Pil Kadal

Oleh: Yusran Pare*

OBAT apa yang manjur untuk kudis, kurap, panu, koreng, dan sejenisnya? Kalau soal itu ditanyakan pada tukang obat yang menggelar dagangan di terminal atau di emperan pasar kaget, jawabannya mungkin pil kadal.Hiy!
Ya, maksudnya, pil yang dibuat dari kadal. Di beberapa daerah, reptil ini diyakini mengandung zat-zat penyembuh. Karena tak banyak yang sampai hati makan kadal mentah-mentah, atau kadal yang disate, digulai, dan lain-lain, maka tukang obat membuatnya sebagai ramuan.

Agar gampang dikonsumsi, ramuan itu dibentuk pil, kadang kapsul. Tentang apakah pil kadal itu manjur atau tidak, entahlah. Sebab, memang cuma berupa arang (entah betul-betul arang kadal, entah arang apa pula) yang diremukkan, lalu dicetak berbentuk butiran-butiran pil. Hitam. Mirip norit.
Bahwa ada orang yang merasa dikadalin karena penyakitnya tak kunjung sembuh meski sudah minum berbutir-butir pil kadal, ya salah sendiri. Berobat malah ke tukang obat jalanan di terminal.
Tapi kalau ada orang yang mendadak jadi rajin keluar masuk terminal dan pasar-pasar, menemui para sopir dan pedagang yang sedang kerepotan menata ekonomi super mikronya, tak kenal lelah berkelana untuk bertemu kelompok-kelompok arisan, kelompok ibu-ibu dan lainnya, bisa dipastikan ia tidak sedang cari tukang obat penjual pil kadal.
Soalnya, ia sangat bugar. Urusan kesehatan, biasanya ia berurusan langsung dengan dokter pribadi. "Saya akan memperjuangankan kesejahteraan, sehingga mereka tidak akan kesulitan lagi bila ada anggota keluarga yang sakit. Begitu pula untuk biaya pendidikan anak-anaknya, kalau saya terpilih," begitu kira-kira kata sang tokoh.
Nah, jelas kan? Sekadar janji. Jual kecap. Mungkin malah cuma omong kosong untuk meraih simpati agar para sopir, pedagang, warga kebanyakan, penjual sayur, mendukung atau bahkan memilihnya jika ia beli --eh ikut-- Pilkadal (pemilihan kepala daerah secara langsung).
Benda macam apa pula Pilkadal? Kata orang, pil yang ini sih bukan obat sakit kulit, melainkan --konon-- obat mujarab bagi borok-borok demokrasi. Dengan Pilkadal, konon lagi, rakyat bisa langsung memilih kepala daerah mereka, sebagaimana ketika mereka memilih ketua rukun tetangga, rukun warga, atau kepala desa.
Itu kalau pemilihannya berlangsung jujur, adil, lurus, polos, tanpa tekanan, tanpa politik uang. Dan --sekadar diketahui-- pola pemilihan kepala daerah secara langsung (entah itu bupati, walikota, entah itu gubernur) sangat membuka celah yang amat lebar bagi para pebisnis politik dan para politisi yang lebih suka membisniskan politik.
Kita tentu maklum, pemilihan kepala daerah secara langsung memerlukan dana sangat besar, mulai dari ongkos sosialisasi ketentuan, kampanye para calon, biaya penyelenggaraan, upah para penyelenggara, dan lain sebagainya.
Padahal pemerintah tidak cukup makmur untuk menggelontorkan dana tanpa batas bagi terselenggaranya demokrasi ala ketua RT ini pada daerah tingkat dua dan daerah tingkat satu.
Di NTT, misalnya. Hari-hari ini warga Kupang, dan --terutama-- para politisi sedang dilanda demam hebat untuk memperebutkan posisi nomor satu di pemerintahan kota. Selain itu, dalam waktu dekat beberapa daerah tingkat II, juga tingkat provinsi, akan menggelar pilkadal.
Pemerintah --pusat dan daerah-- tentu saja sudah menyusun anggaran untuk membiayai perhelatan demokrasi ini. Namun sudah bisa dipastikan dana itu tidak akan mencukupi.
Lihat saja, daerah-daerah yang akan menyelenggarakan Pilkadal dalam tempo dekat ini, rata-rata hanya mampu menyiapkan dana Rp 2 miliar. Paling pol, Rp 5 miliar lah. Atau bisa lebih besar lagi, tergantung jumlah calon pemilih.
Nah, di sinilah celah itu terbuka. Orang atau pihak-pihak yang berkepentingan dengan kebijakan-kebijakan yang mungkin diambil oleh kepala daerah terpilih, tentu tak akan menyia-nyiakan celah itu.
Taruhlah juragan tambang liar, pengelola judi, pelacuran, bisnis kayu curian atau mereka yang selalu berlindung di balik bisnis "Spanyol" alias separo nyolong, pasti akan mengerahkan segala sumberdaya dan dananya agar kepala daerah terpilih merupakan orang yang tidak akan mengusik bisnis mereka.
Jika kalangan ini --yang menguasai uang-- bisa mengongkosi seorang calon kepala daerah supaya terpilih, tentunya sang kepala daerah terpilih akan memihak mereka. Bagaimanapun, kebijakan mereka nanti tidak akan bisa terlepas dari "balas budi" sang pemodal.
Jika sudah sampai pada tahap demikian, semangat demokratisasi yang terkandung dalam pemilihan langsung kepala daerah ini, tentu akan sekadar jadi bungkus atau topeng yang akan membuat kita "seolah-olah" demokratis.
Itu sebabnya banyak yang sangat khawatir bahwa Pilkadal akan jadi ajang pesta politik sangat berbau duit. Apalagi, meski samar-samar, aroma pesta pora politik uang itu sudah mulai terasa.
Setidaknya kalangan elite di daerah-daerah mulai menjadikannya sebagai bahan diskusi, spekulasi, bahkan ada yang sudah mulai mempersiapkan diri untuk bertarung habis-habisan di bursa agar bisa masuk putaran akhir.
Sebagai contoh kecil, ada partai yang terang-terangan sudah mematok harga bagi orang atau tokoh yang ingin menjadikan partai itu --tentu yang kedudukannya di parlemen lokal cukup signifikan-- sebagai gerobak politik menuju kekuasaan.
Semua dari kita tentu sepakat, pemilihan langsung kepala daerah bisalah dianggap sebagai wujud sejati kedaulatan rakyat dalam menentukan pemimpinnya.
Jika berlangsung secara tepat sesuai dengan semangatnya, momentum ini tentu merupakan peningkatan kualitas demokrasi. Setidaknya, keinginan rakyat untuk memilih pemimpin mereka tidak lagi dialirkan melalui "wakil" yang selama ini justru tampak lebih sering ngadalin pihak yang diwakilinya.
Apalagi rakyat masa kini di mana pun sudah tidak sudi lagi terus menerus dikibuli. Mereka pasti akan memilih pemimpin yang paling sesuai aspirasinya, dan tidak akan menjatuhkan pilihan pada orang yang cuma berkoar-koar mengobral janji seperti tukang obat yang berbusa-busa jual pil kadal.Kecuali kalau mereka memang senang dikadali. ** Penulis, mantan wartawan Pos Kupang. Kini Pemimpin Redaksi Harian Tribun Jabar, Bandung.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes