Kutu Buku yang Pandai Menulis

* Mengenang sastrawan Julius R Siyaranamual (2)

Oleh Maria Matildis Banda

BERITA meninggalnya Julius Syaranamual cukup mengejutkan Agustinus Beu Mude, mantan guru sastra Indonesia-nya di SMAK Syuradikara Ende. "Julius anak yang cerdas dan tahu berterima kasih," demikian spontanitas Pak Agus berbicara tentang Julius.
"Gampang diingat sebab beliau paling kecil, bercelana pendek sepanjang sekolah sampai tamat SMA, pintar, dan terutama kutu buku! Soal kutu buku Julius sama dengan Valens Goa Doi. Keduanya sekelas, dua orang yang sangat saya ingat," demikian Pak Agus.
Bukan hanya itu saja, setelah tamat SMAK Syuradikara, Julius Siyaranamual tetap diingat karena profesinya. Tidak hanya wartawan tetapi secara khusus sebagai penulis sastra. "Sulit mencari pengganti mereka." Di kalangan alumni Syuradikara Ende, sekolah swasta pertama dan tertua (52 tahun) ternyata sangat sukar mencari "Julius Siyaranamual dan Valens Doy" yang baru. Orang-orang yang memiliki komitmen yang sangat tinggi terhadap dunia kewartawanan dan dunia tulis-menulis umumnya bahkan sampai akhir hidupnya.

Memang tidak sedikit anak Syuradikara yang menjadi wartawan atau anak NTT yang menjadi terkenal dan hidup dari profesinya sebagai penulis. Tetapi Julius dan Valens berada dalam catatan khusus. Keduanya sangat peduli untuk membawa perubahan bagi NTT. Sebagaimana dicatat Pos Kupang tentang peran Valens dan Julius menempah para calon wartawan pada awal lahirnya SKH Pos Kupang. Valens yang jeli dan peka terhadap hal-hal kecil dan ketajamannya membuat calon wartawan terkejut dan membuka mata. Juga Julius yang dikenal dengan kajian deskritif dalam dunia kewartawanan. Kita patut bangga sebab jelas tercatat "kewartawanan" gaya Valens dan Julius meninggalkan banyak penerus. Tetapi bagaimana dengan "kepengarangan" gaya Julius?
Kenangan terhadap seorang penulis sastra (pengarang) ibarat pepatah. Harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan budi. Bagaimana kalau pengarang meninggal dunia? Tentu saja beliau meninggalkan hasil karyanya. Di antaranya Julius R Syaranamual, salah satu pengarang asal bumi NTT yang "kering" penulis. Beliau pergi tetapi karya-karyanya tetap hadir dan tercatat dalam khazanah sastra Indonesia. Selain memukau kalangan peminat sastra melalui novel Saat untuk Menaruh Dendam dan Saat untuk Menaburkan Cinta (1978), Julius juga dikenal sebagai pengarang khusus. Beliau dijuluki "pengarang dunia kanak-kanak" karena perhatiannya mengangkat masalah anak, dan menuliskan cerita khas anak-anak seperti Anak-anak Laut (1971), Menaklukan Dunia Baru (1971), Tuhan Jatuh Hati (1971), Teo Si Cilik (1972), dan Sekamar dengan Koko. Dalam tulisannya, Julius sangat memperhatikan bagaimana manusia dibentuk sejak anak-anak. Kesadaran pada masa kanak-kanak yang bebas, riang, dan terarah dalam tradisi keluarga saleh, membangun komitmennya dalam menulis. Beliau sadar bahwa tulisan adalah salah satu jalan baginya untuk bersaksi. Termasuk kesaksiannya pada masa lalu sekaligus masa depan anak-anak Indonesia. Tidaklah mengherankan jika tiga buah karyanya tersebar merata ke seluruh negeri melalui Inpres, masing-masing Sekamar dengan Koko, Anak-Anak Laut, dan Menaklukkan Dunia Baru. Keberhasilannya ini juga dilengkapi dengan peran istrinya yang juga seorang pengarang cerita anak-anak.
Kecintaannya pada dunia anak diungkapkan juga melalui kepedulian untuk ikut membidani lahirnya majalah anak-anak Kawanku dan menjadi pemimpin redaksinya (1970-1989). Sekarang majalah Kawanku tampil dengan lebih gagah, gaya, dan gaul. Barangkali tidak ada seorangpun anak-anak dan remaja NTT yang tahu bahwa Om Julius Siyaranamual adalah orang yang berada di belakang Kawanku. Untuk mengenal saja begitu sulit bagaimana dengan regenerasi? Julius pergi, siapa penerusnya?
Menurut Agustinus Beu, setahunya - paling tidak - untuk lingkup Syuradikara, regenerasi sangat kering, jaraknya jauh sekali. Menurut pak Agus Beu, setelah Valens Goa Doi dan Julius Syaranamual, muncul beberapa nama penulis yang bukunya diterbitkan seperti Aloysius Liliweri dan Maria Matildis Banda. Wartawan cukup banyak, namun yang menerbitkan buku sangat minim. Regenerasi cenderung lambat. Apalagi untuk anak-anak NTT zaman reformasi yang cenderung pragmatis, generasi instan yang malas berpikir dan lebih puas menelan.
Apa sebenarnya yang membuat Julius (juga Valens Goa Doi dan kawan-kawan wartawan) begitu interes pada dunia tulis-menulis? Sebagai guru bahasa Indonesia yang syarat pengalaman, Pak Agus Beu segera menjawab. "Baca!" Dalam ingatannya Julius itu kutu buku yang cerdas. "Dia tidak terlampau pintar tetapi dia tekun dalam membaca. Di kalangan anak dan guru-guru Syuradikara dulu, Julius dikenal sebagai si kecil kutu buku." Bacaan membuka cakrawala, membangun kreativitas dan mampu menghapus batas. Hal inilah yang tidak dimiliki anak-anak sekarang. Budaya lisan begitu kuat membelenggu meskipun dunia tulis-menulis, kewartawanan, dan arus informasi berkembang pesat. Bahkan keengganan membaca justru muncul setelah tawaran dunia informasi memaksa pikiran anak-anak terjebak hanya pada konteks melihat dan mendengar.
Kepergiaan Julius mudah-mudahan menjadi catatan penting bagi bagi dunia tulis-menulis di NTT. Ada banyak nama pengarang baru yang penuh bakat dan karya mereka "diam" dalam Pos Kupang. Tercatat nama-nama seperti Sipri Senda, Pr, Siprianus Atok, Usman D Ganggang, Freddy Kedang, Charles Lakapu, Steph Tupeng Witin, Tilde Menge, Mezra Pellondow, Jefri Klau, dan masih banyak yang karyanya pernah diterbitkan Pos Kupang. Jika tidak ingin berhenti hanya pada segelintir pengarang, pemerintah NTT harus melakukan kerja nyata. Misalnya usaha membangun budaya baca dengan menerbitkan karya-karya pengarang. Selain untuk tujuan motivasi bagi pengarang, usaha ini juga sebagai salah satu bentuk toleransi pemerintah terhadap berkembangnya sastra Indonesia di tingkat nasional maupun internasional. Agar dunia sastra kita tidak hanya mencatat Julius Siyaranamual, Gerson Poyk, atau segelintir nama lain. Tetapi ada generasi baru disamping Julius.
Pengarang dan wartawan itu sudah wafat. Namun tulisannya menetap di dunia fana ini. Si kutu buku yang pandai menulis adalah dua sisi yang tak terpisahkan. Meskipun penciptanya telah wafat berkalang tanah tetapi pandangan dunianya mengembara kemana-mana, diam, dan mengendap pada setiap kepala dan setiap hati yang mau membaca. Selamat jalan Om Julius. Sebagai pengarang engkau dikenal dengan nama Julius Reinhard Siyaranamual.
Sebagai Redaktur Khusus Pos Kupang engkau disapa Om Julius oleh anak-anak didikmu. Walaupun kita tak pernah bertatap muka, namun sesungguhnya kita sudah bertemu berkali-kali melalui berbagai buku dan tulisan-tulisanmu. Ternyata benar tulisan menembus nuansa tempat, ruang dan waktu, meskipun penciptanya sudah pergi begitu jauh. (habis).

Pos Kupang, 28 Mei 2005

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes