Wake Laki Lise Tana Telu (3)

Korban adalah sebuah nilai hidup

Merumuskan sebuah teori masyarakat budaya Lise Tana Telu dapat dimulai dari tradisi yang berkembang dan masih bertahan hingga saat ini. Para antropolog memiliki logika ilmu sendiri untuk merumuskan dengan realitas masyarakat.

Namun masyarakat juga memiliki logika tersendiri yang hadir secara turun-temurun. Realitas yang ada dalam masyarakat Lise Tana Telu bukan realitas teoritis melainkan realitas yang hadir secara riil, di tengah jatuh bangunnya masyarakat lokal (petani) mempertahankan hidup dan berusaha hidup layak dari sisi ekonomi, pendidikan, dan kesehatan.

Dalam kondisi sosial budaya yang amat kompleks bersama lembaga adat, tradisi, dan masyarakat adat mempertahankan jati diri, masyarakat adat Lise Tana Telu menghadirkan kembali jati dirinya.

Pengakuan inilah yang mungkin juga melampaui analisis tokoh-tokoh antropolog dan sosiolog yang berusaha berbicara obyektif tentang kehidupan sebuah kelompok etnis, namun tidak dapat mengatakan semuanya.

Dalam wilayah yang begitu luas dan membutuhkan kepastian hukum tertulis, mereka memiliki "kelisanan" yang diyakini hanya dengan menyebutkan ulu soe endo mbawe - eko take tola ndale artinya kepala di Pantai Endo Mbawe (Kota Baru), ekor di Lia Tola (Watuneso) secara hukum adat sudah menggariskan bahwa Lise Tana Telu terbentang dalam tiga wilayah Tana Lise, yaitu Lise Nggonde Ria dari Wololele A sampai pantai Lia Tola, Lise Lowo Boro dari Wololele B sampai Nua Tu , dan Lise Kurulande dari Kelisoke sampai Kota Baru pantai Lio Utara. Pada hari nggubhu luka, kebersamaan sejarah dan asal usul kekerabatan Lise Tana Telu dipersatukan.

Darah kuda, bagi boge, dan ikatan dengan leluhur

Setelah acara nggubu luka dan podi lesu ini, pesta mesti dilengkapi dengan jara nai hanga (kuda dibawa/dinaikan ke hanga) untuk dilakukan acara taga jara (penyembelihan kuda). Darah kuda ini dibiarkan tersiram membasahi hanga sebagai simbol korban dan perjuangan para leluhur pada masa lalu yang telah berperang untuk mendapatkan Lise Tana Telu.

Siraman darah pun menunjukkan restu leluhur pada mosalaki pu'u agar mau berkorban dalam tugas-tugasnya. Daging kuda akan dibagi-bagikan dalam acara bagi boge atau pembagian daging kepada ria bewa, mosalaki, dan boge hage untuk dibawa pulang ke rumah masing-masing. Dalam kenyataannya di Ratenggoji bukan kuda yang disembeli di hanga, tetapi seekor sapi.

Seperti dijelaskan Daniel meskipun yang disembelih bukan kuda tetapi sapi, mereka harus menyebutnya "taga jara". Hal ini secara simbolis mengingatkan mereka akan peristiwa masa lampau, dimana para leluhur menaklukan atau menguasai Lise Tana Telu dengan menggunakan kuda sebagai sarana transpotasi utama. "Daging kuda" inilah yang selalu dipersembahkan kepada leluhur dalam setiap kesempatan upacara adat, kendati yang disembeli selain sapi, juga kerbau, babi, atau ayam.

Hal ini hampir sama dengan penyembelihan kaba manu (kaba= kerbau, manu = ayam) untuk dipersembahkan kepada leluhur dalam masyarakat adat Ngadha (kabupaten Ngada). Ayam dipakai sebagai simbol untuk mengatakan kerbau.

Daging ini sebelum dimakan, dipersembahkan terlebih dahulu kepada segenap leluhur Lise Tana Telu yang telah berjuang mempertahankan tana Lise pada masa lampau. Pembagian daging ini dilakukan sebagai berikut. Dua orang mosalaki ria bewa mendapat satu ekor babi yang dibelah dua (kela rua) sama besar dari kepala sampai ke ekor.

Para mosalaki mendapat daging boge (potongan besar), dan para boge hage mendapat boge bhoko (boge dengan potongan lebih pendek). Kami melihat Daniel sendiri yang membagi-bagikan daging dalam acara bagi boge ini. Setiap nama yang seharusnya menerima, dicatat agar tidak ada yang terlewati.

Daging yang dibagikan dalam bagi boge dibawa pulang untuk diolah atau dimasak dalam keluarga masing-masing. Dengan demikian "makan bersama" segenap masyarakat Lise Tana Telu setelah nggubhu luka diselenggarakan secara luas, dalam bagi boge sebagai simbol.

Di samping itu, bagi boge ini juga menunjukkan bahwa "pesta syukur" nggubhu luka diyakini oleh segenap mosalaki, bogehage, fai walu dan ana halo, serta segenap lapisan masyarakat Lise Tana Telu. Makan bersama adalah puncak sebuah perjamuan. Demikian pula boge hage yang dilanjutkan dengan makan bersama di "rumah masing-masing" menunjukkan sebuah titik puncak yang lain dari persekutuan Lise Tana Telu.

Catatan historis dan dukungan masyarakat

Eksistensi mosalaki pu'u Lise Tana Telu secara historis tampak dari partisipasi warga adat Lise Tana Telu. Seperti dijelaskan Yustinus Wae (28) pada hari nggbhu luka. "Kami dari wake laki (calon mosalaki), gawi sepanjang malam." Warga kampung Mbe'i Ndori ini bersama kawan-kawannya berjalan kaki pp ke Ratenggoji untuk gawi bersama, memberi dukungan menjelang pesta.

Begitu pula Lambertus Lea (30) warga Nua Baru, Sebas Mode (37) dari Nua Wika, bersama sejumlah besar warga Lise Tana Telu yang dijumpai sepanjang jalan menuju Ratenggoji. Semua mereka menjelaskan hal yang sama. Mereka pergi wake laki, memberi dukungan kepada calon mosalaki yang keberadaanya diakui secara turun-temurun.

Pada malam hari diadakan tarian gawi bersama dengan irama lagu dan hentakan kaki. Acara ini untuk memberitakan persatuan dan kesatuan warga yang boleh diketahui seluruh penghuni jagat raya baik yang berada di langit, di bumi, dan di bawah bumi tentang sebuah upacara pelantikan mosalaki pu'u, pemimpin adat tertinggi Lise Tana Telu.

Pengakuan masyarakat mengenai pemimpin adat mereka adalah barometer utama. Dukungan moril dan materil sejak persiapan upacara antara lain, usaha memperbaiki jalan raya menuju Ratenggoji. Satu-satunya jalan dalam medan berat, berbatu-batu, selebar satu badan kendaraan roda empat itu diperbaiki dengan swadaya masyarakat Lise Tana Telu. Bersama Daniel Bheto Dedo, segenap lapisan masyarakat (fai walu ana halo) dan guru di kampung Nua Wika mengumpulkan uang sebesar Rp. 3000.000.

Uang itu dipakai menyewa alat berat milik pemerintah, Dinas Kimpraswil Kabupaten Ende, untuk memperbaiki bagian-bagian jalan yang rusak parah (longsor pada musim hujan yang lalu). Masyarakat memberi dalam kekurangan mereka, agar jalan yang selama ini putus total, bisa dilewati kendaraan. Masyarakat mungkin saja mengeluh dalam diam dan kekurangan mereka dengan harapan mudah-mudahan perhatian pemerintah untuk pengerasan jalan ke Ratenggoji dapat segera terwujud.

Apa yang terjadi di Ratenggoji desa Tani Woda Kecamatan Kota Baru Kabupaten Ende, tepatnya di Lise Tana Telu mengedepankan sebuah harmoni antara dunia mikro (Lise Tana Telu) dan dunia makro (jagat raya/atau yang lebih luas dari Lise Tana Telu).

Mereka adalah bagian kecil dari keseluruhan hidup pada jaman modern ketika perhatian segenap komponen masyarakat tertuju pada kursi DPR, DPRD, DPD, pada suksesi dari tingkat lurah, camat, bupati, gubernur, bahkan presiden.

Mereka berusaha eksis dalam melaksanakan keyakinan tradisi yang jauh dari pikiran-pikiran pragmatis kedudukan dan pemerolehan keuntungan finansial. Mereka menjalankan apa yang mestinya dijalankan. Rasa hormat pada leluhur, kesetiaan pada pore jaji (sumpah adat) dan sejarah masa lalu leluhur ditampilkan dengan tepat (bersambung/maria matildis banda).
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes