Oleh Viktus Murin*
KENANGAN pada Valens Goa Doy adalah kenangan yang paripurna tentang sosok sejati seorang wartawan. Ia berziarah total pada panggilan hidupnya sebagai wartawan, menjalani salibnya sebagai wartawan hingga ke tapal batas hayatnya. Di suatu stasi atau perhentian jalan salibnya, ajal pun datang mengajaknya pulang, menemui Sang Sumber Kehidupan. Kini, ia telah beristirahat dalam keabadian, tempat di mana ia tidak dikejar-kejar deadline redaksi dan tugas-tugasnya sebagai 'bidan pers' terkemuka di Indonesia.
Memori tentang Valens Doy adalah memori yang tak terhapuskan dari bilik hati setiap muridnya, wartawan-wartawan yang ia lahirkan dari pola didikannya yang khas, yang sarat dengan kurikulum kehidupan. Bagi kebanyakan muridnya di dunia pers, sosok Valens Doy -- kami biasa memanggilnya Om Valens-- adalah guru pers yang mengabdi total pada idealisme kehidupan.
Totalitasnya pada nilai-nilai kehidupan itulah yang membuat dirinya tampil secara alamiah sebagai pemimpin berkarakter, yang selalu ikhlas berbuat sesuatu bagi kebaikan banyak orang. Selasa malam, 3 Mei 2005, Om Valens menghembuskan nafas terakhir di RS Sanglah Denpasar-Bali akibat serangan jantung. Ia pergi meninggalkan istrinya Elsa Doy, dua anaknya Maria Magdalena Elva Doy dan Alexander Valsa Doy, serta begitu banyak muridnya di dunia pers nasional. Almarhum juga meninggalkan kenangan bagi banyak orang yang mengagumi tulisan-tulisan olahraganya, saat ia masih menjadi Redaktur Desk Olahraga harian nasional terkemuka, Kompas.
Pada rentang waktu 1973-1992, masa dimana ia bekerja sebagai wartawan Kompas, tulisannya tentang even-even olahraga selalu ditunggu dan disimak pembaca. Tulisan olahraganya berirama dan amat hidup karena mampu membawa imajinasi pembaca ke suasana sebenarnya dari even yang menjadi obyek laporannya. Konon, ia pun mampu memprediksi skor pertandingan sepak bola (internasional atau nasional) yang akan digelar, dan prediksinya jarang meleset dari kenyataan di lapangan hijau.
Kendati sudah mendengar kabar dari para sahabat bahwa Om Valens sedang dirawat di ICCU RS Sanglah, kepergian Om Valens tetap membuat banyak orang terhenyak, terasa ada ruang batin yang tiba-tiba kosong. Bagi penulis yang adalah satu dari begitu banyak muridnya di dunia pers, kematian Om Valens adalah perstiwa yang mengguncang rasa dan menusuk batin. Ya Tuhan Yang Maha Pengasih, dalam kedukaan yang sangat, biarkanlah doa-doa kami para muridnya dan doa-doa banyak orang mengalir untuk Om Valens, semoga jiwanya turut diundang masuk dalam kerajaan surgawiMu.
Guru yang paripurna
Mendengar kabar kematian Om Valens, kenangan penulis pun terbang ke masa lalu, hinggap di ranting waktu, pada paruh akhir 1992. Kala itu, Om Valens datang ke Kupang untuk membidani lahirnya koran ini, Pos Kupang, surat kabar harian pertama yang terbit di Propinsi NTT. Salah satu fase kelahiran Pos Kupang (PK) adalah rekruitmen calon-calon wartawan, dimana penulis ketika itu menjadi satu dari segelintir mahasiswa aktif yang ikut melamar untuk mengikuti 'diklat khusus' versi Om Valens. Di bawah bimbingan Om Valens, penulis akhirnya lahir sebagai wartawan PK generasi awal, bersama para sahabat antara lain Dion DB Putra (kini Pemimpin Redaksi PK), Ferry Jahang, Benny Dasman, Paul Bola, Paul K Burin, Azis Tokan (Kepala Biro LKBN Antara Kupang), Yulius Lopo (Pemred Timika Pos), Merry Dohu, dan Evi Pello. Sahabat-sahabat non-wartawan PK yang juga lahir dari didikan Om Valens antara lain Etty Turut, Yati, Neny, dan Niko Sine.
Dalam masa 'diklat' ketika itu, yang mendampingi Om Valens untuk menempa kami wartawan pemula, beberapa mentor di dunia pers nasional antara lain wartawan senior Kompas, Damyan Godho (Pemimpin Redaksi pertama
PK, kini Pemimpin Umum), Marcel W Gobang (kini Wakil Pemimpin Umum), Julius R Siyaranamual, dan Esthi Susanti. Sedangkan beberapa instruktur yang membantu Om Valens antara lain Pius Rengka (kini anggota DPRD NTT), Hans Ch Louk (kini anggota KPUD NTT), Hironimus Modo (kini Redaktur PK), Hilarius Japi, dan Wens J Rumung. Dua nama terakhir ini kendati tidak lagi aktif di PK, tetapi masih tetap aktif sebagai wartawan.
Sungguh, penulis ingat betul bagaimana Om Valens membangun suasana kerja yang dinamis, akrab, dan penuh kekeluargaan selama masa 'diklat khusus' itu. Kami seperti tidak pernah merasa lelah bekerja selama Om Valens secara fisik hadir bersama kami, berada di dekat kami, membimbing dan mengajarkan pada kami bagaimana idealisme wartawan mesti dilakoni, demi mencapai kebaikan khalayak (publik). Ia memang motivator tangguh, pekerja yang idealis, guru pers yang paripurna, sekaligus memiliki jiwa kepemimpinan alamiah dan berkarakter.
Di ruang redaksi, suaranya bisa melengking tegas kalau sudah bersentuhan dengan tugas-tugas redaksi. Sebaliknya bisa pula ia menyapa lembut setiap orang dalam konteks human relationship. Suatu saat, ia bisa tertawa lepas bersama kru redaksi tanpa berpura-pura atau sok wibawa. Tetapi, di saat lain, ia terlihat amat berwibawa saat bergelut dengan sisi profesionalismenya. Ia membangun relasi dengan setiap orang berbasiskan pada spirit kemanusiaan (sense of humanity) yang kental. Ia tipikal manusia bertemperamen keras, tetapi memiliki kelembutan dan kebersahajaan sikap dalam memimpin orang lain.
Pria kelahiran Boawae-Ngada, Flores 61 tahun lalu ini juga dikenal sebagai orang yang memiliki sportivitas yang tinggi. Ia tak segan minta maaf pada bawahannya sekali pun, apabila ia merasa melakukan kekeliruan atau kesalahan. Nilai-nilai sportivitas ini mungkin terinternalisasi dari habitatnya sebagai wartawan olahraga. Sportivitas Om Valens juga terlihat dari sikapnya yang moderat dan demokratis saat membahas konsepsi pengembangan koran. Ia membuka ruang selebar-lebarnya agar dialektika gagasan mengalir lancar dari setiap orang demi pencapaian tujuan kolektif.
Ia konsisten menerapkan metoda reward and punishment. Yang berprestasi diapresiasi (reward), yang berkinerja minus diberi sanksi (punishment) agar memperbaiki produktivitas. Sebagaimana melalui PK dan koran-koran daerah di nusantara, Om Valens pun membidani kelahiran koran Suara Timor Timur (STT) di Dili. Konon, di Timtim, Om Valens dikenal berteman dekat dengan beberapa tokoh penting antara lain dengan Xanana Gusmao yang kini menjadi Presiden Timor Leste.
Sesekali, saat ia pergi bertugas ke Jakarta, Timtim (kini Timor Leste), atau ke kota lain, Om Valens memberikan 'oleh-oleh' untuk kami. Walau kecil secara fisik-material, oleh-oleh itu selalu bermakna mendalam bagi kami, yakni sebagai wujud perhatian dan kasihnya, sekaligus simbol reward atas prestasi kerja kami. Terkadang ia memberi kami makanan kecil, ballpen, buku agenda, note book, duit ala kadarnya, kaos, baju, atau bahkan jaket yang sebenarnya masih suka ia kenakan. Kalau sudah mendapat oleh-oleh kecil seperti itu, perasaan kami amat bahagia, dan semangat juang kami makin terpacu dalam menunaikan tugas kewartawanan.
Kebajikan pers
Ada petikan pelajaran dari Om Valens tentang kewajiban pers nasional, bahwa 'pers mesti memberitakan sesuatu berdasarkan fakta yang terjadi, tetapi tidak semua fakta harus diberitakan'. Inilah kebajikan pers yang dipahami Om Valens, bahwa kendati ada fakta, namun jika pemberitaan tentang fakta itu tidak memberikan manfaat bagi publik, untuk apa fakta itu diberitakan? Fakta yang ia maksudkan lazimnya bersentuhan dengan sentimen SARA, privasi seseorang, atau sesuatu yang dapat menghukum seseorang atau sekelompok orang di hadapan publik (trial by the press).
Kebajikan pers yang diajarkan Om Valens inilah yang akan menghindarkan pers dari keberadaannya sebagai 'koran kuning' alias media murahan yang bermutu rendah. Namun demikian, hal itu tidak lalu berarti bahwa pers kemudian mengambil posisi sebagai partisan/sub-ordinat terhadap kekuatan mana pun. Pers atau media massa mesti menjadi dirinya sendiri. Dalam perkembangannya, pers memang telah menjadi kekuatan keempat dalam ranah demokrasi selain lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Untuk itu, pers mesti mengambil posisi sebagai 'mitra kritis' terhadap semua lembaga publik termasuk pemerintah.
Profesionalisme suatu media pada akhirnya ditentukan oleh kualitas visi pengelola dan stakeholder media bersangkutan, dalam memainkan fungsi sebagai penyebar informasi, kontrol sosial, edukasi, dan hiburan Visi pemberitaan yang juga ditransformasi dan diinternalisasi kepada kami para wartawan pemula ketika itu, adalah dengan memberikan porsi yang cukup kepada community news, pemberitaan yang terkait dengan kepentingan kolektif komponen masyarakat yang mencirikan pluralisme dan penghargaan pada perbedaan-perbedaan yang memang sudah ada secara given (terberikan).
Peristiwa keagamaan dan budaya yang mampu menghembuskan harmoni kemanusiaan, selalu punya tempat utama dalam visi pemberitaan Om Valens. Ia selalu mengingatkan media yang ia bidani kelahirannya untuk tidak boleh luput dari community news, mengingat dari sinilah bakal tergambar tingkat akseptabilitas dan kadar keberterimaan publik terhadap eksistensi sebuah media.
Tulisan-tulisan Om Valens kental dengan human interest dan pesan kehidupan. Terhadap permasalahan publik, tulisannya menyuguhkan opsi-opsi solusi, tidak asal mengkritik, serta jauh dari kesan menghardik, menghakimi, apalagi menghujat.
Untuk para pemegang otoritas, tulisan Om Valens memberikan pengayaan filosofis bahwa masalah publik adalah ziarah pengabdian sebagai pertanggungjawaban nurani atau jabatan publik yang sedang diemban. Di tahun 1993, berapa saat setelah suksesi kepemimpinan dari Gubernur Hendrik Fernandez ke Gubernur Herman Musakabe, muncul peristiwa kelaparan di beberapa desa di Sumba Timur. Memaknai peristiwa itu, Om Valens menulis di rubrik Salam PK: 'Salib pertama untuk Musakebe'.
Sekeping kenangan
Kebersahajaan dan kebaikan hati Om Valens sungguh tidak bakal terhapus dari benak dan hati para muridnya di dunia pers. Begitu banyak pernak-pernik pengalaman dari para wartawan yang pernah berinteraksi dengan Om Valens. Dalam masa perkabungan atas kematian Om Valens, penulis ingin membagi sekeping pengalaman yang tidak mungkin terhapuskan oleh perjalanan waktu, sampai kapan pun.
Setelah menjadi 'alumnus' PK, di awal Oktober 1995, penulis dan empat rekan yakni Claudius V Boekan, John Bernando Seran, Raymundus Tiwa, dan Cyriakus Kiik mengikuti ajakan Om Valens untuk meneruskan panggilan tugas kewartawanan di metropolitan Jakarta. Tak berhitung hari, setelah Om Valens menelpon ke Kupang, kami berlima alumni PK sepakat ke Jakarta. Tapi apa daya, kemampuan kantong kami tak memadai, kendati untuk membeli satu tiket pesawat pun. Tidak disangka-sangka, Om Valens mengirimkan uang untuk membeli tiket Kupang-Jakarta buat kami. Kalau harus meminjam untuk 'uang saku', Om Valens memastikan akan menggantinya di Jakarta.
Walau bayangan kami tentang kehidupan Jakarta serba buram, kami nekat berangkat, karena kami sangat yakin pada Om Valens. Ada kesan jenaka di tengah kenekatan kami waktu itu. Seperti rata-rata 'orang dari kampung' kami senang-senang saja berangkat ke Jakarta, sudah naik pesawat gratis --karena tiketnya dibeli Om Valens--- membayangkan diri akan jadi wartawan di ibu kota negara pula. Sungguh, perjalanan kami memang mirip-mirip bonek (bondo nekat), hanya bermodal nekat.
Suatu ketika di Jakarta, selepas dari BY, penulis dan Claudius berjumpa dengan Om Valens. Ia tahu betul bahwa penulis menaruh minat pada dunia politik. Om Valens pun berpesan: "Apabila serius memasuki dunia politik, sebaiknya perkuat dulu kemampuan ekonomi, sehingga nanti tidak tergoda melakukan korupsi ketika sedang memegang suatu jabatan publik". Pesan itu ternyata menjadi pesan terakhir yang penulis dengan langsung dari Om Valens. Pesan itu ternyata relevan dengan realitas kehidupan bangsa hari-hari ini yang memang sarat diwarnai oleh problematika korupsi
massif.
Valens Doy. Sosok bersahaja ini telah pergi selamanya. Ia kini benar-benar berpisah dengan semua orang yang dikasihi dan mengasihinya. Yang ia tinggalkan bagi kita adalah deratan kenangan tentang diri dan karya-karyanya. Kenangan tentang Om Valens itulah yang akan selalu mempertemukan kita dengan sosok dan spiritnya, kendati ia telah tiada. "Kenangan itu sesungguhnya suatu bentuk bertemuan," tutur Kahlil. Om Valens terkasih, beristirahatlah dalam damai abadi. Halaman Opini Pos Kupang, 6 Mei 2005.
* Penulis, wartawan Pos Kupang (1992-1995),
kini wartawan Harian PROAKSI Jakarta
KENANGAN pada Valens Goa Doy adalah kenangan yang paripurna tentang sosok sejati seorang wartawan. Ia berziarah total pada panggilan hidupnya sebagai wartawan, menjalani salibnya sebagai wartawan hingga ke tapal batas hayatnya. Di suatu stasi atau perhentian jalan salibnya, ajal pun datang mengajaknya pulang, menemui Sang Sumber Kehidupan. Kini, ia telah beristirahat dalam keabadian, tempat di mana ia tidak dikejar-kejar deadline redaksi dan tugas-tugasnya sebagai 'bidan pers' terkemuka di Indonesia.
Memori tentang Valens Doy adalah memori yang tak terhapuskan dari bilik hati setiap muridnya, wartawan-wartawan yang ia lahirkan dari pola didikannya yang khas, yang sarat dengan kurikulum kehidupan. Bagi kebanyakan muridnya di dunia pers, sosok Valens Doy -- kami biasa memanggilnya Om Valens-- adalah guru pers yang mengabdi total pada idealisme kehidupan.
Totalitasnya pada nilai-nilai kehidupan itulah yang membuat dirinya tampil secara alamiah sebagai pemimpin berkarakter, yang selalu ikhlas berbuat sesuatu bagi kebaikan banyak orang. Selasa malam, 3 Mei 2005, Om Valens menghembuskan nafas terakhir di RS Sanglah Denpasar-Bali akibat serangan jantung. Ia pergi meninggalkan istrinya Elsa Doy, dua anaknya Maria Magdalena Elva Doy dan Alexander Valsa Doy, serta begitu banyak muridnya di dunia pers nasional. Almarhum juga meninggalkan kenangan bagi banyak orang yang mengagumi tulisan-tulisan olahraganya, saat ia masih menjadi Redaktur Desk Olahraga harian nasional terkemuka, Kompas.
Pada rentang waktu 1973-1992, masa dimana ia bekerja sebagai wartawan Kompas, tulisannya tentang even-even olahraga selalu ditunggu dan disimak pembaca. Tulisan olahraganya berirama dan amat hidup karena mampu membawa imajinasi pembaca ke suasana sebenarnya dari even yang menjadi obyek laporannya. Konon, ia pun mampu memprediksi skor pertandingan sepak bola (internasional atau nasional) yang akan digelar, dan prediksinya jarang meleset dari kenyataan di lapangan hijau.
Kendati sudah mendengar kabar dari para sahabat bahwa Om Valens sedang dirawat di ICCU RS Sanglah, kepergian Om Valens tetap membuat banyak orang terhenyak, terasa ada ruang batin yang tiba-tiba kosong. Bagi penulis yang adalah satu dari begitu banyak muridnya di dunia pers, kematian Om Valens adalah perstiwa yang mengguncang rasa dan menusuk batin. Ya Tuhan Yang Maha Pengasih, dalam kedukaan yang sangat, biarkanlah doa-doa kami para muridnya dan doa-doa banyak orang mengalir untuk Om Valens, semoga jiwanya turut diundang masuk dalam kerajaan surgawiMu.
Guru yang paripurna
Mendengar kabar kematian Om Valens, kenangan penulis pun terbang ke masa lalu, hinggap di ranting waktu, pada paruh akhir 1992. Kala itu, Om Valens datang ke Kupang untuk membidani lahirnya koran ini, Pos Kupang, surat kabar harian pertama yang terbit di Propinsi NTT. Salah satu fase kelahiran Pos Kupang (PK) adalah rekruitmen calon-calon wartawan, dimana penulis ketika itu menjadi satu dari segelintir mahasiswa aktif yang ikut melamar untuk mengikuti 'diklat khusus' versi Om Valens. Di bawah bimbingan Om Valens, penulis akhirnya lahir sebagai wartawan PK generasi awal, bersama para sahabat antara lain Dion DB Putra (kini Pemimpin Redaksi PK), Ferry Jahang, Benny Dasman, Paul Bola, Paul K Burin, Azis Tokan (Kepala Biro LKBN Antara Kupang), Yulius Lopo (Pemred Timika Pos), Merry Dohu, dan Evi Pello. Sahabat-sahabat non-wartawan PK yang juga lahir dari didikan Om Valens antara lain Etty Turut, Yati, Neny, dan Niko Sine.
Dalam masa 'diklat' ketika itu, yang mendampingi Om Valens untuk menempa kami wartawan pemula, beberapa mentor di dunia pers nasional antara lain wartawan senior Kompas, Damyan Godho (Pemimpin Redaksi pertama
PK, kini Pemimpin Umum), Marcel W Gobang (kini Wakil Pemimpin Umum), Julius R Siyaranamual, dan Esthi Susanti. Sedangkan beberapa instruktur yang membantu Om Valens antara lain Pius Rengka (kini anggota DPRD NTT), Hans Ch Louk (kini anggota KPUD NTT), Hironimus Modo (kini Redaktur PK), Hilarius Japi, dan Wens J Rumung. Dua nama terakhir ini kendati tidak lagi aktif di PK, tetapi masih tetap aktif sebagai wartawan.
Sungguh, penulis ingat betul bagaimana Om Valens membangun suasana kerja yang dinamis, akrab, dan penuh kekeluargaan selama masa 'diklat khusus' itu. Kami seperti tidak pernah merasa lelah bekerja selama Om Valens secara fisik hadir bersama kami, berada di dekat kami, membimbing dan mengajarkan pada kami bagaimana idealisme wartawan mesti dilakoni, demi mencapai kebaikan khalayak (publik). Ia memang motivator tangguh, pekerja yang idealis, guru pers yang paripurna, sekaligus memiliki jiwa kepemimpinan alamiah dan berkarakter.
Di ruang redaksi, suaranya bisa melengking tegas kalau sudah bersentuhan dengan tugas-tugas redaksi. Sebaliknya bisa pula ia menyapa lembut setiap orang dalam konteks human relationship. Suatu saat, ia bisa tertawa lepas bersama kru redaksi tanpa berpura-pura atau sok wibawa. Tetapi, di saat lain, ia terlihat amat berwibawa saat bergelut dengan sisi profesionalismenya. Ia membangun relasi dengan setiap orang berbasiskan pada spirit kemanusiaan (sense of humanity) yang kental. Ia tipikal manusia bertemperamen keras, tetapi memiliki kelembutan dan kebersahajaan sikap dalam memimpin orang lain.
Pria kelahiran Boawae-Ngada, Flores 61 tahun lalu ini juga dikenal sebagai orang yang memiliki sportivitas yang tinggi. Ia tak segan minta maaf pada bawahannya sekali pun, apabila ia merasa melakukan kekeliruan atau kesalahan. Nilai-nilai sportivitas ini mungkin terinternalisasi dari habitatnya sebagai wartawan olahraga. Sportivitas Om Valens juga terlihat dari sikapnya yang moderat dan demokratis saat membahas konsepsi pengembangan koran. Ia membuka ruang selebar-lebarnya agar dialektika gagasan mengalir lancar dari setiap orang demi pencapaian tujuan kolektif.
Ia konsisten menerapkan metoda reward and punishment. Yang berprestasi diapresiasi (reward), yang berkinerja minus diberi sanksi (punishment) agar memperbaiki produktivitas. Sebagaimana melalui PK dan koran-koran daerah di nusantara, Om Valens pun membidani kelahiran koran Suara Timor Timur (STT) di Dili. Konon, di Timtim, Om Valens dikenal berteman dekat dengan beberapa tokoh penting antara lain dengan Xanana Gusmao yang kini menjadi Presiden Timor Leste.
Sesekali, saat ia pergi bertugas ke Jakarta, Timtim (kini Timor Leste), atau ke kota lain, Om Valens memberikan 'oleh-oleh' untuk kami. Walau kecil secara fisik-material, oleh-oleh itu selalu bermakna mendalam bagi kami, yakni sebagai wujud perhatian dan kasihnya, sekaligus simbol reward atas prestasi kerja kami. Terkadang ia memberi kami makanan kecil, ballpen, buku agenda, note book, duit ala kadarnya, kaos, baju, atau bahkan jaket yang sebenarnya masih suka ia kenakan. Kalau sudah mendapat oleh-oleh kecil seperti itu, perasaan kami amat bahagia, dan semangat juang kami makin terpacu dalam menunaikan tugas kewartawanan.
Kebajikan pers
Ada petikan pelajaran dari Om Valens tentang kewajiban pers nasional, bahwa 'pers mesti memberitakan sesuatu berdasarkan fakta yang terjadi, tetapi tidak semua fakta harus diberitakan'. Inilah kebajikan pers yang dipahami Om Valens, bahwa kendati ada fakta, namun jika pemberitaan tentang fakta itu tidak memberikan manfaat bagi publik, untuk apa fakta itu diberitakan? Fakta yang ia maksudkan lazimnya bersentuhan dengan sentimen SARA, privasi seseorang, atau sesuatu yang dapat menghukum seseorang atau sekelompok orang di hadapan publik (trial by the press).
Kebajikan pers yang diajarkan Om Valens inilah yang akan menghindarkan pers dari keberadaannya sebagai 'koran kuning' alias media murahan yang bermutu rendah. Namun demikian, hal itu tidak lalu berarti bahwa pers kemudian mengambil posisi sebagai partisan/sub-ordinat terhadap kekuatan mana pun. Pers atau media massa mesti menjadi dirinya sendiri. Dalam perkembangannya, pers memang telah menjadi kekuatan keempat dalam ranah demokrasi selain lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Untuk itu, pers mesti mengambil posisi sebagai 'mitra kritis' terhadap semua lembaga publik termasuk pemerintah.
Profesionalisme suatu media pada akhirnya ditentukan oleh kualitas visi pengelola dan stakeholder media bersangkutan, dalam memainkan fungsi sebagai penyebar informasi, kontrol sosial, edukasi, dan hiburan Visi pemberitaan yang juga ditransformasi dan diinternalisasi kepada kami para wartawan pemula ketika itu, adalah dengan memberikan porsi yang cukup kepada community news, pemberitaan yang terkait dengan kepentingan kolektif komponen masyarakat yang mencirikan pluralisme dan penghargaan pada perbedaan-perbedaan yang memang sudah ada secara given (terberikan).
Peristiwa keagamaan dan budaya yang mampu menghembuskan harmoni kemanusiaan, selalu punya tempat utama dalam visi pemberitaan Om Valens. Ia selalu mengingatkan media yang ia bidani kelahirannya untuk tidak boleh luput dari community news, mengingat dari sinilah bakal tergambar tingkat akseptabilitas dan kadar keberterimaan publik terhadap eksistensi sebuah media.
Tulisan-tulisan Om Valens kental dengan human interest dan pesan kehidupan. Terhadap permasalahan publik, tulisannya menyuguhkan opsi-opsi solusi, tidak asal mengkritik, serta jauh dari kesan menghardik, menghakimi, apalagi menghujat.
Untuk para pemegang otoritas, tulisan Om Valens memberikan pengayaan filosofis bahwa masalah publik adalah ziarah pengabdian sebagai pertanggungjawaban nurani atau jabatan publik yang sedang diemban. Di tahun 1993, berapa saat setelah suksesi kepemimpinan dari Gubernur Hendrik Fernandez ke Gubernur Herman Musakabe, muncul peristiwa kelaparan di beberapa desa di Sumba Timur. Memaknai peristiwa itu, Om Valens menulis di rubrik Salam PK: 'Salib pertama untuk Musakebe'.
Sekeping kenangan
Kebersahajaan dan kebaikan hati Om Valens sungguh tidak bakal terhapus dari benak dan hati para muridnya di dunia pers. Begitu banyak pernak-pernik pengalaman dari para wartawan yang pernah berinteraksi dengan Om Valens. Dalam masa perkabungan atas kematian Om Valens, penulis ingin membagi sekeping pengalaman yang tidak mungkin terhapuskan oleh perjalanan waktu, sampai kapan pun.
Setelah menjadi 'alumnus' PK, di awal Oktober 1995, penulis dan empat rekan yakni Claudius V Boekan, John Bernando Seran, Raymundus Tiwa, dan Cyriakus Kiik mengikuti ajakan Om Valens untuk meneruskan panggilan tugas kewartawanan di metropolitan Jakarta. Tak berhitung hari, setelah Om Valens menelpon ke Kupang, kami berlima alumni PK sepakat ke Jakarta. Tapi apa daya, kemampuan kantong kami tak memadai, kendati untuk membeli satu tiket pesawat pun. Tidak disangka-sangka, Om Valens mengirimkan uang untuk membeli tiket Kupang-Jakarta buat kami. Kalau harus meminjam untuk 'uang saku', Om Valens memastikan akan menggantinya di Jakarta.
Walau bayangan kami tentang kehidupan Jakarta serba buram, kami nekat berangkat, karena kami sangat yakin pada Om Valens. Ada kesan jenaka di tengah kenekatan kami waktu itu. Seperti rata-rata 'orang dari kampung' kami senang-senang saja berangkat ke Jakarta, sudah naik pesawat gratis --karena tiketnya dibeli Om Valens--- membayangkan diri akan jadi wartawan di ibu kota negara pula. Sungguh, perjalanan kami memang mirip-mirip bonek (bondo nekat), hanya bermodal nekat.
Suatu ketika di Jakarta, selepas dari BY, penulis dan Claudius berjumpa dengan Om Valens. Ia tahu betul bahwa penulis menaruh minat pada dunia politik. Om Valens pun berpesan: "Apabila serius memasuki dunia politik, sebaiknya perkuat dulu kemampuan ekonomi, sehingga nanti tidak tergoda melakukan korupsi ketika sedang memegang suatu jabatan publik". Pesan itu ternyata menjadi pesan terakhir yang penulis dengan langsung dari Om Valens. Pesan itu ternyata relevan dengan realitas kehidupan bangsa hari-hari ini yang memang sarat diwarnai oleh problematika korupsi
massif.
Valens Doy. Sosok bersahaja ini telah pergi selamanya. Ia kini benar-benar berpisah dengan semua orang yang dikasihi dan mengasihinya. Yang ia tinggalkan bagi kita adalah deratan kenangan tentang diri dan karya-karyanya. Kenangan tentang Om Valens itulah yang akan selalu mempertemukan kita dengan sosok dan spiritnya, kendati ia telah tiada. "Kenangan itu sesungguhnya suatu bentuk bertemuan," tutur Kahlil. Om Valens terkasih, beristirahatlah dalam damai abadi. Halaman Opini Pos Kupang, 6 Mei 2005.
* Penulis, wartawan Pos Kupang (1992-1995),
kini wartawan Harian PROAKSI Jakarta