Kecebong

Air di kolam itu semakin berkurang
Yang tidak pindah mati kekeringan...


ALKISAH hiduplah sekawanan kecebong di dalam sebuah kolam yang tak seberapa luas. Larva binatang amfibi yang hidup dalam air, bernapas dengan insang serta berekor itu tak terhitung jumlahnya. Di antara sekian banyak kecebong, ada seekor yang merasa gundah dengan kondisi lingkungan, populasi kecebong yang amat gemuk dan ancaman musim kemarau. 

Ia sering meloncat-loncat ke atas air untuk melihat apakah ada tempat yang lebih besar untuk mempertahankan hidup bila musim kemarau berkepanjangan tiba. Setelah beberapa kali memantau, ia melihat ada satu kolam yang lebih luas dengan air yang lebih banyak. Dia mulai menyusun rencana untuk migrasi ke sana.


Kecebong 'cerdas' ini tidak egoistis. Dia mengajak teman-temannya untuk migrasi ke kolam yang lebih besar tadi. Tetapi mereka umumnya menolak dengan keras. "Di sini kan sudah hidup nyaman dan enak, makanan tersedia, teman banyak. Jadi, untuk apa pindah ke tempat baru yang belum tentu lebih baik?"

Kecebong itu sedih mendengar pernyataan teman-temannya yang hanya melihat kondisi sekarang. Mereka pro kemapanan, tidak mengantisipasi tantangan dan ancaman yang bakal dihadapi di masa depan. Sedangkan dia selain menikmati hidup, juga selalu peka dengan keadaaan sekitar. Saban hari ia memperhatikan kedalaman air kolam tempat mereka tinggal. 
Sampai suatu hari ia melihat air kolam sudah menurun drastis. Ia pun bertekad segera meloncat ke kolam yang lebih besar. "Bila tidak mengambil risiko sekarang, tidak akan ada kesempatan lagi. Kesempatan tidak datang dua kali," begitu pikirnya. Ia sadar karena kecebong memiliki daya loncat terbatas, ia tidak akan bisa lagi melompat ke kolam sebelah bila ketinggian air tidak mencukupi.

Maka meloncatlah kecebong itu ke kolam yang lebih besar dan selamatlah hidupnya. Di sana dia berenang bebas karena air lebih dari cukup. Musim kemarau panjang akhirnya tiba, Air di kolam kecil itu semakin berkurang dan akhirnya habis. Kawanan kecebong yang tidak mau pindah mati kekeringan (The Best Chinese Life Philosophies, Leman).

Beta yakin tuan dan puan sudah pernah mendengar atau membaca kisah kecebong itu. Suatu analogi spirit Wu Chang tentang perubahan berkelanjutan dalam kondisi apa pun eksistensi kita sekarang. Wu Chang mengajak siapa pun untuk berani keluar dari zona nyaman (comfort zone) kemudian melakukan adaptasi, perubahan, dan mau belajar seumur hidup. 

Spirit itu mensyaratkan keberanian. Keberanian menanggung risiko. Berani melawan arus dengan membuat kebijakan yang tidak populer sekalipun. Sayang sekali, yang pahit ini harus dikatakan. Tak banyak kita temukan di beranda Flobamora hari ini! Langka nian tokoh yang peka, peduli, antisipatif dan siap menanggung risiko seperti kecebong 'cerdas' dalam cerita di atas. Begitu banyak orang yang takut kehilangan kursi dan kuasa. Takut keluar dari zona nyaman.

Siapakah yang resah dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT) setiap bulan? Adakah yang gundah menyaksikan antrean panjang rakyat menunggu beras untuk masyarakat miskin (raskin)? Kita nyaman dengan situasi itu. Bangga dan senang. Menanti pujian karena menyalurkan BLT dan raskin tepat waktu. Keberanian kita sekadar menghukum 'pencuri-pencuri' kecil di kampung.

Ketergantungan pada beras dari luar Flobamora telah mencapai titik mencemaskan. Kita asyik-asyik saja mematuhi kebijakan yang salah. Tiada kritik, tiada protes. Tiada perlawanan! Tiada klarifikasi bahwa pangan itu tidak identik dengan beras. Di mana kaum cerdik pandai Flobamora? Di mana gerang akademisi di kampung besar kita? Kita terlalu kaya dengan cendekiawan yang nyawan. Nyaman dan bangga sebagai tim ahli. Tim pakar, penasehat intelektual para pembesar. Cendekiawan yang ramai-ramai menjadi caleg!

Tahun 2009 belum genap sebulan. Sebelas anak NTT telah meregang nyawa akibat penyakit diare dan gizi buruk. Siapa berani mengaku salah? Listrik mati hidup, air mengalir sekali sepekan, sampah menggunung berbau anyir, jalan-jalan berlubang hingga truk dan sepeda motor terperosok mencium tanah. Siapa yang mau mohon maaf?

Menjadi kecebong tangguh dan inovatif sungguh tidak mudah karena eksistensinya terus diuji masyarakat. Namun, kecebong unggul selalu menjadi harapan publik. Dialah agen perubahan. 
Dalam tahun tikus yang baru berlalu, Flobamora berjingkrak dengan 12 pesta pilkada langsung. Pesta demokrasi sepanjang tahun. Meriah sekaligus melelahkan. Habiskan dana ratusan miliar. Telah lahir para pemimpin baru lewat pilkada. 

Sesaat lagi akan muncul deretan pemimpin legislatif. Jumlahnya ribuan orang. Semoga muncul seekor dua kecebong anti- kemapanan. Lahir pemimpin yang ada greget-nya! Agar Flobamora yang kaya ini tidak terus terkulai mati dalam gelimang anggaran triliunan rupiah. (dionbata@poskupang.co.id)

Pos Kupang edisi Senin, 19 Januari 2009 halaman 1

Mama Mia!

Catatan sepakbola Dion DB Putra

"Jika aku meninggal di lapangan karena cedera, aku minta di peti matiku dimasukkan sebuah bola. Jadi, aku bisa mati dengan puas dan sambil tersenyum."
 -- Marta Vieira da Silva --

ZURICH 12 Januari tak sekadar pesta bagi Swiss. Zurich 12 Januari 2009 memanggungkan seorang perempuan muda yang patut dikenang dunia. Dia lahir dari lapangan sepakbola. Namanya Marta Vieira da Silva. Marta kembali terpilih menjadi wanita pemain sepakbola terbaik tahun 2008 versi Badan Sepakbola Dunia (FIFA). Tahun ketiga Marta menggenggam dunia. Mama Mia!

Dalam pemilihan pemain terbaik FIFA 2008, Marta yang baru bergabung dengan Los Angeles Sol -- klub profesional Liga Sepakbola Wanita Amerika Serikat -- mendapat poin tertinggi yaitu 1.002 poin. 

Si pirang asal Jerman, Birgit Prinz yang juga pernah meraih gelar pemain terbaik FIFA sebanyak tiga kali, berada di urutan kedua dengan 328 poin. Cristiane dari Brasil di posisi ketiga (275 poin) disusul Nadine Angerer dari Jerman (198) dan Kelly Smith asal Inggris (150). 

Prestasi Marta istimewa. Pemain asal Brasil itu berdiri sejajar dengan kaum Adam yang mendominasi jagat sepakbola. Namanya tak kalah harum dibanding si 'gigi kelinci' Ronaldo dan sang maestro dari Perancis, Zinedine Zidane. Mereka sama meraih hattrick predikat terbaik. Tiga tahun berturut-turut. 

Persaingan pemain terbaik wanita mungkin tidak seketat pria. Namun, keberhasilan Marta terasa istimewa karena dia melewati perjuangan yang sangat berat. Dia juga meraih gelar bergengsi tersebut dalam saat usia masih sangat muda yaitu 22 tahun.

Marta membangun karier profesional dengan susah payah di Santa Cruz, kampung halamannya. Globalisasi bola mengantarnya ke Eropa. Marta tak menyia-nyiakan kesempatan emas sejak bergabung bersama klub Swedia, Umea IK. Marta sungguh haus gol. Selama di Umea tahun 2004-2008, ia mengoleksi 111 gol dari 103 penampilan dan membawa Umea menjuarai Liga Sepakbola Wanita Swedia.

Tahun 2006 dan 2007 dia terpilih sebagai pemain terbaik dunia dan top skorer Piala Dunia Wanita 2007. Anda tahu gajinya di klub Umea? Sebulan dia dibayar sekitar Rp 515 juta! Jumlah yang membuat banyak orang terkesima.

Pesona Marta tak kalah membius dalam balutan kostum tim nasional Brasil. Sejak membela tim Samba tahun 2002, ia telah menyumbangkan 47 gol dalam 45 kali pertandingan bersama Selecao dan ikut membawa Brasil meraih medali perak Olimpiade Beijing 2008. Dunia mengenal Marta sebagai striker yang dingin di kotak penalti. Bukan cuma pemikir dan motivator bagi tim, dia juga eksekutor sejati. Sentuhannya 90 persen berubah menjadi gol.

***
SUKSES Marta Vieira da Silva merupakan buah dari perlawanan terhadap struktur sosial yang diskriminatif. Berbeda dengan Mia Hamm (AS) dan Birgit Prinz (Jerman), Marta lahir dan dibesarkan di Brasilia yang memandang bola dengan seluruh pesonanya sebagai dunia kaum pria. 

"You are a woman, Marta!" Demikian hardikan Dona Tereza Vieira de Sá setiap kali melihat putri mungilnya, Marta Vieira bermain bola bersama bocah pria di jalanan. "Kamu itu perempuan, Marta. Tempatmu bukan di lapangan bola!" Kata- kata itu bergaung hampir saban hari di rumah mereka yang sempit dan kumuh di Dois Riachos, Alagoas, Brasil.

Teriakan "You Are A Woman" adalah judul buku biografi Marta da Silva karya penulis Brasil, Diego Graciano. Dalam buku tersebut Graciano menulis perjuangan Marta hingga meraih impian masa kecilnya sebagai sebagai ratu sepakbola sejagat. Ratu dari Brasilia. Dan, Marta punya kelas tersendiri. Jauh berbeda dengan Milene Domingues yang kesohor karena menikahi Ronaldo lalu bercerai gara-gara perselingkuhan.

Marta pantas mendapatkan segala yang terbaik saat ini karena dia melewati onak dan duri. Jatuh dan bangun menuju puncak prestasi. Tidak hanya latihan teknis mengolah si kulit bundar, perjuangan Marta justru lebih berat melawan tatanan nilai dalam lingkungan sosialnya.

Lahir di kawasan Dois Riachos, Alagoas, Brasil 19 Februari 1986, Marta tergila-gila pada sepakbola sejak bocah. Tapi dia ditentang oleh keluarga. "Ibu, keluarga, tetangga, teman-temanku tak ada yang mendukung," demikian Marta. 

Sang bunda, Dona Tereza tak menampik pengakuan Marta tersebut. "Saya larang dia bermimpi jadi pemain bola, sebab itu hal yang tidak mungkin terjadi. Saya juga takut ia menderita cedera," kata Dona.

Apa jawaban Marta? Dona selalu ingat kata-kata spontan putrinya, "Jika aku meninggal di lapangan karena cedera, aku minta di peti matiku dimasukkan sebuah bola. Jadi, aku bisa mati dengan puas dan sambil tersenyum." 

Tekad Marta tak pernah padam. Pada umur 12 tahun, Marta bergabung dengan klub lokal, CSA. Dia merupakan satu-satunya perempuan di klub itu. Ini memancing kemarahan sang kakak, Jose. Dalam review buku biografinya, Jose mengakui dulu ia kerap memukuli adiknya yang bengal itu. 

"Orang sering mengejek, adik perempuanmu bermain dengan anak laki-laki. Saya menjemputnya dari lapangan bola. Membawa ke rumah, memukulinya. Tapi ia kabur dan kembali ke lapangan bola," kata Jose.

Pergaulan dan kebiasaan bertarung dengan kaum lelaki mengasah kemampuan Marta. Pada usia 14 tahun, ia melakukan perjalanan tiga hari tiga malam dengan bus untuk bergabung dengan klub impiannya di Kota Rio de Janeiro, Vasco Da Gama. Adalah Helena Pacheco yang merekrut Marta masuk ke klub itu. Bagi Marta, Helena Pacheco yang sempat menangani timnas Brasil merupakan orang paling berjasa baginya. Pacheco mengantar Marta menuju kejayaan.

Di Vasco Da Gama, karier Marta melesat. Keluarga menyerah. Prestasi bersama Vasco menarik perhatian Umea IK. Tahun 2004, Marta terbang ke Swedia. Swedia jatuh hati. Mereka memberinya julukan unik, Marta Sepupu Pele. Sebuah ilustrasi betapa kepiawaian Marta bisa disandingkan dengan Pele. "Saya yakin akan lebih banyak wanita tertarik dengan bola. Kita sedang menatap masa depan yang lebih baik," kata Marta pada malam penganugerahan di Zurich 12 Januari lalu.

Marta da Silva mestinya sebuah rangsangan. Rangsangan bagi kaum perempuan sejagat untuk berjibaku, bersaing secara sehat dengan kaum pria dalam lapangan hidup manapun. Oh, Mama Mia! Hai para "Ratu" dunia. Jangan pernah menyerah!*

Makoto Koike, Pelestari Tradisi Parai Wunga

IA sungguh berharap penduduk Parai Wunga --60 kilometer barat Waingapu-- Sumba Timur, NTT, bisa menjaga adat tradisi mereka. Dengan itu pula, pria asal Jepang ini, Prof Makoto Koike PhD, ingin menjadikan tradisi sebagai tujuan wisata para turis di Parai Wunga. ”Biar kehidupan ekonomi mereka juga bisa lebih baik,” katanya.

Kehidupan pria ini memang tak lepas dari Parai Wunga. Begitu ”dekatnya” dia dengan Parai Wunga, sampai Makoto Koike mendapat nama dari warga Wunga. Di daerah itu, antropolog ini dipanggil Umbu Haharu.

Pengetahuan Makoto tentang Parai Wunga tak beda dengan warga asli. Dengan lancar ia bercerita tentang pentingnya uma (rumah) untuk kehidupan ekonomi, politik, dan ritual masyakarat Sumba. Misalnya uma Marapu, rumah adat yang menjadi wahana di mana anggota kabihu (marga) melakukan berbagai kegiatan.

Ia juga ikut dalam sembahyang besar (mangajingu bakulu) di uma Ratu pada 1986. Uma Ratu adalah rumah yang sakral dan menjadi pusat segala kegiatan ritual. Upacara yang dilakukan empat tahun sekali itu melibatkan semua warga Wunga untuk mengukuhkan kembali ikatan sosial di antara mereka.

Seiring rusaknya bangunan uma Ratu, sejak tahun 1990 kegiatan ritual itu semakin berkurang, nyaris tak ada. Warga lalu melaksanakan sembahyang di rumah masing-masing. Namun, kondisi ini membuat kehidupan mereka seakan kehilangan ”jiwa”.

Untuk membangun kembali uma Ratu, dibutuhkan persiapan besar baik dari segi biaya maupun ritualnya. Makoto yang pernah tinggal di Desa Kadahangu untuk penelitian disertasinya pada Desember 1985-Februari 1986 tak bisa tinggal diam.

Sejak masa penelitian hingga kini, ia merasa menjadi bagian dari warga Wunga. Oleh karena itulah, meski penelitiannya telah selesai dan gelar doktor sudah diraih, setiap tahun sejak tahun 1991 Makoto tetap mengunjungi ”kampungnya”.

Ia biasa tinggal tiga-empat hari di Wunga. Dari tahun ke tahun, Makoto melihat suasana kampung itu semakin sepi. Bisa dikatakan hanya anak-anak dan orang tua yang tinggal, sedangkan mereka yang berusia produktif memilih tinggal di rumah kebun yang letaknya relatif jauh dari perkampungan.

Makoto prihatin, ia paham betul arti penting keberadaan uma bagi orang Wunga. Tiga tahun lalu, ia memutuskan mengumpulkan dana untuk membangun kembali uma Ratu agar ritual warga bisa kembali berlangsung.

”Ritual dan adat itu menjadi pengikat hubungan antar-individu. Parai Wunga yang seolah kehilangan ’jiwa’ akan kembali hidup,” katanya.

Kesempatan itu muncul saat dia diundang sebagai pembicara dalam sebuah seminar di Takenaka Carpentry Tools Museum (TCTM), Kobe, 22 Juni 2007. TCTM adalah lembaga yang peduli pada pelestarian budaya masyarakat. Lembaga ini bagian dari Takenaka Corp, satu dari lima perusahaan konstruksi besar di Jepang.

Pada seminar itu, Makoto memaparkan hasil penelitiannya di Wunga, termasuk keinginan membangun uma Ratu. Gayung bersambut, TCTM tengah mencari lokasi untuk pembangunan kembali rumah tradisional yang bakal dipamerkan di TCTM tahun 2010.

Rumah di Parai Wunga dibangun dengan cara tradisional, mulai dari pengumpulan bahan, tak menggunakan paku dan peralatan modern. Selain dari TCTM, Makoto juga mendapat bantuan dana dari tempatnya mengajar, Fakultas Studi Internasional dan Ilmu Budaya Universitas St Andrew di Osaka.

Maret 2008, dimulailah renovasi uma Makatemba, yang melibatkan Marcelo Muneo Nishiyama, ahli bidang peralatan tradisional dari TCTM. Ada pula Sato, ahli bangunan tradisional dari National Museum of Ethnology, Osaka.

Namun, saat hendak membangun uma Ratu, masalah muncul. Sebelum membangun uma Ratu, ia harus mendapat persetujuan dari tiga pihak yang berada di Kanatangu, Mamboru, dan Lewa, yang nenek moyangnya berasal dari Wunga.

Sambil menunggu persetujuan, sampai Oktober 2008 mereka membangun dua rumah lain, yakni uma Bakulu dan uma Rua.

Di rumah raja

Perkenalan Makoto dengan warga Wunga dimulai saat ia melakukan penelitian pada Desember 1985-Juni 1988. Sambil meneliti, ia sehari-hari juga hidup seperti layaknya orang Wunga. Ia memakai hinggi (kain Sumba) dan tera (ikat kepala).

Di tempat yang terletak sekitar 60 kilometer barat Waingapu itu, Makoto sesekali mengunyah happa (sirih pinang) sampai mulutnya berwarna merah seperti kebanyakan orang Sumba.

Sampai Februari 1986, ia tinggal di rumah seorang pendeta di Desa Kadahangu untuk mempelajari bahasa setempat. Ia tinggal di Wunga mulai Maret 1986, di rumah Umbu Tobu yang saat itu menjadi raja.

Fokus penelitian Makoto adalah mengungkap seberapa besar uma berperan dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan ritual masyarakat setempat. Uma memiliki persamaan dengan ie (rumah, bahasa Jepang), yang punya peran penting guna memahami budaya dan masyarakat Jepang.

Maka, selama tinggal di Wunga, Makoto juga mengunyah happa, merokok lintingan daun, makan langsung dengan tangan, dan memakai hinggi.

”Saya sampai ikut-ikutan tahan tak mandi sampai seminggu, badan jadi gatal. Namun, memang di sini air adalah barang langka. Kami memerlukan waktu berjam-jam untuk pergi mengambil air,” ceritanya.

Umbu Tobu lalu mengangkatnya sebagai anak dan memberi Makoto nama Umbu Haharu. Haharu adalah tanjung yang berada di ujung utara Pulau Sumba, yang disebut juga Tanjung Sasar. Lokasi ini dipercaya sebagai tempat mendaratnya nenek moyang orang Sumba.

Desember 1987, pada upacara penguburan Raja Tamu Umbunai Wulangu di Kampung Kapunduku, penampilan Makoto nyaris tak bisa dibedakan dari orang Sumba. Selain bertutur dalam bahasa Sumba, kulitnya pun lebih gelap, gigi dan bibirnya berwarna merah tua karena mengunyah happa. Makoto datang ke rumah duka bersama rombongan Raja Wunga.

Jumpa istri

Makoto bercerita tentang masa awalnya di Wunga. Setiap hari ia keluar rumah berbekal buku tebal untuk mencatat nama orang, marga, perannya dalam masyarakat, dan dengan siapa ia berhubungan. Ia berusaha merekonstruksi kehidupan sebuah masyarakat.

Pencatatan detail tentang budaya lisan Wunga yang ditulis Makoto kemudian membuat warga Wunga bisa ”menemukan kembali” sejarah mereka.

Sumba punya kisah yang manis baginya. Makoto berjumpa Naoko, gadis kelahiran Hiroshima yang lalu menjadi istrinya, justru saat Naoko menjadi turis di Sumba. Sebelumnya, Naoko pernah mengikuti program pertukaran pelajar dan belajar bahasa Indonesia di Universitas Hasanuddin, Makassar, dan Universitas Padjadjaran, Bandung. (JOHNNY TG, Kompas Sabtu, 17 Januari 2009)

Satu Perempuan Setiap Tiga Kursi DPR/DPRD

JAKARTA, PK -- Komisi Pemilihan Umum berencana mengatur penetapan calon terpilih yang berpihak pada calon perempuan. Jika partai politik meraih tiga kursi DPR/DPRD dalam sebuah daerah pemilihan, salah satunya mesti diberikan kepada calon perempuan yang perolehan suaranya terbanyak ketimbang calon perempuan lain.

Anggota KPU, Andi Nurpati, di Jakarta, Kamis (15/1/2009), menyebutkan, hal itu merupakan tindak lanjut dari putusan Mahkamah Konstitusi yang menetapkan prinsip suara terbanyak dalam penetapan calon terpilih.

Namun, MK juga tidak memutus untuk membatalkan ketentuan tindakan khusus sementara (affirmative action) untuk calon perempuan. Andi meyakini klausul tersebut tidak bertentangan dengan semangat Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 mengenai Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD ataupun putusan uji materi MK.

Andi yakin KPU berwenang merumuskan ketentuan seperti itu. Sekalipun klausul tersebut masih rancangan keputusan KPU menyangkut penetapan calon terpilih, Andi yakin ketentuan tersebut bakal disetujui dalam pleno anggota KPU karena sebagian besar anggota KPU mendukungnya.

Secara terpisah, pengajar politik dari Universitas Indonesia, Ani Soetjipto, sependapat bahwa MK tidak membatalkan ketentuan tindakan afirmatif untuk calon perempuan, yaitu 1 perempuan dalam 3 calon anggota legislatif. Karena itu, gerakan perempuan menuntut cara penghitungan suara calon perempuan dan laki-laki mesti terpisah.

Jika parpol meraih lebih dari satu kursi di daerah pemilihan, penentuan calon terpilih mesti berselang-seling antara calon terbanyak lelaki dan perempuan. Jika kemudian diputuskan minimal 1 perempuan setiap 3 kursi yang diraih parpol, KPU ingin ketentuan itu paralel dengan ketentuan afirmasi berupa sistem zipper dalam penetapan calon.

Namun, mantan Ketua Panitia Khusus RUU Pemilu Ferry Mursyidan Baldan (Fraksi Partai Golkar, Jawa Barat II) dan mantan anggota pansus, Agus Purnomo (Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, DI Yogyakarta) tidak sependapat dengan rancangan KPU.

Menurut Ferry dan Agus, ketentuan ala KPU tidak benar karena kebijakan afirmasi dalam UU Pemilu hanya dalam hal penyusunan daftar calon, yaitu meletakkan seorang perempuan dalam setiap 3 calon. Tidak benar jika afirmasi dilakukan dalam penentuan calon terpilih.

Sebaliknya, mantan Wakil Ketua Panitia Khusus RUU Pemilu Andi Yuliani Paris (Fraksi Partai Amanat Nasional, Sulawesi Selatan II) dan mantan anggota pansus, Lena Maryana Mukti (Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, DKI Jakarta I), mendukung rencana KPU. Menurut Lena, langkah KPU merupakan terobosan menyelamatkan kebijakan afirmasi untuk perempuan. Selepas putusan MK, kewenangan menentukan calon terpilih ada pada KPU. (kompas.com)

Cecar dan Culu Welu

KABUT tebal seakan menampilkan kesombongan saat menyelimuti kaki Gunung Mbeliling. Dia seakan mau menunjukkan bahwa dia berkuasa menutupi keindahan hutan yang ada di kaki gunung itu. Sedikit-sedikit matahari menembus gumpalan kabut dan menerangi kampung yang terletak persis di sekitar kaki gunung itu. Kampung tersebut dikenal dengan nama Kampung Cecar.

Cecar. Nama ini tidak asing lagi bagi warga Labuan Bajo, Kabupaten Mangarai  Barat. Selain sebagai nama kampung, Cecar juga sebagai lokasi sumber air untuk Kota Labuan Bajo sebagai air PAM. Kampung yang terletak di Desa Liang Ndara, Kecamatan Sano Nggoang ini terkenal cukup unik. Kampung ini memiliki potensi besar, namun belum dikelola secara baik demi kepentingan warga setempat.

Kampung ini memiliki panorama alam yang menarik karena berada persis di kaki Gunung Mbeliling, dengan ketinggian 1.200 meter di atas permukaanl laut (dpl). Kampung yang berbatasan dengan Kampung Melo dan Desa Cunca Lolos ini sering menjadi tujuan sejumlah wisatawan untuk melihat masuknya matahari sore (sun set) yang berada persis pada garis lurus Kota Labuan Bajo dan Pulau Komodo. Nama Cecar diambil karena di kampung ini dulu terdapat banyak pepohonan dan semak.

Di sini warga tidak sulit mendapatkan air bersih karena wilayah itu adalah daerah yang memiliki banyak sumber air, begitu pula dengan pangan. Sumber air yang disuplai dari kampung ini cukup berarti bagi warga. Meski begitu, perhatian pemerintah terhadap wilayah ini belum juga tersentuh sempurna. Warga setempat memang mudah mendapatkan pangan walaupun dulunya sulit.

Berbicara tentang pangan, kampung yang memiliki penduduk kurang lebih 100 kepala keluarga (KK) yang semuanya bermata pencaharian sebagai petani ini dulunya (sekitar tahun 1960-an) hanya memanfaatkan makanan lokal yang sudah menjadi sajian pokok yaitu nasi bercampur jagung (hang kabo). Menu ini selalu disajikan setiap hari meski ada variasi dengan ubi-ubian. Warga di kampung ini masih percaya kalau hang kabo adalah makanan khas mereka. Namun, kini mulai hilang perlahan dengan berkembangnya zaman. Warga Cecar juga sudah mudah mendapat beras dengan mengerjakan sawah karena didukung kondisi alam setempat. 

Kampung Cecar hingga saat ini didiami oleh Suku Toe Liang Ndara. Suku ini menurut warga setempat mulanya berasal dari Goa, Sulawesi Selatan, yang sudah lama mendiami sejumlah wilayah di Manggarai Barat. Hal ini dapat dilihat dari struktur perumahan yang sejak dulu menggambarkan ciri khas Sulawesi Selatan. Sekarang memang tidak lagi dominan, hanya tinggal satu atau dua rumah saja yang masih mempertahankan ciri khas itu, yakni dengan model rumah dengan kolong atau dek yang dikenal dengan nama rumah panggung beratap khas. Ada yang dari alang-alang atau ijuk.

Jika menelisik soal penerangan di wilayah ini, warga masih menggunakan lampu pelita dan lampu gas (strong king). Dua bentuk penerangan ini baru dikenal warga dalam dua dasawarsa terakhir. Sebelumnya, warga setempat menggunakan campuran antara buah kemiri dan kapuk yang disenyawakan dengan cara menumbuk kemudian dililitkan pada batang lidi atau bambu yang dihaluskan seperti lidi. Bentuk penerangan yang lazim digunakan warga ini dikenal dengan nama culu welu. Bahan ini siap dibakar menggantikan penerangan lampu pelita ataupun lampu strong king. 

Wilayah ini sampai sekarang belum memiliki listrik dari pemerintah. Warga tetap menggunakan pelita dan lampu gas. Hanya ada satu atau dua warga tergolong mampu yang menggunakan motor listrik (genset).

Penggunaan genset saat ini sudah dikomersialkan, yakni warga yang ingin menarik kabel ke rumahnya harus membayar kepada pemilik genset. Bayaran ini menurut warga setempat berkisar antara Rp 30.000,00 hingga Rp. 50.000,00 per bulan per satu unit rumah atau disesuaikan dengan pemakaian bola lampu. Setiap hari genset ini dinyalakan pemilik untul warga konsumen mulai pukul 18.00 wita hingga pukul 22.00 wita.

Warga masih berupaya sendiri dalam memanfaatkan penerangan tersebut, tetapi belakangan ini, dengan adanya kenaikan harga maupun kelangkaan bahan bakar minyak (BBM), warga cukup cemas dengan penggunaan genset. Sementara culu welu ini mulai hilang setelah warga mulai kenal dengan lampu pelita maupun strong king. Meski begitu ada beberapa warga masih melestarikan jenis penerangan ini sebagai budaya yang tidak dilupakan.

Theo Bin dan Hilarius Haban, warga Kampung Cecar, kepada Pos Kupang, Rabu (14/1/2009), mengatakan, tradisi menggunakan culu welu sulit dilupakan meski di kalangan masyarakat setempat tradisi ini mulai hilang bahkan tidak digunakan lagi hanya karena perkembangan zaman. Menurut keduanya, pemanfaatan culu welu ini sangat dirasakan sekali pada tahun 1965 hingga tahun 1970-an. "Kalau ada warga kampung yang meninggal, setiap kami diharuskan membawa culu welu ini, setiap KK sebanyak 5-10 lidi. Kami bawa ini ke rumah duka sebagai penerangan di rumah tersebut selama masa perkabungan," kata Bin dan Haban.

Penggunaan culu welu ini dengan cara ditancapkan pada sebuah media atau potongan bambu secara miring dan tidak boleh tegak lurus. Hal itu dilakukan agar lampu sejenis obor/culu welu ini tidak padam. Memang penggunaan bahan dari alam ini cukup membantu warga karena itu perlu dilestarikan meski zaman terus berubah.

Haban juga mengakui, beberapa waktu lalu, dengan adanya kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) maupun akibat krisi global, warga setempat mulai berpikir untuk kembali pada kondisi dulu (back to basic). Rupanya warga di kampung ini sudah siap menerima kenyataan bila suatu saat BBM habis dan adanya kenaikan harga maka bisa beralih kembali ke penerangan tradisional dan unik tersebut. (obby lewanmeru)

Kacab Bank NTT Labuan Bajo Jadi Tersangka

RUTENG, PK -- Penyidik Kejaksaan Negeri (Kejari) Ruteng telah menetapkan Husen Adam, Kepala Cabang (Kacab) Bank NTT Labuan Bajo, sebagai tersangka dalam kasus korupsi dana proyek pengembangan ubi aldira yang dikelola Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Perkebunan dan Peternakan Manggarai Barat (Mabar).

Kajari Ruteng, Timbul Tamba, S.H, M.H menyampaikan hal itu saat dihubungi Pos Kupang di Ruteng, Jumat (16/1/2009). Dia dimintai keterangan terkait perkembangan penanganan kasus dugaan korupsi proyek ubi kayu di Mabar. 

Timbul Tamba menjelaskan, hasil penyelidikan mengindikasikan keterlibatan Husen Adam dalam kasus proyek pengembangan ubi kayu aldira yang menelan dana Rp 2,8 miliar itu. 

Keterlibatan yang bersangkutan, kata Timbul Tamba, yakni dalam proses pencairan dana proyek. Adam memberikan kemudahan kepada Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Perkebunan dan Peternakan Mabar, Matheus Janing, yang juga sudah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus yang sama. 
Mekanisme pencairan dana proyek yang seharusnya, kata Timbul Tamba, yakni dana dicairkan kepada rekanan pengadaan stek ubi kayu, Rinda Jati. Namun yang terjadi, tersangka Adam mencairkan langsung kepada rekening Dinas Pertanian setempat. Selain itu, dana senilai Rp 270 juta ditransfer langsung ke rekening pribadi Matheus Janing.

Timbul Tamba mengatakan, selain Husen Adam, jaksa juga sudah menetapkan dua orang lagi sebagai tersangka yakni Matheus Janing dan Rinda Jati selaku rekanan pemerintah yang melaksanakan proyek itu.
Untuk melengkapi berita acara pemeriksaan (BAP) para tersangka, kata Timbul Tamba, penyidik kejaksaan akan memanggil dan meminta keterangan saksi-saksi.

Ditanya tentang penahanan para tersangka, Timbul Tamba mengatakan bahwa peluang itu ada. Hanya saja perlu keterangan tambahan dari para saksi sehingga pada waktunya para tersangka pasti ditahan.

Untuk diketahui, proyek pengadaan stek ubi kayu senilai Rp 2,8 miliar diduga bermasalah. Sesuai hasil audit BPKP Perwakilan NTT, total kerugian negara dalam kasus tersebut mencapai Rp 448 juta. (lyn)

Pos Kupang edisi Sabtu, 17 Januari 2009 halaman 1

Pilkada Belu: Gugatan Paket Gemar Kandas

JAKARTA, PK -- Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan pelanggaran-pelanggaran Pilkada Kabupaten Belu putaran kedua yang dibeberkan pemohon Gregorius Mau Bili Fernandez dan Berchmans Mau Bria (Paket Gemar), tidak terbukti dan tidak mempengaruhi perolehan suara yang ditetapkan oleh KPUD Belu.

Hal tersebut disampaikan dalam sidang putusan perkara 62/PHPU.D-VI/2008 di ruang sidang MK di Jakarta, Kamis (15/1/2009), sebagamana dikutip dari website-nya MK, www.mahkamahkonstitusi.go.id. Perihal putusan MK ini juga dijelaskan kuasa hukum KPUD Belu, Philipus Fernandez, SH dan Ketua KPUD Belu, Drs. Paulus Klau.

KPUD Belu telah menetapkan bahwa pada Pilkada putaran kedua, paket Gemar memperoleh 76.695 suara, sedangkan Joachim Lopez-Taolin Ludovikus (Jalin) memperoleh 84.061 suara.

Paket Gemar keberatan terhadap penetapan tersebut dan menyatakan bahwa Pilkada putaran kedua tidak demokratis, tidak Luber dan Jurdil, sehingga hasil penghitungan oleh KPUD salah, atau setidak-tidaknya terdapat kekeliruan.

MK menyatakan pelanggaran-pelanggaran yang didalillkan oleh paket Gemar dalam gugatannya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, sehingga tidak mempengaruhi perolehan suara yang ditetapkan oleh KPUD Belu.

MK juga berpendapat, walaupun terjadi pelanggaran pidana, namun tidak mempengaruhi hasil penghitungan suara Pilkada Belu. Karena itu MK menolak gugatan paket Gemar.

Kuasa hukum KPUD Belu, Philipus Fernandez, SH lewat SMS kepada Pos Kupang Kamis malam, mengatakan," MK mensahkan putusan KPUD Belu dan menolak permohonan paket Gemar. Gugatan pemohon paket Gemar ditolak karena hanya asumsi dan tidak didukung bukti yang cukup serta pelanggaran yang terungkap hanya berupa pelanggaran pidana bukan pelanggaran pemilu." 

Ketua KPUD Belu, Drs. Paulus Klau dari Jakarta, menjelaskan, sidang terakhir gugatan hasil pilkada Belu dengan agenda putusan sidang berlangsung aman dan tertib. Dalam persidangan itu, MK memutuskan menolak gugatan yang diajukan pemohon dan mensahkan hasil pleno KPU Belu.

Medali Masih Unggul
Dari SoE, Kabupaten TTS dilaporkan, memasuki hari keenam penghitungan ulang surat suara pada 17 PPK di kabupaten itu, pasangan Paul VR Mella-Benny A Litelnoni (Medali) masih unggul dengan 21.917 suara, disusul paket Damai dengan perolehan 15.904 suara.
Jurubicara KPUD TTS, Erik Oematan yang dikonfirmasi wartawan di aula Hotel Mahkota Plasa, Kamis (15/1/2009) malam, mengatakan total kotak surat suara yang sudah dihitung mencapai 178. Dengan demikian sepuluh kelompok penghitung masih menyisakan 248 kotak suara yang belum dihitung kembali sesuai perintah MK.

Tentang jumlah kotak suara yang berhasil diselesaikan penghitungannya, Erik menuturkan sebanyak 62 kotak suara. Sehari sebelumnya, kelompok penghitung sudah menghitung ulang 55 kotak suara. (aca/yon/aly) 

Coblos Ulang di TTS, Medali Unggul Sementara

SOE, PK -- Berdasarkan hasil sementara pemungutan suara putaran kedua di dua kecamatan di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) maupun perhitungan ulang hasil pemungutan suara putaran pertama di 17 kecamatan, Paket Medali (Paul VR Mella-Benny A Litelnoni) unggul sementara. Posisi kedua ditempati pakat Damai (Daniel Banunaek-Alexander Nakamnanu).

