Hermien Y. Kleden dalam Kenangan


Hermien Kleden (tengah) dan Romo Hans (kanan)

Oleh: Romo Hans Jeharut

Kak Hermien, demikian saya memanggilnya. Empat tahun ini kami bersama sebagai pengurus Komisi Kerasulan Awam KWI. Ketika saya mulai bertugas, dia dan beberapa pengurus lain sudah ada di kepengurusan. 

Saya sebagai Sekretaris Eksekutif Komisi, sejak Januari 2022. Dalam banyak kesempatan dia menyebut saya "Bos". You're my Bos!  

Dalam kaitan relasi pengurus dan bos ini, Kak Hermien menunjukkan sikap taat. Jika tidak bisa menghadiri rapat karena kesibukan atau alasan lain, Kak Hermien selalu mengirim pesan whatsapp, nyaris seperti refrein, " Ama, kaka mohon maaf tidak bisa hadir. Kalau ada tugas siap dilaksanakan". 

Dan benar. Jika ada tugas, dia melaksanakan dengan tuntas. Sempurna.

Tiga tahun terakhir, saya memberinya tugas baru. "Kaka, saya minta kaka terlibat memberi bahan masukan untuk para romo muda. Usia tahbisan lima sampai sepuluh tahun". " Apa yang bisa saya bantu?", tanyanya serius.

 "Saya tidak minta Kak Hermien mengajar mereka ketrampilan jurnalistik, teknik wawancara, dan sejenisnya. Itu sudah terlalu biasa untuk Hermien Kleden. Saya minta kaka bicara sebagai seorang awam, perempuan dan saudari seorang imam". 

Kaka bayangkan, kami ini begitu ditahbiskan langsung jadi manajer, bahkan direktur, tanpa kuliah di Prasetia Mulia atau khursus manajemen. Tidak semua bisa menghadapi tahapan ini dengan baik. Ada yang gagap,  gamang dan gagal.

Dalam persahabatan kami, kak Hermien hadir sebagai mitra kerja, sahabat dan saudari. Sebagai saudari, dia seperti kebanyakan saudari Flores : perhatian, cendrung protektif dan...  galak! Itu saya rasakan. Dia sangat mencintai saudara imamnya - Pater Leo Kleden. 

Dia tidak bisa menyembunyikan kasih dan perhatiannya yang besar. Juga cintanya pada saudara- saudaranya yang menjadi imam. Dia dengan bangga bercerita perjumpasnnya dengan seorang imam SVD Indonesia di Polandia.

 Menurut Kak Hermien, Tuhan memberi berkat istimewa ke lidahnya karena bisa berbicara bahasa Polandia dengan baik dan indah. Saya merasa dia punya empati. Empati yang lahir alamiah karena dia menpunyai saudara kandung yang menjadi pastor.

Sesi-sesi itu seperti biasa dia lalui dengan baik. Apalagi untuk meyakinkan dia saya selalu memberi catatan tambahan, " Kak, acaranya nanti di Harris Resort Batam. 

Kompleksnya luas. Kaka bisa jogging dengan puas". Hahaha, ini jadi tawaran yang sangat sulit dia tolak.

Dia berkisah tentang pergumulan spiritualnya. Ada fase ketika Hermien memasuki padang gurun. Ia kecewa. Ia mengembara di padang keraguan. 

Tapi keraguannya adalah keraguan seorang peziarah. Ketika sampai pada satu titik tertentu, ia tersentuh dan kembali. "Keragu-raguan adalah sebentuk penghormatan pada kebenaran", kata Ernest Renan. 

Di Batam - setelah pertemuan dengan para imam muda se Sumatra - saya mengajaknya ke bekas tempat pengungsi Vietnam di Pulau Galang. Berita buruknya : penjaga tempat itu seorang Adonara.  "Kaka e, jao jao ke Batam kita ketemu orang Adonara". Hahaha 

Kami berdoa di depan arca Bunda Maria, dengan landasan berbentuk kapal. Ya, ingatan akan manusia-manusia perahu yang lari, pergi dari kampung halaman karena perang. 

Si Om Adonara, kami bertiga, arca perahu dan patung Bunda Maria adalah pengingat : kita semua perantau. Perantau bukan hanya dalam dimensi ruang, tapi spiritual. Mendadak dia minta berkat.  

" Ama saya minta berkat". Saya masih menanggapinya dengan guyon, " Hae kita sudah sama-sama tiga hari, masih perlu berkat khusus lagi kah?". Hermien bergeming. 

Dia menundukan kepala, mengatupkan tangannya dan menanti berkat. Saya menumpangkan tangan, memberkatinya. Entah apa isi doanya di depan Bunda Maria saat itu.

Menjelang akhir 2024, kepengurusan Komisi Kerawam berakhir. Saya sudah bicara dengan Bapa Uskup Ketua dan Presidium KWI, mengusulkan kepengurusan ini diperpanjang. 

Sesuai prosedur yang biasa, saya harus menanyakan kesediaan calon pengurus. Kak Hermien mengirim pesan pribadi kepada saya. Isinya kurang lebih,'saya akan butuh waktu lebih banyak untuk urusan kesehatan. Apakah lebih baik saya mundur saja? 

Jawaban saya juga singkat. "Bahkan kalau kakak hanya bisa dari rumah, kakak tetap di situ". 

Diskusi selesai. Dia tidak membantah. Di akhir tahun itu kami mengadakan rapat kerja.  Saya memilih tempat rapat kerja di Pangkalpinang. 

Saya berasal dari Keuskupan  Pangkalpinang, maka saya tahu tempat-tempat yang baik yang ada di sana. Kami rapat di Tanjung Pesona Resort. Tempat indah di pinggir pantai.

Sebelumnya Kak Hermien mengirim pesan bahwa dia harus berkonsultasi dengan dokternya terlebih dahulu apakah dia diizinkan untuk pergi jauh?

 Dokter mengizinkan, dengan beberapa catatan yang saya tahu Kak Hermien akan mematuhinya dengan baik. Saya lagi-lagi menambah catatan : resort ini di pinggir pantai. kakak bisa jogging sepuas-puasnya kapanpun Kakak mau.

Kami - pengurus Komisi Kerawam KWI - melewati hari-hari itu dengan indah ditambah dengan ziarah dan perjalanan ke beberapa tempat rekreasi.

Satu hari awal tahun 2025, Kak Hermin meminta waktu bertemu. Kami bertemu di ruang kerja saya.

Kak Hermien bercerita tentang kondisinya, yang menurutnya butuh perhatian lebih serius, maka dia akan jarang hadir bersama-sama dalam  rapat rapat rutin komisi. 

Ketika dia cerita kepada saya tentang kondisinya, saya mengusulkan apakah tidak sebaiknya mencari pendapat yang lain, sehingga menemukan cara yang tepat untuk penanganan apa yang sedang dialami? 

Bukan Hermien namanya kalau hanya menurut begitu saja. Dia mengeluarkan beberapa literatur yang menurutnya meyakinkan dia bahwa apa yang dia pilih sekarang ini adalah yang terbaik. 

Tentu dengan literatur lebih banyak daripada yang saya tahu dan saya baca,  saya hanya bisa mengiyakan keputusannya. 

Sekitar bulan Mei yang lalu dia menceritakan bahwa dia mengalami pendarahan yang hebat dan itu membuat dia harus masuk rumah sakit. 

Sebelumnya melalui beberapa teman - Bu Vero dan Liza sahabatnya yang lain - saya menawarkan memberi Komuni Suci kepadanya dan memberinya Perminyakan Suci. 

Entah kenapa selalu ada alasan yang menghalangi rencana itu. Mengantar komuni dan memberinya perminyakan tidak pernah kesampaian. Maka ketika hari Sabtu (27/9/2025) yang lalu Bona Beding - seorang kerabat Hermien -  mengirim pesan kepada saya bertanya Romo ada dimana?  

Saya mengatakan saya ada di Malang. Rupanya Bona ingin minta saya memberi perminyakan Suci untuk Kak Hermien. Liza juga menelpon saya menyampaikan kabar yang sama.  

Saya mengatakan saya sedang di Malang. Dalam hati saya membatin, "waktu saya ada kesempatan, saya menawarkan, Kak Hermien yang selalu tidak bisa.  Sekarang saya jauh dan tidak mungkin melayankan sakramen perminyakan,  saya dicari".

Setiba kembali ke Jakarta, di berbagai WAG berseliweran informasi soal keadaan sakit Kak Hermien. Saya dikirimi foto kondisinya yang harus berjuang dengan bantuan peralatan medis. 

Tanggal 29 September sore - sekitar pukul 17.30 - setelah rapat di KWI saya berencana untuk mengunjungi Kak Hermien. 

 Ibu Vero mengirim pesan bahwa jalan ke arah Pasar Minggu sangat macet, sementara waktu berkunjung sangat terbatas. Romo cek lalu lintas dari KWI ke  Pasar Minggu ya. Saya mengecek di waze dan google map : semua merah.

Saya memutuskan untuk menunggu. Mendadak saya merasa badan saya demam dan meriang.  

Saya mencoba bertahan di kantor. Karena situasinya menjadi tidak menyenangkan saya memutuskan pulang. 

Dalam keadaan demam saya kembali ke rumah. Saya tiba di rumah kira-kira pukul 21.50 WIB. Saya langsung berbaring. 

Tak lama berselang saya mendapat kabar Kak Hermien menghembuskan nafas terakhir pukul 22 08 WIB. Saya menangis mendengar berita itu. 

Tapi juga berpikir kenapa dia tidak mengizinkan saya untuk melihatnya  dalam keadaan sakit?

Tadi malam saya datang. Saya melihatnya sudah cantik dalam balutan kebaya putih dan tenun Lamaholot. Saya tidak punya memori kerapuhan dan rasa sakit yang dialami Kak Hermien. 

Memori yang ada di kepala saya adalah Hermin yang tangguh. Hermien yang sangat detail. Hermin yang selalu tampil prima. Dia tidak mau saya melihat dia dalam keadaan sakit dan tak berdaya. 

Tapi di titik itulah saya melihat kerapuhan seorang Hernien. Dengan segala pengetahuan,  kekayaan bacaan, keluasan wawasan yang dia miliki pada akhirnya dia tunduk bahwa tidak semua yang dia pikirkan,  tidak semua yang dia ketahui, terjadi seperti itu. 

Kita tahu Hermien seorang editor hebat. Kami pernah bertugas di sidang para Uskup. Pada  akhir sidang harus merumuskan pernyataan sidang. Hermien menjadi  ketua tim editor. Dia melakukan editing seperti layaknya seorang editor senior.  

Di sela-sela itu saya mengingatkan "Kaka, ini pendapat Uskup. Kalau sudah berhadapan dengan Uskup kita hanya bisa taat.  Kalau hanya ganti koma ganti titik satu dua bolehlah. Tapi kalau membuat editing  seperti ini saya takut kita kena kutuk". Kami tertawa. 

Tapi Hermien tetaplah Hermien. Menurut dia pesan apapun harus disampaikan dengan jelas, lugas dan jernih sehingga orang bisa menangkap juga dengan jelas dan jernih. 

Bahkan ketika harus menyatakan secara implisit pun, yang implisit itu pun bisa dipahami dengan baik. 

Saking terkenalnya dia sebagai seorang editor handal. Ketika menyiapkan pertemuan untuk para imam itu,  dia mengirim kepada saya bahan yang dia siapkan dan memohon untuk dibaca dan dikoreksi.

