KITA hidup di zaman susah. Mau apa saja susah. Susah jadi nelayan dan penjual ikan karena laut tak selalu mesra. Susah jadi tukang ojek dan sopir angkot karena persaingan berat nian dan amat kerap diserempet rekan sendiri karena kebut-kebutan cari penumpang. Susah sebagai petani karena hujan dan banjir merendam tanaman berbulan-bulan. Susah sebagai rakyat karena untuk mendapatkan minyak tanah harus antre berjam-jam, toh belum tentu dapat seliter dua. Susah mau makan dan minum karena pangan tak cukup tersedia.
Ketika ada anak manusia mati hari ini karena gizi buruk, itu dianggap warta biasa. Ada yang marah besar kalau berulang disiar-tayangkan. Mati karena busung lapar dimengerti sedemikian simpel. Sekadar konsekwensi zaman serba susah. Edan! Jadi pengojek saja susah, apalagi kalau tuan dan puan mau menjadi gubernur-wakil gubernur? Tidak mudah, bung!
Inilah era rakyat pilih langsung. Masa dimana partai politik begitu menonjol. Primadona. Merekalah sutradara yang mengatur skenario bagi aktor dan aktris dalam film kolosal bernama pemilihan kepala daerah. Mereka perlu disujud. Butuh rayuan dengan segepok imbalan wajar menurut ukuran partai agar mau menghantar tuan dan puan ke ajang pemilu. Bahasa langsungnya: no money, no support.
Inilah era rakyat pilih langsung. Masa dimana partai politik begitu menonjol. Primadona. Merekalah sutradara yang mengatur skenario bagi aktor dan aktris dalam film kolosal bernama pemilihan kepala daerah. Mereka perlu disujud. Butuh rayuan dengan segepok imbalan wajar menurut ukuran partai agar mau menghantar tuan dan puan ke ajang pemilu. Bahasa langsungnya: no money, no support.
Hari ini Anda dan beta menyaksikan drama mendebarkan di beranda rumah besar kita, Nusa Tenggara Timur. Drama bertitel pilgub. Alot, mendebarkan dan membuat sebagian rakyat bingung lantaran agenda setting sutradara tak enteng ditebak, tak gampang diprediksi akhir ceritanya. Happy ending atau apa?
Pemilihan langsung Gubernur-Wakil Gubernur NTT perdana ini menciptakan rekor unik. Bayangkan, sampai sehari menjelang masa penutupan pendaftaran baru dua paket yang sudah pasti maju berduel. Pasti menurut regulasi yang berlaku yaitu paket TULUS (Ibrahim Agustinus Medah-Paulus Moa) yang diusung Partai Golkar dan Paket FREN (Frans Lebu Raya-Esthon Foenay) dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Telah mendaftar sejak hari pertama adalah paket GAUL (Gaspar Ehok-Julius Bobo) hasil koalisi Abdi Flobamora dan hari Minggu, 13 April 2008 giliran TALENTA (Jonathan Nubatonis- Valens Sili Tupen) mendaftarkan diri. Namun, menyimak pengusung mereka, kepastian maju atau gugur menunggu hasil akhir verifikasi KPU Propinsi NTT. Hari "H" 5 Mei 2008.
Rekor lain adalah paket yang hendak mendaftar. Sesuai hasil pemilu legislatif, Pilgub NTT musim ini hanya memungkinkan lima paket. Tetapi yang sudah mengambil formulir tujuh pasangan bahkan lebih. Kita akan menjadi saksi apakah ketujuh pasangan itu akan mendaftarkan diri di KPU NTT hari terakhir ini, Senin 14 April 2008. Suasana di KPU akan sungguh riuh dan menarik rasa ingin tahu.
Luar biasa antusias "orang kita" mau menjadi nakhoda Kapal Flobamora. Meski berat dan susah, tidak menurunkan semangat juang. Putra-putri Flobamora memang dikenal berani, pantang mundur. Kendati ada partai mengusung dua calon berbeda, ada pengurus partai ganda gara-gara "berkelahi" di dalam rumah, niat anak-anak NTT menjadi pemimpin tak surut secuil pun. Ada yang datang jauh dari negeri rantau. Ada yang meniti karier di kampung sendiri. Mereka siap berlaga. Prinsip yang dipegang teguh adalah: Bae sonde bae, pimpin Flobamora lebe bae!
Bukan perkara besar seumpama tujuh pasangan atau lebih itu registrasi ke KPU. Daftar diri adalah hak para calon. Boleh jadi langkah ini bagian dari skenario politik. Siapa yang tahu?
Baru jadi masalah gawat-darurat manakala KPU NTT tidak taat asas, inkonsistensi atau toleransi pada konteks yang salah. Reputasi KPU NTT sudah teruji. Semoga tidak direduksi kepentingan sesaat agar urusan memilih "mosalaki" (baca: pemimpin) NTT 2008-2013 hadirkan happy ending bagi semua.
Siapa yang pasti maju ke arena pilgub dan dipercaya mayoritas rakyat NTT? Wah, terlalu prematur bicara soal itu. Cuma tuan agaknya setuju dengan harapan kecil ini. Siapapun yang ikut pilgub hendaknya memiliki sikap dasar seperti ketulusan hati, suka bergaul tanpa memandang latar belakang SARA, friendly alias bersahabat dengan rakyat, mau meningkatkan harkat dan martabat rakyat daerah ini. Setidaknya jangan terus-menerus populer di mata dunia karena kita miskin.
Kita juga butuh pemimpin yang Ora et Labora. Rajin berdoa sekaligus giat bekerja. Tidak apa-apa kalau terkesan agak sombong dan piawai bicara. Toh kesan tidak selalu benar. Jangan percaya kemasan. Lihat dulu isinya. Sombong boleh, asal serius bekerja bagi banyak orang. Mulut manis dan cakap bicara itu aset bagus mengurus kebutuhan vital masyarakat. Kita butuh figur dengan talenta pemimpin, bukan sekadar kepala di Kantor Pemerintah Propinsi Tenggara Timur.
Mudah-mudahan yang terpilih mampu mengurangi angka Drop Out (DO) anak sekolah. Menekan jumlah anak dan balita kita yang mati karena lapar, meregang nyawa akibat sengatan demam berdarah, rabies, TBC, lepra dan sebagainya. Kita butuh yang berani basmi koruptor. Mengamuk kalau disogok. Begitulah kurang lebih figur gubernur-wagub yang kita rindukan sebagai pemimpin 4 juta lebih rakyat Flobamora lima tahun ke depan. Hati boleh panas, kepala dingin kita pertahankan. Pilgub jangan merusak rumah induk Flobamora. Rumah kita yang segera berusia setengah abad. (email: dionbata@gmail.com).
Pos Kupang edisi Senin, 14 April 2008 halaman 1.