Oleh Hendry Ch Bangun
MENDAPAT berita kepergian Valens Goa Doy ke alam baka, yang segera saya ingat adalah tulisannya yang begitu manis, indah, mengesankan, namun tepat sasaran karena padat, penuh rincian, dan proporsional.
Saat ini hampir tidak mudah lagi menemukan tulisan seperti itu meski jumlah wartawan olahraga dan halaman olahraga di media cetak jauh lebih banyak ketimbang di masa dia berkarya. Saya sendiri tidak pernah menjadi anak buahnya langsung, sebab ketika masuk desk olahraga di akhir tahun 1984 dia sudah naik pangkat. Namun tulisan-tulisannya justru sudah mulai sering saya baca ketika masih duduk di bangku kuliah.
Ada dua sisi pribadi Valens. Belakangan dia lebih dikenal sebagai organisatoris, pengelola media, hal yang dia mulai dengan terjun dalam mempelopori pembentukan media di berbagai daerah di akhir 1980-an, menerbitkan aneka jenis media di Jakarta, sampai Indonesia Timur yang digelutinya sampai akhir hayatnya. Dia pernah diminta membantu membenahi Warta Kota di tahun 2001.
Sisi lain adalah Valens sebagai jurnalis yang dia mulai di tahun 1973 sampai akhir 1980-an, yang sebagian besar dijalani sebagai wartawan olahraga. Tulisan terakhirnya di Kompas tentang pertarungan Mike Tyson dengan Frank Bruno, 27 Februari 1989, dalam rubrik Topik dan Komentar. Dia menulis lead artikel itu begini "Salah satu dari sekitar 1000 wartawan yang lagi membanjiri Las Vegas, secara unik melukiskan keperkasaan Mike Tyson. Dalam previewnya menjelang pertandingan dia menulis sebagai berikut: "Bum! Tubuh Frank Bruno dengan berat 190 kg itu terhempas ke kanvas, mentalà"
Tulisan itu sama indahnya ketika dia menggambarkan suasana latihan Muhamad Ali yang akan menghadapi Ken Norton bulan September 1976, Ali dengan tekun menghadapi "punching bag" raksasa di hadapannya. ôPunching bag" berwarna hitam itu berulang kali dihantamnya dengan sangat keras dan cepat. Keringat bercucuran di sekujur tubuhnya, tetapi pelatih Angelo Dundee masih belum puas. Pukul, pukul, pukul, dan terus pukul!
Kelebihan Valens adalah kemampuan membuat lead dari sudut pandang yang tepat, pas, dan memberi nilai tambah bagi pembaca berkat adanya data, fakta, informasi yang baru. Kadang data atau fakta itu bisa berupa kesimpulan yang tentu baru bisa dilakukan kalau si penulis memiliki pengetahuan yang memadai tentang apa, siapa, bagaimana hal yang ditulisnya. Itu sebabnya Valens selalu tidak puas kalau anak buahnya pulang dari meliput dengan data, komentar, hasil wawancana, yang tanggung. Pasti dia suruh kejar lagi agar lengkap.
Tanpa memiliki bahan tulisan yang cukup akan sulit bagi seorang wartawan untuk menyajikan berita dengan lead yang memikat karena pilihan lalu terbatas. Tetapi di sisi lain walaupun memiliki bahan yang cukup, kalau tidak memiliki ketrampilan menulis yang memadai, yang tersaji dalam berita atau artikel tidak bisa dinikmati karena kering. Valens memiliki kedua-duanya.
Bahannya seabreg-abreg, intuisinya tajam, kosa katanya kaya, diksinya tepat, gaya bahasanya memikat. Lihat saja kutipan berikut tentang suasana pasca kemenangan Liem Swie King atas Rudy Hartono di final All England 1976
Kamar ganti pakaian bertuliskan nomor 1 pada pintunya, tiba-tiba berobah jadi hening. Tawa gelak berhenti mendadak. Sang juara yang baru, Liem Swie King, terhenyak di kursinya dengan mata basah. ôTerima kasih Rud. Saya dikasih," bisiknya, lalu tepekur. Kedua matanya mengatupà"
Atau tulisan 20 Oktober 1979 tentang nasib petinju Indonesia Syamsul Anwar Harahap dan Thomas Hearns (AS) yang dia kalahkan di turnamen Piala Presiden 1977, dua tahun kemudian -Mana Thomas Hearns? + Dia tidak datang. Sudah masuk prof. ûOooooà Dialog pendek itu terjadi di Beograd Mei 1979 antara Syamsul Anwar dan seorang ofisial tim tinju AS saat berlangsung Kejuaraan Dunia.
Di tahun 1970-an surat kabar Jakarta yang dianggap paling bagus halaman olahraganya adalah Merdeka, tetapi secara pelahan-lahan Kompas bersama Sinar Harapan mendapat reputasi baik. Di sini Valens memiliki peran besar, di samping rekan-rekannya seperti Th A Budi Susilo, Sumohadi Marsis dan Ignatius Sunito.
Terutama tulisan lepas, yang berisikan opini, memberikan andil besar bagi sepak terjang pengurus olahraga baik itu di KONI Pusat maupun induk-induk organisasi. Kritiknya yang to the point dan apa adanya kerap langsung ditanggapi dengan baik. Pengurus PBSI dan PSSI tentu masih ingat betapa tajamnya pena Valens Doy karena dua organisasi ini yang paling banyak ditulisnya.
Walaupun demikian hubungan personal dengan pengurus dan juga pemain atau atlet sangat baik, mencapai tingkat persahabatan. Jarak Palmerah dengan Senayan, kompleks pelatnas tahun 1970-an sampai tahun 1980-an, yang begitu dekat membuat rumah-rumah yang menampung atlet di Jalan Manila, Jalan Judo, New Delhi, seakan menjadi rumah kedua baginya. Apalagi waktu itu kebanyakan training centre juga hampir semua diadakan di Senaya.
Karena kedekatan itu pula sempat beredar cerita Valens pernah jatuh cinta pada seorang atlet nasional, hal yang saya tidak tahu pasti kebenarannya. Saya pun tidak sempat bertanya. Tetapi Valens punya romantisme tersendiri ketika menggambarkan seorang atlet wanita, di Kompas 22 Juli 1978.
Lukiskan perempuan paling manis dalam hati anda. Sebagian besar, kalau tidak seluruhnya, ada pada diri Myrna Hardjolukito, primadona lonat indah nasional. Tetapi percuma kalau anda berangan-angan memilikinya. Karena Jumat kemarin sang Primadona telah dipersunting.
Atau tentang penyanyi Trio Bimbo di Kompas 3 Mei 1976. Ada dua gambaran sebelum saya menjumpai Iin Parlina. Seorang dara melankolis yang tengah memungut daun-daun di taman sambil mengharapkan hari esoknya bersemi kembali seperti dituturkan Acil dalam lagunya "Flamboyant". Dan seorang wanita dengan suara yang lembut seperti gemerisik daun cemara dalam ôAdakah Suara Cemara" nya Sam.
Di awal kariernya di Kompas, Valens terjun di bidang pendidikan dan kebudayaan sehingga banyak tulisannya berkisar tentang perfilman, musik, pentas, selain umum termasuk olahraga. Baru dua tahun kemudian dia total di olahraga yang menciptakan sosok besarnya.
Kini Valens sudah pergi, meninggalkan ribuan tulisan yang pastilah sangat bermanfaat dalam waktu lama kalau dikompilasi menjadi sebuah buku. Tulisannya dapat menjadi penanda tonggak penting dalam perjalanan dunia olahraga Indonesia, yang meskipun masih relatif baru sebagian mungkin tidak lagi diingat masyarakat olahraga kita. Itulah cara terbaik mengenang sosoknya yang hangat, tidak pernah berhenti tersenyum dan memberi semangat anak buahnya.*
Kompas, 6 Mei 2005.
MENDAPAT berita kepergian Valens Goa Doy ke alam baka, yang segera saya ingat adalah tulisannya yang begitu manis, indah, mengesankan, namun tepat sasaran karena padat, penuh rincian, dan proporsional.
Saat ini hampir tidak mudah lagi menemukan tulisan seperti itu meski jumlah wartawan olahraga dan halaman olahraga di media cetak jauh lebih banyak ketimbang di masa dia berkarya. Saya sendiri tidak pernah menjadi anak buahnya langsung, sebab ketika masuk desk olahraga di akhir tahun 1984 dia sudah naik pangkat. Namun tulisan-tulisannya justru sudah mulai sering saya baca ketika masih duduk di bangku kuliah.
Ada dua sisi pribadi Valens. Belakangan dia lebih dikenal sebagai organisatoris, pengelola media, hal yang dia mulai dengan terjun dalam mempelopori pembentukan media di berbagai daerah di akhir 1980-an, menerbitkan aneka jenis media di Jakarta, sampai Indonesia Timur yang digelutinya sampai akhir hayatnya. Dia pernah diminta membantu membenahi Warta Kota di tahun 2001.
Sisi lain adalah Valens sebagai jurnalis yang dia mulai di tahun 1973 sampai akhir 1980-an, yang sebagian besar dijalani sebagai wartawan olahraga. Tulisan terakhirnya di Kompas tentang pertarungan Mike Tyson dengan Frank Bruno, 27 Februari 1989, dalam rubrik Topik dan Komentar. Dia menulis lead artikel itu begini "Salah satu dari sekitar 1000 wartawan yang lagi membanjiri Las Vegas, secara unik melukiskan keperkasaan Mike Tyson. Dalam previewnya menjelang pertandingan dia menulis sebagai berikut: "Bum! Tubuh Frank Bruno dengan berat 190 kg itu terhempas ke kanvas, mentalà"
Tulisan itu sama indahnya ketika dia menggambarkan suasana latihan Muhamad Ali yang akan menghadapi Ken Norton bulan September 1976, Ali dengan tekun menghadapi "punching bag" raksasa di hadapannya. ôPunching bag" berwarna hitam itu berulang kali dihantamnya dengan sangat keras dan cepat. Keringat bercucuran di sekujur tubuhnya, tetapi pelatih Angelo Dundee masih belum puas. Pukul, pukul, pukul, dan terus pukul!
Kelebihan Valens adalah kemampuan membuat lead dari sudut pandang yang tepat, pas, dan memberi nilai tambah bagi pembaca berkat adanya data, fakta, informasi yang baru. Kadang data atau fakta itu bisa berupa kesimpulan yang tentu baru bisa dilakukan kalau si penulis memiliki pengetahuan yang memadai tentang apa, siapa, bagaimana hal yang ditulisnya. Itu sebabnya Valens selalu tidak puas kalau anak buahnya pulang dari meliput dengan data, komentar, hasil wawancana, yang tanggung. Pasti dia suruh kejar lagi agar lengkap.
Tanpa memiliki bahan tulisan yang cukup akan sulit bagi seorang wartawan untuk menyajikan berita dengan lead yang memikat karena pilihan lalu terbatas. Tetapi di sisi lain walaupun memiliki bahan yang cukup, kalau tidak memiliki ketrampilan menulis yang memadai, yang tersaji dalam berita atau artikel tidak bisa dinikmati karena kering. Valens memiliki kedua-duanya.
Bahannya seabreg-abreg, intuisinya tajam, kosa katanya kaya, diksinya tepat, gaya bahasanya memikat. Lihat saja kutipan berikut tentang suasana pasca kemenangan Liem Swie King atas Rudy Hartono di final All England 1976
Kamar ganti pakaian bertuliskan nomor 1 pada pintunya, tiba-tiba berobah jadi hening. Tawa gelak berhenti mendadak. Sang juara yang baru, Liem Swie King, terhenyak di kursinya dengan mata basah. ôTerima kasih Rud. Saya dikasih," bisiknya, lalu tepekur. Kedua matanya mengatupà"
Atau tulisan 20 Oktober 1979 tentang nasib petinju Indonesia Syamsul Anwar Harahap dan Thomas Hearns (AS) yang dia kalahkan di turnamen Piala Presiden 1977, dua tahun kemudian -Mana Thomas Hearns? + Dia tidak datang. Sudah masuk prof. ûOooooà Dialog pendek itu terjadi di Beograd Mei 1979 antara Syamsul Anwar dan seorang ofisial tim tinju AS saat berlangsung Kejuaraan Dunia.
Di tahun 1970-an surat kabar Jakarta yang dianggap paling bagus halaman olahraganya adalah Merdeka, tetapi secara pelahan-lahan Kompas bersama Sinar Harapan mendapat reputasi baik. Di sini Valens memiliki peran besar, di samping rekan-rekannya seperti Th A Budi Susilo, Sumohadi Marsis dan Ignatius Sunito.
Terutama tulisan lepas, yang berisikan opini, memberikan andil besar bagi sepak terjang pengurus olahraga baik itu di KONI Pusat maupun induk-induk organisasi. Kritiknya yang to the point dan apa adanya kerap langsung ditanggapi dengan baik. Pengurus PBSI dan PSSI tentu masih ingat betapa tajamnya pena Valens Doy karena dua organisasi ini yang paling banyak ditulisnya.
Walaupun demikian hubungan personal dengan pengurus dan juga pemain atau atlet sangat baik, mencapai tingkat persahabatan. Jarak Palmerah dengan Senayan, kompleks pelatnas tahun 1970-an sampai tahun 1980-an, yang begitu dekat membuat rumah-rumah yang menampung atlet di Jalan Manila, Jalan Judo, New Delhi, seakan menjadi rumah kedua baginya. Apalagi waktu itu kebanyakan training centre juga hampir semua diadakan di Senaya.
Karena kedekatan itu pula sempat beredar cerita Valens pernah jatuh cinta pada seorang atlet nasional, hal yang saya tidak tahu pasti kebenarannya. Saya pun tidak sempat bertanya. Tetapi Valens punya romantisme tersendiri ketika menggambarkan seorang atlet wanita, di Kompas 22 Juli 1978.
Lukiskan perempuan paling manis dalam hati anda. Sebagian besar, kalau tidak seluruhnya, ada pada diri Myrna Hardjolukito, primadona lonat indah nasional. Tetapi percuma kalau anda berangan-angan memilikinya. Karena Jumat kemarin sang Primadona telah dipersunting.
Atau tentang penyanyi Trio Bimbo di Kompas 3 Mei 1976. Ada dua gambaran sebelum saya menjumpai Iin Parlina. Seorang dara melankolis yang tengah memungut daun-daun di taman sambil mengharapkan hari esoknya bersemi kembali seperti dituturkan Acil dalam lagunya "Flamboyant". Dan seorang wanita dengan suara yang lembut seperti gemerisik daun cemara dalam ôAdakah Suara Cemara" nya Sam.
Di awal kariernya di Kompas, Valens terjun di bidang pendidikan dan kebudayaan sehingga banyak tulisannya berkisar tentang perfilman, musik, pentas, selain umum termasuk olahraga. Baru dua tahun kemudian dia total di olahraga yang menciptakan sosok besarnya.
Kini Valens sudah pergi, meninggalkan ribuan tulisan yang pastilah sangat bermanfaat dalam waktu lama kalau dikompilasi menjadi sebuah buku. Tulisannya dapat menjadi penanda tonggak penting dalam perjalanan dunia olahraga Indonesia, yang meskipun masih relatif baru sebagian mungkin tidak lagi diingat masyarakat olahraga kita. Itulah cara terbaik mengenang sosoknya yang hangat, tidak pernah berhenti tersenyum dan memberi semangat anak buahnya.*
Kompas, 6 Mei 2005.