Kami Ingin Pulang...

* Dialog KKP Indonesia-Timor Leste (4)


NAMANYA Camilo do Santos.Tentara Nasional Indonesia (TNI). Masih aktif berpangkat perwira. Berkarya di wilayah Korem 161 Wirasakti Kupang. Tinggi, atletis. Rambut tipis dan klimis. Lantang dan berwibawa kala bercakap. Runut ketika menyampaikan pandangannya. Lugas mengungkapkan isi hatinya. Hari itu, 4 Januari 2007 di Hotel Kristal-Kupang, Camilo berkisah tentang diri dan keluarganya di tanah rantau. Tentang derita batinnya. Tentang kerinduannya akan kampung halaman. Timor Lorosae.

"Terima kasih Bapa Uskup telah mengundang saya," tuturnya ketika moderator, Prof. Dr. Alo Liliweri memberinya kesempatan. "Saya berbicara tentang diri saya sendiri, bukan mewakili institusi atau siapa-siapa. Sayalah orang pertama yang diproses hukum karena dianggap melanggar HAM dalam peristiwa 1999. Saya dituduh membunuh wartawan Belanda, Sander Thoenes (tanggal 22 September 1999, Red). Saya bukan pembunuh. Saat itu saya dan teman-teman sedang bertugas dan kebetulan melintas di lokasi terbunuhnya wartawan itu. Tapi saya diadili, juga diproses secara hukum militer. Kasusnya sampai di tingkat Kejaksaan Agung. Saya bebas karena memang saya bukan pembunuh," kata Camilo.
Sekejap tercipta keheningan di Ballroom Kristal. Di antara 15 orang peserta yang berbicara dalam dialog Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) Indonesia- Timor Leste kala itu, Camilo merupakan peserta yang mengungkap perasaan hatinya secara terbuka. Bahkan sangat terbuka. Persis seperti diharapkan para komisioner KKP dari kedua negara agar jangan takut dan cemas untuk bersaksi, mengungkapkan isi hati atau pandangan.
Dan, Camilo do Santos belum selesai mengungkapkan unek- uneknya. Sambil memandang Rui Santos dan Aniceto Guterres (komisioner KKP asal Timor Leste), Camilo berkata, "Rui Santos itu adik kandung saya. Aniceto itu ipar saya. Kami berbeda pandangan politik, berbeda pilihan. Rui memilih Timor Leste. Saya perwira militer Indonesia dan masih aktif sampai sekarang. Kami berbeda, tapi kami bersaudara kandung. Saya dan keluarga di sini ingin pulang...sewaktu-waktu. Ingin melihat ibu yang sudah tua. Tapi bagaimana mungkin kalau nama saya masih ada dalam daftar, ada di semua pos penjagaan di Timor Leste, misalnya? Saya berharap KKP segera merampungkan tugasnya," kata Camilo.
Pulang ke Timor Leste bukan hanya kerinduan Camilo seorang. Americo Seran, juga anggota TNI aktif asal Suai mendambakan hal yang sama. Sama juga dengan kerinduan salah seorang anggota KKP asal Timor Leste, Felicidade Guterres. "Saya ingin pulang ke kampung halaman untuk bakar lilin di kubur leluhur, bikin upacara di rumah adat. Kami orang Timor menyatu dengan rumah adat," demikian Americo Seran.
"Timor Leste adalah milik semua orang. Akibat peristiwa 1999, kami juga kehilangan saudara-saudari kami yang kini ada di Indonesia. Kita punya hubungan darah keluarga. Kita semua merindukan pertemuan tanpa rasa takut dan cemas," ujar Felicidade.
***
PULANG! Siapakah yang tak ingin pulang ke tanah airnya? Orang Lio ingin pulang ke Lio meski sudah belasan tahun hidup di bumi Timor. Orang Yogyakarta seperti Antonius Sujata selalu ingin pulang Yogya kendati lebih dari 40 tahun meninggalkannya. Anak Manado rindu pulang ke Manado sekadar bakumpul sejenak dengan famili dan saudara. Ya. Semua orang ingin pulang ke kampung halamannya tanpa rasa takut dan cemas.
Bayangkan Anda menjadi anak-anak rantau seperti Camilo, Filomeno, Tiago, Joao, Soares atau Amaral? Anak-anak rantau yang ingin pulang ke tanah airnya. Mereka ingin bersimpuh di kaki ibunda, menyandarkan dada di bahu ayah yang sudah renta. Menemui kekasih serta para sahabat. Rindu pulang tapi tak mungkin. Mau kembali namun menghadapi rintangan. Kenyatannya masih ada "tembok pemisah" di sana. Ada "jarak" psikologis. Semua karena persoalan politik -- sesuatu yang tidak semua mereka tahu kenapa seperti diungkapkan seorang peserta wanita hitam manis dengan rambut panjang terurai dalam dialog KKP hari Kamis itu.
"Kami tidak mengerti, tapi kami menjadi korban. Siapa yang menjadi sumber permusuhan ini? Siapa yang harus memperbaiki hubungan persahabatan? Setelah jajak pendapat itu, yang punya sayap terbang dengan sayapnya. Yang punya pangkat lari dengan pangkatnya. Kami kaum wanita dan anak-anak tak berdaya. Kami sekarat." Korban! Semua menjadi korban dalam tikungan berdarah 1999. Di pihak Indonesia maupun Timor Leste. Maka di sinilah makna penting keberadaan KKP untuk mengungkapnya secara benar dan adil. Proporsional.
Kecil tapi penting -- mengemuka pula dalam dialog itu pertanyaan reflektif bagi KKP tentang pemicu kerusuhan pasca jajak pendapat. "Apakah UNAMET tidak berlaku curang? Setelah pemungutan suara, kami tidak tahu kotak suara ditaruh di mana, dibawa ke mana? Saya tidak percaya manusia. HanyaTuhan Yesus yang saya percaya." Suara itu lagi-lagi bersumber dari wanita hitam manis dengan rambut panjang terurai.
Tidak bisa tidak. Harapan besar kini disandarkan pada Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia - Timor Leste yang beranggota sepuluh orang dengan masa tugas setahun dan kemungkinan diperpanjang maksimum setahun lagi. Semua menanti rekomendasi akhir dengan segunung harapan. Kiranya kebenaran akhir benar-benar terungkap tuntas di altar sejarah kedua bangsa yang dari sononya sudah ditakdirkan bertetangga. Tetangga yang harus hidup berdampingan secara damai, akur dan rukun. Bersahabat.
Masih terngiang kata-kata Uskup Agung Petrus Turang saat memulai dialog, 4 Januari silam. "KKP tidak boleh gagal. Kegagalan KKP berarti kegagalan memanfaatkan momentum untuk menyembuhkan luka lama dan menyusun catatan sejarah bersama. Lebih mendasar lagi, kegagalan KKP akan merupakan investasi buruk dalam melanggengkan dan mewariskan beban sejarah bagi anak cucu dari kedua bangsa dan negara." (dion db putra/habis)

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes