Wake Laki Lise Tana Telu (2)


Daniel Bheto Dedo mosalaki pu'u Lise Tana Telu

Eksistensi mosalaki pu'u tetap dijunjung tinggi. Hal ini terlihat jelas dalam upacara pelantikan atau penobatan Daniel Bheto Dedo sebagai mosalaki pu'u. Segenap anggota masyarakat persekutuan Lise Tana Telu menjadi saksi upacara yang disebut Nggubhu luka. 


Kehadiran ria bewa, mosalaki, bogehage, ana halo, fai walu di Ratenggoji menyatakan dengan jelas keberadaan Lise Tana Telu. Kedua ria bewa yang hadir adalah Bapak Salomon Woda (ria bewa Lise Tana Telu dari Wololele A) Bapak Yosef Ngati Mbete (ria bewa Lise Tana Telu dari Mulawatu). 

Keberadaan mereka dilengkapi dengan 1) Yohanes Tani mosalaki hebesani dari Watuneso Lio Timur, 2) Paulus Pera mosalaki ine ame dari Fata Ndopo Lise Kuru Lande Kota Baru, 3) Mboti Pati mosalaki ana li'e du'a Embu Wulu Puru Mulu dari Wololele B Kecamatan Wolowaru, 4) Rowa Mali mosalaki dari Bela Nggo Lise Lowo Boro, 

Desa Lika Naka Kecamatan Wolowaru, 5) mosalaki langga lengo dari Wololele B Wolowaru (tidak datang). Ditambah dengan mosalaki pu'u, dari seluruh Lise Tana Telu, terdapat enam mosa laki -satu di antaranya mosalaki pu'u- dan dua mosalaki riabewa. Segenap mosalaki dan ria bewa mengikuti dengan penuh perhatian rangkaian upacara pengukuhan mosalaki pu'u. Bagaimana rangkaian upacara serta makna dari tiap-tiap bagian upacara?

Daniel Bheto Dedo, mosalaki pu'u pemimpin tertinggi Lise Tana Telu

Daniel Bheto Dedo (62) saudara kandung Geradus Baba (KTU Dinas Kependudukan Kab. Ende) adalah mosalaki pu'u Lise Tana Telu yang ke sebelas, setelah ayahnya Kapitan Dedo Baba meninggal dunia tahun 2000 yang lalu. Rangkaian upacara pelantikannya berlangsung selama delapan hari sejak tanggal 3 Oktober sampai 10 Oktober 2004 di Ratenggoji wilayah Lise Kurulande, sebuah dusun terpencil di Desa Tani Woda Kecamatan Kota Baru, Lio Utara, Kabupaten Ende. Upacara ini terbagi atas tiga bagian utama yaitu teo nggo wake wani, nggubhu luka, dan diamini misa syukur,
 

Teo nggo wake wani dilakukan pada hari pertama, 3 Oktober. Pada hari ini gong dibunyikan dengan mantra atau doa-doa oleh Blasius Laka, seorang petugas adat yang telah ditunjuk. Upacara ini mempublikasikan kepada segenap warga adat dan khalayak ramai bahwa rangkaian upacara pelantikan mosalaki pu'u sudah dimulai. 

Pada hari ini juga dilakukan upacara "penyucian" benda-benda adat yang akan dibunyikan maupun yang akan dipakai pada hari utama. Gong, gendang, pakaian kebesaran, berbagai perhiasan semuanya disucikan. Pada hari ini juga sa'o ria tenda bewa (rumah pokok, rumah adat utama) tempat tinggal mosalaki pu'u dibersihkan.
 

Hari kedua sampai hari kelima adalah hari-hari persiapan. Pada hari ini juga sa'o ria tenda bewa (rumah pokok, rumah adat utama) tempat tinggal mosalaki pu'u didoakan dalam bahasa adat.Tenda di depan rumah dibangun untuk menerima kedatangan anggota keluarga dari tempat jauh. 

Keluarga mosalaki pu'u menyiapkan segala kebutuhan upacara sejak hari kedua sampai hari kelima. Sepanjang waktu ini juga setiap hari keluarga menerima kedatangan ari ka'e ine ame (kakak adik tanta om) atau segenap anggota keluarga dari pihak bapa maupun ibu. Mereka datang membawa beras, tuak, gula, kopi, sirih pinang, atau hewan (terutama babi) untuk mendukung kelancaran upacara. Setiap hari keluarga menyiapkan makanan dan minuman untuk anggota keluarga yang datang.


Nggubhu luka, upacara puncak dan, dukungan masyarakat

Struktur kepemimpinan adat masyarakat adat Lise Tana Telu adalah mosalaki pu'u (pimpinan utama, pimpinan tertinggi) selanjutnya ria bewa, mosalaki, dan bogahage (staf kerja mosalaki). Masyarakat umum disebut azi ana fai walu dan ana halo (rakyat kebanyakan).

Pada hari keenam, sehari sebelum hari puncak, nggubhu luka, dua orang ria bewa, dan segenap mosalaki (enam orang) dari seluruh wilayah Lise Tana Telu tiba di Ratenggoji. Mosalaki ria bewa dari Watuneso Lio Timur, Bapak Salomon Woda dan rombongannya secara khusus menyewa truk untuk ke Ratenggoji. Bapak yang memberi kesan berpengalaman dan ramah tamah ini memberi banyak penjelasan mengenai Lise Tana Telu, struktur kepemimpinan adat tradisi yang telah sampai ke keturunan ke sebelas. Penjelasannya dilengkapi juga oleh ria bewa Bapak Yosef Ngati Mbete.

Sebelum nggubhu luka, calon mosalaki pu'u Daniel Bheto Dedo pergi melakukan ritual leluhur, memohon restu leluhur di Keli Soke dekat nua Wolo La, tempat Woda Mbete dimakamkan. Upacara nggubhu luka (selempangkan selendang) dilakukan pada hari puncak, hari ketujuh. Upacara ini diawali dengan Mo Pu. Daniel Bheto Dedo keluar dari sa'o ria tenda bewa didampingi oleh dua orang ria bewa, para mosalaki, dan bogehage (perangkat/staf dari mosalaki pu'u dan ria bewa) dari seluruh wilayah Lisa Tana Telu. 

Daniel memegang Sau (parang adat) simbol mosalaki didampingi ibu kandungnya yang memegang luka (selendang), lesu (destar) yang akan dipakai Daniel. Ibu kandung ini dipandang sebagai simbol turun-temurun dan persatuan Lise Tana. Mereka menuruni tangga rumah adat langkah demi langkah dimulai dari Daniel, diikuti ibu kandungnya, mosalaki ria bewa, mosalaki, dan segenap bogehage. Tiba di tangga terakhir, mereka disambut tarian adat Nggo Wani yang diiringi gong gendang.

Oleh penari, disaksikan segenap warga, rombongan diantar ke Heda Hanga. Heda (balai pertemuan adat) Hanga (pelataran di seputar heda) yang letaknya di seberang jalan, berhadapan langsung dengan sa'o ria tenda bewa. Heda hanga ini terletak di ketinggian, bersisian langsung dengan kuburan para lelulur, termasuk leluhur terkemudian Bapak Dedo Baba, ayah kandung dari Daniel Bheto Dedo. Di belakang heda hanga, menurun sekitar dua meter terus mendaki di ketinggian terdapat barisan rumah penduduk, termasuk rumah Kepala Desa Tani Woda. 

Semua mereka termasuk bagian dari saksi sejarah pesta adat yang langkah itu. Daniel Bheto Dedo naik ke atas heda hanga tepat pada saat wajar menyingsing. Waktu batas antara malam dan siang ditentukan sejak jaman dulu, sebagai tanda segala sesuatu baru dimulai bersama terbitnya matahari. Semoga terang benderang matahari menjadi penuntun langkah selanjutnya.

Di atas heda hanga, disaksikan oleh para leluhur yang diyakini hadir pada saat itu, mosalaki ria bewa, mosalaki, bogehage, dan segenap warga, upacara pun dilakukan. Daniel menerima luka (selendang) dan selanjutnya Daniel melakukan nggubhu luka, menyelempangkan selendang di bahunya. Kemudian dilanjutkan dengan podi lesu. Daniel memasang sendiri destar di kepalanya. Inilah puncak acara. Sangat sederhana, namun makna sosial budayanya mengikat sekaligus memproklamirkan jati diri Lise Tana Telu. Setelah nggubhu luka dan podi lesu dilakukan, Daniel Bheto Dedo dalam balutan luka dan lesu, sebagai mosalaki pu'u yang baru, turun dari heda dan menempati hanga. Beliau disambut tarian wani woge, tarian dengan iringan gendang. Segenap saksi upacara pun menari bersama.

Bhea, ungkapan kemenangan dan keperkasaan

Selesai tarian, mosalaki pu'u melantunkan Bhea (seruan kemenangan dan keperkasaan) suara pertamanya sebagai seorang mosalaki pu'u yang didengar oleh segenap pimpinan adat dan warga Lise Tana Telu. Isi bhea sebagai berikut: Naga wolo sekobe reku deka mbulu telu - ana ata ndu'a - fu moru baru mai - eko take tola ndale - ulu soe endo mbawe - mamo neku to'o ne'e tebo - mule no'o lo - su'u iwa sele holo - tebo rio no'o ra - pati toko tuka - bu ti'i ngala - ulu tana lugu do - eko watu iko do - tu leka pu'u tubu - do do selamba ebe ghawa. Artinya .......

Bhea berakhir disambut dengan gong gendang tarian wani woge dilanjutkan. Acara dilanjutkan dengan gawi (tandak) dhiri deka lima rua (tarian gawi sebanyak tujuh putaran). Tarian ini diikuti oleh segenap mosalaki, boge hage, fai walu ana halo, dan segenap hadirin. Dilakukan sebanyak tujuh kali putaran karena seluruh rangkaian acara dilakukan selama tujuh hari tahapan adat. 

Setelah selesai gawi, kembali tarian go wani mengiringi mosalaki pu'u, ibu kandungnya, mosalaki ria bewa, mosalaki kembali masuk ke dalam sa'o ria tenda bewa. Daniel masuk kembali ke dalam rumah sebagai mosalaki pu'u yang memikul tugas dan tanggung jawab pemimpin Lise Tana Telu sepanjang hidupnya. Jabat tangan dengan Daniel dilanjutkan dengan moke boti dan nata remba atau makan minum dan makan sirih pinang bersama-sama.

Masyarakat adat Lise Tana Telu mayoritas beragama Katolik. Setelah sykur nggubhu luka dan podi lesu dilakukan melalui bhea dan perjamuan adat bersama berupa moke boti dan nata remba; keesokan harinya, minggu, 10 Oktober 2004 seluruh rangkaian upacara sejak teo nggo wake wani sampai nggubhu luka, dipersembahkan kembali dalam sebuah ekaristi kudus yang dipimpin oleh Romo Marsel Lilo dari Paroki Kota Baru. 

Hal ini menggarisbawahi keyakinan masyarakat untuk menempatkan upacara adat dan persembahan kepada leluhur di tengah iman dan keyakinan agama Katolik dan persembahan kepada Tuhan Yang Mahaesa (bersambung/maria matildis banda)
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes