Oleh Hans Ch Louk*
"COBA Anda jelaskan kepada pembaca bahwa tembok di depan kita ini berwarna putih meskipun di tengahnya ada titik berwarna hitam." Inilah satu-satunya pertanyaan sang Redaktur Pelaksana Harian Surya, terbitan Surabaya kepada saya. Pertanyaan yang sama sekali di luar perkiraan saya ketika menghadap dewan redaksi saat testing menjadi wartawan. Itu terjadi tiga hari setelah Harian Surya terbit dengan dukunangan tujuh puluhan wartawan yang telah direkrut beberapa bulan sebelum tanggal 10 November 1989.
Meskipun waktu itu saya sudah tujuh tahun berkarya sebagai wartawan Harian Suara Indonesia terbitan Malang (Jawa Timur), tetap saja keringat bercucuran dari kepala dan tembus membasahi kaos oblong dan terasa sampai di pinggang. Bagian punggung semakin lengket menempel pada sandaran kursi.
Sang Redaktur Pelaksana itu, yang Selasa 3 Mei 2005, meninggalkan kita semua setelah menderita sakit beberapa waktu di Kota Denpasar-Bali, bagi saya, dia adalah guru yang membentuk karakter sebagai seorang wartawan. Bukan karena dia telah tiada sehingga harus diberi pujian. Tetapi sudah sejak satu tahun sebelas bulan yang lalu, ketika saya diterima sebagai satu dari lima anggota KPU NTT, muncul keinginan untuk membuat sebuah tulisan pendek sebagai ucapan terima kasih kepada beberapa senior dalam kewartawanan.
Selain almarhum Valens GD, teringat pula waktu iu kepada Aco Manafe yang saat ini saya tidak tahu lagi dia berada di mana sejak pensiun dari Harian Sore Suara Pembaharuan, dan Piter A Roho yang memberitahu saya melalui pesan pendek HP "Valens Doy telah meninggalkan kita". SMS itu masuk ke HP saya pukul 21.32 Selasa malam. Saya tertegun beberapa saat. Kemudian mencoba menghubungi beberapa rekan wartawan.
Rasa kehilangan yang begitu mendalam membuat saya lupa bahwa di udara yang luas ini, suara melalui telepon genggam yang canggih sekalipun bisa bertabrakan sehingga tak terjadi komunikasi. Nampaknya pada waktu yang bersamaan kami semua yang pernah dididik dan dibentuk sebagai wartawan oleh Valens Doy dengan caranya yang tegas tanpa kompromi, saling memberi informasi tentang kepergiannya.
Tiga senior itu yang melahirkan saya sebagai wartawan, masing-masing mempunyai cara dan keunikan sendiri-sendiri. Valens, selain tegas juga lembut. Seringkali, terutama bagi calon wartawan atau mereka yang belum lama bergaul dengan dia, tak akan merasa diberi tanggung jawab yang besar dan juga berat. Semua tugas yang diberikan, terutama ketika sama-sama pada bulan dan tahun pertama di Harian Pos Kupang, baru terasa berat dan sulit setelah selesai dijalani. Sebagai pemimpin Valens Doy dalam memberi tugas terasa seperti sebuah ajakan untuk memulai sesuatu yang barus dan menantang. Sebelum melaksanakan tugas, wartawan tak boleh mengeluh, apalagi mengatakan tak sanggup. Hasilnya saya rasakan kemudian ketika saya memimpin sejumlah wartawan di Harian NTT Ekspres.
Bekerja total untuk sebuah idealisme sebagai seorang jurnalis ditanamkannya secara perlahan dan pasti. Untuk menjadi seorang wartawan yang baik, Valens memberi beberapa tips yang saya sering katakan pula kepada rekan wartawan lainnya, terutama calon wartawan.
Tidak ada manusia yang dilahirkan sebagai wartawan. Tetapi ada orang yang bisa menjadi wartawan hanya dengan dua hal, tidak malas dan tidak pernah merasa puas. Orang bodoh bisa menjadi pintar, tapi orang malas sulit dibentuk, kata Valens kepada calon-calon wartawan di sela-sela hiruk pikuk redaksi Pos Kupang ketika bencana Tsunami Flores 12 Desember 1992. Saat itu, kami semua, terutama rekan-rekan yang belum sebulan bekerja sebagai wartawan dengan tensi tinggi untuk memenuhi keingintahuan masyarakat NTT tentang bencana Flores tiba-tiba kehilangan akal.
Bagaimana dalam waktu singkat dengan sarana komunikasi yang sangat terbatas seluruh informasi harus disajikan setiap pagi. Di uang redaksi yang sempit dalam rumah tua yang kini telah menjadi Hotel Silvya, kami dibentak bahkan dimaki-maki oleh Pemred HU Pos Kupang, Damyan Godho menjadi tambah bingung dan panik. Satu naskah harus disalin beberapa kali.
Dari tulisan tangan wartawan di Maumere dan Ende yang dikirim melalui helikopter Gubernur Fernandez atau kiriman faksmile yang kabur dan terputus-putus dieja kata demi kata dan diketik ke dalam layar komputer yang hanya beberapa unit. Tetapi semuanya terobati oleh perintah-perintah lembut Valens Doy. Dia selalu menemukan jalan keluar memecah kebuntuan sumber data sehingga setiap informasi sependek apa pun bisa tersulap menjadi berita yang terasa sangat penting dan mencerahkan.
Dalam gaya dan caranya mendidik seorang calon wartawan, Valens Doy selalu menggiring setiap orang ke dalam situasi yang menantang. Rapat redaksi selalu terjadi pada waktu yang tak terduga. Bisa tengah malam atau menjelang pagi. Bisa juga dalam mobil dari Jalan Soeharto menuju Bandara El Tari atau sambil berdiri di teras kantor.
Di Surabaya, Valens Doy dan Peter Rohi pada awal-awal berdirinya Harian Surya, penugasan wartawan diberikan pada waktu tak terduga melalui HT karena ketika itu HP belum dikeal wartawan Indonesia. Selain sebagai pemimpin atau guru, kebapakan Valens Doy sangat menyejukkan. Satu dua kata atau kalimat pendek pesan untuk keluarga setiap wartawan tak pernah luput di akhir setumpuk tugas yang diberikan.
Valens Doy dikabarkan meninggal karena sakit jantung. Saya tak terkejut dengan informasi itu. Bagi saya, dia adalah orang yang dengan sengaja 'menyiksa dirinya' untuk idealisme seorang jurnalis. Tidak merokok dan saya tak pernah tahu dia mencicipi alkohol. Meski cukup lama bekerja satu atap dengannya, saya tak pernah mendapati dia tertidur di kantor. Setiap hari dia muncul dengan wajah yang cerah dan tetap bersemangat. Mungkin Valens Doy adalah wartawan yang paling sedikit tidur. Permen dan beberapa vitamin selalu ada dalam saku jaketnya.
Valens Doy sudah tidak ada lagi. Tetapi sejumlah wartawan yang kini ada di Aceh pada Harian Serambi Indonesia, Sriwijaya Pos Palembang, Bernas Yogyakarta, Surya Surabaya, Pos Kupang, Suara Timor Timur di bekas Propinsi Timur Timur dan tentunya Kompas tak pernah bisa melupakan buah karyanya yang menumental sesuai dengan tempat dan waktu saat dia berada di antara mereka.
Ada banyak lagi yang bisa disebut tentang Valens Doy, tetapi di akhir catatan ini sebagai ungkapan terima kasih untuknya, saya ingin membagi pesan yang pernah disampaikan Valens Doy kepada saya, "Berita bukan alat untuk menyakiti orang lain, siapa atau apa pun dia."
* Penulis, wartawan Pos Kupang (1992-1999), kini anggota KPU NTT
"COBA Anda jelaskan kepada pembaca bahwa tembok di depan kita ini berwarna putih meskipun di tengahnya ada titik berwarna hitam." Inilah satu-satunya pertanyaan sang Redaktur Pelaksana Harian Surya, terbitan Surabaya kepada saya. Pertanyaan yang sama sekali di luar perkiraan saya ketika menghadap dewan redaksi saat testing menjadi wartawan. Itu terjadi tiga hari setelah Harian Surya terbit dengan dukunangan tujuh puluhan wartawan yang telah direkrut beberapa bulan sebelum tanggal 10 November 1989.
Meskipun waktu itu saya sudah tujuh tahun berkarya sebagai wartawan Harian Suara Indonesia terbitan Malang (Jawa Timur), tetap saja keringat bercucuran dari kepala dan tembus membasahi kaos oblong dan terasa sampai di pinggang. Bagian punggung semakin lengket menempel pada sandaran kursi.
Sang Redaktur Pelaksana itu, yang Selasa 3 Mei 2005, meninggalkan kita semua setelah menderita sakit beberapa waktu di Kota Denpasar-Bali, bagi saya, dia adalah guru yang membentuk karakter sebagai seorang wartawan. Bukan karena dia telah tiada sehingga harus diberi pujian. Tetapi sudah sejak satu tahun sebelas bulan yang lalu, ketika saya diterima sebagai satu dari lima anggota KPU NTT, muncul keinginan untuk membuat sebuah tulisan pendek sebagai ucapan terima kasih kepada beberapa senior dalam kewartawanan.
Selain almarhum Valens GD, teringat pula waktu iu kepada Aco Manafe yang saat ini saya tidak tahu lagi dia berada di mana sejak pensiun dari Harian Sore Suara Pembaharuan, dan Piter A Roho yang memberitahu saya melalui pesan pendek HP "Valens Doy telah meninggalkan kita". SMS itu masuk ke HP saya pukul 21.32 Selasa malam. Saya tertegun beberapa saat. Kemudian mencoba menghubungi beberapa rekan wartawan.
Rasa kehilangan yang begitu mendalam membuat saya lupa bahwa di udara yang luas ini, suara melalui telepon genggam yang canggih sekalipun bisa bertabrakan sehingga tak terjadi komunikasi. Nampaknya pada waktu yang bersamaan kami semua yang pernah dididik dan dibentuk sebagai wartawan oleh Valens Doy dengan caranya yang tegas tanpa kompromi, saling memberi informasi tentang kepergiannya.
Tiga senior itu yang melahirkan saya sebagai wartawan, masing-masing mempunyai cara dan keunikan sendiri-sendiri. Valens, selain tegas juga lembut. Seringkali, terutama bagi calon wartawan atau mereka yang belum lama bergaul dengan dia, tak akan merasa diberi tanggung jawab yang besar dan juga berat. Semua tugas yang diberikan, terutama ketika sama-sama pada bulan dan tahun pertama di Harian Pos Kupang, baru terasa berat dan sulit setelah selesai dijalani. Sebagai pemimpin Valens Doy dalam memberi tugas terasa seperti sebuah ajakan untuk memulai sesuatu yang barus dan menantang. Sebelum melaksanakan tugas, wartawan tak boleh mengeluh, apalagi mengatakan tak sanggup. Hasilnya saya rasakan kemudian ketika saya memimpin sejumlah wartawan di Harian NTT Ekspres.
Bekerja total untuk sebuah idealisme sebagai seorang jurnalis ditanamkannya secara perlahan dan pasti. Untuk menjadi seorang wartawan yang baik, Valens memberi beberapa tips yang saya sering katakan pula kepada rekan wartawan lainnya, terutama calon wartawan.
Tidak ada manusia yang dilahirkan sebagai wartawan. Tetapi ada orang yang bisa menjadi wartawan hanya dengan dua hal, tidak malas dan tidak pernah merasa puas. Orang bodoh bisa menjadi pintar, tapi orang malas sulit dibentuk, kata Valens kepada calon-calon wartawan di sela-sela hiruk pikuk redaksi Pos Kupang ketika bencana Tsunami Flores 12 Desember 1992. Saat itu, kami semua, terutama rekan-rekan yang belum sebulan bekerja sebagai wartawan dengan tensi tinggi untuk memenuhi keingintahuan masyarakat NTT tentang bencana Flores tiba-tiba kehilangan akal.
Bagaimana dalam waktu singkat dengan sarana komunikasi yang sangat terbatas seluruh informasi harus disajikan setiap pagi. Di uang redaksi yang sempit dalam rumah tua yang kini telah menjadi Hotel Silvya, kami dibentak bahkan dimaki-maki oleh Pemred HU Pos Kupang, Damyan Godho menjadi tambah bingung dan panik. Satu naskah harus disalin beberapa kali.
Dari tulisan tangan wartawan di Maumere dan Ende yang dikirim melalui helikopter Gubernur Fernandez atau kiriman faksmile yang kabur dan terputus-putus dieja kata demi kata dan diketik ke dalam layar komputer yang hanya beberapa unit. Tetapi semuanya terobati oleh perintah-perintah lembut Valens Doy. Dia selalu menemukan jalan keluar memecah kebuntuan sumber data sehingga setiap informasi sependek apa pun bisa tersulap menjadi berita yang terasa sangat penting dan mencerahkan.
Dalam gaya dan caranya mendidik seorang calon wartawan, Valens Doy selalu menggiring setiap orang ke dalam situasi yang menantang. Rapat redaksi selalu terjadi pada waktu yang tak terduga. Bisa tengah malam atau menjelang pagi. Bisa juga dalam mobil dari Jalan Soeharto menuju Bandara El Tari atau sambil berdiri di teras kantor.
Di Surabaya, Valens Doy dan Peter Rohi pada awal-awal berdirinya Harian Surya, penugasan wartawan diberikan pada waktu tak terduga melalui HT karena ketika itu HP belum dikeal wartawan Indonesia. Selain sebagai pemimpin atau guru, kebapakan Valens Doy sangat menyejukkan. Satu dua kata atau kalimat pendek pesan untuk keluarga setiap wartawan tak pernah luput di akhir setumpuk tugas yang diberikan.
Valens Doy dikabarkan meninggal karena sakit jantung. Saya tak terkejut dengan informasi itu. Bagi saya, dia adalah orang yang dengan sengaja 'menyiksa dirinya' untuk idealisme seorang jurnalis. Tidak merokok dan saya tak pernah tahu dia mencicipi alkohol. Meski cukup lama bekerja satu atap dengannya, saya tak pernah mendapati dia tertidur di kantor. Setiap hari dia muncul dengan wajah yang cerah dan tetap bersemangat. Mungkin Valens Doy adalah wartawan yang paling sedikit tidur. Permen dan beberapa vitamin selalu ada dalam saku jaketnya.
Valens Doy sudah tidak ada lagi. Tetapi sejumlah wartawan yang kini ada di Aceh pada Harian Serambi Indonesia, Sriwijaya Pos Palembang, Bernas Yogyakarta, Surya Surabaya, Pos Kupang, Suara Timor Timur di bekas Propinsi Timur Timur dan tentunya Kompas tak pernah bisa melupakan buah karyanya yang menumental sesuai dengan tempat dan waktu saat dia berada di antara mereka.
Ada banyak lagi yang bisa disebut tentang Valens Doy, tetapi di akhir catatan ini sebagai ungkapan terima kasih untuknya, saya ingin membagi pesan yang pernah disampaikan Valens Doy kepada saya, "Berita bukan alat untuk menyakiti orang lain, siapa atau apa pun dia."
* Penulis, wartawan Pos Kupang (1992-1999), kini anggota KPU NTT