"OBAT yang dokter kasih tempo hari saya sudah minum semua. Tapi sudah dua bulan ini saya tidak sembuh-sembuh juga. Saya sudah bilang, saya ini tidak sakit apa-apa. Saya kena suanggi, dokter! Jadi, jangan kasih saya obat lagi."
Dokter muda itu sesaat bingung harus menjawab apa. Pasien pria paruh baya yang duduk di depannya mati-matian berdalih bahwa dia tidak sakit. Dia batuk berkepanjangan sampai rongga dada terasa mau pecah semata akibat suanggi dari tetangganya di kampung. Tetangganya itu iri hati atas keberhasilannya dalam berkebun dan beternak.
Setelah mendengar keluhan pasiennya, Rita, dokter PTT yang baru bertugas kurang dari enam bulan di sebuah Puskemas di pedalaman Pulau Flores itu berusaha memberi penjelasan yang masuk akal.
"Bapak kena penyakit di daerah paru-paru sehingga lama baru sembuh, bukan kena suanggi. Saya mohon Bapak minum obat lagi ya? Tinggal beberapa bulan lagi Bapak sudah sembuh," kata Dokter Rita yang sengaja tidak menyatakan pria itu menderita TBC. Sesuai pesan dari seniornya yang lebih dulu bertugas di Puskemas itu, kata TBC berkonotasi negatif bagi warga setempat sehingga dianjurkan memilih istilah lain.
"Pokoknya saya tidak mau. Orang lain dokter kasih obat langsung sembuh. Saya tidak. Makanya dokter, saya tidak akan datang lagi ambil obat di Puskemas ini," lanjut pria yang mengenakan sarung tersebut. Tanpa menunggu reaksi lanjutan dari Dokter Rita, pria itu pamit dan meninggalkan Puskemas. Dokter Rita yang baru bertugas medio 2009 melepas kepergian pasiennya itu sambil geleng kepala.
Dia agak heran karena masih ada orang percaya suanggi alias tukang santet. Kondisi tersebut mestinya sudah hilang sejak sepuluh atau limabelas tahun lalu. Ternyata belum hilang. Masyarakat di pedalaman masih percaya suanggi dan yang bisa melawan serangan suanggi hanyalah dukun, bukan dokter atau paramedis.
"Pengalaman itu sangat berkesan. Saya kemudian belajar untuk lebih memahami masyarakat. Butuh ketelatenan dalam memberi pengertian tentang manfaat obat atau tentang bahaya suatu penyakit. Dan, umumnya orang kampung lebih mudah percaya dengan melihat contoh," kata dokter muda tersebut.
Kiranya para dokter yang pernah bertugas di pedalaman Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki pengalaman yang unik dan bervariasi. Beberapa waktu lalu seorang dokter PTT yang bertugas di Kabupaten Ende menceritakan pengalaman lucu. Suatu ketika dia meminta kepada kader Posyandu untuk mencari calon akseptor Keluarga Berencana (KB). "Dok, akseptor KB itu saya bisa beli di Rumah Sakit atau apotek to?" kata kader itu penuh semangat. Si dokter terbahak-bahak.
Kembali ke urusan suanggi, tuan dan puan serta beta yang asli Flobamora sudah tidak kaget dan asing lagi. Dunia persuanggian memang masih lengket dengan kehidupan sosial masyarakat di ini propinsi. Hampir setiap suku bangsa di NTT mengenal suanggi. Yang berbeda cuma sebutan seturut bahasa lokal masing- masing. Misalnya Ata Polo, Alaut, U'en, Mnaka, Buan dan Janto.
Suanggi juga sangat populer di masyarakat Maluku dan Papua. Tenaga medis yang berkarya di sana kerap direpotkan dengan kepercayaan masyarakat tentang suanggi. Kalau sakit atau mati suanggi dituding!
Begitu populernya suanggi sampai sejumlah pulau dan tempat di Indonesia diberi nama suanggi. Ada pulau suanggi, batu suanggi, rumah suanggi, pohon suanggi dan lainnya. Jika tuan dan puan kurang percaya, silakan pakai mesin pencari di jagat maya dengan kata kunci suanggi. Banyak nian kisah tentang suanggi. Ngeri!
Kisah suanggi paling menarik perhatian publik pernah terjadi di Kabupaten Alor medio 1990-an. Ketika itu sejumlah orang dibunuh gara-gara dicurigai sebagai suanggi. Sewaktu menjalani sidang di Pengadilan Negeri (PN) Kalabahi, pelaku pembunuhan bersikukuh bahwa tindakannya benar. Dia membunuh karena 'kelompok suanggi' itu menyusahkan masyarakat. Ketimbang mereka terus menyusahkan orang lain maka lebih baik dihabisi. Wow! Majelis hakim tidak terpengaruh. Mereka tetap berpatok pada ketentuan hukum. Menghilangkan nyawa orang lain dengan motif apapun mesti diganjar hukuman setimpal.
Setelah belasan tahun berlalu kini muncul lagi kasus suanggi di Rote, pulau terselatan NKRI. Yunus Ndun (44), warga Nafioen, Desa Lidor di Kecamatan Rote Barat Laut, ditembak dengan senjata api rakitan oleh dua orang yang menuduhnya sebagai suanggi, Rabu (1/9/2010) malam. Yunus menderita luka serius di paha kanan dan pantat. Dia mendapat perawatan di RSUD Ba'a. Namun, karena lukanya cukup serius maka dirujuk ke RSU Prof. Dr. WZ Johannes-Kupang.
Menurut Kasat Reskrim Polres Rote Ndao, Iptu David Candra Babega, polisi sudah menangkap dua pria yang diduga menembak Yunus, yakti Elias Ello dan Osias Ello. Bagaimana akhir kisah penembakan bermotif suanggi ini, ya kita tunggu saja hasil kerja aparat penegak hukum di Rote Ndao. Yang bisa kita petik dari peristiwa ini adalah suanggi bisa memicu orang bertindak nekat. Menembak bahkan membunuh sesama yang belum tentu bersalah sebagaimana disangkakan.
Omong-omong soal suanggi, rasanya bukan milik orang kampung saja, kawan! Sebagian orang yang hidup di kota dengan kapasitas sangat terpelajar pun masih percaya kekuatan suanggi. Mereka biasanya punya kedudukan penting di suatu instansi. Mereka amat takut kehilangan kedudukan sehingga mencari segala cara untuk mengamankan diri termasuk pakai sihir suanggi. Menggunakan jasa "orang pintar" agar kebal dari gempuran orang lain yang dianggap lawan. Padahal kemungkinan besar mereka yang punya kedudukan itu hanya takut pada bayangan sendiri. He-he-he...
Sesungguhnya 'suanggi modern' berkeliaran bebas di banyak tempat. Hidup di sekitar kita. Siapakah mereka? Ya, itu yang suka sedot uang negara masuk kantong pribadi. Yang doyan peras pakai kuasa dan wewenang. Yang tak peduli kasus gizi buruk, kematian balita dan ibu hamil. Yang jual murah kekayaan alam kepada pemilik modal tanpa pertimbangkan kelestarian alam. Yang suka terbang hingga ke ujung dunia menggunakan fasilitas dari uang rakyat. Apa bedanya dengan suanggi? Toh sama saja. Jahat! Sama-sama menyusahkan orang. Membunuh! Atau karmana menurut pendapat suanggi. Eh, tuan dan puan? (dionbata@gmail.com)
Sumber: Pos Kupang edisi Senin, 6 September 2010 halaman 1