ilustrasi |
Ada enam pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang bertarung kali ini. Satu dari jalur independen, sisanya diusung partai. Jumlah itu meningkat 100 persen dibandingkan pesta yang sama lima tahun silam. Makin banyak saja putra Flobamora yang punya hasrat menjadi gubernur dan wakil gubernur.
Gairah yang berkobar-kobar menguber kekuasaan politik pun terjadi di Kabupaten Sikka. Kabar terakhir ada sembilan pasangan calon bupati dan wakil bupati yang maju dalam Pemilukada tahun ini. Sikka sejak lama memang dikenal sebagai barometer perpolitikan di NTT. Tapi soal jumlah orang yang merasa layak jadi bupati dan wakil bupati agaknya baru musim ini yang terbesar ikut berkompetisi. Salut buat Sikka.
Dari sisi kuantitas menunjukkan perkembangan yang signifikan. Bagaimana dari aspek kualitas? Eitt tunggu dulu. Mereka yang bertarung itu bukan orang baru. Delapan puluh lima persen orang lama yang rakyat Flobamora sudah tahu sifat dan kelakuannya. Mereka tidak hanya makan asam garam di bidang politik, tetapi sebagian malah sudah karatan (hehehehehe.... itu sih menurut guyonan ama ina di Kupang).
Tentu saja tidak semua calon kepala daerah dan wakil kepala daerah itu buruk rupa dan karakter. Ada yang baik tetapi pilihan mayoritas rakyat kerap bukanlah orang yang berkepribadian bagus tatkala dia memimpin. Kekuasaan kerap membutakan mata dan hati. Orang mudah larut dalam kemewahan kekuasaan. Korupsi yang menggurita di negeri ini pemicu utamanya antara lain syahwat kekuasaan yang tak terkontrol itu.
Coba lihat yang terjadi hari-hari ini. Setelah suami-istri mendekam di penjara, kini ayah dan anak reunian meringkuk di tahanan yang sama akibat korupsi pengadaan kitab suci. Barangkali tak lama lagi kakak-beradik akan tidur sekamar di hotel prodeo. Di negeri tercinta ini satu keluarga korupsi ramai-ramai sudah menjadi tradisi.
Saya ragu apakah pemilih Flobamora memahami betul rekam jejak enam pasangan calon gubernur dan wakil gubernur NTT periode 2013-2018. Juga sembilan pasangan calon bupati dan wakil bupati di Kabupaten Sikka. Masyarakat kita belum memiliki tradisi soal transparansi dalam makna seharusnya. Transparansi kita cuma omongan. Rakyat begitu mudah dibuai dengan alunan janji manis mereka.
Saya mau menutup coretan sekenanya saja ini dengan mengutip status teman saya di Facebook, Willy Pramudya. Statusnya tayang pada hari Senin 28 Januari 2013 sebagai berikut.
"Seperti lima tahun lalu, rombongan serigala berbulu domba itu mulai bermunculan lagi. Sambil mamatut-matut diri agar terlihat seperti "domba" jenis yang paling Obama atau Jokowi, mereka mulai mendatangi kami, para domba dan segaka jenis kambing yang tinggal di berbagai pelosok negeri ini.
Dengan ramah -- tapi tak mampu menyembunyikan taring yang siap menghabisi -- mereka mendekati kami, meminta dukungan kami dengan berbagai hadiah seperti padang rumput hijau tak berbatas agar mereka bisa jadi raja di negeri kami. Mereka menggelar berbagai hajatan dan pada puncaknya akan kembali meminta kami mendukung mereka .
Tapi kami tahu bahwa mereka tetaplah serigala berbulu domba, tongtongsot, musang, buaya dan segala jenis perampok berkaki empat yuang bengis dengan agenda tunggal: merampok kedauluatan kami dan kekayaan negeri kamii. Selamat tinggal tahun kelima. Kami tak memerlukan kalian dan hajatan-hajatan itu."
Kairagi yang sedang mendung, dinihari 29 Januari 2013