 Saya membalasnya dengan emoticon ketawa.  Dia menelpon saya. Kenapa ketawa?  Saya menjawab,  "saya merasa seperti Goenawan Muhammad atau Fikri Jufri saja harus mengoreksi tulisan kakak".

Mengedit, itu juga yang dia buat untuk sakitnya. Di hari-hari akhir hidup dia ingin mengedit : mengoreksi dan memperbaiki. Tapi ternyata Tuhan - Sang Editor Agung - punya kehendak lain. 

Pada Senin malam 29 September 2025, pukul 22.08 WIB, pada hari ketika gereja merayakan pesta Malaikat Agung, setelah berjumpa dengan saudara imam yang dia cintai - Pater Leo, yang menyapanya dan memberi berkat, Hermien pulang dalam tenang.

Kak Hermien, satu lagi yang kakak pernah ceritakan kepada saya. Kakak pernah mengalami insomnia berat. 

Bukan hanya tidak bisa tidur berhari-hari tapi  tidak bisa tidur berminggu-minggu. Tadi malam saya melihat Kakak begitu lelap dalam tidur panjang. Pagi ini juga. Saya tahu : Tuhan memberimu tidur abadi, tanpa insomnia.

Selamat jalan saudariku. Beristirahatlah dengan tenang dalam tidur Abadi.

Rumah Duka Carolus

Rabu, 1 Oktober 2025

@hansjeharutpr

Sumber: Akun Facebook Romo Hans Jeharut

Hermien Kleden dan Jurnalisme Tutu Koda


Hermien Y. Kleden

Oleh: Steph Tupeng Witin

HERMIEN Yosephine Kleden selalu tersenyum. Penulis menyapanya “Tata”. Itu sapaan yang akrab, penuh persaudaraan suku Lamaholot. Ada nuansa kedekatan yang hangat.

Wajah penuh senyum itu mengingatkan pertemuan pertama tahun 2009. Kala itu pimpinan menugaskan saya mengambil studi jurnalistik. Kami bertemu di kantor majalah Tempo lama di Jalan Proklamasi.

Kebetulan saat itu Goenawan Mohamad sedang berada di kantor. Maka terjadi pertemuan yang tidak terduga. Kami mengobrol cukup lama.

Goenawan Mohamad menyebut bahwa Pater Leo selalu datang ke kantor Tempo. GM memberi saya buku “Catatan Pinggir 2” (Cet. IV, 2006) lengkap dengan tanda tangannya. Penulis kata pengantar adalah Ignas Kleden, kakak kandung Hermien Y. Kleden. Judul kata pengantar: Eksperimen Seorang Penyair.

Pertemuan perdana itu sungguh membahagiakan. Redaktur senior Tempo begitu sederhana. Tata Hermien sangat hangat dan akrab. Dia memanggil saya “adik” hingga akhir hidupnya. Sapaan yang menarasikan kedekatan, kehangatan, bukan jarak.

Layar di samping peti jenazah rumah duka Carolus Jakarta tetap menampilkan wajah yang tersenyum. Ia telah pergi “merantau” ke dunia terakhir dengan tenang pada Senin 29 September 2025 di Rumah Sakit Umum Daerah Pasar Minggu Jakarta.

Pater Leo Kleden SVD, kakak kandung Tata Hermien, menulis, “Saya tiba dari Flores di RS tepat pukul 22.00 WIB. Langsung bicara dengan Hermien dan memberkati dia. Lalu dengan tenang sekali dia menutup mata.”

Sebuah akhir ziarah hidup yang penuh pengharapan. Tata Hermien selalu meminta berkat ketika menelepon atau mengirim pesan singkat. Dia selalu meminta doa agar tetap sehat dan mendarmabaktikan diri dan hidupnya melalui jurnalisme kepada lebih banyak orang.

Rupanya Tuhan melihat dia sudah lelah memberi habis energi dirinya. Kepulangannya ke Rumah Bapa adalah kabar gembira..Terbaca di layar itu aliran ungkapan duka dari kelurga, jurnalis, penulis, sahabat, para murid jurnalisme, kenalan dan rekan kerja di Tempo.

Orang-orang ini mengenal dan merasakan sentuhan kasihnya. Senyum itu menarasikan jurnalisme sebagai dunia yang hangat, penuh kasih dan persaudaraan. Jurnalisme menjadi salah satu titian untuk membangun kehangatan dan persaudaraan. 

Persahabatan dan persaudaraan dalam dunia jurnalisme tidak selalu identik dengan keselarasan dan kesepahaman. Jurnalisme adalah ruang yang demokratis karena memuliakan perbedaan dan argumentasi. 

Ketika dia menerima penghargaan SK Trimurti atas kontribusinya kepada dunia jurnalisme Indonesia, Tata Hermirn tersenyum lebar. Buah dari ketekunan dan ketelatenan karya jurnalisme. Dan Tata Hermien menikmati dunia jurnalisme itu dengan senyum hingga tapal batas hidupnya.

Tata Hermien Kleden telah berkarir sebagai jurnalis dalam rentang waktu puluhan tahun. Catatan dari buku Jejak Jurnalis Perempuan (2012) yang diterbitkan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Hermien merintis karir sejak tahun 1987 dengan bekerja sebagai kontributor sebuah majalah internasional dari Perancis.

Dia pernah menjadi Wakil Redaktur Eksekutif Majalah Tempo dan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo English, Dewan Eksekutif Tempo Media Group, Redaktur Pelaksana Koran Tempo.

Deretan jabatan itu tidak pernah dia singgung selama hidupnya. Dia hanya menjalankan tanggung jawab kenabian: menulis sebagai jalan penyadaran rasionalitas publik. Baginya, jurnalisme investigasi itu ia lukiskan sebagai divisi paling kejam. Tidak mudah membongkar kejahatan elite politik dan pejabat publik.

Bagi Hermien, tanggung jawab kemanusiaan jurnalis adalah membagikan fakta yang ada di lapangan kepada publik. Banyak sekali laporan investigatif yang ditulis Tempo, Kompas, dan media lain tapi kasus korupsi, kejahatan lingkungan, mafia proyek pembangunan dan kejahatan publik lain tidak pernah surut, apalagi berhenti.

Tentu semua kejahatan publik itu akan lebih membandang ketika jurnalis tidak melakukan investigasi dan hanya menulis seremoni pejabat berdasarkan press release humas yang mendewakan atasannya.

Jurnalis bertanggung jawab kepada publik untuk mengetahui semua kotoran yang ada di bawah karpet merah. Namun jurnalis bukan malaikat, karena hanya pembawa informasi kepada publik.

Saya ingat satu ungkapan dari Tata Hermien yang sangat membekas. “write like you talk.” Ungkapan ini di satu sisi, sangat berbahaya bagi orang Flores yang dikenal omong banyak, kadang minim substansi. Orang Lio bilang wora yang artinya buih, busa. Omong sampai mulut berbih dan berbusa. 

Ada orang memang punya kemampuan seperti itu. Tapi sesungguhnya menulis itu titian untuk mendisiplinkan pikiran yang akan memelihara kesegaran otak, menjauhkan manusia dari demensia, dan membuat manusia tetap produktif sampai usia lanjut. 

Menulis dapat mempertemukan semua orang dari berbagai latar belakang dan meruntuhkan tembok pemisah antara penulis dan pembaca.

BRI Perkuat Akses Keuangan Masyarakat Lewat Jaringan 1 Juta AgenBRILink
UMKM Sikka Hadir di Pameran Inacraft 2025, Buka Empat Booth di JCC
Pesan Inspiratif: Peran Para Malaikat Dalam Hidup Manusia
Menulis itu sama dengan berceritera, berkisah, bernarasi dan bertutur secara lisan. Dalam dunia jurnalisme modern, ada tradisi yang kini kembali dikembangkan secara luas oleh media massa. Itulah jurnalisme story telling atau jurnalisme tutu koda dalam bahasa Lamaholot, Flores Timur-Lembata.

Generasi kami yang masih tumbuh dalam tradisi lisan sesungguhnya sangat beruntung karena masih dapat mengenyam proses tumbuh-kembang bersama tradisi tutu koda yang dipandu orang tua, kakek dan nenek. 

Sekarang ini setelah industri gadget telepon seluler pintar melibas dunia, tradisi tutu koda itu perlahan punah. Mungkin suatu waktu akan tinggal kenangan tanpa makna.

Tata Hermien mengabdikan seluruh diri dan hidupnya dalam dunia jurnalisme. Kepulangannya ke rumah Tuhan tidak menghilangkan jejak persembahan dirinya yang tulus. Hermien mendapat bilik istimewa dalam kenangan semua orang yang mengenal dan mengalami kasih Tuhan melalui kehadirannya.

Wahyu Dhyatmika adalah jurnalis Tempo yang bersaksi tentang kiprah Hermien di ruang redaksi einvestigasi majalah Tempo. Dia melukiskan Hermien Kleden sebagai sosok “Sangat teliti, sangat cerewet namun sekaligus sangat perhatian pada reporter.

Dia selalu memanggil kami dengan sapaan “adik”. Dia menempatkan dirinya sebagai senior yang selalu siap mendidik kami, berbagi ilmu dan pengetahuan. 

Dia sangat cermat dalam menulis, piawai menggunakan kata, lincah memindahkan peristiwa menjadi teks berita. Dia tidak pernah pelit bercerita, tak pernah lelah menjadi mentor, tak pernah berhenti menjadi guru.”

Wahyu menulis, di kalangan jurnalis Tempo, Tata Hermien sangat percaya diri dan mengajarkan para yunior untuk menghargai diri mereka sendiri. Dengan kepribadiannya yang hangat, dengan wawasan yang sangat luas, dengan kecerdasannya yang di atas rata-rata, dengan pikirannya yang terbuka, dengan keingintahuannya yang tak pernah habis, dia sesungguhnya mengajarkan bagaimana menjadi sosok jurnalis yang baik.

Jurnalis harus memberi suara pada mereka yang tak bisa bersuara. Suara itu mesti berkualitas. Maka jurnalis mesti selalu haus akan pengetahuan dan cekatan menambah amunisi suaranya.

Bagi seorang jurnalis, buku adalah sahabat hingga akhir. Membaca buku berarti belajar untuk menulis lebih baik, kaya perspektif, mengasah kepekaan dan mendisiplinkan gerak pikiran.

Maumere Heboh: Video Nasi Berulat di SMK Yos Tiba-tiba 'Hilang' Setelah Kepala SPPG Turun Tangan
MBG Berulat: Skandal atau Bukan Skandal?
Pesan Inspiratif: Misteri Salib Kristus
Sewaktu masa studi di Jakarta, Tata Hermien kadang mengajak diskusi yang biasanya sambil makan malam. Sopirnya yang sangat setia selalu menjemput saya di depan stasiun kereta api Menteng, Jakarta pusat.

Mobilnya dirancang sekian sehingga menjadi perpustakaan. Banyak buku bertebaran. Tempat duduknya dipasangi lampu sehingga ia bisa membaca naskah liputan, buku terbaru ataupun bahan seminar. Segala waktu dimaknai dengan membaca dan menulis.

Tulisan-tulisan itu abadi. Apalagi di era digital saat ini dengan kecepatan dan pendokumentasian yang rapi.
Tata Hermien…Terima kasih untuk semua teladan. Kesetiaan dalam kerja dan ketekunan dalam membangun pikiran.

Buku-buku yang Tata kirim tersimpan di rak Oring Literasi Siloam Lembata. Anak-anak dan orang muda akan melahapnya. Semoga buku-buku itu menularkan kreativitas membaca dan ketekunan mengembangkan diri agar sekali waktu anak-anak ini mampu menulis hidup.

Melalui menulis, anak-anak dapat bercerita tentang diri, hidup dan pengalamannya. Selamat beristirahat dengan tenang dalam keabadian-Nya. Doakan kami… *

*Jurnalis, Penulis Buku dan Pendiri Oring Literasi Siloam Lembata.

Catatan: Artikel ini sudah ditayangkan di FloresPost.net, Kamis, 2 Oktober 2025 - 11:45 WITA.

Hermien Kleden: Jurnalis Perempuan yang Langka dari Flores

Hermien Y. Kleden

Oleh: Petrus Dabu

Tak banyak perempuan Flores yang menjadi jurnalis, apalagi menggapai posisi penting sebagai petinggi di media selevel Tempo.

Hermien Yosephine Kleden, perempuan asal Flores Timur salah satu dari yang sedikit itu. Ia kemudian meninggalkan jejak berharga selama hampir empat dekade sebagai jurnalis.

Beragam bentuk warisannya membuat kabar kematian Hermien yang tersiar di berbagai platform media sosial pada 29 September sontak menjadi duka bagi banyak orang, terlebih mereka yang pernah mengenalnya secara dekat.

Kak Hermien – begitu ia disapa – menghembuskan nafas terakhir pada pukul 22.08 WIB di RSUD Pasar Minggu, Jakarta Selatan, dalam usia 62 tahun karena komplikasi penyakitnya.

Kakaknya, Pastor Leo Kleden, SVD menyebut Hermien meninggal hanya beberapa menit usai ia tiba tepat pada pukul 22.00, berbicara sebentar dengannya dan mengulurkan berkat.

“Lalu, dengan tenang sekali dia menutup mata,” kata Pastor Leo yang merupakan dosen di Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero di Flores.

Setelah disemayamkan di Rumah Duka RS St. Carolus Jakarta, Hermien dimakamkan pada 1 Oktober di Jagakarsa. 

Hermien lahir pada 6 April 1963 di Waibalun, Kecamatan Larantuka, Kabupaten Flores Timur. Ia memilih tidak menikah.

Selain Pastor Leo, salah satu kakaknya adalah kritikus sastra dan sosiolog terkenal Ignas Kleden yang meninggal pada Januari tahun lalu.

Hermien menempuh pendidikan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada.

Sejak 1987, ia merintis karier jurnalistik sebagai kontributor sebuah majalah internasional berbasis di Prancis. 

Ia juga pernah bekerja di Majala Matra-milik Grup Tempo-, sebelum bergabung dengan Tempo pada 1999. 

Di majalah yang kental dengan liputan investigatif itu, ia pernah menjabat sebagai Wakil Redaktur Eksekutif Majalah Tempo, Pemimpin Redaksi Tempo edisi Bahasa Inggris dan anggota Dewan Eksekutif Tempo Media Group. 

Ia dikenal luas karena wawancaranya dengan tokoh dunia seperti Fidel Castro-mantan perdana menteri dan presiden negara komunis Kuba-, Saddam Hussein-mantan Presiden Irak dan Lee Kuan Yew, mantan Perdana Menteri Singapura.

Atas dedikasinya sebagai jurnalis, ia menerima Penghargaan SK Trimurti dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pada 2009.

Penghargaan itu mengapresiasi perempuan yang berjuang di bidang kebebasan pers, kebebasan berekspresi, kesetaraan gender, HAM dan keberpihakan pada kaum tertindas. 

Sosok yang Teliti, Mentor Bagi Jurnalis Senior

Wahyu Dhyatmika, CEO Tempo Digital yang pernah dididik Hermien mengenangnya sebagai sosok yang “sangat teliti, sangat cerewet namun sekaligus sangat perhatian pada reporter.”

Ia mengingat pengalaman saat Hermien menjadi redaktur investigasi di Tempo, rubrik yang disebut Wahyu “paling keras” di majalah itu.

“Kalau mengirim penugasan mengejar narasumber untuk diwawancarai, atau mereportase satu peristiwa, Kak Hermien akan menelepon dulu setelah mengirim email berisi outline liputan,” tulisnya dalam artikel di Indonesiana.

“Dia akan memastikan kami paham angle yang harus dicari, detail yang harus diperhatikan dan fakta yang harus dikonfirmasi.”

Demikian juga setelah laporan dikirim, cerita Wahyu, Hermien kembali menelepon untuk memastikan setiap kata, kalimat, nuansa dan detail dari laporan reporter itu agar ia tak keliru menuliskannya dalam bentuk berita. 

“Dia selalu memanggil kami dengan sapaan ‘adik’, menempatkan dirinya sebagai senior yang selalu siap mendidik kami, berbagi ilmu dan pengetahuan,” kenang Wahyu yang saat ini juga menjadi Ketua Umum Asosiasi Media Siber Indonesia.

Metta Dharmasaputra, Founder dan CEO Katadata, eks wartawan Tempo, juga punya kenangan serupa. 

Hadir dalam Misa Arwah di Rumah Duka St Carolus Jakarta pada 30 September malam, Metta menyebut Hermien tak hanya sebagai mantan atasan, tetapi juga seorang guru.

“Kak Hermien adalah salah seorang yang menjadi tempat saya menimba ilmu bagaimana menulis dengan gaya bertutur ala majalah Tempo,” katanya.

Menurut Metta, Hermien adalah salah satu penulis terbaik yang pernah dimiliki Tempo, menggambarkannya sebagai sosok dengan “gaya bahasa bertutur dan deskriptif-naratifnya amat memikat.” 

“Dia tak paham sepak bola sama sekali. Tapi ketika Piala Dunia berlangsung, dia dengan piawai menuliskan artikel bola dengan sangat gurih dan renyah untuk dinikmati para penggila bola,” kata Metta.

Ia juga mengenang Hermien sebagai pekerja keras yang berdedikasi pada pekerjaannya.

“Ketika kami yang lebih muda selalu menyelipkan waktu untuk tidur sejenak di kursi pada malam deadline setiap Jumat dan Sabtu subuh tiap pekan, Hermien tak pernah beranjak dari depan komputernya. Terus bekerja hingga fajar datang,” tulisnya.

Meski dalam hal pekerjaan Hermien sosok yang “cukup galak”, namun ia juga ramah dan riang.

“‘Adik oke kan?’ Begitu dia biasa menyapa. Dan, jika ada acara kumpul-kumpul, ia pun selalu di depan memimpin poco-poco,” kata Metta.

Aktif di Lingkungan Gereja, ‘Galak’ terhadap Para Imam

Selain jurnalis, Hermien juga aktif dalam berbagai kegiatan sosial, termasuk dalam lingkungan gereja. 

Ia tercatat sebagai Presidium Hubungan Luar Negeri Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA).

Hargo Mandirahardjo, Ketua Umum Presidium Pusat ISKA periode 2017-2021 menyebut “Hermien memberi peran dan warna di ISKA dengan kepiawaiannya dalam komunikasi, riset dan mengolah data yang sangat dibutuhkan ISKA sebagai Ormas cendekiawan Katolik.”

“ISKA kehilangan sosok yang penuh dedikasi dan total dalam pelayanan untuk organisasi, gereja dan bangsa,” katanya.

Hermien juga merupakan anggota Komisi Kerasulan Awam di Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), lembaga dengan anggota para uskup.

Romo Yohanes Jeharut, sekretaris eksekutif komisi itu menggambarkan Hermien sebagai sosok yang taat dan berkomitmen pada tanggung jawabnya.

“Jika tidak bisa menghadiri rapat karena kesibukan atau alasan lain, Kak Hermien selalu mengirim pesan WhatsApp, nyaris seperti refrain, ‘Ama, kaka mohon maaf tidak bisa hadir,” kenang Romo Hans-sapaanya- dikutip dari artikel panjang di Facebooknya.

“Kalau ada tugas siap dilaksanakan’. Dan benar. Jika ada tugas, dia melaksanakan dengan tuntas. Sempurna,” tambahnya.

Romo Hans berkata, pada tiga tahun terakhir, ia memberi Hermien penugasan baru untuk mendampingi para imam muda yang usia tabisannya antara 5-10 tahun.

Saat Hermien bertanya, “Apa yang bisa saya bantu?” ia menjawab “tak memintanya mengajar keterampilan jurnalistik, teknik wawancara dan sejenisnya.”

“Itu sudah terlalu biasa untuk Hermien Kleden. Saya minta Kaka bicara sebagai seorang awam, perempuan dan saudari seorang imam,’” kata Hans.

Ia memberinya pesan bahwa “kami ini begitu ditahbiskan langsung jadi manajer, bahkan direktur,” tanpa kuliah atau khursus manajemen.

“Tidak semua bisa menghadapi tahapan ini dengan baik. Ada yang gagap, gamang dan gagal,” kata Hans, memberi sinyal soal apa yang mesti Hermien kerjakan.

Pemberian tugas itu juga muncul karena Hans melihat Hermien sebagai sosok perempuan Flores yang peduli dengan kehidupan para imam.

Ia cenderung protektif terhadap para imam, kenang Hans. “Galak! Itu saya rasakan,” kata Hans.

Hans juga mengenang saat Hermien membantu sebagai panitia salah satu sidang para uskup dan diminta mengoreksi pernyaatan akhir.

“Dia melakukan editing seperti layaknya seorang editor senior. Di sela-sela itu saya mengingatkan ‘Kaka Hermien, ini pendapat uskup. Kalau sudah berhadapan dengan uskup, kita hanya bisa taat. Kalau hanya ganti koma ganti titik satu dua, bolehlah. Tapi kalau membuat editing seperti ini, saya takut kita kena kutuk.’ Kami tertawa,” katanya.

“Tapi Hermien tetaplah Hermien. Menurut dia, pesan apapun harus disampaikan dengan jelas, lugas dan jernih sehingga orang bisa menangkap juga dengan jelas dan jernih. Bahkan ketika harus menyatakan secara implisit pun, yang implisit itu bisa dipahami dengan baik,” tambah Hans.

Kontribusi sosial Hermien juga mendapat pengakuan dari Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).

Dalam ungkapan dukacita di akun Instagram, lembaga itu menyebut Hermien sebagai mitra sekaligus sahabat.

Ia disebut berperan penting “dalam membagikan pengalaman, wawasan kritis, serta etika jurnalisme yang memperkaya perspektif kami dalam menyuarakan isu-isu keadilan dan hak asasi perempuan.”

“Melalui dedikasi dan keterlibatannya, almarhumah turut menguatkan langkah Komnas Perempuan dalam membangun komunikasi publik yang berpihak pada korban, berbasis kebenaran, serta mendorong perubahan sosial yang lebih adil dan setara,” tulis lembaga itu.

“Komnas Perempuan kehilangan seorang sahabat yang tulus, kritis dan penuh kepedulian. Namun, jejak kontribusi beliau akan terus hidup dalam setiap upaya bersama mewujudkan ruang publik yang aman, inklusif dan bebas dari kekerasan terhadap perempuan.”

Merawat Kehidupan Spiritual

Sementara di mata publik dikenal sebagai jurnalis berdedikasi dan aktif dalam kegiatan sosial, Hermien juga merawat kehidupan spiritualnya sebagai orang Katolik.

Cornelius Corniado Ginting, pendiri Center of Economic and Law Studies Indonesia Society (CELSIS) yang juga kolega Hermien di ISKA membagikan pengalaman kala suatu sore sekitar tiga bulan lalu mereka bersama-sama dalam kereta api ke Jakarta.

“Kami duduk berhadapan sekitar tiga puluh menit. Tepat pukul 18.00, Azan Magrib berkumandang dari kejauhan. Di saat itu, wanita tersebut merogoh saku jaketnya, mengeluarkan sebuah salib berwarna hitam, lalu membuat tanda salib dengan khidmat,” tulis Cornelius di Facebooknya.

Ia melihat Hermien “menundukkan kepala, memejamkan mata dan berdoa dalam tradisi Katolik yaitu Doa Angelus.”

“Seusai berdoa, ia kembali menggenggam salib itu erat, melingkarkannya di tangannya seakan menjadi kekuatan batin.”

Sesaat kemudian, ketika kereta itu berhenti di Stasiun Cikini, Jakarta Pusat-tujuan perjalanan Hermien-, Cornelius menyalaminya.

“Ia tersenyum dan menyampaikan sebuah pesan yang hingga kini masih terdengar di telinga saya: ’Teruslah berkarya dan teruslah menulis.’”

Selamat jalan Kak Hermien!

Sumber: Floresa.co 

Mengenang Hermien Y. Kleden


Hermien Y. Kleden

Oleh: Gunoto Saparie

Senin malam, 29 September 2025, pukul 22.08. Di RSUD Pasar Minggu, Jakarta, sebuah hayat berhenti. Hermien Y. Kleden, seorang jurnalis senior di Tempo, meninggal dunia.

Ada yang datang dengan berita lirih itu: kepergian seorang yang namanya terikat pada kata-kata, pada kritik, pada keberanian untuk mengatakan yang lain. 

Bukan sekadar kabar duka, melainkan tanda bahwa satu suara yang kritis, yang jernih, telah padam dari tubuh manusia---meski mungkin tidak dari kesadaran kita.

Hermien dikenal sebagai seorang pemikir kritis. Ia berani menyoal, menggugat, dan mengurai dengan cara yang tak pernah dangkal. 

Dalam dunia kritik sastra, suaranya menghadirkan sesuatu yang jarang: ia bukan hanya bicara tentang teks, tetapi juga tentang dunia yang melatari teks itu. Ia membaca karya sastra seperti membaca kenyataan, sebuah kenyataan yang penuh luka, ketidakadilan, tapi juga harapan.

Di situ kita melihat: bagi Hermien, kritik bukan sekadar soal estetika. 

Kritik adalah percakapan dengan kebenaran. Kritik adalah usaha untuk melihat apa yang disembunyikan, apa yang terlupakan, apa yang dipinggirkan.

Wawasan kritis Hermien lahir dari kesetiaan pada pembacaan yang jujur. Ia menolak untuk menjadi sekadar akademisi yang dingin, atau pengamat yang netral. 

Dalam dirinya, kritik selalu berpihak. Dan keberpihakan itu jelas: pada korban, pada perempuan, pada yang lemah, pada yang dipinggirkan.

Ia sering menyinggung soal keadilan, hak asasi manusia, kesetaraan gender, hal-hal yang tak jarang diabaikan, bahkan ditertawakan, di dunia yang masih sibuk dengan dominasi dan kuasa. 

Hermien memandang kritik sastra bukan hanya urusan keindahan teks, tetapi juga etika kemanusiaan.

Di ruang publik, suaranya terdengar tegas. Hermien berbicara dengan bahasa yang lugas, kadang tajam, tetapi tidak pernah kehilangan empati. 

Ia percaya bahwa komunikasi publik bukanlah panggung untuk pamer kepandaian, melainkan sarana untuk menguatkan yang rapuh.

Dalam jurnalisme, ia mendorong etika yang sederhana namun sering terlupakan: berpihak pada korban, pada kebenaran, pada keadilan. 

Sebuah etika yang tidak populer di tengah arus berita yang sering lebih menyukai sensasi daripada substansi.

Hermien seakan ingin mengatakan: kata-kata hanya berguna jika ia mampu melindungi yang lemah.

Maka mengenang Hermien, bukan hanya mengenang seorang kritikus sastra, tetapi juga seorang intelektual publik. Ia membangun percakapan tentang teks, tetapi juga tentang dunia di balik teks. 

Tentang puisi, tetapi juga tentang penderitaan. Tentang cerita, tetapi juga tentang hak asasi perempuan.

Dengan begitu, Hermien memperlihatkan kepada kita bahwa sastra dan kehidupan tak bisa dipisahkan. Kritik sastra yang sejati, bagi Hermien, adalah kritik atas dunia itu sendiri.

Kepergiannya menimbulkan satu pertanyaan: siapakah kini yang akan menjaga ruang percakapan itu? Kita hidup di zaman ketika kritik semakin singkat, sering kali sekadar komentar media sosial. 

Zaman ketika kata-kata lebih sering digunakan untuk berteriak, bukan untuk memahami.

Hermien menolak jalan pintas itu. Ia sabar menelaah. Ia tekun membaca. Ia tetap percaya bahwa kata-kata harus dirawat dengan kesungguhan.

Kita mungkin kehilangan tubuhnya, tetapi apakah kita juga akan kehilangan kesabaran itu?

Saya kira, inilah arti sesungguhnya dari mengenang Hermien: bukan sekadar melukiskan sosoknya, melainkan melanjutkan sikapnya. Menghidupkan kembali keberanian untuk berpikir kritis. 

Menjaga kepekaan pada yang terpinggirkan. Menyadari bahwa setiap kalimat selalu punya konsekuensi moral.

Hermien sudah menunjukkannya. Kini, giliran kita.

Tetapi mengenang juga berarti mengingat bahwa Hermien adalah manusia, dengan keluarga, dengan sahabat, dengan cinta. 

Ada duka yang lebih sunyi dari sekadar kehilangan intelektual: duka keluarga yang ditinggalkan. 

Bagi mereka, Hermien bukan sekadar kritikus, bukan hanya suara di ruang publik, tetapi juga seorang istri, seorang ibu, seorang sahabat yang hangat.

Kematian, pada akhirnya, selalu sederhana dan personal.

Namun, seorang penulis, seorang kritikus, seorang intelektual, selalu meninggalkan jejak yang tak bisa ditutup. Tulisan-tulisannya, percakapannya, bahkan keberaniannya, semua itu tetap hadir. 

Kita bisa membuka kembali catatan-catatan Hermien, dan merasa seakan ia masih duduk di hadapan kita, berbicara, menantang, mengingatkan.

Seperti kata seorang filsuf: seorang penulis mati, tetapi bukunya tak pernah mati.

Mungkin benar, kematian adalah titik. Tetapi dalam kasus Hermien, saya lebih percaya: ia adalah koma. Kalimat masih berlanjut. 

Gagasan-gagasan yang ia tulis masih terbuka untuk dibaca, ditafsirkan, diperpanjang. 

Hermien tetap ada, di sela-sela halaman, di ruang diskusi, di hati orang-orang yang pernah disentuh pikirannya.

Senin malam, 29 September 2025, pukul 22.08, sebuah tubuh berhenti bernapas. Tetapi sebuah percakapan panjang masih terus berlangsung.

Apakah arti mengenang? Mengenang berarti menolak lupa. Menolak hilang. Kita tak bisa menunda kematian, tetapi kita bisa menjaga agar seseorang tetap hidup dalam kesadaran kita.

Hari ini kita mengenang Hermien Y. Kleden. Bukan hanya dengan duka, tetapi dengan tekad untuk melanjutkan apa yang ia percayai: bahwa kata-kata harus berpihak, bahwa kritik harus membela, bahwa komunikasi publik harus menguatkan, bukan melemahkan.

Mungkin itulah warisan Hermien: sebuah sikap. Dan warisan itu, bila kita jaga, akan membuatnya tetap ada.

Maka kita ucapkan, "Selamat jalan, Hermien. Bukan dengan air mata saja, tetapi dengan janji: bahwa kata-kata yang kau cintai, akan tetap kami rawat."

*Gunoto Saparie adalah Ketua Umum Satupena Jawa Tengah.

Sumber: Kompasiana



Hermien Kleden, Sang Guru dan Kakak Kami

Hermien Y. Kleden

Oleh: Yophiandi Kurniawan

Mantan Wartawan Tempo

POS-KUPANG.COM -  “Are you leaving?” Pertanyaan itu membuyarkan lamunan. Malam itu,  kak Hermien memanggil saya. Khusus. 

Di hadapannya, saya sempat melamun. Masih bertanya dalam hati. Apakah benar langkah saya meninggalkan TEMPO. 

Sebelumnya, Nugroho Dewanto sudah mencolek saya di tengah rapat perencanaan Majalah TEMPO siang hari. 

Pada 2011 kantor Majalah TEMPO pindah ke kawasan Velbak, Kebayoran Baru. Punggung-punggungan dengan kantor Koran TEMPO. 

Pertanyaan mas Dede—panggilan Nugroho Dewanto—mirip-mirip dengan Kak Hermien. “Lu jadi cabut?”

Saya tersanjung. Merasa diperhatikan oleh dua orang yang kualifikasinya mumpuni sebagai pejabat teras Majalah TEMPO. Apalagi kala itu, saya sempat tertinggal naik pangkat dan jabatan. 

Kalah cepat lulus M1 (baca M satu). Sebuah jenjang transisi menuju staf redaksi dari status reporter. 

Padahal saya pernah bangga. Naik status M1 dari Reporter urutan ketiga diantara enam orang di angkatan waktu itu.

Ditegur, dengan kalimat itu, saya terbangun dari lamunan saya. Saya tak memberi jawaban tegas. Apakah menerima tawaran yang sangat menggiurkan secara gaji. 

Tapi saya paham segala kemewahan sebagai wartawan bakal hilang. Salah satunya eksklusifitas dan memahami sebuah masalah. 

Di TEMPO saya mulai menyadari begitu ruwetnya negeri ini. Bukan karena masalahnya. Tapi karena orang-orang di seputar masalah itu. 

Sejak ada di Koran TEMPO menangani rubrik Olahraga, saya menyaksikan bagaimana kak Hermien mendidik banyak wartawan muda yang hijau-hijau. 

Pertanyaan-pertanyaannya membuat kita tahu bahwa kita tahu lebih banyak dari yang kita sudah tulis. 

Bisa juga, ternyata kita tak tahu sebanyak yang kita kira. Pertanyaan si kakak senantiasa tajam dan dingin. 

Untuk rubrik Olahraga pun yang menurut banyak orang rubrik santai, HYK —panggilan Hermien Y Kleden — membuatnya jadi santai sekaligus serius. 

Hasilnya, judul dan anglenya memang jadi terasa berbeda. Bang Yon Moeis, jagoan rubrik Olahraga terutama Sepakbola punya banyak cerita soal ini.  

Perkenalan saya pertama kali adalah saat kak Hermien sedang memegang halaman depan Koran TEMPO. 

Saat itu saya mempunyai dokumen rencana pembelian alutsista di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. 

Tak segan kak HYK bertanya soal ini itu tentang spesifikasi pesawat tempur yang rencananya mau dibeli tapi tak terlihat awalnya di APBN. 

Mengapa dan apa manfaat atau malah tak bermantaatnya buat negara dan masyarakat Indonesia. 

Pertanyaan-pertanyaan itu untuk memastikan bahwa cerita itu memang berita layak TEMPO.

***

“Dek, kok gak pulang?” Dinihari itu—saya lupa harinya—, saya pikir saya sendirian di lantai dua kantor Majalah TEMPO di jalan Proklamasi nomor 72. 

Dia bilang cemas karena saya baru pemulihan. Tangan pun masih digendong. 

Waktu itu saya baru beberapa pekan aktif lagi di kantor, setelah istirahat lebih dari lima bulan. 

Tulang selangka saya patah. Terbentur separator bus Transjakarta. Di depan kantor Kementerian Luar Negeri. Waktu mengejar Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri yang sedang menemui Menteri Luar Negeri Hasan Wirajuda. 

Saya memang sengaja begadang karena tengah menunggu narasumber di San Fransisco, Amerika Serikat. 

Rebiya Kadeer, pemimpin suku Uyghur yang terasing dari tanahnya di Xinjiang, Tiongkok. 

Saya tak akan pernah tahu, kalau Arif Zulkifli, waktu itu redaktur eksekutif Majalah TEMPO menyatakan Kak Hermien memperjuangkan saya lulus segera M1. Menjadi staf redaksi. 

Itu setelah kali kedua saya begadang. Yakni menunggu Michael Bloomberg, Wali Kota New York waktu itu. Michael adalah pemilik media ekonomi Bloomberg yang tersohor itu. 

HYK memang sangat perhatian kepada para reporter. Tak cuma soal sudah makan atau belum. Terlebih berbagi ilmu dan tips menjadi wartawan yang keren. 

Mempelajari karakter orang yang hendak diwawancara adalah salah satu tipsnya. 

Seorang Handry Satriago — almarhum adalah orang Indonesia yang jadi bos General Electrics — contohnya. 

Kak Hermien bertanya kepada saya sampai soal mood dan kesukaan Handry yang saya tahu. Sebagai persiapan untuk mewawancarainya untuk Majalah TEMPO. 

Kebetulan saya pernah menulis tentang sang CEO di rubrik Sehari Bersama di Koran TEMPO Minggu. Hasilnya, dari pengakuan Handry, dia suka dengan garapan di Majalah. 

Sementara di Koran, Handry menilai ada beberapa kekurangan. Bukan data, tapi bagaimana cara dirinya diprofilkan. 

Ecep S Yasa, pemimpin redaksi portal berita TVOne pernah bercerita. Ditanya setiap hari apakah sudah makan, minum vitamin, dan istirahat cukup. 

Setiap hari Ecep dipantau karena sedang intensif melakukan investigasi di pedalaman sebuah provinsi. Tentang kejahatan di daerah itu. Ini spesialisasi TEMPO.  

Panduan dari HYK membuat tulisan Ecep di rubrik Investigasi jadi pujian seisi newsroom. 

Setelah tulisan itu, polisi baru bergerak, berlaku menumpas kejahatan. 

***

Kak HYK, dan Kak Hermien adalah panggilan kami para bocil di TEMPO. 

Bocil, karena memang jam terbang kami perbedaannya jauh sekali terbentang. 

Kakak sudah ke sana kemari di masa Orde Baru, kami masih mahasiswa. Kak HYK berada dalam naungan Pak Fikri Jufri di Majalah Matra. 

Untuk Pak FJ ini pun saya angkat topi. Salut dengan pendekatannya kepada anak buah. 

“Your Excellency, please introduce our best reporter in TEMPO,” begitu kata Pak FJ menyanjung anak buahnya di hadapan para kenalannya. Biasanya kenalannya adalah orang-orang asing. 

HYK juga begitu. Sama persis dengan FJ. Menyanjung reporter di depan narasumber. 

Bahkan untuk beberapa anak, dia bahkan tertarik mencari tahu siapa ayah ibu dan saudara-saudaranya. 

Termasuk saat Mawar Kusuma —sekarang wartawan Harian Kompas — menukil sebuah ayat Perjanjian Baru di tulisannya. 

Tambahan dari HYK adalah, sudah berapa ratus tahun usia ayat itu ketika diturunkan. 

Selain pujian, HYK juga bisa tak segan memanggil reporter kembali ke kantor untuk menulis ulang laporannya atau bertanya lagi kepadanya tentang apa yang diliputnya. 

Bahkan tak jarang saat si reporter sedang berkencan nonton di bioskop Megaria—sekarang Metropole. 

Bioskop di ujung jalan Proklamasi itu memang sering jadi tempat melepas penat atau mencari lead tulisan. 

Bahkan berkencan sebentar. Lalu balik lagi ke kantor untuk menuntaskan tulisan memenuhi tenggat atau deadline.

Tulisan saya tentang kedatangan Barack Obama ke Indonesia jadi ciamik karena polesannya. 

Waktu itu sebagai wartawan di rubrik Luar Negeri, kedatangan Obama ke Jakarta jadi sampul cerita utama Majalah TEMPO. 

Tugas saya mendapat insight dan background. Informasi saya dapat dari beberapa orang di Departemen Luar Negeri. 

Salah satunya dari Retno Marsudi, waktu itu Dirjen Amerika dan Eropa. Kemudian jadi Menteri Luar Negeri. 

***

Kami berempat diminta tak bercerita tentang yang dialaminya. Februari 2025. Waktu itu di antara kami, saya sudah diberitahu di akhir 2023 tentang penderitaannya. 

Tapi “vonis” baru datang pada 2025. Sembari seluruh persiapan operasi pada Mei 2025 yang diutarakannya. 

Kami berempat yakin. Ada mukjizat kesembuhan pascaoperasi. Optimisme yang dibangun kami berlima—termasuk kak Hermien. Ada banyak misi yang tengah kami rampungkan. Misi yang mulia. 

Dalam dua tahun terakhir,  kami berlima intensif bertemu. Dan jadi lebih dekat. Kami, selain Ijar Karim, —fotografer andalan TEMPO—, sudah purna tugas dari TEMPO.  

Kak Hermien sering meminta saya mengebrief tentang situasi terkini. Ekonomi politik. Nasional. 

Kadang kalau saya dapat insight yang internasional, juga saya ungkapkan. No secret.

Saya merasa informasi yang saya terima lebih berguna untuk kak Hermien. Ada kepuasan. 

Bertahun-tahun dengan bimbingan di TEMPO—termasuk utamanya dari kak HYK—saya bisa menyumbang karya-karya eksklusif bagi media elektronik tempat saya bekerja kemudian. 

Berbagai wawancara eksklusif, juga visual-visual yang betul-betul cuma media elektronik itu yang punya. Dan seperti pesan kak Hermien. Tak usah kamu labeli eksklusif, biar penonton yang tahu bahwa itu memang tak ada di tempat lain. 

“Itulah eksklusif sebenarnya.” Ini nasihat yang saya ingat bersama nasihat lain. “Pastikan di tempat lain, karakter kamu tidak hilang.” 

Saya telah menjalankan pesan-pesan itu dengan baik. 

Selasa malam, sehari menjelang 1 Oktober, Hari Kesaktian Pancasila 2025, anggota keluarga, sahabat, kerabat, dan handai taulan saling sapa di Rumah Duka Santo Carolus. Banyak senyum juga tawa. 

Tak sedikit yang menangis. Termasuk mas Wahyu Muryadi, mantan pemimpin redaksi Majalah TEMPO. 

Agus Martowardoyo, mantan Gubernur Bank Indonesia dan Menteri Keuangan era SBY juga menitikkan air mata saat memberikan testimoni. 

Ada juga para petinggi, romo-romo di Konferensi Waligereja Indonesia dan Keuskupan Agung Jakarta serta kalangan Katolik umumnya. 

Aktivis Pemuda Katolik, PMKRI, dan banyak lagi. Hermien memang tak cuma aktif jadi wartawan. Juga dalam kerasulan awam di semesta Katolik. 

Mereka melepas Hermina Yosephine Kleden, ke tempat istirahatnya di pemakaman di Jagakarsa. 

Paripurna tugas Hermien di dunia. Jadi kakak, guru, teman, dan bisa juga orang tua bagi yang mengenalnya. 

Istirahatlah dalam keabadian kekal di Rumah Bapa, kak Hermien. Tuhan memberkati selalu. (*)

Sumber: Pos Kupang 

Mak Comblang


Saya dan Dokter Husein (kanan)
Ada yang bilang kami agak mirip dalam beberapa hal. Beta aminkan saja.  Pertama soal kumis. Beliau doyan kumis hitam tebal mengilap, saya senang yang tipis-tipis saja.

Bentuk hidung kami sebelas dua belas. Berkaca mata pula. Tidak seprofesi tapi sama bekerja berkompaskan kode etik. 

 Beliau dokter, saya wartawan. Kami kerap bertemu dan dipertemukan oleh tugas masing-masing. 

Dia tergolong narasumber yang menyenangkan jurnalis. Tak tak pelit berbagi informasi, dan siap melayani wartawan kapan saja. Pria cerdas, rendah hati, bijaksana dan humoris. 

Sebagai pemimpin dia tipe pemimpin yang melayani.  Dalam suatu masa yang panjang nian, namanya identik dengan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Prof. Dr. W.Z. Johannes Kupang. 

Sebut RSU Johannes Kupang, sontak ingat sosok dr. Husein Pancratius Rukeng alias Dokter Husein.

Ya beliau merupakan orang kesebelas yang menjadi direktur rumah sakit milik Pemerintah Provinsi NTT yang dibangun Belanda pada tahun 1941 ini.

Masa kepemimpinan Husein Pancratius sebagai direktur paling lama di antara 17 orang yang pernah memimpin RSUD Johannes Kupang sejak 1941 sampai sekarang.

Beliau menjabat direktur selama 13 tahun yaitu sejak tahun 1988 sampai 2001. 

Ketika saya berstatus mahasiswa baru Universitas Nusa Cendana tahun 1988, Husein Pancratius telah menjadi direktur RSU Kupang. Dia menggantikan pendahulunya, dr. Hendrik Roman Klaran (1985-1988).

Tiga gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) pernah menjadi atasannya yaitu dr. Hendrik Fernandez (Gubernur NTT periode 1988-1993), Herman Musakabe (1993-1998) dan Piet A. Tallo (1998-2008).

Masa kepemimpinannya lebih lama dibandingkan dengan direktur pertama RSUD Johannes Kupang, dr. Habel, yang menjabat tahun 1941-1952 (sumber: sejarah RSUD Johannes Kupang).

***

Tahun 1992 saya lolos seleksi masuk menjadi wartawan Harian Pos Kupang yang terbit perdana 1 Desember 1992. 

Pos Kupang mengangkasa di Flobamora hanya berjarak  dua pekan sebelum gempa dan tsunami meluluhlantakkan Pulau Flores yang menelan korban jiwa sedikitnya 2.080 orang.

RSUD Johannes Kupang yang dinakhodai dr. Husein Pancratius merupakan rumah sakit terbesar dan terlengkap di  NTT kala itu. 

Korban gempa dan tsunami  yang tak bisa ditangani pada fasilitas kesehatan di Flores, umumnya dirujuk ke rumah sakit tersebut. 

Kesibukan dan level pelayanan di RSUD Johannes Kupang  meningkat pesat. Sang direktur menjadi orang yang paling diburu para jurnalis untuk mengetahui perkembangan terbaru mengenai perawatan korban.

Perkenalanku dengan beliau berawal dari situ dan terus berlanjut hingga bertahun-tahun kemudian lantaran wilayah tugas saya paling lama sebagai wartawan di Kota Kupang. 

Sementara teman-teman seangkatanku yang lain mendapat tugas dari Om Damyan Godho selaku pemimpin redaksi Pos Kupang di 11 kabupaten yaitu Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Belu, Manggarai, Ngada, Ende, Sikka, Flores Timur, Alor, Sumba Barat dan Kabupaten Sumba Timur.

Dokter Husein adalah pria humoris dengan kumis hitam mengilap dan logat Manggarai yang kental. Dia juga seorang yang sangat berperhatian.

Suatu hari di pertengahan tahun 1995, dia mengejutkanku dengan pertanyaan menggelitik ini, "Dion, kamu sudah ada pacar atau belum?" 

Saya spontan tersenyum. Beliau lanjut bertutur. "Di sini (RSUD Prof Dr. W.Z. Johannes Kupang)  banyak nona perawat yang belum ada nyong (baca: pacar). Kalau ada yang kamu orang suka, beritahu saya."

Rupanya beliau mau menjadi mak comblang. Saya kembali meresponsnya dengan tertawa.

Perjalanan hidup membawaku sampai pada titik ini. Nona perawat di RSUD Johannes Kupang ternyata orang lain pung jodoh. Bukan jodoh saya.

"Bapa dokter saya sudah beristri, tapi dia bukan perawat," kataku kepada beliau dalam suatu acara di awal tahun 2000-an. Beliau ngakak.

Respek, rendah hati, hangat  dan kebapaan merupakan keutamaan sosok Dokter Husein Pancratius.

Tahun 2001 ia melepas tugasnya sebagai direktur RSUD Prof. Dr. W.Z Johannes Kupang. Posisinya digantikan dr. E. H. J. Mooy yang menahkodai manajemen rumah sakit itu sampai tahun 2006.

Selanjutnya rumah sakit itu dipimpin dr. Y. A. Mitak, MPH (2006-2008), dr. Alphonsius Anapaku, Sp.OG (2008-Agustus 2015),  drg. Dominikus Minggu,M.Kes (Agustus 2015-Januari 2019),  dr.drg. Mindo E. Sinaga, M.kes Februari (2019-2024) dan dr. Stefanus Dhe Soka, Sp.B, M.KM (2025-sekarang).

***

Setelah meninggalkan RSU Johannes, Dokter Husein Pancratius Rukeng sempat memangku sejumlah tanggung jawab penting di lingkup Pemerintah Provinsi NTT, antara lain Kepala Dinas Sosial Provinsi NTT, Asisten Setda NTT dan penjabat Bupati Flores Timur (April-Agustus 2005).

Dokter Husein pun sempat menjadi Direktur Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) Dedari Kupang selama lima tahun sejak 2010 hingga 2015.

Pengabdian lainnya yang amat monumental bagi masyarakat Flobamora  terkait masalah  HIV/AIDS. 

Beliau merupakan Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Nusa Tenggara Timur selama belasan tahun.

Gusti Brewon yang selama 10 tahun menjadi stafnya di KPA Provinsi NTT memberi kesaksikan yang menegaskan kepedulian beliau tersebut.

"Banyak kenangan dalam kebersamaan saya dan Bapa Dokter Husein  Singkatnya, Dokter Husein ini figur yang komplet. Cerdas, humoris, bijaksana dan peduli. Banyak pelajaran kehidupan yang saya timba selama menjadi staf beliau," kata Gusti Brewon.

 Menurut Gusti Brewon yang lebih lama menjadi staf dokter Husein adalah Rini Karsidin. 

"Rini jadi staf sejak tahun 2009, saat bapa dokter dipercaya sebagai sekretaris KPA Provinsi NTT hingga beliau meninggal, 16 tahun lamanya.  Meski demikian, rasanya saya paling banyak menemani beliau dalam perjalanan dan tugas di KPA Provinsi NTT. Karena sebagai Pengelola Program, saya biasanya akan membantu beliau dalam kegiatan pertemuan, sosialisasi dan advokasi. Saya berhenti dari KPA NTT tahun 2019," tulis Gusti di akun Facebooknya.

Kepedulian dan kerja keras  Husein Pancratius  untuk menanggulangi masalah HIV/AIDS di NTT sungguh tak ternilai. 

Pemerintah dan masyarakat Provinsi  Nusa Tenggara Timur patut berterima kasih kepada tokoh kemanusiaan ini. Di tangannya, NTT bisa menekan laju kasus HIV/AIDS secara signifikan.

Penghargaan yang layak untuk tokoh kemanusiaan ini rasanya perlu dipertimbangkan pemerintah daerah.

'Sejak kabar kepergiannya tersiar pada Selasa pagi 26 Agustus 2025, pelayat tak henti-hentinya mendatangi rumah duka di kawasan Kota Baru,  Kupang. 

Mereka merupakan pasien, kerabat, handai taulan, orang-orang dari berbagai kalangan masyarakat yang pernah mengalami perjumpaan personal dengan mendiang semasa hidupnya.

Beta bersaksi Husein Pancratius Rukeng (78)  adalah orang baik. Beliau sungguh seorang dokter, pemimpin, dan orang tua yang bijaksana dan penuh kasih. 

Di rumah duka Selasa petang kutatap wajah lembut kebapaannya. Terlintas senyum hangatmu dulu. 

Aih Bapa dokter, candamu akan selalu menarik rindu. Selamat jalan. Bahagia kekal di sisiNya. 

Tuhan meneguhkan dan menghibur Mama Wati, Adik Tedi, Alo Geong dan semua rumpun keluarga terkait. (*)

Sumber: Pos Kupang

Imam Pertama dari Wolonio


Romo Vincent Bata
 Dia imam dari Wolonio, Paroki Santa Maria Diangkat ke Surga Watuneso, Keuskupan Agung Ende. Namanya RD Vincentius Budi Bata Putra.

Dia bukan imam pertama dari Paroki Watuneso. Tapi yang pertama dari Wolonio, kampung kecil di kaki pegunungan Ndura. 

RD Vincentius Budi Bata Putra lahir di Mulawatu, kampung tetangga Wolonio. 

Secara administratif pemerintahan,  kampung itu masuk wilayah Desa Fatamari, Kecamatan Lio Timur, Kabupaten Ende, Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Dia datang paling akhir dari kami berenam, tapi yang pertama pulang ke rumah sang khalik, empunya kehidupan.

Dari kami berenam, dia yang pertama bersua di keabadian bersama kedua orangtua kami terkasih Thomas Bata (1933-2002) dan Theresia Masi (1943-2011).

Kisah hidup Romo Vincent Bata berakhir pada hari Senin, 18 November 2024 kira-kira pukul 16.00 Wita. 

Kami berlima saudara kandungnya dan seluruh rumpun keluarga serta handai taulan bak tersambar petir mendengar kabar duka Senin petang itu.

Kehidupan dan kematian memang begitu tipis. Kematian hadir kapan saja dia mau. Dia tak pernah bertanya kapan kita siap.

Sekian purnama telah berlalu sejak adik kami Romo Vincent Bata berpulang. Tapi jujur dikatakan, kegetiran masih membekas di hati kami manusia biasa yang rapuh.

Walau demikian serentak pula  kami memadahkan rasa syukur berlimpah, memuji Allah Tritunggal Mahakudus yang telah menuntun dan menopang kami, segenap keluarga melalui semua fase duka yang getir ini, hingga  hari ini.

Adik Romo Vincent Bata telah berdiam di keabadian. Kini tersisa kepingan-kepingan kenangan tentang dia yang berkelindan, terbayang-bayang di dalam benak, dan semoga akan terus hidup sebagai kenangan manis di hati  semua yang pernah mengenalnya. 

Meski  terus menyimpan rasa duka yang tersekat di batin saat melewati via dolorosa ini, kami segenap keluarga merasa diteguhkan dan dimampukan untuk tiada henti memuji Nama Tuhan yang maha kasih.

Terima kasih Tuhan yang telah menyembuhkan kekasih hati kami Romo Vincen dengan cara-Nya yang ajaib. Sejak 18 November 2024,  adik bungsu kami tidak sakit lagi. Tidak menderita lagi.

Vincen Bata nyaris sepanjang hidupnya selama 47 tahun selalu bersinggungan dengan klinik, rumah sakit dan obat. Muri menga gebi no oba, lukisan kata dalam Bahasa Lio. 

Tapi Tuhan sungguh baik padanya. Tuhan mengasihi dan menguatkannya. Dia paripurna melakoni hidup sebagai iman Tuhan sejak ditahbiskan di Gereja Salib Suci Maurole 23 Agustus 2007.

Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah namaNya. Kepergian Aji Cen ke alam baka merupakan momen duka yang besar, namun sekaligus peristiwa mulia bagi keluarga.

Dia menyusul ayah kami Thomas Bata yang berpulang pada 8 Februari 2002 dan Mama Theresia Masi pada 3 Agustus 2011.

Kami yakin dan percaya Aji Vincen, Bapa Thomas dan Mama Theresia kini telah bersua kembali di surga. 

***

Atas kepergiannya pada 18 November 2024, kami berterima kasih kepada karyawan-karyawati Rumah Bina Kerahiman Ilahi (RBKI) Ende. 

Mereka adalah keluarga terdekat Romo Vincent sejak tahun 2016 hingga akhir hayatnya. Adik Rusmini Jeniku, Abe dan anak-anak lainnya.

Mereka telah hidup bersama penuh kasih di bawah naungan atap RBKI, medan pelayanan Romo Vincent setelah melepas tanggungjawabnya sebagai ekonom di Seminari Tinggi Interdiosesan Ritapiret Maumere.

Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pelayat yang datang dari mana-mana. Bajawa, Mataloo, Ruto, Laja, Mbay, Mauponggo, Nangaroro, Watuneso, Maumere dan lain-lain 

Terima kasih berlimpah kepada Bapa Uskup Agung Ende, Mgr. Paulus Budi Kleden, para imam, diakon, biarawan, biarawati serta umat yang mendoakan Romo Vincent serta meneguhkan kami keluarga.

Kami sungguh merasa diteguhkan dan dikuatkan melihat begitu banyak orang yang datang melayat, mendoakan Romo Vincent Bata pada malam jaga hingga pemakamannya di Ndona pada Rabu siang 20 November 2024. 

Demikian pula pada misa peringatan 40 hari di Gereja St. Yosef Onekore Ende, 29 Desember 2024.

Kehadiran Bapa Uskup Paulus Budi Kleden, para imam seangakatan Romo Vincent serta kurang lebih 1.000 umat pada misa 40 hari, suatu bukti betapa imam dari Kampung Wolonio tersebut sungguh dikasihi.

Kami mengucapkan terima kasih kepada kerabat dekat dan atau jauh yang tak mungkin kami sebut satu persatu. Tuhan maha pemurah akan membalas semua budi baik dan kasihmu buat Romo Vincent Bata, adik terkasih kami.

Teriring permohonan maaf yang tulus dari kami segenap keluarga atas khilaf dan salah Romo Vincent semasa hidup. 

"Sudah selesai," begitu kata-kata Yesus ketika wafat di Salib. Romo Vincent Bata pun telah menggenapi dengan iman perkataan Yesus, sang Imam Agung itu. "Sudah selesai!" 

Ihwal kematian, pujangga asal Libanon, Kahlil Gibran melukiskan dengan kata-kata indah berikut ini. 

"Ratap tangis oleh karena kematian manusia di Bumi, sesungguhnya adalah pesta meriah para malaikat di Surga." 

Adik terkasih Romo Vincent, beristirahatlah dalam damai dan kasih Tuhan. (dion db putra)

Pope Of the People



Oleh: Helga Maria Evarista Gero

Dosen Sosiologi Fisip Undana Kupang - NTT

POS-KUPANG.COM - Dalam lanskap dunia modern yang ditandai oleh ketimpangan, migrasi paksa, kekerasan berbasis identitas, dan krisis ekologis, kehadiran Paus Fransiskus menjadi semacam suara kenabian yang melintasi batas-batas keagamaan. 

Dijuluki Pope of the People, Paus Fransiskus membawa wajah baru bagi institusi Katolik yang selama ini cenderung dianggap elitis dan konservatif.

Sejak terpilih pada 2013, Paus Fransiskus membawa angin pembaruan dalam cara Gereja Katolik memaknai keberadaannya di tengah masyarakat global yang makin dilanda krisis: ketimpangan ekonomi, krisis migran, konflik bersenjata, kerusakan lingkungan, serta dekadensi moral dalam institusi keagamaan itu sendiri. 

Ketika ia berkata, “Ini adalah waktu belas kasih, bukan Waktu ketertutupan,” ia sedang menentang arus populisme xenofobik yang tumbuh di Eropa dan Amerika Latin. Paus tidak tinggal diam. 

Ia menjadikan hak asasi manusia (HAM) sebagai basis teologis dan praksis pelayanan Gereja. 

Kita dapat membaca pendekatan Paus Fransiskus sebagai bentuk reformasi praksis — sebuah gerakan yang menyatukan spiritualitas dengan perjuangan sosial. 

Agama dalam konteks ini bukan sekadar ritual, tapi alat pembebasan. Inilah jiwa yang menjadi fondasi moral perjuangan Paus Fransiskus membela kaum miskin, tertindas, dan terpinggirkan.

Gereja yang Berjalan Bersama Kaum Miskin

Dalam dunia yang semakin dikendalikan oleh struktur neoliberal global, peran institusi keagamaan sering kali terpinggirkan, atau justru dijadikan alat legitimasi kekuasaan. 

Paus Fransiskus menolak posisi ini. Ia menegaskan bahwa Gereja tidak boleh menjadi sekadar institusi moral yang netral, melainkan komunitas perlawanan terhadap ketidakadilan.

Paus Fransiskus menyebut Gereja ideal sebagai “rumah sakit lapangan”—institusi yang hadir bukan di tempat nyaman, melainkan di tengah luka sosial: pengungsi yang tersisih, buruh migran yang diperas, keluarga miskin yang kehilangan tanah, dan lingkungan hidup yang dihancurkan. 

Gereja harus turun tangan, bukan hanya berdoa dari kejauhan. Dalam banyak pernyataannya, Paus dengan lantang mengecam sistem ekonomi global yang menciptakan “budaya pembuangan” (throwaway culture) dan menyebut kapitalisme tanpa kendali sebagai bentuk baru dari penyembahan berhala.

Enrique Dussel dan Paulo Freire (meski lebih dikenal di bidang pendidikan) mendorong gereja dan institusi sosial untuk menjadi subjek aktif dalam proses emansipasi rakyat. 

Dalam semangat itu, Paus Fransiskus mempopulerkan konsep “Gereja yang berjalan bersama umat” (synodality), yaitu gereja yang bukan menara gading tapi komunitas yang mendengarkan jeritan rakyat kecil.

Sebagai contoh, Laudato Si’ — ensiklik lingkungan yang menjadi dokumen moral dunia dalam isu krisis iklim. 

Paus Fransiskus tidak hanya bicara soal kerusakan bumi, tapi menyentuh dimensi sosial-ekologis: bahwa penderitaan bumi selalu paralel dengan penderitaan kaum miskin. 

Dalam kerangka ini, pembelaan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) bukan semata agenda politik, melainkan ekspresi iman yang hidup.

Tindakan Paus Fransiskus merupakan pembalikan struktur kekuasaan tradisional dalam gereja. 

Ia meruntuhkan tembok hierarki dan menggantinya dengan spiritualitas kerendahan hati. 

Gereja yang diperjuangkannya adalah gereja yang mengakar pada penderitaan, dan oleh karenanya, wajib menjadi bagian dari perjuangan sosial.

Kepausan dan Solidaritas Global dalam Dunia yang Terpecah

Dunia kini dilanda gelombang konservatisme, populisme, dan politik identitas yang memecah belah. 

Dalam situasi ini, Paus Fransiskus tampil sebagai tokoh dialog yang melampaui batas agama dan ideologi. Ia menjadi satu dari sedikit pemimpin dunia yang konsisten membela HAM universal.

Dalam dokumen Fratelli Tutti, Paus Fransiskus menyerukan persaudaraan lintas iman dan lintas bangsa. 

Ia juga mengecam nasionalisme sempit dan xenofobia yang berkembang di banyak negara Barat. 

Dalam setiap pidatonya, Paus Fransiskus mengingatkan bahwa setiap manusia—migran, pengungsi, tahanan, bahkan penjahat—memiliki martabat yang tak dapat dicabut. 

Ia menyebut pengabaian terhadap kaum migran sebagai “skandal moral global.”

Dapat dikatakan bahwa otoritas religius tidak dapat dipisahkan dari relasi kuasa dan simbol. 

Paus Fransiskus menggunakan posisi simboliknya sebagai pemimpin religius dunia untuk melawan narasi eksklusi dan kekerasan. 

Ia menggagas budaya perjumpaan sebagai antitesis dari budaya kebencian dan polarisasi.

Dalam dunia yang makin dipenuhi tembok (secara harfiah dan simbolik), Fransiskus memilih membangun jembatan. 

Ia tidak hanya menyerukan doa bersama, tetapi juga mendesak aksi kolektif: reformasi ekonomi global, pelindungan minoritas, penghapusan hukuman mati, dan penghormatan terhadap kelompok terpinggirkan.

Paus Fransiskus bukan tanpa kritik, baik dari kelompok konservatif dalam Gereja maupun dari pihak luar yang menganggap pendekatannya terlalu politik. 

Namun justru di sanalah letak kekuatan sosok ini: ia meredefinisi peran pemimpin agama sebagai pejuang nilai-nilai kemanusiaan universal, bukan sekadar penjaga doktrin. 

Dalam konteks Indonesia, khususnya di wilayah timur seperti NTT yang masih bergumul dengan kemiskinan, ketimpangan, dan marginalisasi, inspirasi dari Paus Fransiskus bisa menjadi suluh moral.

Perjuangan HAM, misalnya, bisa dimulai dari hal-hal konkrit: membela hak pekerja migran, mendampingi korban kekerasan seksual, mengadvokasi anak-anak putus sekolah, serta melindungi tanah adat dari perampasan oleh korporasi. 

Paus Fransiskus bukan hanya “Pope of the People”—ia adalah simbol yang mengajarkan bahwa iman sejati berada di jalanan—di tempat di mana suara-suara yang dibungkam harus dibela, dan martabat manusia harus ditegakkan. 

Alih-alih menjadi penonton, kita dipanggil untuk menjadi aktor transformatif.  Seperti yang dikatakan Paus: “Iman yang tidak menjadi solidaritas adalah iman yang mati.” (*)

Sumber: Pos Kupang


Paus Fransiskus dan Orang Muda Katolik

 

Paus Fransiskus di Jakarta 2024

Oleh : Frids Wawo Lado 

POS-KUPANG.COM - Dalam satu kunjungan pastoral ke Rio de Janeiro pada 2013, Paus Fransiskus berdiri di hadapan jutaan anak muda dalam World Youth Day dan berseru: “Hagan lío!” yang berarti “Bikin keributan!”

Akan tetapi keributan yang dimaksud bukan kerusuhan, melainkan keributan iman: iman yang berani bertanya, yang tidak diam ketika dunia buta arah, yang tidak gagap menyuarakan kasih dalam zaman yang semakin gaduh dan sarkastik.

Orang Muda Katolik bukan figuran dalam drama Gereja. Mereka adalah tokoh utama di babak baru sejarah iman.

Dari Takhta Menuju Trotoar

Paus Fransiskus bukan Paus biasa. Ia bukan tipe pemimpin yang menyukai kursi empuk atau tongkat gading. 

Sejak awal kepausannya pada 2013, ia menghindari kemewahan Vatikan dan memilih tinggal di Wisma Santa Marta.

Ia lebih suka bicara tentang “Gereja yang berdebu karena keluar ke jalan” daripada “Gereja yang steril tapi mandul karena nyaman di balik tembok.”

Ia memeluk logika inkarnasi: Allah yang menjadi manusia, bukan untuk duduk di singgasana, tapi berjalan di debu jalanan. 

Maka, dalam diri Paus Fransiskus, banyak anak muda menemukan sosok gembala yang tidak menggurui, tapi berjalan bersama. 

Seperti Yesus yang berjalan dengan dua murid di Emaus, mendengarkan sebelum menjelaskan (Luk 24:13–35).

Iman yang Relevan atau Romantis Sesaat?

Bagi generasi yang dibesarkan dalam era digital, kesabaran bukanlah virtue utama.  Mereka tumbuh dalam algoritma instan dan informasi yang membanjiri.

Gereja tak bisa lagi bicara dengan bahasa abad pertengahan dalam dunia yang sedang berdansa dengan kecerdasan buatan.

 Maka Paus Fransiskus, dalam Christus Vivit (2019), menulis: "Orang muda bukan hanya masa depan Gereja, mereka adalah masa kini Allah."

Di sini ada pesan teologis yang tajam: iman tidak bisa hanya diwariskan, ia harus dikonversi secara eksistensial, menjadi milik pribadi, bukan saja tradisi keluarga.

Ini menggemakan seruan Paulus: “Bukan lagi aku yang hidup, tetapi Kristus yang hidup dalam aku” (Gal 2:20).

Data menunjukkan bahwa banyak orang muda Katolik saat ini merasa jauh dari institusi Gereja. 

Survei Pew Research Center (2022) menyebutkan bahwa lebih dari 50 persen orang muda Katolik di Amerika Latin merasa “kurang relevan” dengan pengajaran resmi Gereja. Tapi anehnya, mereka tetap tertarik pada Yesus.

Mereka mungkin kecewa pada institusi, tapi tidak pada Injil. Maka, tugas Gereja bukan membuat mereka kembali pada “aturan,” tapi menemani mereka kembali pada “relasi.”

Cor ad cor loquitur: Hati Bicara Kepada Hati

Paus Fransiskus sangat memahami adagium ini. Ia tahu, orang muda tidak sedang mencari Gereja yang “benar,” tapi Gereja yang “tulus.” 

Mereka tidak lapar doktrin, mereka haus otentisitas. Mereka ingin didengar sebelum diajari.

Maka dalam banyak homilinya, Paus lebih suka berbicara sebagai teman, bukan hakim. 

Dalam dunia yang letih oleh kebisingan, suara keheningan yang empatik justru lebih didengar.

Dalam hal ini, gaya Fransiskus sangat Augustinian: In necessariis unitas, in dubiis libertas, in omnibus caritas. 

Dalam hal-hal yang esensial: kesatuan. Dalam hal-hal yang meragukan: kebebasan. Dalam semua hal: kasih.

Orang Muda Jangan Hanya Duduk di Bangku

Proses Sinode tentang Sinodalitas (2021–2024) yang digagas Fransiskus adalah momen emas untuk mendobrak hierarki satu arah.

Ini bukan reformasi kecil-kecilan. Ini revolusi spiritual. Paus Fransiskus ingin agar Gereja bukan lagi seperti menara gading yang turun perintah, tapi seperti tenda Abraham yang terbuka, menampung suara dari pinggiran, termasuk suara orang muda yang sering hanya dijadikan objek, bukan subjek.

Ia menantang mereka untuk tidak pasif. Dalam Laudato Si’, ia berbicara tentang krisis ekologi dengan nada kenabian, dan di situlah orang muda sangat aktif, karena mereka sadar, masa depan bumi adalah masa depan mereka.

Di sinilah titik temu antara iman dan aksi sosial. Iman yang tidak mengakar dalam dunia nyata hanyalah mistik semu. Fides sine operibus mortua est, Iman tanpa perbuatan adalah mati (Yak 2:17).

Menjadi Katolik Bukan Menjadi Lama, Tapi Menjadi Dalam

Orang muda bukan ingin meninggalkan iman. Mereka ingin iman yang bisa berjalan bersamarealitas mereka. 

Mereka ingin tahu bahwa menjadi Katolik bukan berarti kembali ke masalampau, tapi masuk lebih dalam ke masa kini, dengan roh kasih, bukan topeng moralitas kosong.

Paus Fransiskus mengajak semua orang muda untuk jangan takut berbeda. Iman bukan soal menjadi mainstream, tapi menjadi meaningful.

Dalam dunia yang memuja kecepatan, iman mengajak untuk bertumbuh. Dalam dunia yang menuntut pencitraan, iman mengajak untuk menjadi otentik.

Maka tugas orang muda Katolik hari ini bukan mempertahankan institusi, tapi menghidupkan relasi, dengan Allah, sesama, dan bumi.

Paus Fransiskus hanya membuka pintu. Tapi kitalah yang harus melangkah masuk dan duduk di meja sejarah, membawa suara yang jernih dan hati yang bersinar.

Iman yang Bersuara, Harapan yang Bertindak

Gereja bukanlah museum orang kudus. Ia adalah rumah sakit bagi yang luka. Dan dalam rumah sakit itu, orang muda bukan hanya pasien. 

Mereka juga bisa jadi dokter, perawat, bahkan arsitek tata ruang yang baru.

Paus Fransiskus percaya pada kekuatan anak muda. Maka dunia Katolik hari ini bukan milik para kardinal di Roma semata, tapi milik mahasiswa yang gelisah di Jogja, pegiat lingkungan di Kupang, relawan sosial di Papua, dan seniman rohani di Bandung.

“Veritas vos liberabit.” Kebenaran akan memerdekakan kamu (Yoh 8:32). Tapi kebenaran hanya akan didengar jika ia disampaikan dengan kasih dan kehadiran yang nyata.

Jadi, jangan hanya bikin konten. Bikin perbedaan. Jangan hanya hadir di misa. Hadirlah di dunia.

Karena seperti kata Paus Fransiskus: “The Church needs you. The world needs you. Don’t be afraid to dream big.” Gereja membutuhkanmu, dunia membutuhkanmu, jangan takut bermimpi besar.

Selamat jalan menuju keabadian Papa Fransiskus, dan selamat berjumpa dengan Sang Gembala Agung. Nasihat dan kebajikan-kebajikanmu menjadi inspirasi kami semua yang masih berziarah di muka bumi yang fana ini. (*)

Sumber: Pos Kupang

Dikasihi maka Dipilih, Kenangan Atas Sri Paus Fransiskus

Paus Fransiskus di Jakarta 2024

Oleh: RD. L  eo Mali

Rohaniwan dan Dosen Filsafat pada Fakultas Filsafat Unwira Kupang

Pada pagi yang tenang, 21 April 2025, pukul 07.35 waktu Roma, lonceng lonceng Vatikan berdentang dalam hening yang menggema ke seluruh penjuru dunia. 

Kabar duka datang: Kardinal Joseph Kevin Farrell, Camerlengo Takhta Suci, mengumumkan, "Il Vescovo di Roma è tornato alla casa del Padre." Uskup Roma, Paus Fransiskus, telah kembali ke rumah Bapa. 

Sejenak dunia berhenti, dan hati saya — seorang imam kecil yang pernah mengenyam pengalaman studi di Roma — terdiam, terangkat dalam doa yang perlahan berubah menjadi kenangan. 

Selama berada di Roma, saya pernah bertemu beliau dua kali dalam audiensi Natal, pada Desember 2018 dan 2019. 

Namun, bukan pertemuan-pertemuan itu yang terpatri paling kuat dalam hati saya meski banyak hal yang bisa diceritakan. 

Namun hal yang ingin saya tulis di sini adalah justru sebuah pertemuan yang tak pernah terjadi. Anehnya, justru peristiwa itulah yang paling mendalam, membentuk ikatan batin yang lebih kuat, lebih spiritual.

Kisah ini bermula dari satu devosi yang sederhana namun penuh makna: “Maria yang Mengurai Simpul Kehidupan” — Madonna che scioglie i nodi. 

Devosi ini dikenal Paus Fransiskus, saat itu masih seorang Pastor Bergoglio, ketika menjalani studi di Jerman tahun 1986. 

Di sebuah gereja kecil di Augsburg, ia menemukan lukisan karya Johann Georg Melchior Schmidtner dari abad ke-18: Maria sedang mengurai pita yang kusut, dibantu dua malaikat. Ia terdiam di hadapan lukisan itu. 

Bagi Bergoglio, Maria dalam lukisan itu bukan sekadar simbol. Ia adalah Ibu yang sabar, lemah lembut, yang mengurai kerumitan hidup umat manusia, simpul demi simpul, tanpa keluh, tanpa henti. 

Sepulang ke Argentina, devosi ini diperkenalkannya kepada umat, dan perlahan berkembang menjadi salah satu devosi paling dicintai di Amerika Latin. 

Namun, devosi ini tidak hanya berkembang karena pewartaan, tetapi karena ia sendiri pernah terjerat simpul-simpul kehidupan. 

Studi doktoralnya di Frankfurt tidak selesai, mungkin karena kendala bahasa, tekanan pastoral, atau ketidakcocokan dengan pendekatan akademik Jerman. 

Pengalaman itu menjadi luka batin. Tapi justru dari luka itulah ia tumbuh  dan berkembang.

Tahun 1990-1992, ia mengalami masa yang oleh banyak orang disebut sebagai “pengasingan spiritual”. Ia dikirim ke Córdoba, jauh dari pusat kekuasaan Gereja, tanpa jabatan, tanpa peran publik. 

Ia hidup dalam kesunyian: menjadi pembimbing rohani, mendengar pengakuan dosa, membaca, dan menulis. 

Dua tahun itu menjadi masa discernment, pembedaan roh. Dalam keheningan dan kerapuhan, ia belajar mendengar suara Roh Kudus yang halus tapi pasti. 

Di sanalah ia belajar bahwa Allah berkarya bukan hanya dalam kemenangan dan pencapaian, tetapi juga dalam kegagalan, kejatuhan, dan luka-luka yang dihayati dalam kepercayaan. 

Kelemahan-kelemahan manusia adalah jalan untuk mengenal belas kasih dan kerahiman Allah. 

Itulah titik di mana harapan tumbuh. Motto kepausannya, Miserando atque eligendo— “Ia dikasihi, maka dipilih” — tidak dapat dipisahkan dari pengalaman-pengalaman seperti ini. 

Bagi Paus Fransiskus, belas kasih bukanlah konsep atau retorika. Ia adalah jalan hidup.  Dan Maria, dalam devosi yang ia cintai, adalah Ibu yang setia berjalan bersama manusia, bahkan dalam kesendirian dan kekusutan hidup mereka.

Pada tahun 2021 hingga 2023, saya mengalami masa-masa yang berat selama studi di Roma, terutama dalam pengerjaan disertasi pasca-pandemi. 

Dalam kelelahan dan keraguan dan hampir putus asa, saya teringat pada kisah Pastor Bergoglio muda di Jerman dengan problemnya dan devosi kepada Maria yang mengurai simpul kehidupan. 

Dengan mendengarkan dorongan hati, saya menulis surat kepada Paus Fransiskus pada 17 Februari 2023 — curahan hati, permohonan doa, dan pengakuan atas beban batin yang sedang saya tanggung sebagai seorang pastor student. 

Tak lama kemudian, pada 15 Mei 2023, saya menerima jawabannya. Singkat tapi lembut dan penuh kehangatan. 

Tidak ada kalimat panjang. Tapi cukup untuk membuat air mata saya menetes. Ia, Sri Paus yang agung itu, meluangkan waktu menjawab surat seorang mahasiswa biasa. 

Dalam kata-katanya, saya merasakan pemahaman yang tidak lahir dari buku atau teori, melainkan dari luka yang disucikan dan dijalani dalam doa. 

Saya tahu, dia sungguh mengerti. Sebuah pengertian yang lahir dari pengalamannya sendiri.

Tapi sebelum saya menerima surat jawaban beliau, beberapa hari setelah saya kirim surat melalui seorang kawan imam, tepatnya 25 Februari 2023, saya terpilih menjadi salah satu dari enam mahasiswa yang pertanyaannya akan dijawab langsung oleh Paus dalam sebuah audiensi khusus di Vatikan.

Namun, malam sebelumnya saya terjaga hingga dini hari, menyelesaikan bagian disertasi yang harus dikirim pagi harinya. Kelelahan membuat saya tertidur dan melewatkan kesempatan berharga itu.

Ketika terbangun, telepon saya dipenuhi pesan dari rekan-rekan imam Indonesia: “Romo, di mana? Namamu dipanggil berkali-kali.” 

Awalnya ada rasa sesal, tentu. Tapi kemudian saya tahu bahwa pertemuan sesungguhnya terjadi melalui suratnya, dalam devosinya, dalam hidupnya. 

Saya tahu apa pertanyaan saya. Dan saya tahu pula bahwa jawabannya telah ia beri: dalam caranya menghidupi cinta yang penuh belas kasih, dalam ketekunannya berjalan bersama mereka yang hidupnya terjerat simpul, dan dalam keyakinannya bahwa Maria akan selalu hadir, sabar mengurai keruwetan masalah hidup kita.

Paus Fransiskus pernah berkata bahwa Maria adalah ibu yang tidak meninggalkan kita di tengah malam kehidupan. 

Karena itu, ketika ajal menjemput, ia meminta untuk dimakamkan di Basilika Santa Maria Maggiore —tempat yang ia selalu ia kunjungi sebelum dan sesudah setiap perjalanan apostoliknya. 

Di sana, ia menyerahkan seluruh hidupnya kepada Ibu yang senantiasa mengurai benang kusut kehidupan kita dan menenun kembali simpul-simpul yang tercerai. 

Saya merasa bersyukur bisa mengenalnya, meski hanya sejenak, dari kejauhan, melalui kata dan doa. 

Ia adalah imam, gembala, murid Maria, yang menunjukkan bahwa kesucian hati tumbuh dalam keheningan, dalam luka yang dipeluk dengan iman, dalam doa yang tak terdengar tapi penuh kasih dan harapan. 

Selamat jalan, Bapa Suci. Dari dalam simpul-simpul hidup kami yang belum terurai, kami tahu engkau kini mendoakan kami — bersama Maria, Ibu yang lembut, yang tidak pernah lelah membantu kami menemukan kembali makna dari pengharapan dan cinta. (*)

Sumber: Pos Kupang

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes