertus B Sadarum, Ketua DPRD NTT, Drs. Mell Adoe dan undangan lain. Petinggi daerah NTT tersebut agaknya punya kegiatan lain, namun dialog KKP sungguh membius- memikat. Sayang bila ditinggalkan amat lekas.
Komisioner asal Indonesia, Mgr. Petrus Turang, Pr mengakhiri pemaparannya tentang mandat dan rencana kerja Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) Indonesia - Timor Leste. Tepuk tangan membahana. Berakhir pula siaran langsung RRI Kupang dari pelataran Kristal. "Sekarang kita rehat 15 menit. Mari, segarkan kerongkongan dengan snack ringan," sahut Prof. Liliweri.
Kemudian tiba saatnya sesi dialog mengungkap kebenaran. Inti dari kegiatan hari itu.Maka mengalirlah pertanyaan dan pernyataan menarik, tajam dan menggigit. Menggugat dan menukik. Kadang mendayu-dayu. Sendu. Pilu. Kerap menghentak, membuat merah telinga namun disertai kata maaf. Memang demikianlah sejatinya dialog untuk menyibak kebenaran demi persahabatan sejati. Kebenaran hanya bisa terungkap jika ada keterbukaan. Bicara apa adanya. Bicara dari hati, tak cukup andalkan nalar. Dialog KKP memang dimaksudkan untuk itu.
Lima belas orang dapat kesempatan menyampaikan isi hati dan pendapatnya kepada para komisioner KKP dalam dialog yang terbuka untuk umum tersebut. Joao Bosco berdiri, berkata dengan suara nyaring. "Semua melanggar HAM. Portugis dan Fretelin juga melanggar HAM. Mengapa hanya Eurico Guterres yang dipenjara? Dan, kenapa mandat KKP hanya fokus pada peristiwa 1999? Kejadian 1999 itu terkait dengan peristiwa berdarah tahun 1959 dan 1975. KKP tidak boleh menutup mata. Dari penjelasan Bapa Uskup, kami melihat KKP seolah hanya urusan pemerintah kedua negara, kedua presiden. Kami merasa tidak disentuh. Jangan lupa ada komunitas rakyat Timor Timur di Indonesia, di NTT sekarang," kata Joao.
"KKP tidak akan berhasil mengungkap kebenaran, apalagi menggalang persahabatan kalau hanya mencermati pertikaian di Timtim tahun 1999. Kejadian tahun 1999 tak terpisahkan dengan peristiwa 1959 dan 1975. Semua kasus pelanggaran HAM di Timtim harus diungkap agar rekomendasi KKP utuh, tidak sepotong-potong," tutur Juliana Soares.
Kini giliran Filomeno de Jesus Hornay. "Tidak semua komunitas Timtim di NTT tahu tentang KKP. Mengapa baru datang ke Kupang sekarang? KKP tidak boleh berat sebelah. KKP harus mendengar suara komunitas Timtim di Timor Barat, sebagian besar terkonsentrasi di Atambua. Datanglah ke Timor Barat dan bicara dari hati ke hati. Saya ragukan obyektivitas Saudara Aniceto Guterres (salah satu komisioner dari Timor Leste). Aniceto adalah ketua CAVR (Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi Timor Leste). Bagaimana mungkin dapat bersikap obyektif dalam mengungkap kebenaran peristiwa 1999?" kata Filomeno.
"Kami terlupakan dan teraniaya. Referensi apa yang digunakan KKP untuk mengungkap kebenaran peristiwa 1999? Apakah semata-mata bersumber dari pemerintah kedua negara? Dalam rekomendasi akhir pasti ada yang menjadi pahlawan dan penjahat! Apakah KKP menghasilkan rekomendasi demikian?" kata Joanico. Kristal hangat. Ballroom panas! Namun, enam komisioner menyimaknya dengan tenang. Senyum dan tawa masih menebar di sana.
KAMIS 4 Januari 2007 itu bergerak menuju tengah hari. Ruangan Kristal tetap penuh. Lebih dari 150 orang masih menghuni Ballroom. Tak satupun yang beranjak pulang, termasuk Gubernur NTT, Piet A Tallo, S.H, Danrem 161 Wirasakti, Kolonel (Inf) Arief Rachman, Kapolda NTT, Brigjen Pol. Robertus B Sadarum, Ketua DPRD NTT, Drs. Mell Adoe dan undangan lain. Petinggi daerah NTT tersebut agaknya punya kegiatan lain, namun dialog KKP sungguh membius- memikat. Sayang bila ditinggalkan amat lekas.
Komisioner asal Indonesia, Mgr. Petrus Turang, Pr mengakhiri pemaparannya tentang mandat dan rencana kerja Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) Indonesia - Timor Leste. Tepuk tangan membahana. Berakhir pula siaran langsung RRI Kupang dari pelataran Kristal. "Sekarang kita rehat 15 menit. Mari, segarkan kerongkongan dengan snack ringan," sahut Prof. Liliweri.
Kemudian tiba saatnya sesi dialog mengungkap kebenaran. Inti dari kegiatan hari itu.Maka mengalirlah pertanyaan dan pernyataan menarik, tajam dan menggigit. Menggugat dan menukik. Kadang mendayu-dayu. Sendu. Pilu. Kerap menghentak, membuat merah telinga namun disertai kata maaf. Memang demikianlah sejatinya dialog untuk menyibak kebenaran demi persahabatan sejati. Kebenaran hanya bisa terungkap jika ada keterbukaan. Bicara apa adanya. Bicara dari hati, tak cukup andalkan nalar. Dialog KKP memang dimaksudkan untuk itu.
Lima belas orang dapat kesempatan menyampaikan isi hati dan pendapatnya kepada para komisioner KKP dalam dialog yang terbuka untuk umum tersebut. Joao Bosco berdiri, berkata dengan suara nyaring. "Semua melanggar HAM. Portugis dan Fretelin juga melanggar HAM. Mengapa hanya Eurico Guterres yang dipenjara? Dan, kenapa mandat KKP hanya fokus pada peristiwa 1999? Kejadian 1999 itu terkait dengan peristiwa berdarah tahun 1959 dan 1975. KKP tidak boleh menutup mata. Dari penjelasan Bapa Uskup, kami melihat KKP seolah hanya urusan pemerintah kedua negara, kedua presiden. Kami merasa tidak disentuh. Jangan lupa ada komunitas rakyat Timor Timur di Indonesia, di NTT sekarang," kata Joao.
"KKP tidak akan berhasil mengungkap kebenaran, apalagi menggalang persahabatan kalau hanya mencermati pertikaian di Timtim tahun 1999. Kejadian tahun 1999 tak terpisahkan dengan peristiwa 1959 dan 1975. Semua kasus pelanggaran HAM di Timtim harus diungkap agar rekomendasi KKP utuh, tidak sepotong-potong," tutur Juliana Soares.
Kini giliran Filomeno de Jesus Hornay. "Tidak semua komunitas Timtim di NTT tahu tentang KKP. Mengapa baru datang ke Kupang sekarang? KKP tidak boleh berat sebelah. KKP harus mendengar suara komunitas Timtim di Timor Barat, sebagian besar terkonsentrasi di Atambua. Datanglah ke Timor Barat dan bicara dari hati ke hati. Saya ragukan obyektivitas Saudara Aniceto Guterres (salah satu komisioner dari Timor Leste). Aniceto adalah ketua CAVR (Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi Timor Leste). Bagaimana mungkin dapat bersikap obyektif dalam mengungkap kebenaran peristiwa 1999?" kata Filomeno.
"Kami terlupakan dan teraniaya. Referensi apa yang digunakan KKP untuk mengungkap kebenaran peristiwa 1999? Apakah semata-mata bersumber dari pemerintah kedua negara? Dalam rekomendasi akhir pasti ada yang menjadi pahlawan dan penjahat! Apakah KKP menghasilkan rekomendasi demikian?" kata Joanico. Kristal hangat. Ballroom panas! Namun, enam komisioner menyimaknya dengan tenang. Senyum dan tawa masih menebar di sana.
***
"DALAM mengungkap fakta, KKP bekerja tidak untuk mencari siapa yang salah dan siapa yang benar. Yang utama dilakukan KKP adalah memperoleh gambaran yang utuh tentang peristiwa tahun 1999 yang selama ini ditafsirkan secara berlainan," kata Aniceto Guterres saat para komisioner diberi waktu memberi tanggapan. "Kami bukan hakim, memvonis ini salah, yang itu benar. Pelaku dan korban mendapat tempat yang sama secara adil," kata Antonius Sujata.
"Terima kasih Filomeno. Soal obyektif, di dalam KKP kami tidak mengambil keputusan sendiri-sendiri. Keputusan KKP diambil secara bersama dan KKP beranggotakan sepuluh orang. Saya tidak akan memaksakan kehendak saya. Saya terima itu sebagai masukan agar kami bekerja sesuai kerangka acuan, sesuai mandat," kata Aniceto menanggapi Filomeno. Suaranya datar- tenang. Jauh dari amarah. Di forum dialog, pertanyaan Filomeno menohok Aniceto. Saat rehat kopi dan jedah makan siang, dua putra Timor itu akrab bercakap sambil isap rokok di lobi Hotel Kristal. Mereka bicara dalam bahasa ibu, Tetun. Momen yang sungguh indah-berkesan.
"Kenapa hanya Eurico yang dipenjara, itu juga akan diungkap KKP. Kami akan me-review hasil pengadilan Ad Hoc HAM. Kalau ternyata dia tidak bersalah, namanya harus dipulihkan, direhabilitasi. Hal ini berlaku sama untuk semua orang, baik di Indonesia maupun Timor Leste yang diduga terkait dalam peristiwa menjelang dan segera setelah jajak pendapat," kata Aniceto.
"Soal Eurico, mari kita bekerja sama untuk menunjukkan bukan Eurico yang salah. Mari kita bicara. KKP buka pintu selebar- lebarnya. Kalau tidak di forum ini, kita bisa bicara empat mata dalam kesempatan lain. Memang baru kali ini kami ke Kupang. Tapi kami akan datang lagi untuk bertemu saudara-saudari kami di sini," ujar Maria Volandino Alves, anggota KKP lainnya.
Mengapa hanya fokus pada tikungan berdarah 1999? Antonius Sujata dan Mgr. Petrus Turang, Pr memberi jawaban. "Betul, KKP mendapat mandat dari pemerintah kedua negara untuk peristiwa 1999 saja. Akan tetapi dalam mengungkap fakta akan dicari konteks masa lalu (peristiwa 1959 dan 1975). Rekomendasi KKP nantinya implementatif untuk masyarakat kedua bangsa, bukan untuk kepentingan pemerintah saja," tandas Antonius yang masuk tim penyelidik insiden Santa Cruz bulan November 1991. "Rekomendasi akhir KKP untuk persahabatan sejati masyarakat Indonesia dan Timor Leste. Inilah makna penting keberhasilan KKP," kata Uskup Turang.
Uskup menambahkan, refensi yang dipakai KKP untuk mengungkap kebenaran peristiwa 1999 adalah bahan yang didokumentasikan KKP-HAM (Komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM di Timtim tahun 1999), Pengadilan Ad Hoc HAM, Special Panels for Serious Crimes dan CAVR. "KKP memeriksa dan mengalisis semua dokumen itu. Saat ini KKP tengah merampungkan tahap pemeriksaan dan analisis dokumen. Hasilnya akan menjadi acuan utama KKP dalam tahap fact-finding (pencarian fakta) dan verifikasi fakta," kata Uskup Turang.
Penjelasan yang menggugah Kapolda NTT, Brigjen Robertus B Sadarum. Beliau pun menggugat. Lugas. "Apakah KKP bisa menjamin rekomendasi akhir tidak akan membangunkan macan tidur?" Seutas tanya yang tidak hanya berbobot, tetapi juga reflektif. Bayangkan bila macan tidur dibangunkan. Dia tidak cuma menggeliat-mengaum. Dia bakal menerjang, menerkam dan mencabik-cabik. Mampukah KKP menghadapi kenyataan ini? (dion db putra/bersambung)