Merawat Rumah Sam Ratulangi

Pengendara melintas di depan rumah Sam Ratulangi
RUMAH itu berdiri lusuh di samping Kantor Bupati Minahasa yang megah, indah dan terawat. Rumah itu sulit menampik kesan tidak terurus lewat jamahan tangan yang telaten. Rumah itu dikelilingi semak dan rerumputan serta aneka pepopohan yang lama tak dipangkasrapikan. Ya, rumah itu milik Gerungan Saul Samuel Jacob Ratulangi, sosok legendaris  yang sangat  dihormati di Sulawesi Utara (Sulut).

Tidak hanya di Sulut, Sam Ratulangi juga memberikan kontribusi luar biasa  bagi hadirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Atas jasa-jasanya, pemerintah RI  menganugerahkan gelar pahlawan nasional untuk pria kelahiran Tondano, Kabupaten Minahasa  5 November 1890 itu. Namanya juga diabadikan sebagai nama universitas,  jalan, bandar udara, rumah sakit, bahkan nama lapangan.

Tidak hanya peran nyata yang telah dia sumbangkan bagi negara, namun sebuah falsafah hidupnya telah menjadi inspirasi warga Sulut, Indonesia, bahkan dunia.  Si Tou Timou Tumou Tou  (manusia hidup untuk menghidupkan orang lain) memiliki makna yang dalam dan merupakan warisan untuk generasi masa ini dan selanjutnya.

Namun, di balik nama besar dan jasanya, perhatian terhadap  pria lulusan Vrije Universiteit Van Amsterdam Belanda ini seakan telah dilupakan. Rumah milik Sam Ratulangi di Kelurahan Tounkuramber, Kecamatan Tondano Barat, Kabupaten tidak terawat lagi.

Saat Tribun Manado berkunjung ke tempat bersejarah ini, Selasa (22/1/2013), gerbang masuk rumah tersebut terkunci rapat. Gerbang dua pintu yang terbuat dari besi tampak berkarat. Cat mulai terkelupas berganti karat berwarna cokelat. Sebuah gembok terpasang dari dalam untuk mengunci pagar tersebut. Dari depan, kesan tidak terurus itu kental. Bangunan berasitektur rumah tradisional Minahasa ini hampir tertutup oleh rimbunnya pohon dan semak.

Pohon-pohon tumbuh rimbun di pekarangan rumah, dan rumput tumbuh subur di tanah. Bukan hanya pekarangan depan yang mulai tertutupi tanaman. Sisi samping kanan rumah tersebut pun tertutup semak. Beberapa warga yang tinggal dekat rumah tersebut mengatakan rimbunnya tanaman membuat suasana terasa angker. Cat  putih yang membungkus bangunan rumah tersebut juga mulai pudar. Kaca rumah buram karena tertutupi debu.

Jangan sampai terjadi 25 atau 50 tahun dari sekarang ketika anak-anak Minahasa, putra-putri Sulawesi Utara, generasi Kawanua  bertanya di manakah kami bisa menemukan tapak jejak sang pahlawan Sam Ratulangi? Tragis. Kita tidak bisa menunjukkan lokasinya. Sebab lokasi itu sudah tak lagi berbekas.

Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya. Itu kata kaum bijak bestari. Kata-kata yang masih relevan dan aktual sampai hari ini. Ayo selamatkan warisan Sam Ratulangi demi anak cucu Kawanua! Lebih dari itu untuk melanjutkan spirit, nilai-nilai dan kebajikannya yang luar biasa untuk masyarakat Nyiur Melambai, Indonesia dan dunia. *

Sumber: Tribun Manado 24 Januari 2013 hal 10

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes