EMPAT anggota Dewan yang Terhormat (Yth) asyik bercengkerama di tengah hiruk-pikuk antrean penumpang yang check in di terminal I B Bandara Soekarno Hatta-Jakarta pagi itu. Sambil menunggu giliran check in mereka bercerita tentang jatah perjalanan mereka sebagai wakil rakyat.
"Saya masih punya enam jadwal perjalanan tahun ini. Saya pakai baru tiga," kata seseorang di antara mereka. Nada suaranya cukup keras sehingga orang lain di sekitarnya mendengar termasuk beta yang pagi itu masih agak mengantuk.
Beta memaklumi. Anggota Dewan Yth biasanya PD abis alias sangat percaya diri kalau bicara. Ya sudah seharusnya begitu. Kalau anggota parlemen malu bicara, apa kata dunia?
"Kalau beta, jatah tahun ini tinggal dua lagi bu (bung)," timpal rekannya. Anggota Dewan yang satunya lagi bertutur, "Kita atur baik-baik. Jangan sampai kelihatan kita jalan terus ke Jakarta. Nanti orang bilang apa?" Oh rupanya ada yang tahu diri juga.
Postur dan relief tubuh keempat wakil rakyat berjenis kelamin laki-laki itu khas Nusa Tenggara Timur (NTT). Kulit hitam manis, rambut keriting dan berkumis. Tapi ada seorang tidak pelihara kumis. Rambutnya pun dipotong amat pendek mirip potongan rambut tentara dan polisi sehingga rambut keriting tak begitu kentara terlihat. Dua dari empat wakil rakyat ini menutup rambut keriting mereka dengan topi warna dasar biru tua.
Jenis topi keduanya mirip topi Korpri yang biasa dipakai tuan dan puan pegawai negeri sipil saat apel kesadaran setiap tanggal 17 dalam bulan berjalan. Tulisan dari sulaman warna kuning menarik lensa mata. Pada sisi yang satu terbaca kata-kata doktorandus titik titik. Pada sisi sebelah terdapat tulisan Anggota DPRD kabupaten titik titik. Titik titik itu salah satu kabupaten di beranda Flobamora. Beta tidak enak hati kalau menulis jelas di sini. Lagipula bisa dianggap kurang etis mengingat mereka adalah wakilku Yth.
Tuan dan puan kiranya pernah bertemu dengan anggota Dewan Yth di bandara atau terminal. Bahkan mungkin sudah sekian kali bepergian dengan pesawat yang sama ke kota tujuan akhir yang sama pula. Yang berbeda hanya urusan atau kepentingan. Tidak mungkin sama dan sebangun.
Apa yang salah kalau Dewan Yth berangkat ke mana-mana? Oh sama sekali tidak! Hal bepergian itu bukan soal salah atau benar. Malah sudah sepantas dan sewajarnya bila anggota Dewan Yth sering bepergian. Toh legislator bukan tipe orang kantoran yang lebih lama menghadapi komputer, mesik ketik, kalkulator atau lembaran kertas. Tugas anggota parlemen adalah berkeliling sambil mewartakan kabar baik. Memberi harapan. Meneguhkan yang lemah. Memberikan jalan keluar masalah rakyat. Intinya berkeliling sambil berbuat baik bagi banyak orang.
Begitu harapan ideal. Dalam kenyataan seperti apa, silakan tuan dan puan menilai sendiri. Mumpung hampir setahun anggota Dewan Yth yang tuan dan puan pilih dalam Pemilu 2009 mengabdi sebagai unsur penyelenggara negara. Menurut beta inilah saat yang tampan untuk sejenak mengevaluasi kinerja Yth. Menilai kehormatan dan martabat yang mereka pikul sebagai wakil rakyat terpilih. Ya, hari-hari ini merupakan saat yang baik untuk melihat kinerja legislator di daerah kita masing-masing. Kalau tuan tidak mau evaluasi pun tidak apa- apa. Tidak ada sanksi kalau tuan dan puan diam.
Pasti ada yang bertanya, bagaimana mau mengevaluasi kalau mekanismenya tidak jelas? Bagaimana mau menilai produktivitas Dewan Yth, baik secara individu maupun lembaga, kalau alat ukurnya tidak ada? Bukankah setelah pemilu anggota parlemen seolah terlepas dari tangan rakyat yang memilih mereka?
Jangan pesimis dulu. Kendati mekanisme untuk mengevaluasi kinerja anggota parlemen di negeri ini agak kabur air alias kurang jelas, tuan dan puan dapat memilih alat sendiri untuk mengukur. Bisa dimulai dari pertanyaan sederhana atau remeh temeh. Misalnya, setahun mengabdi sebagai wakil rakyat apa saja yang telah mereka kerjakan untuk saya atau kami? Apakah setahun ini mereka berangkat menuju banyak tempat untuk mengurus kepentingan rakyat, partai, keluarga dan diri sendiri?
Soal berangkat ke mana-mana, izinkan beta ambil saja contoh di Ende. Dalam setahun anggota Dewan Yth di sana sudah dua kali mengikuti bimbingan teknis (bimtek) di Jakarta. Bimtek pertama sesaat setelah dilantik 2009. Yang kedua baru-baru ini, bulan Agustus 2010. Mereka menggunakan dana sebesar Rp 762 juta. Kalau digabung dengan biaya bimtek pertama, jumlahnya sudah satu miliar koma sekian ratus juta. Mudah-mudahan cuma Ende anggota Dewan Yth ikut bimtek dua kali dalam setahun atau boleh jadi langkah serupa juga terjadi di daerah lain cuma media massa yang tidak melihat.
Maksud dan tujuan bimtek itu biar anggota Dewan lebih paham dan mengerti, misalnya dalam menyusun anggaran dan membuat regulasi. Dengan kata lain lebih cerdaslah dalam urusan vital ini. Tapi kalau tahun depan mereka ikut bimtek lagi dengan topik yang sama, orang Ende mungkin bergumam, Ndoe, bai raka e.. Kami ana kalo fai walu garetei talo do. Terjemahan bebasnya begini: Kira-kira butuh berapa kali bimtek sampai Yth benar-benar paham?
Susah memang kalau alat ukurnya kurang jelas. Mau dibilang bimtek berhasil, apa indikatornya? Disebut gagal ukurannya apa. Begitulah hidup di negeri kabur air. Terima sajalah. He-he-he...
Salah seorang mantan anggota DPRD NTT dengan bercanda bertutur demikian. Menurut dia, tidak perlu repot-repot cari alat ukur kinerja Dewan Yth. "Dewan itu dibayar untuk omong tentang masalah rakyat. Perhatikan selama setahun ini, apakah semua anggota Dewan sudah omong. Saya yakin tidak semua. Ada yang cuma jadi pendengar setia dalam setiap sidang Dewan. Ada yang bisanya hanya angguk-angguk atau geleng- geleng kepala. Tidak pernah bicara." Waw!
Beta berpikir positif saja. Baik adanya bila ada tipe Dewan yang pintar bicara, pendengar setia dan tipe pendiam. Kalau semua anggota Dewan bicara lalu siapa yang mendengar? Sesama anggota Dewan, pernahkah mereka saling mendengar?
Nah, tentang kehebatan dalam hal omong, beta ingat seorang aktivis yang kini sudah berganti sapaan sebagai Dewan Yth. Dulu amat getol berteriak tentang masalah rakyat mulai dari kasus korupsi, busung lapar, gizi buruk, rendahnya kualitas pendidikan dan lain-lain masalah sosial. Tidak cuma bicara. Dia juga turun ke jalan. Demonstrasi. Orasi!
Kini terang benderang di depan mata, eksplorasi dan eksploitasi mangan di kampung kita patut diduga sarat KKN. Banyak orang kaya baru karena bermain mangan. Menurut pakar lingkungan, praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di bidang lingkungan itu dampaknya dashyat. Bisa tujuh turunan, kawan!
Eh, si aktivis malah kehilangan suaranya. Beta kurang yakin apakah dia sedang sakit gigi atau puasa bicara. Ketika ingat dulu memilih dia, kok jadi menyesal beta. Menyesal kemudian tiada berguna. Oh... sedihnya jadi rakyat.
Mudah-mudahan masuk tahun kedua masa pengabdian mereka, Dewan Yth makin gagah perkasa berjuang untuk rakyat. Tidak sebatas bicara. Tunjukkan bukti. Kalau cuma omong doang, anak kecil juga bisa. Salam hormatku buat Yth di mana saja berada. (dionbata@yahoo.com)
Pos Kupang Senin, 13 September 2010 halaman 1