Pemungutan suara putaran kedua dilakukan di Kecamatan Amanuban Selatan dan Amanuban Barat. Di Amanuban Selatan, Medali unggul sementara dengan 6.893 suara dan paket Damai memperoleh 3.418 suara. Sedangkan di Amanuban Barat, Medali memperoleh 4.894 suara dan Damai mendapatkan 3.968 suara.

Total perolehan sementara untuk dua paket di dua kecamatan itu, Medali dengan 11.787 suara disusul Damai dengan 7.386 suara. Sementara perolehan suara tiga paket calon lainnya, yakni paket Jhontom, Globe, dan Jetcar jauh di bawah kedua paket tersebut.

Sebagai perbandingan pada pemungutan suara putaran pertama 23 Oktober 2008 berdasarkan data KPUD TTS, untuk Kecamatan Amanuban Selatan saat itu Damai memperoleh 2.774 suara, Jhonthom, 2.205 suara, Globe, 3.277, Jetcar, 447 dan Medali, 2.784 suara. Sedangkan di Kecamatan Amanuban Barat saat itu Damai memperoleh 3.032 suara, Jhonthom, 1.334 suara, Globe, 1.645 suara, Jetcar, 674 suara dan Medali 3.346 suara.
Perolehan suara hasil pemungutan suara putaran kedua di dua kecamatan tersebut memperlihatkan bahwa banyak pemilih yang beralih mendukung Medali dan Damai.

Pantauan di beberapa tempat pemungutan suara (TPS) di Amanuban Barat, hanya dua paket yakni Damai dan Medali yang bersaing ketat mendulang suara. Di TPS I Desa Mnelalete, misalnya, paket Damai memperoleh 142 suara, Jhonthom, tujuh suara, Globe sepuluh suara, Jetcar tiga suara dan Medali 244 suara. Di TPS 3 desa yang sama, Damai 171 suara, Medali 253 suara, Jhonthom enam suara, Globe tujuh suara, dan Jetcar tiga suara.

Ketua KPUD TTS, James Tuka, S.H mengatakan, penghitungan perolehan suara pilkada ulang di dua kecamatan itu masih terus berlangsung, mulai dari TPS, kemudian direkap dan diplenokan di PPK, baru dikirim untuk diplenokan lagi di KPUD.

Sementara itu memasuki hari kelima penghitungan ulang hasil pemungutan suara putaran pertama di 17 kecamatan, sudah 116 TPS yang dihitung surat suaranya. Dari 116 TPS yang dihitung, Medali unggul sementara dengan 16.109 suara, disusul Damai, 10.901 suara, Jhonthom, 6.657 suara, Globe, 5.558 suara dan Jetcar, 1.336 suara. Total suara sah yang sudah dihitung mencapai 40.561 (aly)

18 Anggota DPRD Lembata Akan Jadi Tersangka

LEWOLEBA, PK -- Jaksa penyidik di Kejari Lewoleba segera memanggil dan memeriksa 18 anggota DPRD Lembata periode 1999-2004, yang ikuti menerima dan menikmati dana kesehatan, asuransi dan tunjangan hari raya (THR) senilai Rp 654.512.460. Status mereka akan ditingkatkan dari saksi menjadi tersangka. 

Dengan terlibatnya 18 anggota Dewan 1999-2004 menjadi tersangka, maka jumlah anggota Dewan periode tersebut yang terlibat kasus korupsi menjadi 20 orang. Ketua dan Wakil Ketua Dewan periode yang sama, Philipus Riberu dan Haji Hidayat Sarabiti sudah lebih dahulu dijerat jaksa dan kini keduanya sudah menjadi terdakwa dan sedang dalam proses sidang di Pengadilan Negeri (PN) Lewoleba.

Demikian ditegaskan ketua Tim JPU perkara korupsi DPRD Lembata, Yohanes Lebe Unaraja, S.H, dalam dialog dengan aktivis Sukarelawan Perjuangan Rakyat Untuk Pembebasan Tanah Air (Spartan) di ruang rapat Kajari di Lewoleba, Rabu (14/1/2009). Dialog ini dilakukan setelah aktivis Spartan melakukan aksi demo tentang penanganan kasus-kasus korupsi, di Kejari Lewoleba di Lusikawak-Lewoleba. Yohanes didampingi Kasi Pidsus, Arif M. Kanahau, S.H, dan jaksa Yeremias Pena, S.H.

Juru bicara Spartan, Paulus Dolu menegaskan, Spartan mengikuti dengan cermat setiap sidang kasus dugaan korupsi yang melibatkan Riberu dan Sarabiti di PN setempat. Spartan mendukung dan mengapresiasi kejaksaan yang membawa kasus ini sampai ke persidangan. Para jaksa di Kejari Lewoleba telah memberikan yang terbaik untuk penegakan hukum dan pemberantasan korupsi yang telah lama dirindukan masyarakat Lembata.

Paul menambahkan, sudah banyak jaksa bertugas di Lembata dan kemudian pindah tugas, namun tak satupun perkara korupsi yang bisa dibawa sampai ke pengadilan. Baru dalam masa kepemimpinan Kajari Gabriel Mbulu, S.H, kasus-kasus korupsi mulai ditangani serius.

"Semangat memberantas korupsi kami dukung sepenuhnya. Kami akan gendong (jaksa) keliling kota kalau vonis perkara ini terbukti benar. Kami akan lakukan ini sebagai ucapan terima kasih kami," tandas Paul. 

Untuk kepentingan pemeriksaan saksi di persidangan, Paul mendesak JPU menghadirkan Bupati Lembata, Drs. Andreas Duli Manuk. Kehadirnya sebagai pertangungajawabannya atas penyusunan Perda APBD sampai pencarian anggaran kepada DPRD Lembata periode 1999-2004. 

Jaksa Lebe Unaraja menegaskan sebenarnya ke-20 anggota dan pimpinan DPRD Lembata bisa langsung diseret seluruhnya untuk mempertanggungjawabkan dana asuransi kesehatan dan dana purna bakti. Tetapi, saat ini diprioritaskan untuk mantan ketua dan wakil ketua. Sebab pimpinan dewan yang paling bertanggungjawab.

"Sudah ada koordinasi dengan pimpinan (Kajari) untuk segera dilakukan penyidikan kepada 18 mantan anggota dewan. Status mereka akan ditingkatkan dari saksi menjadi tersangka. Bulan ini akan ada pemeriksaan," tandas Unaraja.

Ia mengatakan, Kajari akan mengeluarkan surat perintah penyidikan (sprintdik) kepada 18 mantan anggota dewan. Berita acara pemeriksaan yang telah ada akan dilakukan pengalihan. "Tidak akan lama dan bisa lebih cepat," tandasnya.

Perkembangan sidang terdakwa Riberu dan Sarabiti, tiga anggota Dewan periode pertama itu dihadirkan sebagai saksi pada hari Senin (12/1/2009) dan pada sidang lanjutan hari Kamis (15/1/2009), enam orang lagi dihadirkan. Dalam sidang Senin itu, para saksi menyatakan tak tahu sumber uang yang diterimanya itu.

"Mereka bisa bohong, tetapi nanti JPU akan tunjukkan bukti-bukti. Mereka sebenarnya tahu dari mana uang yang mereka terima itu," kata Unaraja.

Ia menambahkan, pencairan dana itu benar menurut APBD, tetapi salah dalam pemanfaatannya. Seharusnya dana itu digunakan membayar premi asuransi kepada perusahaan asuransi bukan diterima tunai. 

Yohanes menambahkan, JPU tidak merasa takut atau menanggung beban psikologis menyelesaikan perkara dugaan korupsi ini. Karena yang dikerjakan untuk kepentingan banyak orang. JPU mengerjakan perkara ini bukan berdasarkan permintaan dan titipan orang atau kelompok orang karena telah menerima uang. (ius)

Pos Kupang edisi Kamis, 15 Januari 2009 halaman 1

Maling Teriak Maling

SUARA dari Lembata kembali menghentak kesadaran kita. Ada maling teriak maling. Belasan orang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Lembata masih menunggak kredit sepeda motor di Perusahaan Daerah (PD) Purin Lewo senilai Rp 300 juta. Jumlah uang yang tidak sedikit.

Manajemen PD Purin Lewo sudah menyampaikan tagihan kepada Komisi B DPRD Lembata dalam pertemuan bulan November tahun lalu. Namun, sampai sekarang belum ada anggota Dewan yang menyelesaikan cicilannya. Kenyataan itulah yang dilukiskan Direktur Florata Coruption Watch, Piter Bala Wukak, S.H sebagai "maling teriak maling". 

Pernyataan Bala Wukak tidak tidak berlebihan. Dua tahun lalu DPRD Lembata membentuk pansus (panitia khusus) dengan tugas menyelidiki dugaan penyelewengan yang dilakukan manajemen PD Purin Lewo. Pansus menemukan piutang, antara lain bersumber dari kredit sepeda motor anggota DPRD. 

Seharusnya Dewan memberi contoh sebagai pihak pertama yang melunasi utang tersebut, bukan membiarkan masalah itu berlarut-larut. Keteladanan memang makin terkikis dari kehidupan masyarakat kita.

Dengan tidak membayar cicilan kredit sepeda motor seuai kesepakatan awal, anggota DPRD Lembata telah ikut menghancurkan perusahaan daerah tersebut. Tidak semua anggota DPRD Lembata mengabaikan kewajibannya. Ada tiga orang yang rutin mencicil dan hampir melunasi kredit. Ada juga yang memberi alasan tidak lagi mencicil. Penyebabnya bersumber dari manajemen PD Purin Lewo yang tidak menyerahkan surat-surat kendaraan kepada pemiliknya. Di sini terjadi silang pendapat. Masing-masing pihak mengungkapkan alasan mereka. 

Kita tidak terkejut. Toh kejadian semacam itu bukan perkara baru di sini. Setiap masalah muncul selalu dibarengi dengan sikap melempar tanggung jawab. Mencari kambing hitam. Di Propinsi Nusa Tenggara Timur, langka nian kita mendengar kabar gembira tentang Perusahaan Daerah. Yang dominan adalah salah urus, warta penyelewengan dan kisah kerugian dari tahun ke tahun. Rugi terus tetapi belum satupun yang berani mengeksekusi mati sebuah perusahaan daerah.

Tentang PD Purin Lewo di Lembata baru saja menghangat satu gugatan atas keputusan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lembata menyerahkan pengelolaan jober (fasilitas penampungan bahan bakar minyak). Manajemen dan bisnis badan usaha milik daerah (BUMD) itu diragukan mampu mengelola jober dengan penyertaan modal dari APBD senilai Rp 5,8 miliar. Pemerintah dianjurkan mengevaluasi keputusannya, mengaudit Purin Lewo sebelum menempuh jalan lain, misalnya menyerahkan kepada swasta yang lebih bonafit.

Kita memandang gugatan itu rasional dan patut menjadi perhatian para pengambil kebijakan di Lembata. PD Purin Lewo masih menyimpan berbagai persoalan internal yang belum selesai. Tuntaskan terlebih dahulu masalah intern Purin Lewo baru memberi tanggung jawab yang lain. Bahan bakar minyak (BBM) merupakan salah satu kebutuhan vital. Salah kelola akan membawa dampak sangat serius bagi kehidupan masyarakat di Kabupaten Lembata di kemudian hari.

Dari sekian banyak penyebab benang kusut perusahaan daerah di NTT, ada dua poin yang dominan. Pertama, pengelola perusahaan daerah umumnya tidak berkompeten di bidangnya. Perusahaan itu diserahkan begitu saja kepada orang-orang yang tidak mengerti bisnis dan bagaimana mengembangkannya.

Faktor kedua adalah intervensi kekuasaan birokrasi yang sangat besar dan tak terkontrol. Transparasi ditabukan dan menjauhkan perusahaan itu dari pengawasan publik. Maka cukup sering perusahaan daerah menjadi "tambang uang" bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Ketika terjadi masalah, penanganannya tidak pernah tuntas. Hanya panas-pahas tahi ayam. Ketika timbul perkara, semua berusaha lari dari tanggung jawab. Maling teriak maling!

Lembata agaknya perlu belajar dari pengalaman buruk pengelolaan perusahan daerah di lain wilayah. Lembata hendaknya menjadi pioner membangun perusahaan daerah yang sehat secara bisnis dan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat.*

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes