Oleh Radhar Panca Dahana
WAKTU yang merambang sesungguhnya tidak berjalan. Namun kita, manusialah, yang bergerak, membuat waktu seperti berlalu. Sesungguhnya waktu itu diam, tetap dan berdomisili. Melulu pikiran dan imajinasi yang berdaya gerak, kecepatan. Untuk perababan tercipta, kebudayaan terlaksana.
Ah, bagaimana konyol seperti kudapat? Tak lebih. Dari kebiasaan konyol, duduk bersepi di Stadion Utama Senayan Jakarta, bagian tepi. Kebiasaan remaja kencur yang dicurinya dari seorang lelaki kecil berbadan keras, berhati keras, berkepala keras, namun berjiwa lemas: Valens Gowa Doy
Mungkin bukan lelaki bermulut lebar (tidak besar) yang membuat remaja itu berpuluh tahun tenggelam dalam sensasi waktu. Namun wartawan kawakan asal Pulau Flores itulah yang pertama kali memperkenalkannya dengan stadion kebanggaan Soekarno. Analis olahraga itulah yang dilihatnya kerap duduk di tepi tiang gawang, atau bangku ujung penonton, memandang lapangan hijau yang nihil manusia.
Remaja itu tak tahu aPa yang dilakukan, dipikir dan terjadi pada "Bang Valens", begiTu ia memanggilnya, kala menyepi di tepi stadion itu. SEperti ia tak mengerti, satu ketika, di tahun 1980, sepulangnya dari Kantor "Koma" (Koran Remaja, sisipan majalah Hai), seseorang memanggil (tidak dengan namanya) dengan keras. Orang iu menggapai dan meminta sang remaja mendekati mobilnya. "Masuk!" Suaranya tegas, membayangkan panglima perang masa Gajah Mada atau Aleksander Agung.
Remaja itu tak berbicara, tak membantah. Seperti ada arus air yang kuat dan akrab mengajaknya masuk mobil milik entah siapa itu. Ia tak mengenalnya, lelaki itu pun tak begitu mengenalnya. Waktu bicara, manusia melihat dirinya bergerak. Mereka berdua ke Senayan. Tanpa banyak bicara, lelaki itu membawanya ke lapangan hijau, di mana sebuah kesebelasan tengah berlatih. Tanpa banyak tanya, ia memberi tahu gerakan-gerakan penting yang tengah dipraktikkan di lapangan. "Itu slip pass. Nah kalau itu wall pass. Kalau gerakannya menyilang, melewati pemain belakang..." Lelaki itu terus bicara. Bibirnya tebal. Remaja itu menajamkan mata. Bibirnya kering. Dan, dimulailah petualangan dua orang itu. Dari satu lapangan ke lapangan lain. Sunardi almarhum, wartawan Sinar Harapan, yang dianggap pesaing terdekat reputasi Bang Valens, sekali menegur sambil melintasi intensitas dialog dua orang iu, juga di tepi stadion. "Membina kader bari lagi nih?" serunya, dengan sedikit sinisme. Bang Valens tertawa, pasti lebar, tapi tidak menjawab. Lalu kembali intens bersama si remaja.
Dan petualangan itu selalu berakhir malam di kantor Redaksi Kompas. Nasi bungkus, teh manis panas, menu luar biasa untuk remaja letih itu. "Kenapa cuma makan dan duduk di situ? Menulislah! Apa saja." Sekali Bang Valens menegur. Sebenarnya memang remaja itu ingin menulis. Banyak kejadian dilihatnya, membuat gatal, pikiran, hati, dan jarinya. Ia ingat perbincangan para pemain bulutangkis tentang Bobby Ertanto yang hendak hijrah ke Taiwan, pada sebuah kejuaraan dunia yang dihadirinya bersama Bang Valens di Istora Senayan. Menulislah kemudian remaja. Meninggalakn hasilnya begitu saja di meja kerja Bang Valens, lalu pulang. Pukul 22.00 hampir tiba.
Esok paginya, halaman X Kompas membuat berita, "Bobby Ertanto Ditawar Rp.100.000,-" penulisnya, Reza. Itulah kali pertama, secara sesungguhnya, ia tenggelam dalam jurnalisme dan media massa nasional. Hatinya tak karuan. Waktu yang diam. Seolah bergegas di hadapannya. Semua venue olahraga seperti angin dikunjunginya. Seperti mata air mengucur dari jari-jarinya.
Ketika Bang Valens baik pangkat menjadi redaktur malam, ia temukan lelaki dengan inspirasi tiada habis itu masih di meja kerja saat malam mengetuk waktu pukul 01.00 dini hari. Ditemani air putih, makanan kecil, dan gula-gula. Kemana empat gelas kopi minimal yang tiap hari dihirupnya? Kemana tiga bungkus rokok keretek yang tiap hari diisapnya?
"Semua sudah tidak", jawabnya ringan. Sejak kapan? "Hari ini," katanya tertawa sambil memandang lekat tumpukkan tulisan di mejanya. Remaja itu mengakui, ia tak pernah mampu melakukan hal yang sama hingga hari ini.
***
SEJAK Bang Valens jadi penanggung jawab desk olahraga Kompas, remaja itu mulai jalan sendiri. Termasuk menyepi hati di stadion sebelah tepi. Seperti membiarkan makanan tercerna jadi tenaga, menyerap semua peristiwa menjadi makna. Itulah wartawan, katanya. Tak cuma menyiar fakta, tapi juga menyirat hakikatnya. Di situlah, menurut dia, karya-karya jurnalistik Bang Valens memperoleh harga dan pengaruhnya. Memiliki kedalaman dan keindahan bahasa. Remaja tersebut mafhum, Bang Valens juga penyair, saat ia temukan puisi- puisinya di media remaja tahun 1970-an.
Meditasi atas fakta itulah yang kemudian kerap membuat remaja itu gundah akan beberapa peristiwa olahraga. "Tulislah!" hanya itu kata Bang Valens saat ia meminta nasihatnya. Remaja itu tanggap seperti senantiasa. Hingga kemudian muncul tulisan panjang, "Kaslan Rosidi dan Korupsi di PSSI", 1981 atau 1982 kita-kira. Reza, remaja itu, sekali lagi terkejut. Itulah kali pertama artikel by line-nya muncul di surat kabar nasional. Itulah karya esai pertamanya di media massa dewasa. Itulah kali pertama ia percaya, hidup dan dunia seterusnya adalah dalam tulisan.
Kepercayaan dirinya meningkat. Dengan senang hati dan gairah bak air bah, ia masuk pula dalam desk budaya dan desk kota. Mendapat bimbingan dari jurnalis kawakan lain, terutama Kristantio JB dan Purnama Kusumaningrat, dua pembela teguhnya selain Bang Valens. Dari tiga desk tersebut, ia tak cuma belajar segala hal, mendapat honor yang membuatnya menjadi remaja terkaya di Bulungan (komunias seni di Jakarta Selatan di mana ia beraktivitas), tetapi juga mendapat dukungan, bimbingan tambahan dari senioren, seperti Sumohadi Marsis, Efix Mulyadi, Tumbur Sihotang (alm), Ignatius Sunito, Tony D Widiastono, TD Asmadi, hingga August Parengkuan yang satu kali pernah juga memintanya membantu desk politik yang ia pimpin.
Berkenalan dan bekerja sama pula kemudian dia dengan beberapa penulis muda yang datang sebagai kader Kompas, seperti Syamsudin Noer Munadi, Mahfudin Nigara, Tubagus Adhi SP, Ian Situmorang, Aba Marjani, dan lainnya. Api kerja yang menyala senantiasa di mata Bang Valens, harus diakui menyentuh hati dan gairah kreatif penulis-penulis yang kini telah kawakan itu.
Hingga sekali tahun, remaja tersebut harus menghentikan dunia profesi yang mulai dicintainya itu. Ia harus pergi "menyelesaikan sekolah menengahnya".
Kembalilah jika sudah selesai!" kata beberapa mentornya, kecuali Bang Valens. Entah di mana ia. Bisa jadi duduk sendiri di bangku ujung stadion yang kosong. Karena memang sejak itu, remaja tersebut tak pernah melihatnya lagi, hingga lebih dari 10 tahun kemudian.
Hingga tengah 1990-an, Balai Sidang Senayan, John Naisbitt penulis Megatrends yang ternama itu berceramah. Meja-meja bersih, hiding berkelas dan air jernih, juga eksekutif-eksekutif berkerah putih. Semua tak menarik perhatian remaja yang kini hadir sebagai wakil pemimpin redaksi sebuah majalah ibu kota itu. Kecuali satu sosok pendek tegap dan pandangan yang senantiasa lurus ke muka, berjalan di lobi Balai. "Bang Valens!" teriak mantan remaja itu. Keduanya berhadapan, tertawa besar, berpelukan dan bertanya kabar. Bang Valens tak bertanya, hanya menjawab kecil, "Aku lagi tiarap!"
Sampai setahun kemudian mantan remaja itu baru paham jawaban kecil dari pertemuan tak hingga 10 menit itu. Tanda-tanda akan adanya perubahan radikal mulai tercium di negeri ini, beberapa mulai pasang kuda-kuda, menimbun amunisi, tiarap, atau siap-siap lari. Kemudian kembali tak sengaja, juga di satu pertemuan, setahun setelah itu. Bang Valens hanya berkta, "Keluarga sudah kupindahkan ke Australia", seraya memberi kartu nama.... ia memimpin sebuah koran nasional yang dikenal corong militer. Setelah itu, pergerakan terjadi, perubahan radikal, yang sebenarnya semu-terjadi kata orang reformasi. Mantan remaja itu melanjutkan studinya ke Paris. Dan Bang Valens seperti lenyap ditelan waktu.
***
MENJELANG tengah malam 4 Mei 2005, SMS tiba dengan berita kepergian Valens Gowa Doy ke alam baru. Di Sanglah Bali, lelaki yang selalu membuatku menyetujui pendapat "Gajah Mada itu intelektual asli Flores" itu, menunaikan darma baktinya pada dunia. Dan setelah hampir dua tahun aku tak berhasil menulis satu pun baik, lewat tengah malam itu, tiga halaman kutulis dalam segera, dalam hikmat hatiku pada lelaki bermata api itu.
Tak cuma itu. Sebuah ide cerpen, karakter panggung, bahkan sebuah lagi dan satu ide lukisan berkelindan di kepala. Tapi aku tak mau kemaruk. Seperti katamu, Bang Valens saat kau gagal memimpin sebuah harian sore. "Tak ada yang dapat dipaksa sebelum waktunya". Tawamu rendah kala itu, hatimu ikhlas kutahu. Entah apalagi katamu, ketika sering kudengar waktu tetap tak berpihak padamu.
Dengan satu puisi dan satu tulisan ini, aku merasa lebih dari cukup mengenangmu. Biar begitu liar ide dan imajinasi di seputar hidupmu, aku takkan temaha (mengeksploitasi) berkreasi atas namamu. Tidak mengisapmu seperti industri. Biar kau selalu menjadi sumur inspirasi yang memberiku alasan: hidup selalu harus selalu dihidupi. Aku, "Koma", mantan wartawan muda itu, mantan remaja itu, memang tak berhasil menjadimu. Mungkin berhasil mengisi kata- katamu: "Jadilah dirimu!" Dari tepi stadion hidup ini, Abangku, damailah kau bersama-Nya. *
Radhar Panca Dahana : Esais, Cerpenis, dan penyair, tinggal di Tangerang-Banten.
WAKTU yang merambang sesungguhnya tidak berjalan. Namun kita, manusialah, yang bergerak, membuat waktu seperti berlalu. Sesungguhnya waktu itu diam, tetap dan berdomisili. Melulu pikiran dan imajinasi yang berdaya gerak, kecepatan. Untuk perababan tercipta, kebudayaan terlaksana.
Ah, bagaimana konyol seperti kudapat? Tak lebih. Dari kebiasaan konyol, duduk bersepi di Stadion Utama Senayan Jakarta, bagian tepi. Kebiasaan remaja kencur yang dicurinya dari seorang lelaki kecil berbadan keras, berhati keras, berkepala keras, namun berjiwa lemas: Valens Gowa Doy
Mungkin bukan lelaki bermulut lebar (tidak besar) yang membuat remaja itu berpuluh tahun tenggelam dalam sensasi waktu. Namun wartawan kawakan asal Pulau Flores itulah yang pertama kali memperkenalkannya dengan stadion kebanggaan Soekarno. Analis olahraga itulah yang dilihatnya kerap duduk di tepi tiang gawang, atau bangku ujung penonton, memandang lapangan hijau yang nihil manusia.
Remaja itu tak tahu aPa yang dilakukan, dipikir dan terjadi pada "Bang Valens", begiTu ia memanggilnya, kala menyepi di tepi stadion itu. SEperti ia tak mengerti, satu ketika, di tahun 1980, sepulangnya dari Kantor "Koma" (Koran Remaja, sisipan majalah Hai), seseorang memanggil (tidak dengan namanya) dengan keras. Orang iu menggapai dan meminta sang remaja mendekati mobilnya. "Masuk!" Suaranya tegas, membayangkan panglima perang masa Gajah Mada atau Aleksander Agung.
Remaja itu tak berbicara, tak membantah. Seperti ada arus air yang kuat dan akrab mengajaknya masuk mobil milik entah siapa itu. Ia tak mengenalnya, lelaki itu pun tak begitu mengenalnya. Waktu bicara, manusia melihat dirinya bergerak. Mereka berdua ke Senayan. Tanpa banyak bicara, lelaki itu membawanya ke lapangan hijau, di mana sebuah kesebelasan tengah berlatih. Tanpa banyak tanya, ia memberi tahu gerakan-gerakan penting yang tengah dipraktikkan di lapangan. "Itu slip pass. Nah kalau itu wall pass. Kalau gerakannya menyilang, melewati pemain belakang..." Lelaki itu terus bicara. Bibirnya tebal. Remaja itu menajamkan mata. Bibirnya kering. Dan, dimulailah petualangan dua orang itu. Dari satu lapangan ke lapangan lain. Sunardi almarhum, wartawan Sinar Harapan, yang dianggap pesaing terdekat reputasi Bang Valens, sekali menegur sambil melintasi intensitas dialog dua orang iu, juga di tepi stadion. "Membina kader bari lagi nih?" serunya, dengan sedikit sinisme. Bang Valens tertawa, pasti lebar, tapi tidak menjawab. Lalu kembali intens bersama si remaja.
Dan petualangan itu selalu berakhir malam di kantor Redaksi Kompas. Nasi bungkus, teh manis panas, menu luar biasa untuk remaja letih itu. "Kenapa cuma makan dan duduk di situ? Menulislah! Apa saja." Sekali Bang Valens menegur. Sebenarnya memang remaja itu ingin menulis. Banyak kejadian dilihatnya, membuat gatal, pikiran, hati, dan jarinya. Ia ingat perbincangan para pemain bulutangkis tentang Bobby Ertanto yang hendak hijrah ke Taiwan, pada sebuah kejuaraan dunia yang dihadirinya bersama Bang Valens di Istora Senayan. Menulislah kemudian remaja. Meninggalakn hasilnya begitu saja di meja kerja Bang Valens, lalu pulang. Pukul 22.00 hampir tiba.
Esok paginya, halaman X Kompas membuat berita, "Bobby Ertanto Ditawar Rp.100.000,-" penulisnya, Reza. Itulah kali pertama, secara sesungguhnya, ia tenggelam dalam jurnalisme dan media massa nasional. Hatinya tak karuan. Waktu yang diam. Seolah bergegas di hadapannya. Semua venue olahraga seperti angin dikunjunginya. Seperti mata air mengucur dari jari-jarinya.
Ketika Bang Valens baik pangkat menjadi redaktur malam, ia temukan lelaki dengan inspirasi tiada habis itu masih di meja kerja saat malam mengetuk waktu pukul 01.00 dini hari. Ditemani air putih, makanan kecil, dan gula-gula. Kemana empat gelas kopi minimal yang tiap hari dihirupnya? Kemana tiga bungkus rokok keretek yang tiap hari diisapnya?
"Semua sudah tidak", jawabnya ringan. Sejak kapan? "Hari ini," katanya tertawa sambil memandang lekat tumpukkan tulisan di mejanya. Remaja itu mengakui, ia tak pernah mampu melakukan hal yang sama hingga hari ini.
***
SEJAK Bang Valens jadi penanggung jawab desk olahraga Kompas, remaja itu mulai jalan sendiri. Termasuk menyepi hati di stadion sebelah tepi. Seperti membiarkan makanan tercerna jadi tenaga, menyerap semua peristiwa menjadi makna. Itulah wartawan, katanya. Tak cuma menyiar fakta, tapi juga menyirat hakikatnya. Di situlah, menurut dia, karya-karya jurnalistik Bang Valens memperoleh harga dan pengaruhnya. Memiliki kedalaman dan keindahan bahasa. Remaja tersebut mafhum, Bang Valens juga penyair, saat ia temukan puisi- puisinya di media remaja tahun 1970-an.
Meditasi atas fakta itulah yang kemudian kerap membuat remaja itu gundah akan beberapa peristiwa olahraga. "Tulislah!" hanya itu kata Bang Valens saat ia meminta nasihatnya. Remaja itu tanggap seperti senantiasa. Hingga kemudian muncul tulisan panjang, "Kaslan Rosidi dan Korupsi di PSSI", 1981 atau 1982 kita-kira. Reza, remaja itu, sekali lagi terkejut. Itulah kali pertama artikel by line-nya muncul di surat kabar nasional. Itulah karya esai pertamanya di media massa dewasa. Itulah kali pertama ia percaya, hidup dan dunia seterusnya adalah dalam tulisan.
Kepercayaan dirinya meningkat. Dengan senang hati dan gairah bak air bah, ia masuk pula dalam desk budaya dan desk kota. Mendapat bimbingan dari jurnalis kawakan lain, terutama Kristantio JB dan Purnama Kusumaningrat, dua pembela teguhnya selain Bang Valens. Dari tiga desk tersebut, ia tak cuma belajar segala hal, mendapat honor yang membuatnya menjadi remaja terkaya di Bulungan (komunias seni di Jakarta Selatan di mana ia beraktivitas), tetapi juga mendapat dukungan, bimbingan tambahan dari senioren, seperti Sumohadi Marsis, Efix Mulyadi, Tumbur Sihotang (alm), Ignatius Sunito, Tony D Widiastono, TD Asmadi, hingga August Parengkuan yang satu kali pernah juga memintanya membantu desk politik yang ia pimpin.
Berkenalan dan bekerja sama pula kemudian dia dengan beberapa penulis muda yang datang sebagai kader Kompas, seperti Syamsudin Noer Munadi, Mahfudin Nigara, Tubagus Adhi SP, Ian Situmorang, Aba Marjani, dan lainnya. Api kerja yang menyala senantiasa di mata Bang Valens, harus diakui menyentuh hati dan gairah kreatif penulis-penulis yang kini telah kawakan itu.
Hingga sekali tahun, remaja tersebut harus menghentikan dunia profesi yang mulai dicintainya itu. Ia harus pergi "menyelesaikan sekolah menengahnya".
Kembalilah jika sudah selesai!" kata beberapa mentornya, kecuali Bang Valens. Entah di mana ia. Bisa jadi duduk sendiri di bangku ujung stadion yang kosong. Karena memang sejak itu, remaja tersebut tak pernah melihatnya lagi, hingga lebih dari 10 tahun kemudian.
Hingga tengah 1990-an, Balai Sidang Senayan, John Naisbitt penulis Megatrends yang ternama itu berceramah. Meja-meja bersih, hiding berkelas dan air jernih, juga eksekutif-eksekutif berkerah putih. Semua tak menarik perhatian remaja yang kini hadir sebagai wakil pemimpin redaksi sebuah majalah ibu kota itu. Kecuali satu sosok pendek tegap dan pandangan yang senantiasa lurus ke muka, berjalan di lobi Balai. "Bang Valens!" teriak mantan remaja itu. Keduanya berhadapan, tertawa besar, berpelukan dan bertanya kabar. Bang Valens tak bertanya, hanya menjawab kecil, "Aku lagi tiarap!"
Sampai setahun kemudian mantan remaja itu baru paham jawaban kecil dari pertemuan tak hingga 10 menit itu. Tanda-tanda akan adanya perubahan radikal mulai tercium di negeri ini, beberapa mulai pasang kuda-kuda, menimbun amunisi, tiarap, atau siap-siap lari. Kemudian kembali tak sengaja, juga di satu pertemuan, setahun setelah itu. Bang Valens hanya berkta, "Keluarga sudah kupindahkan ke Australia", seraya memberi kartu nama.... ia memimpin sebuah koran nasional yang dikenal corong militer. Setelah itu, pergerakan terjadi, perubahan radikal, yang sebenarnya semu-terjadi kata orang reformasi. Mantan remaja itu melanjutkan studinya ke Paris. Dan Bang Valens seperti lenyap ditelan waktu.
***
MENJELANG tengah malam 4 Mei 2005, SMS tiba dengan berita kepergian Valens Gowa Doy ke alam baru. Di Sanglah Bali, lelaki yang selalu membuatku menyetujui pendapat "Gajah Mada itu intelektual asli Flores" itu, menunaikan darma baktinya pada dunia. Dan setelah hampir dua tahun aku tak berhasil menulis satu pun baik, lewat tengah malam itu, tiga halaman kutulis dalam segera, dalam hikmat hatiku pada lelaki bermata api itu.
Tak cuma itu. Sebuah ide cerpen, karakter panggung, bahkan sebuah lagi dan satu ide lukisan berkelindan di kepala. Tapi aku tak mau kemaruk. Seperti katamu, Bang Valens saat kau gagal memimpin sebuah harian sore. "Tak ada yang dapat dipaksa sebelum waktunya". Tawamu rendah kala itu, hatimu ikhlas kutahu. Entah apalagi katamu, ketika sering kudengar waktu tetap tak berpihak padamu.
Dengan satu puisi dan satu tulisan ini, aku merasa lebih dari cukup mengenangmu. Biar begitu liar ide dan imajinasi di seputar hidupmu, aku takkan temaha (mengeksploitasi) berkreasi atas namamu. Tidak mengisapmu seperti industri. Biar kau selalu menjadi sumur inspirasi yang memberiku alasan: hidup selalu harus selalu dihidupi. Aku, "Koma", mantan wartawan muda itu, mantan remaja itu, memang tak berhasil menjadimu. Mungkin berhasil mengisi kata- katamu: "Jadilah dirimu!" Dari tepi stadion hidup ini, Abangku, damailah kau bersama-Nya. *
Radhar Panca Dahana : Esais, Cerpenis, dan penyair, tinggal di Tangerang-Banten.
Kompas, 9 Mei 2005.