BERADA di serambi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bukan jaminan bagi warga Desa Sainoni di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) untuk hidup makmur. Pembangunan yang didengungkan oleh pemerintah pun masih jauh dari harapan desa yang berada sekitar 4 km dari garis batas negara itu.
Desa Sainoni merupakan salah satu desa yang berada di wilayah perbatasan. Meskipun tidak berbatasan langsung, jarak terdekat dari desa ini ke wilayah Distrik Oecusse, Timor Leste hanya sekitar 4 hingga 5 km atau membutuhkan waktu tempuh sekitar 15 menit dengan sepeda motor.
Meski jalan raya yang menunju ke wilayah Timor Leste melintasi desa ini, kekurangan utama yang dihadapi oleh warga desa ini adalah listrik dan air.
Masyarakat yang mendiami desa yang berada sekitar 20 km dari Kota Kefamenanu, ibu kota Kabupaten TTU ini masih gelap gulita pada malam hari dan selalu kesulitan air bersih pada musim kemarau. Perhatian pemerintah untuk dua masalah ini masih jauh dari desa ini.
Kesulitan yang dialami warga desa ini sempat saya rasakan langsung selama tiga hari tinggal di wilayah ini. Untuk mengatasi masalah ini, warga desa yang mampu bisa mengusahakan mesin listrik ringan dengan kapasitas kecil. Namun, bagi mereka yang masih hidup dalam kekurangan harus menggunakan lampu-lampu minyak yang dibuat sendiri.
Demikian juga dengan air. Air bagi masyarakat Sainoni saat musim kemarau adalah kebutuhan yang sangat mahal. Warga yang mampu bisa menyiasati masalah kekurangan air ini dengan membangun bak penampung. Sementara bagi warga yang tidak mampu harus rela berjalan kaki sekitar dua hingga tiga kilometer untuk mendapat air bersih.
Bak penampung yang ada biasanya diisi dengan air bersih yang didatangkan dari Kota Kefamenanu menggunakan truk tangki. Air lima ribu liter tersebut dibeli seharga Rp 200 ribu hingga 250 ribu. "Kalau air habis, biasanya kita pesan air tangki dari Kefamenanu. Mereka antar sampai di sini," kata Milarius, warga Desa Sainoni.
Menurut Milarius, air seharga tersebut bisa digunakan satu hingga tiga bulan, tergantung tingkat kebutuhannya. Sudah belasan tahun warga desa ini kesulitan air bersih. Padahal dari desa ini tampak jelas berdiri kokoh gunung Mutis yang merupakan sumber air untuk daratan Timor termasuk wilayah TTU.
Kesulitan air bagi warga desa ini hanya terjadi pada musim kemarau. Sebab pada musim hujan, warga bisa mendapatkan air dengan menampung air hujan atau mengambil air dari beberapa sumber mata air yang muncul di beberapa titik di wilayah itu.
Sementara untuk listrik, warga yang mampu mengusahakan untuk membeli mesin genset kecil. Namun masalah lain muncul yaitu kesulitan bahan bakar minyak (BBM) jenis bensin. Bensin di wilayah ini tergolong mahal dan tergantung persediaan di Stasiun Pengisian Bahan Bakar untuk Umum (SPBU) di Kota Kefemenanu. Bila persediaan bensin cukup, maka harga bensin di wilayah ini Rp 5000 hingga Rp 6000 per liter. Namun bila stok bensin di SPBU habis, maka bensin di wilayah ini menjadi sangat mahal atau ikutan habis juga.
Masalah kekurangan air dan listrik di wilayah ini sudah dirasakan oleh beberapa generasi di wilayah itu. Menurut beberapa warga, sebenarnya beberapa tahun lalu pernah ada pihak yang datang melakukan survei untuk memasang listrik, namun hingga saat ini listrik dari PLN belum pernah tersambung ke wilayah ini.
Oleh masyarakat bersama sebuah lembaga juga pernah secara swadaya memasang jaringan listrik dan menyediakan mesin generator. Sejenak warga pernah menikmati listrik, namun kurangnya koordinasi dan informasi antara masyarakat dan pengelola membuat wilayah ini kembali gelap pada malam hari.
Peran pemerintah Kabupaten TTU sebenarnya sangat dibutuhkan oleh warga desa ini. Karena sebagai bagian dari negara Indonesia, warga Desa Sainoni dan desa- desa lain di wilayah perbatasan RI-Timor Leste masih menanti dan ingin diperhatikan dan ingin merasa bangga sebagai bangsa Indonesia yang sudah maju dari Timor Leste. (Alfred Dama)
Pos Kupang edisi Sabtu, 10 Oktober 2009 halaman 5