"SORRY berat ka'e, saya lagi ada masalah. Nanti kutelepon balik ya. Saya baru saja tampar orang di terminal!" Tit...tit...tit... Tak ada lagi nada sambung. Telepon seluler mendadak putus. Jawaban sepotong via telepon dari sepupuku itu membuat beta penasaran.
Gawat! Ini anak cari masalah lagi. Mengapa tampar orang di terminal? Mengapa kebiasaannya suka bakupukul di kampung dulu belum hilang jua. Jangan-jangan dia sudah dikeroyok massa. Jangan jangan sekarang dia terkapar mandi darah di salah satu rumah sakit di Jakarta, Bogor atau Bandung? Kalau benar demikian, kasihan istri dan anaknya yang masih balita.
Sekitar satu jam kemudian baru beta mendapat jawaban. Terdengar nada ceria dari balik telepon. Syukurlah! Ternyata sepupuku itu tampar seorang calo di Terminal Bus Pulogadung- Jakarta. Hari itu, Senin 6 September 2010 dia mudik ke kampung istrinya di Jawa Tengah mengisi jatah libur Lebaran dari perusahaan tempat dia bekerja.
Saat tiba di Terminal Pulogadung, Jakarta Timur dia bersama istri dan anak berusia 2 tahun disambut segerombolan calo tiket bus. Cara mereka bikin sepupuku naik pitam. Para calo itu menawarkan jasa dengan cara kasar dan setengah memaksa.
"Mereka tarik tangan istri saya. Dia hampir jatuh bersama anakku yang masih merah. Ndoe, saya tidak tunggu lagi ka'e. Saya tempeleng calo itu. Dia dan teman-temannya kaget lalu bubar teratur. Tidak berani macam-macam lagi. Mungkin mereka takut juga lihat potongan saya. Tahu to, hitam keriting, kumis tebal, mata merah. Setelah tampar, saya sekeluarga langsung naik bus ke Semarang. Aman! Ha-ha-ha...," katanya.
Tuan dan puan mungkin pernah mengalami pengalaman tidak menyenangkan seperti itu saat berada di terminal bus atau terminal pelabuhan laut. Bahkan di bandar udara (bandara). Cara calo Indonesia menawarkan jasa memang jauh dari sopan santun. Salah satu sikap yang menjengkelkan saat berada di terminal bus adalah kerumunan orang yang berlomba-lomba menawarkan tiket atau busnya dengan cara memaksa. Mereka boleh jadi calo, bisa juga agen dari perusahaan angkutan yang memang berlomba mencari calon penumpang.
Seandainya mereka menawarkan jasa dengan lembut dan sopan mungkin calon penumpang tidak jengkel. Namun, kebanyakan dari mereka sangat agresif. Mulai dari menghalangi penumpang menuju loket pembelian tiket atau bus yang dituju, menarik tangan penumpang hingga mengeluarkan kata-kata kasar kalau penumpang tidak mau atau memilih diam. Penumpang seperti digerayangi tangan-tangan jahil.
Tabiat calo hampir sama di mana-mana. Apa yang terlihat di Pulogadung, Lebakbulus, Kalideres, Gambir atau Bungurasih terjadi pula di beranda Flobamora. Di kampung besar Nusa Tenggara Timur (NTT). Mungkin karena sudah lazim kebanyakan orang menganggap itu fenomena biasa.
Diperlakukan kurang santun pun diterima begitu saja. Kalau calon penumpang main tampar seperti kelakuan sepupuku di atas, urusan bisa panjang berliku. Para calo akan 'tanda muka' untuk buat perhitungan di belakang hari. Balas dendam. Calon penumpang jadi serba salah. Pilihan terbaik adalah diam dan melupakan perbuatan tak menyenangkan para calo sekian menit saat berada di terminal.
Calo, menurut Kamus Bahasa Indonesia, adalah orang yang menjadi perantara dan memberikan jasanya berdasarkan upah. Calo sama dengan perantara atau makelar. Ada beberapa tipe calo. Ada yang berperilaku 'keras' seperti di terminal bus atau pelabuhan laut. Ada pula yang lembut, santun tapi menghanyutkan. Menipu atau memeras seseorang dengan cara halus. Mereka itu memiliki latar belakang pendidikan bagus. Profesional menawarkan jasa. Makelar kasus mafia hukum yang menambah polusi langit keadilan Indonesia hari-hari ini menunjukkan betapa cerdas para calo memainkan perannya.
Tuan dan puan kiranya tidak asing dengan calo tiket, calo proyek pembangunan fisik, calo tes masuk CPNSD atau calo kasus hukum. Teman beta, Sutransyah Amir dari Kalimantan menceritakan pengalaman unik. Saat merawat putranya yang terserang Demam Berdarah Dengue (DBD) dua pekan lalu, petugas rumah sakit milik pemerintah mengaku kamar full (penuh). Sutransyah dan istri bingung. Tak tega melihat putra mereka yang berusia 6 tahun tidur di ruang Unit Gawat Darurat.
Di tengah kebingungan, muncul seseorang dengan busana khas 'orang rumah sakit' menawarkan jasa mencari kamar kosong. Tanpa pikir panjang Sutransyah mengiyakan. Dalam benak dia dan istri saat itu hanya ingin putra mereka segera mendapatkan kamar sehingga anak itu bisa istirahat.
"Ternyata ada satu kamar kelas utama yang kosong, Pak. Ya, tapi Bapak mengertilah," kata orang itu kepada Sutransyah sekitar 40 menit kemudian. Daripada urusan jadi ribet kalau dia mempertanyakan lebih jauh, Sutransyah pun menyerahkan Rp 200 ribu kepada petugas yang 'baik hati' tersebut. Betapa terkejutnya Sutransyah ketika keesokan hari, dia melihat masih ada kamar lain di rumah sakit itu yang kosong. Baru dia sadar telah dikerjain calo. Calo kamar rumah sakit milik pemerintah daerah. Sedap!
"Naluriku terusik oleh kejadian itu. Saya telusuri lebih jauh. Ternyata praktek percaloan itu memang ada di rumah sakit. Rapi sekali. Tidak terlihat kasat mata. Selain calo kamar, ada calo dokter, calo produk susu, calo klinik dan lain-lain," kata Sutransyah.
Menurut Sutransyah, berkat penelusurannya dia kemudian hafal kelakuan para calo dari cara mereka bertanya kepada keluarga pasien. Calo dokter akan bertanya, mau ditangani dokter siapa? Kalau pasien bingung, dia akan menyebut dokter yang cocok. Calo produk susu akan berkata kepada ibu-ibu yang baru melahirkan, Bu anak Ibu itu sebaiknya minum produk susu A. Bagus lho untuk pertumbuhannya.
Calo klinik akan bilang, daripada sumpek opname di rumah sakit ini lebih baik di klinik saja. Harganya lebih mahal sedikit tapi pelayanan lebih oke. Jujur saja, beta pun terusik mendengar cerita Sutransyah. Hatiku bergumam, untunggg itu terjadi di Kalimantan sana. Bukan di beranda Flobamora! Atau bagaimana menurut tuan dan puan? (dionbata@yahoo.com)
Pos Kupang edisi Senin, 20 September 2010 halaman 1