Om Valens dan Tapaleuk

Oleh Paul Bolla

SEJAK kepergian Om Valens Doy pada Selasa, 3 Mei 2005, banyak sudah yang ditulis oleh para bekas muridnya. Surat Kabar Harian (SKH) Pos Kupang yang ikut didirikannya menyediakan ruang seluas-luasnya bagi para mantan murid untuk menyatakan apresiasi mereka tentang Om Valens. Saya hanya memberi komentar pendek untuk memenuhi permintaan Dion DB Putra, Pemred Pos Kupang, setelah mendapat SMS dari Om Peter Rohi bahwa Om Valens sudah mendahului kita. Tak lama kemudian, Senin, 23 Mei 2005, satu lagi berita duka saya terima via SMS dari Paschalis Tho, fotografer Pos Kupang. Om Julius Siyaranamual telah menyusul Om Valens.

SMS ini saya teruskan ke Hans Louk, Yulius Lopo, Dany Ratu, dan Ana Djukana. Kedua sahabat kental Om Valens dan Om Julius sama-sama ikut mendirikan Pos Kupang bersama Om Damyan Godho. Saya menjadi bagian dari Pos Kupang sejak November 1992 hingga November 1999.


Dion meminta saya memimpin ibadah syukur mengenang Om Julius pada Rabu, 25 Mei 2005. Saat kepergian Om Valens, Pos Kupang juga menyelenggarakan doa requiem. Dalam dua peristiwa itu, Pos Kupang mengundang semua bekas murid Om Valens dan Om Julius. Kami pun berbagi cerita mengenang aneka pengalaman bersama kedua guru kita.
 

Seusai ibadah syukur mengenang Om Julius, Om Damyan Godho, Pemimpin Umum Pos Kupang, menyampaikan informasi para bekas murid Om Valens berniat membuat sebuah buku dan acara yang mengingatkan kita tentang kebesaran Om Valens. Para bekas murid Om Valens di Kupang pun diminta menyumbangkan tulisan. Dion lalu meminta saya ikut menulis. Permintaan itu disusul dengan SMS esok harinya yang meneruskan SMS dari Viktus Murin, rekan angkatan pertama wartawan Pos Kupang yang kini berdomisili di Jakarta. Dion dan Viktus meminta saya menulis "Om Valens dan tapaleuk."
 

Permintaan itu tepat sekali. Saya sependapat dengan mereka. Tapaleuk adalah nama rubrik di halaman dua pojok kiri atas SKH Pos Kupang yang ditulis dalam bahasa pergaulan orang Kupang, bahasa Kupang. Formatnya berupa opini atas berbagai peristiwa yang dituliskan dengan cara bercerita. Isinya, bisa berupa kritik, pujian, usul-saran, atau sekadar obrolan ringan. Inspirator nama rubrik digagas oleh Om Valens, kemudian didiskusikan mencari istilah dalam bahasa Kupang.
 

Tapaleuk dalam bahasa Kupang artinya aktivitas yang dilakukan seseorang hanya sekadar jalan-jalan atau plesir tanpa tujuan fokus, pindah dari satu tempat ke tempat lain hanya untuk omong-omong. Padanan kata tapaleuk dalam bahasa Indonesia tidak tersedia. Kata "ronda" artinya mendekati tetapi bukan dalam pengertian "jaga malam". Wartawan dilihat dari aspek aktivitasnya yang terus jalan mencari berita tanpa kenal waktu dilekatkan kepada ungkapan tapaleuk.
 

Rubrik tapaleuk semula ditulis oleh Om Julius sebagai orang Kupang. Om Julius akhirnya angkat tangan karena sudah lama merantau sehingga bahasa Kupangnya sangat terbatas. Selain itu Om Julius juga mulai sibuk dan mesti kembali ke Surabaya di Harian Surya.
 

Tak lama setelah diterima menjadi wartawan magang di Pos Kupang, Om Valens mempercayai saya mengelola rubrik tapaleuk. Jadilah saya sebagai penulis tetapnya. Melalui rubrik ini saya dikenal. Setiap hari rubrik tapaleuk menjadi mimbar saya berkhotbah maksimal 45 baris. Melalui rubrik ini saya lebih dekat dengan Om Valens. Beliau kerap mengajak diskusi dan meminta saya menyampaikan pesan-pesan kritisnya dalam bahasa Kupang.
 

Om Valens telah menjadikan rubrik tapaleuk sebagai pintu bagi orang Kupang mengenal jati dirinya. Bahasa Kupang bukanlah bahasa tulis. Hanya bahasa pergaulan (lingua franca), bahasa percakapan. Ketika bahasa Kupang dituliskan, tidak mudah untuk membacanya, sekalipun oleh orang Kupang. Salah melafalkannya, kita akan tersesat. Karena maknanya menjadi lain.
 

Sulitnya membaca rubrik tapaleuk secara tepat, justru menjadi tantangan. Kita akan penasaran dan merasa geli sendiri. Karena itu siapa pun yang membaca tapaleuk akan terhibur, meski isinya kerap berupa kritikan tajam yang bisa buat telinga merah. Rubrik ini (selalu hadir di halaman 2 Pos Kupang) menjadi tempat kita melakukan relaksasi pikiran. Rubrik ini juga menjadi tempat pembaca Pos Kupang bercermin.
 

Inilah yang diinginkan Om Valens. Tapaleuk membuat orang Kupang bisa bercermin dan menertawai diri sendiri. Dalam keadaan santai dan ada keterbukaan, pesan-pesan disampaikan. "Paul, kau harus bisa membuat orang Kupang tertawa, setelah itu baru pesan-pesan disampaikan," kata Om Valens suatu hari di tahun 1993, di kantor lama Pos Kupang di Jalan Soeharto No. 53 Kupang.
 

Mengapa saya membuat orang Kupang tertawa? Saya bertanya kepada Om Valens. "Ah, kau kan orang Kupang, masak nggak tahu caranya, kamu pasti bisa." Begitulah cara Om Valens memotivasi. Saya pun menggali hal-hal yang ada pada orang Kupang yang bisa menjadi sarana penyampaian pesan secara jenaka. Lalu saya memakai ilmu dari Om Julius Siyaranamual untuk membangun konteks cerita, dengan tokoh dan karakter khas, setting lokal dan alur/plot bercerita yang cair dan kerap meledak-ledak. Semuanya dituliskan dalam bahasa Kupang lama era tahun 1970-1980-an.
 

Saya membangun dunia cerita dengan tokoh-tokoh dari sebuah keluarga suku Rote. Ba'i Ndu mempunyai istri Sulabei. Ada dua anak, laki-laki bernama Ta'ek dan adiknya perempuan Inafe'ok. Keluarga ini mempunyai rumah beratapkan daun tuak, terdiri dari rumah induk dan dapur yang terpisah dari rumah utama. Di depan rumah ada pohon tambring (asam). Dan di bawah pohon dibuatkan dedegu.
 

Kisah dibangun memakai setting berganti-ganti. Ada kisah yang berawal di kamar tidur. Lain kali saat sedang duduk santai di dedegu, di dapur atau di kebun yang terdapat di depan, belakang atau samping rumah. Settingnya berganti bergantung pesan yang hendak disampaikan. Saya berusaha membuat deskripsi senyata mungkin, sehingga orang percaya keluarga ini seperti benar-benar ada.
 

Nah, apa yang saya dapatkan selama menulis rutin rubrik tapaleuk setiap hari, adalah saya menyatu dengan dunia cerita tapaleuk. Saya hampir tak pernah kekurangan inspirasi. Apa saja yang terjadi di sekitar kita selalu bisa menjadi bahan untuk menyampaikan pesan-pesan moral.
 

Rubrik tapaleuk akhirnya benar-benar menjadi mimbar saya berkotbah setiap hari. Pasalnya, saya adalah calon pendeta yang baru saja menyelesaikan masa vikariat tetapi belum bersedia menjadi pendeta. Saya bergabung dengan Pos Kupang tanpa melewati proses test dan tanpa pelatihan. Pasalnya saat menemui Om Valens, pada 24 November 1992, proses rekrut calon wartawan sudah selesai. Bahkan sudah selesai pelatihan dan para wartawan pemula sudah dilepas ke lapangan. Pos Kupang sudah mulai terbit percobaan.
 

"Kamu nggak usahlah jadi pendeta. Menjadi pendeta itu baik, tetapi ruang lingkup kamu terbatas. Kalau menjadi wartawan, kamu bisa memakai koran untuk berkhotbah kepada semua orang lintas agama. Lewat koran kamu bisa membuat orang lain menjadi lebih baik, tetapi tidak gratis. Orang harus mengeluarkan uang untuk membeli koran." Begitu nasehat Om Valens sembari tertawa lepas dengan ekspresi meyakinkan.
 

Di antara sekian banyak hal positif yang sudah diungkapkan rekan-rekan semasa di Pos Kupang, saya ingin menambahkan sesuatu yang lain. Melalui pengelolaan rubrik tapaleuk, Om Valens memberi banyak makna. Sedapat mungkin sebuah berita (pesan atau informasi) jangan sampai melukai seseorang. Untuk mengubah seseorang dan berhenti melakukan kesalahan, tidak mesti membuatnya marah, apalagi menelanjanginya di media. Wartawan tidak diberi hak untuk menghabisi masa depan seseorang, sekalipun orang itu melakukan kesalahan.
 

Cover both side menjadi sesuatu yang wajib. Jangan pernah menurunkan sebuah berita yang belum dikonfirmasi. Apa pun alasannya, wartawan harus berusaha sampai bisa meminta pendapat pihak yang dirugikan oleh sebuah pemberitaan. Jika narasumber itu sulit ditembus, bukalah otak dan berkreasilah.
 

Rubrik tapaleuk adalah salah satu solusi menembus narasumber yang sulit. Godalah narasumber itu lewat tulisan jenaka. Yakinkan dia lewat karakter dunia cerita tapaleuk, agar bersedia ditemui wartawan dan bersedia memberikan keterangan. Maklum saat awal berdirinya Pos Kupang, banyak pihak -- terutama pejabat pemerintah di Kupang, yang sangat ketakutan ditemui wartawan, karena anggapan yang keliru. Wartawan dianggap orang yang suka mencari-cari kesalahan orang lain.
 

Tapaleuk merupakan media untuk menyampaikan pesan seperti cara yang biasa dipakai orang Kupang. Dengan menggunakan kebiasaan-kebiasaan lokus setempat bisa menghindarkan kita dari melakukan kekerasan secara tidak langsung. Dengan menyampaikan suatu pesan yang mengabaikan tradisi, adat istiadat dan kebiasaan setempat, akan menghambat pesan itu diterima. Tujuan pun jadi sulit dicapai.
 

Satu lagi misi rubrik tapaleuk lainnya, kata Om Valens, adalah agar orang Kupang bangga bahwa Pos Kupang adalah koran-nya orang Kupang. Itu sudah terwujud. Bahkan apresiasi yang tinggi dari pembaca Pos Kupang terhadap rubrik tapaleuk diwujudkan dengan dilaksanakannya Lomba Membaca Tapaleuk di panggung arena Pameran Pembangunan di Lapangan Polda NTT, Agustus 1995.
 

Salah satu jurinya waktu itu adalah Om Nano "Kikok" Manubala. Yang harus dipertahankan sekarang adalah menjaga dan menggelola rubrik tapaleuk seperti pertama kali rubrik itu dimunculkan.
 

Om Valens sekarang su sonde ada lai. Tapi beta yakin bapatua ada lia sang katong. Bapatua pasti ada loti babae. Apa batong pake koran hanya mau korvei orang sa, atau batong ju mau beking orang dong bisa jadi bae. Jang batong cuma makadadoto tulis orang pung lelhanak sa. Batong ju musti akui orang ju ada dia pung bae. Waktu batong tagepe, bukan alasan untuk tape'e. Kalo batong musti tulis orang bafiruk, inga ju yang ada makarereuk.

Pos Kupang, 2 Juni 2005.

* Penulis, wartawan, tinggal di Kupang



Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes