NAMANYA Tuntuni, sebuah dusun di Kelurahan Umanen, Kecamatan Atambua Barat, Kabupaten Belu. Letaknya terpaut 500 meter dari jalan umum jurusan Atambua-Atapupu. Sudah tiga kali berganti kepala kelurahan, namun dusun ini seperti dianaktirikan. Jalan sebagian beraspal. Inipun berkat kemurahan hati biarawati yang membangun biara di daerah itu.
Jalan beraspal hanya sekitar 200 meter, selebihnya berbatu-batu. Letak dusun ini di lereng bukit Lidak. Terkategori daerah pinggiran Kota Atambua, ibu kota Kabupaten Belu. Tapi, kondisi dusun ini sangat memprihatinkan. Bahkan, tanpa penerangan listrik. Warga mengandalkan lampu pelita.
Air bersih (air leding)? Jangan ditanya, masih jauh dari harapan. Warga harus berjalan kaki mencari sumur warga untuk mendapatkan air minum. Singkat kata, Dusun Tuntuni belum merdeka.
Warga Dusun Tuntuni, Frida Rika Halek, Yosefina Hoar, tokoh masyarakat, Felix Nesi, S.Pd, mengakui keterbelakangan warga Dusun Tuntuni. Warga merindukan sentuhan pembangunan seperti pungguk merindukan bulan.
Frida Rika Halek menuturkan, wilayah dusun mereka jarang mendapat perhatian terutama pembangunan penerangan dan air bersih. Sejauh ini mereka belum menikmati penerangan listrik seperti saudara mereka di kelurahan lainnya.
"Kami ini kan masuk wilayah kelurahan. Tapi, sudah tiga kali ganti kepala kelurahan, dusun kami tidak pernah mendapat perhatian. Listrik hanya sampai di Onoboi, sementara kami di Tuntuni tetap gelap. Kalau di wilayah kelurahan pinggiran kota saja begini, apalagi di kampung-kampung, pasti lebih tidak diperhatikan," kata Halek.
Menurut Halek, andalan warga selama ini hanyalah lampu pelita. Warga berupaya menghadirkan lampu petromax, namun persoalan pada ketersediaan minyak tanah. Karena itu, tidak heran kalau warga setempat berangkat ke peraduan pada pukul 19.00 Wita. Memprihatinkan memang.
Pengakuan lain disampaikan Yosefina Hoar. Dia menyatakan keprihatinannya terhadap nasib anak sekolah di dusun itu. Selama ini penerangan tidak memadai sehingga angka drop out dari dusun ini cukup tinggi. Para siswa hanya bisa belajar pada siang hari, sementara pada malam hari tidak bisa dilakukan. Persoalan ini, kata Hoar, sudah pernah disampaikan kepada aparat kelurahan, tetapi belum mendapat perhatian.
"Masalah lain soal air minum. Selama ini kami tidak punya air leding untuk memenuhi kebutuhan hidup kami. Kami hanya mengandalkan sumur milik warga lain. Dusun kami ini memang jarang diperhatikan," kata Hoar.
Tokoh masyarakat Felix Nesi menyampaikan soal nasib para siswa dari dusun itu. Selama ini, katanya, tingkat drop out (putus sekolah) siswa dari daerah itu cukup tinggi. Pasalnya, para siswa harus berjalan kaki mengikuti pendidikan di wilayah Kota Atambua. Terhadap kondisi itu, pemerintah menghadirkan SD kecil guna menampung calon siswa dari Dusun Tintua dan sekitarnya.
"Sejak tahun 2004 sudah ada SD kecil di Onoboi sehingga warga dari Dusun Tuntuni bisa sekolah. Kalau tidak ada SD, pasti orangtua tidak mau sekolahkan anaknya karena jarak yang cukup jauh. Tetapi sekarang sudah ada SDN, maka anak-anak dari daerah itu sudah bisa bersekolah. Kini warga Tuntuni tinggal menghadapi kesulitan penerangan listrik dan air minum. Mudah-mudahan hal ini menjadi perhatian pemerintah kelurahan dan pemerintah kecamatan," harap Felix Nesi.(Ferdy Hayong)
Pos Kupang 24 Oktober 2009 halaman 5