Dion DB Putra |
Kantor Redaksi Pos Kupang (PK), Flores Pos dan Penerbit Nusa Indah. KMK menunjuk dua orang anggotanya untuk masing-masing tempat.
Ve Nahak dan J.Loin menyinggahi dapur Harian Umum Pos Kupang. Berikut rekaman pengalaman Ve Nahak selama 10 hari (dari tanggal 7 s/d 17 Juli 2006) menjadi "wartawan tembak" di Kantor Redaksi Harian terkemuka di NTT itu.
Menepis mitos "dapur" sialan
Sebuah gedung berlantai dua dengan cat putih yang sudah mulai kusam oleh terik matahari kota Kupang. Perbaikan-perbaikan kecil di beberapa sudut kelihatan belum rampung. Gedung itu bekas sebuah ruko (rumah toko) milik seorang Tionghoa.
Konon, karena posisinya yang kurang bagus menurut ramalan Fengshui, pemiliknya melelang gedung yang berdiri di atas tanah kelas satu itu. Pos Kupang mendapat tawaran pertama.
Alih-alih ditawari barang bagus, gayung pun bersambut. Bak mendapat durian runtuh, para senior PK yang kala itu menempati sebuah gedung sederhana langsung mengiyakan tawaran menarik itu.
Belakangan, kesuksesan PK dan prestasinya sebagai Harian Umum Terbaik tahun 2005 paling tidak menepis sementara ramalan dan tafsiran Fengshui sang pemilik ruko tujuh tahun silam.
Beralamat di jalan Kenari No.1 Naikoten Kupang, dapur redaksi yang mempekerjakan 121 karyawan/watinya ini sudah mampu melayani pelanggan dan mitra-mitranya di seantero wilayah NTT.
Sejak 1 Desember 1992, PK sudah mulai mengibarkan benderanya di bumi Flobamorata. Tak pelak, termasuk Surat Kabar senior di NTT, PK dikenal hampir di seluruh wilayah NTT. Kebutuhan akan informasi dan kemajuan teknologi informasi baik cetak maupun elektronik selalau memacu PK untuk tidak menjadi Koran yang mubazir di tangan para pembacanya.
Memang, tantangan utama di awal reformasi adalah bagaimana menampilkan citranya sebagai Koran daerah yang konsisten dan berwibawa di tengah maraknya persaingan antara koran-koran lokal yang kala itu tumbuh bak jamur di musim hujan. Di sini, PK benar-benar diuji sebagai "Korannya NTT". Koran yang mewakili suara orang-orang NTT.
Sederetan nama Koran lokal (Kupang) yang tercatat dalam sejarah pers daerah ini: Sasando Pos, Suara Timor, Surya Timor, Radar Timor dan masih banyak yang lainnya.
Di mana rimbanya kini? Kita boleh bertanya-tanya. Satu hal yang patut dicatat, ketahanan untuk berdiri kokoh mesti datang dari komitmen, keringat dan kerja keras. Hal ini setidaknya menunjukkan bahwa orang-orang yang sedang bekerja di belakang meja Pos Kupang itu tidak sedang bermain-main.
"Kesuksesan koran manapun termasuk PK, bukan terutama pada kemampuan menguasai pasar bisnis tetapi bagaimana koran itu dapat mempertanggungjawabkan kepercayaan masyarakat padanya. Sayangnya, ini bukan perkara mudah bagi banyak majalah, surat kabar dan Koran-koran kita. Saya berbicara tentang komitmen dan ketahanan," ungkap Tony Kleden, seorang senior PK.
Seiring dengan kemajuan jaman dan komitmen pelayanan masyarakat, sejak 2003 PK sudah mengembangkan tekhnologi cetak jarak jauh yang berpusat di dua kota daratan Flores masing-masing, Maumere untuk melayani kebutuhan masyrakat Sikka, Flores Timur, Lembata dan Ruteng untuk melayani Manggarai, Ngada dan Mabar.
Beberapa tahun terakhir Pos Kupang bergabung dalam Kelompok Kompas Gramedia (KKG) - Koran daerahnya Kompas dan juga sudah mulai mengembangkan Media elektronik online sejak tahun 1997.
Kisah sukses Harian Umum Pos Kupang tidak lepas dari perjuangan keras para krunya. Tanpa keringat dan kerja keras serta komitmen yang tangguh dari orang-orang di belakang meja ini, Pos Kupang bukan apa-apanya. Mereka datang dari berbagai latar belakang disiplin ilmu tetapi punya satu tekad. Membangun NTT.
Ada "reuni" di ruang sidang
Syukur. Om sopir angkota lampu 5, Torpedo, yang membawa kami dari Oesapa berbaik hati mengantarkan kami persis di gang masuk. Jumat (7/7/2006), kira-kira pukul enam lewat seperempat kami benar-benar berdiri di depan kantor redaksi Pos Kupang, koran top one di daerah ini.
Di depan pintu ada sebuah pesan singkat yang dicetak hitam, "Tidak menerima permintaan sumbangan". Kalimat ini tak begitu menganggu. Sudah sering dijumpai di mana-mana.
Kantor-kantor, rumah sakit, sekolah-sekolah, biara-biara. Sepertinya, kalimat ini juga ada di pintu ruang tamu Soverdi Ruteng atau di mana lagi. Merasa diri bukan peminta sumbangan kami langsung sarobot tanpa tanggung-tanggung.
Ruang depan kantor ini digunakan sebagai biro iklan dan bisnis merangkap ruang tamu bagi orang-orang yang berkepentingan. Kami diterima Pak Sipri, Satpam yang piket sore itu. Pak Hyron Modo, seorang wartawan senior Pos Kupang muncul dari balik pintu dan menyapa dengan ramah. Kentara sekali dialeg Manggarainya yang memaksa saya dan Jilo satu dua kali main mata dan batuk-batuk kecil. Kami dipersilahkan masuk.
Basa-basi terus berlanjut sambil melewati lorong kecil ke arah belakang. Hanya lima meter di depan kami belok kiri dan menaiki tangga menuju lantai dua. Jam dinding sudah menunjuk pukul 19.00 Wita. Aktivitas di lantai bawah sudah mulai sepi. Kata Pak Hyron, sebentar lagi pintu depan ditutup.
Derit tarikan pintu lantai dua dan sapaan selamat malam yang spontan kami ucapkan sepertinya mengusik ketenangan para kru di balik meja kerja. Tiap orang kelihatan sibuk dengan pekerjaannya sendiri. Mengedit teks dan naskah memang membutuhkan konsentrasi lebih.
Jeda sekian detik, mungkin untuk sekedar menekan tuts Ctrl+S (save) pada keyboard komputer. Masing-masing angkat muka penuh tanda tanya. Tanpa basa-basi lebih lama perkenalan pun dimulai. Dari meja ke meja kami disambut dengan jabatan tangan dan senyuman ramah.
Wajah-wajah baru tetapi nama-nama mereka sudah akrab bagi pembaca setia Harian ini. Tony Kleden, Agus Sape, Paul Burin, Hyron Modo, Alfred Dama, Beny Jahang, Damyan Ola, Gerardus Manyela dengan feature-feature-nya yang selalu mengisi halaman-halaman PK. Cukup mudah mengenal mereka. Nama, sudah di luar kepala. Tugas kami tinggal menghafal potongan wajah dan postur tubuh masing-masing orang saja.
Kami sudah jalan dari meja ke meja. Rasanya masih ada yang kurang. Orang yang dicari tidak ada di antara mereka-mereka ini. Siapa lagi kalau bukan Dion DB Putra, Pemimpin Redaksi yang biasa nongol dengan catatan bolanya yang padat, kaya informasi dan selalu bikin penasaran para masgibol.
Tahu kalau kami dari Ledalero, banyak yang bergabung dan numpang tanya tentang dosen-dosen Ledalero sekarang, teman-teman seangkatan, imam-imam yang keluar, yang melanjutkan studi, keadaan kampus Ritapiret. Macam-macam. Selanjutnya suasana menjadi semacam reunian antara para ex seminari. Hangat dan nyambung. Ada signal!
"Inilah cara kami berdoa"
Duduk di atas kursi putar yang agak tinggi. Kerutan di dahi dan tatapan matanya pada layar komputer pertanda lelaki setengah baya berpostur gemuk- pendek itu sedang serius mengerjakan sesuatu.
Sebagai seorang Pemimpin Redaksi, Dion DB Putra tergolong muda di antara para senior Pos Kupang. Tahun ini umurnya baru genap 37. Usia yang terbilang muda untuk ukuran seorang jurnalis. Sepak terjangnya di dunia kewartawanan tak perlu diragukan lagi.
"Ia sudah makan asam garam dalam dunia jurnalistik," komentar Agus Sape, seorang senior PK. Barangkali, inilah alasan utama mengapa di usianya yang masih tergolong muda, rekan-rekannya mempercayakan posisi ini kepadanya beberapa tahun lalu utnuk menggantikan Damyan Godho.
Kami masuk ke ruang kerjanya usai reunia-an yang makan waktu lebih dari 30 menit itu. Ia menyambut kami dengan ramah. Suara tenornya kedengaran khas sekali ketika mulai bicara.
Beliau baru saja kembali dari sebuah acara penting di pusat kota yang dihadiri para petinggi daerah. Bincang-bincang makin hangat ketika kami masuk dalam wilayah "baomong bola" ditemani U Mild yang terus mengepul memenuhi ruangan 4 kali 5 meter itu.
Sebuah ruangan sederhana yang tidak terlalu tertata. Kabel-kabel melintang sana-sini bahkan ada yang dibiarkan tergantung begitu saja pada dinding ruangan.
Sebuah meja kerja dengan satu unit komputer pentium empat ada di sudut kiri. Selebihnya, sebuah sofa panjang dan meja untuk tamu dan rak buku yang agak longgar. Ditemani U Mild, rokok kesukaannya, dari ruang inilah Om Dion, begitu ia akrab disapa mengkoordinasi jalannya kegiatan Harian ini.
"Frater berdua boleh lihat sendiri. Inilah cara kami berdoa," ujarnya tenang. Pernah, ada sekelompok mahasiswa dan mahasiswi Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Undana membuat penelitian perihal posisi duduk para wartawan saat mengetik. Dari sinilah barangkali lahir ide tentang sikap doa tadi. "CD (baca: Cara duduk) tu..? CD juga kan sikap berdoa?" Katanya sambil tertawa.
SMS itu.
"Ketika di lapangan anda sudah harus siap. Sekarang berlakulah sebagai seorang wartawan Pos Kupang," pesan Om Marsel Ali di atas sepeda motornya ketika kami menuju El Tari untuk menghadiri rapat koordinasi Sail Indonesia 2006. Setelah mengakrabi situasi dan kesibukan di kantor redaksi selama dua hari pertama kini saat yang ditunggu-tunggu itupun tiba. Turun lapangan.
Pesan singkat Ka'e Charles Beraf di telepon selulerku belum juga kuhapus untuk satu atau dua hari ini. "Gunakan indra-indramu. Pasang telinga, mata dan hidung dan segala kemampuanmu untuk merekam apa yang terjadi." Kubawa pesan ini kemana-mana sambil sesekali kubuka inbox dan membacanya sebagai penyegaran.
Rapat akan segera dimulai. Peserta sidang berarak masuk ke ruang Pak Wagub NTT, Drs. Frans Lebu Raya. Sebagian besar peserta sidang adalah Kepala Dinas Pariwisata enam Kabupaten yang akan disinggahi peserta lomba layar masing-masing Kupang, Alor, Lembata, Maumere, Ngada dan Manggarai Barat dan pihak-pihak yang terkait dengan penyelenggaraan even ini. Para wartawan cetak dan elektronik mengambil tempat yang telah disiapkan.
Ketika sidang resmi dibuka para wartawan mulai sibuk mengambil gambar. Saya duduk di salah satu kursi deret belakang dan mulai mencatat apa-apa yang perlu. Pesan Om Marsel dan SMS Ka'e Charles masih segar dalam ingatanku. Jam pertemuan, jumlah pesertanya, agenda-agenda rapatnya, tema dan isi pertemuan, komentar-komentar dan imbauan-imbauan Wagub, evaluasi para peserta sidang dan masih banyak lagi.
Usai sidang Om Marsel mengarahkan motornya kembali ke kantor redaksi. Hari pertama saya berkonsentrasi untuk membuat satu berita tadi. Om Marsel masih melanjutkan tugasnya untuk meliput dua atau tiga peristiwa lagi. Berbekal teori seadanya dari buku-buku jurnalistik yang sempat kubaca, kebiasaan membaca koran atau majalah dan pelatihan jurnalistik di waktu Seminari Menegah dan Novisiat dulu saya coba "panjat pohon kelapa".
Kata pertama, setengah mati apalagi memikirkan judulnya. Di kepalaku tertumpuk begitu banyak ide mirip perangkat keras komputer yang serabutan dan simpang siur oleh kabel-kabel besar kecil. Sambil menikmati kesulitan-kesulitan ini saya mulai berbuat sesuatu.
Mainkan angle-nya bro.
"Mainkan angle-nya bro." pesan ini biasa terdengar pada sore hari kira-kira pukul 15.00 Wita. Ketika hampir seluruh Wartawan Kota (warkot) kembali dari kegiatan meliput berita. Para kru biasanya melontarkan slank ini di antara mereka sebagai guyon ringan.
Maksudnya, judul dan lead berita mesti punya daya jual yang tinggi. Caranya, dengan mengolah sudut pandang berita sehingga memiliki kharakter yang kuat, khas dan memikat. Wartawan PK sudah tahu mau-maunya. Biasa.
Sebuah kutipan. "Bola mata Juani berkaca-kaca ketika mengintip kemanakannya, Soleka, yang sedang mandi sore itu. Dari balik dinding sumur terbuat dari bebak, ia melihat kain basahan Soleka sering tersibak." Apa judul yang pas untuk kisah ini? Majalah Tempo edisi 2 Januari 2004 memberi judul tulisan ini dengan "Kasmaran maut di Sarang Elang".
Cita rasa sajian berita dan feature Tempo dan Kompas memang luar biasa. Ketajaman anlisis, padatnya informasi dan kupasan peristiwa yang akurat dan tuntas selalu memanjakan para pencari informasi. Membaca feature-feature kedua terbitan ini kadang kala bak menyelesaikan adegan puncak novel-novel detektif Agatha Christie.
Pada bab terakhir "Pembunuhan atas Roger Acroyd", salah satu novel detektifnya saya memutuskan untuk berhenti. Kuambil novel itu, kuletakkan di bawah bantal agar "ending" ceritanya bisa menyatu dalam mimpi-mimpiku. Saya membiarkan dua hari berlalu dalam tanda tanya tanpa membolak-balik bantal tempat novel itu kuletakkan.
Malam yang tenang. Lampu belajar di atas meja. Saya tahu, ujian yang paling berat bagi para pembaca novel adalah kecerobohan untuk melompat ke halaman belakang sebelum waktunya. Saya memberanikan diri. Membaca kata demi kata dan tak mengulangi kecurangan itu.
Kebolehan seorang Agatha Christie ada pada kemampuannya membuat kejutan-kejutan dan menciptakan "bom" di tengah cerita. Ia punya pilihan untuk mengakhiri cerita-ceritanya dengan caranya sendiri dan sering di luar dugaan pembaca. Ia seorang pencerita yang dapat menjadikan pembaca sebagai musuh utamanya. Di sinilah ketegangan itu muncul. Buku-bukunya diburu di mana-mana. Dan, di akhir ronde ia keluar sebagai pemenang dengan angka telak.
Keberhasilan seorang pengarang mungkin ada di sini. Ketika ia dapat "meresahkan" para pembacanya dengan riak-riak gelombang yang dapat memompa jantung lebih cepat. Saya sedang berbicara tentang sudut pandang (angle) sebuah tulisan. Wartawan yang baik adalah wartawan yang dapat menciptakan angle yang tajam tanpa berusaha membuat sensasi.
Saat pendampingan, Om Tony Kleden memberi contoh. "Sebagai wartawan PK, anda hadir dalam sebuah acara nikah massal di Gereja Pentekosta Sikumana. Apa kira-kira yang menarik di sana? Khotbah si Pendeta yang panjang lebar itu? Pesan dan kesan pasangan yang menikah? Jumlah pesertanya yang begitu banyak?".
Seorang wartawan harus berani untuk tidak meilih ketiga-tiganya. Apa yang tersembunyi alias "nyeleneh" di acara tahunan itu? Anda berhasil, ketika anda dengan jeli menemukan bahwa di antara 50-an pasangan nikah massal itu ada seorang kakek berusia 74 tahun dan pasangannya yang juga berusia kepala tujuh. Mereka ikut dalam arak-arakan dengan memegang lilin didampingi cucu-cucunya. Di sini, berita anda niscaya mempunyai kharakter, kekuatan dan daya ledak. Lalu anda memberi judul untuk beritamu, "Gita cinta di senja kala".
Berita-berita dan feture-feature dengan kharakter yang kuat dapat kita temukan dalam Tempo dan Kompas. Dari sini kita dapat belajar untuk berbuat sesuatu. Namun ingat, nama besar kedua terbitan ini selalu diikuti dengan usaha dan kerja keras para krunya.
Konon, seorang wartawan Kompas digembleng selama enam bulan untuk berlatih membuat feature sebelum turun ke lapangan. Apa artinya sepuluh hari magang di Pos Kupang? Tanpa latihan rutin kita tidak bisa apa-apa bro!
Ketika berita cari wartawan
Tiga berita sehari. Ini kewajiban tiap wartwan kota maupun daerah. Dulu tiga berita sehari memang bukan perkara mudah apalagi pers di jaman Orba sering lebih suka tutup mata atau sepertinya malas tahu dengan banyak kasus. Pers masih serba hati-hati. Salah-salah buat berita wartawan bisa ketemu batunya.
Sekarang suasanya serba lain. Wartawan ada di mana-mana. Media komunikasi seperti Hand phone dan Internet menjadi senjata andalan bagi para wartawan. HP misalnya, dapat membuka akses yang lebih luas dan memudahkan konfirmasi dan Crosscheck peristiwa. Apa yang terjadi di kutub Selatan pada saat yang sama dapat diketahui orang-orang di Utara.
"Ef Er, kalau dulu wartawan cari berita na sekarang tabalek. Berita yang cari wartawan," seloroh Aris Ninu, warkot jebolan Fakultas Hukum Undana yang menangani halaman Kupang Crime dan rubrik Tapaleuk itu. Nah, ketika berita sudah menumpuk apa yang anda lakukan? Bersikaplah lebih tenang lalu mulai "mainkan angle-nya bro!"
Pertanyaannya, mengapa hal ini menjadi begitu penting? Informasi dan berita-berita terbaru sering lebih cepat tiba ke ruang dengar pemirsa radio dan televisi. Membahasakan berita-berita yang sama dengan rumusan 5W +1H dalam pola piramida terbalik dapat saja menjenuhkan. Di sini, wartawan sekali lagi dituntut tidak hanya terampil dalam membuat berita, tetapi lebih dari itu, kreativitasnya yang lahir dari intuisi yang tajam.
Sehari sama dengan 25 jam?
Di Pos Kupang jawabannya iya. Kalau bukan 25 jam sehari jawaban yang lebih pas adalah 24 jam plus. Bekerja di sebuah Harian seperti Pos Kupang memang meminta tenaga ekstra. Itu berarti setiap kru dituntut untuk memberi lebih.
Tidak bisa tidak. Ini sudah menjadi tanggung jawab bersama. Selama kurang lebih sepuluh hari bertamu di kantor Redaksi PK tidak pernah seharipun kami mendapatkan gedung itu ditinggalkan sendirian. Tidak pernah kosong sama sekali.
Pernah sekali, waktu putaran final Piala Dunia masih panas-panasnya. Kami menyempatkan diri bergadang sampai pagi bersama para kru menanti pertandingan semifinal Portugal Vs Jerman. Para editor masih kelihatan melek ditemani kopi dan rokok sampai pertandingan usai. Menonton laga empat tahunan ini barangkali hanya sebagai jeda untuk menimba inspirasi. Biasa.
Praktisnya, sepanjang hari selalu ada yang masuk keluar kantor. Bahkan kalau keadaan menuntut. Ketika ada kejadian di tengah malam yang mesti diliput, setiap wartawan harus bersedia merelakan tidur malamnya yang rata-rata hanya 5 jam itu.
Secara medis tabiat seperti ini sangat memprihatinkan. Namun tugas dan pengabdian selalu menuntut mereka untuk merelakan tenaganya. Satu-satunya kesempatan yang mengijinkan mereka menarik napas lega adalah malam Minggu atau pas tanggal merah.
Edisi hari Minggu biasanya sudah rampung pada hari Sabtu sehingga tinggal menyelesaikan proses cetaknya saja. Selain malam Minggu dan tanggal merah rutinitas di PK terbilang padat.
Saban hari kegiatan di kantor redaksi diwarnai dengan sidang-sidang redaksi yang menjadi simpul proses peliputan dan editing berita. Sidang pagi berlangsung antara Pukul 8.45 Wita - 9.30 Wita dihadiri oleh segenap warkot. Sidang biasanya dipimpin oleh seorang Redaktur Pelaksana (redpel) yang bertugas sesuai jadwal.
Suasana sidang biasanya tidak resmi-resmi amat. Para kru mengelilingi meja sidang sambil membaca terbitan hari itu ditemani segelas kopi panas. Di meja redaksi biasanya tersedia PK, Kompas, Timex (Timor Express) dan Flores Pos terbaru untuk "sarapan" para wartawan sebelum turun lapangan.
Di akhir sidang biasanya dibacakan undangan-undangan rapat, seminar dan lokakarya dari instansi-instansi swasta dan pemerintah. Isu-isu yang menempati headline selalu diikuti perkembangannya. Kejar dan tangkap. Selama seminggu turun lapangan kami nunut pada wartawan-wartawan kota. Masing-masing punya sepeda motor. Paling tidak di sini proses belajar dan interaksi berjalan cukup baik. Dari mereka kami dapat belajar banyak.
Sore hari Pukul 13.00 Wita ruang redaksi kembali ramai oleh suara ribut para wartkot yang pulang dari tugas meliput berita. Pukul 15.00 Wita sidang sore dimulai. Suasana di sekitar meja redaksi terasa berbeda dengan sidang pagi yang biasanya terbilang dingin-dingin saja.
Tiap wartawan kota berjuang mempertahankan beritanya, mempertanggungjawabkannya kepada redpel. Keterangan yang memadai plus kelengkapan konfirmasi secara lisan dari si wartawan dapat menunjang beritanya. Kalau "kalah" alias keterangan kurang memadai, maka tidak segan-segan berita-berita itu disampahkan sambil menanti konfirmasi lebih lanjut. Di sini, seorang wartawan dituntut profesionalitasnya.
Waktu untuk wartawan kota biasanya sampai dengan Pukul 18.00 Wita. Jam-jam selanjutnya adalah milik Dewan Redaksi, Editor, Designer halaman dan Percetakan yang biasanya bekerja sampai menjelang subuh. Sebelum memulai dengan proses cetak Dewan Redaksi mengadakan sidang Pkl. 20.30 Wita untuk menentukan berita mana yang mesti diturunkan sebagai headline dan berita-berita mana yang layak "dihalamansatukan".
Berita-berita pada ruang ini adalah berita-berita dengan nilai jual yang tinggi. Sebab, tarik ulur bisnis pers mau tidak mau berujung pada apa yang namanya pasar. Di sana ada penjual dan pembeli. Ada penawaran dan permintaan yang secara ketat dirumuskan dalam bahasa hukum ekonomi.
"Sekali membuat kesalahan dalam hal ini, kita merugi secara finansial. Dua kali, kita kehilangan manusia sumber dari mana uang itu datang," demikian Om Tony Kleden saat mendampingi kami dalam latihan penulisan berita dan feature. Makanya, tanggung jawab besar ada di pundak mereka-mereka ini. Dan, kita tahu Pos Kupang memiliki orang-orang yang siap untuk itu.
Proses cetak tahap pertama akan berlangsung kalau proses editing halaman-halaman tengah (halaman 3, 4, 5 dan 6) sudah selesai. Biasanya Pukul 22.30 Wita halaman-halaman ini sudah harus dicetak. Pada Pukul 24. 30 Wita proses cetak tahap kedua dilakukan untuk halaman 11, 12, 13 dan 14.
Karena PK memberlakukan sistem cetak Cover both side (dua halaman berwarna yang biasanya memuat berita-berita terkini) maka proses cetak tahap terakhir dibuat untuk halaman-halaman tersisa. Biasanya pada Pukul 03.00 Wita proses cetak sudah rampung. Pada saat yang sama proses cetak berlangsung juga di Ruteng dan Maumere melalui tekhnologi cetak jarak jauh. Melelahkan memang, namun kerja belum selesai.
Selanjutnya proses distribusi ke Kabupaten-Kabupaten sedaratan Timor ditangani bagian pemasaran. Sebuah mobil Pick Up melaju ke arah Timur pada pukul 05.00 Wita memanjakan para pelanggan Pos Kupang. Kini PK datang untuk mengucapkan "selamat pagi" bagi para pelanggan dan pengecer-pengecernya sepanjang jalan negara trans Timor. Ini juga barangkali satu trik untuk "mengambil hati"?
Ketika proses pemasaran untuk Kota Kupang ramai berjalan di ruang belakang, sidang redaksi pagi sudah mulai. Wakot lalu turun lapangan untuk meliput berita dan kemabali nanti sore. Kesibukan di bagian periklanan dan bisnis terus berjalan sampai sore harinya. Dewan redaksi dan editor bertugas sejak sore sampai subuh.
Kadang-kadang kalau ada acara penting seperti penyambutan tamu, artis, pejabat Pemerintahan pada siang harinya maka semua kru berkumpul di redaksi sesuai jadwal pertemuan. Kebetulan saat magang itu ada dua jadwal kunjungan artis ibu kota ke Kantor redaksi Pos Kupang.
Kami bertemu dengan Frangky Sahilatua dalam perjalanan mensosialisasikan lagunya "Pancasila Rumah Kita" dan Ucup Kelik, pelawak yang belakangan tenar melalui acara Republik BBM itu dalam rangka Launching Pos Kupang Cup. Ini menjadi selingan di tengah kesibukan siang malam para kru.
Cerita nekat wartawan tembak
Setiap kali turun lapangan saya selalu ditanya-tanya sama wartawan Timex. Rote Ndao Pos atau wartawan TV yang kebetulan meliput di acara yang sama. Oleh Kae-kae wartawan kami diperkenalkan seadanya. Mahasiswa yang sedang magang di Pos Kupang.
Ini keadaan yang sulit. Anda pergi ke tempat acara tanpa tanda pengenal yang jelas. Biasanya, semua wartawan punya tanda pengenal, sebuah kartu jurnalis yang digantung di dada, semacam pass masuk yang sering menguntungkan mereka di tempat-tempat penting. Wartawan bisa lebih leluasa berkeliaran mengambil gambar untuk kepentingan pemberitaan di Surat kabarnya.
Pernah, usai Rapat pengukuhan Dewan Riset Daerah (DPD) NTT di ruang Gubernur NTT pada Sabtu (15/7), saya menemui Rektor Undana, Prof. Ir. Frans Umbu Datta, salah seorang penggagas berdirinya DPD. Pertanyaan-pertanyaan yang perlu sudah saya konsepkan. Di pendopo El Tari saya mendatanginya, sekedar basa-basi lalu mulai memberondongnya dengan sejumlah pertanyaan.
Pertanyaan pertama dijawabnya serius. Ia sontak kaget ketika tiba pertanyaan ketiga, rupanya beliau merasa terjepit karena dikejar-kejar terus. Ketika saya menanyakan soal kiat-kiat konkret DPD NTT untuk program enam bulanan ke depan, petinggi Undana itu balik bertanya penuh keheranan.
"Sabar, kamu dari Koran mana?" Saya baru ingat, kalau sejak tadi saya belum memperkenalkan diri. Mungkin beliau bertanya, digantung di mana tanda pengenal wartawan yang satu ini?
Saya perkenalkan diri sebagai mahasiswa semester II STFK Ledalero yang sedang magang di Pos Kupang. "Proficiat!" katanya sambil menjabat tanganku erat. Pembicaraan selanjutnya menjadi semakin enak.
Wawancara jurnalistik tidak terbilang sulit. Namun, untuk seorang "wartawan tembak" macam kita, modal nekat saja tidak cukup. Sebelum tergugup-gugup di depan nara sumber sebaiknya anda menyiapkan "amunisi" secukupnya agar arah pembicaraan tidak ngawur. Siapkan pertanyaan-pertanyaan yang perlu sehubungan dengan tema pembicaraan. Sigap saat pembicaraan berlangsung dan kritis terhadap persoalan. Mencatatat kutipan-kutipan bila perlu.
Di redaksi, saat membuat berita saya kewalahan. Data pendukung seperti apa latar belakang berdirinya Dewan Riset ini, anggota-anggotanya, kapan gagasan ini muncul dan dari mana pendanaanya. Menurut Umbu Datta, setiap anggota bertugas membuat penelitian kritis atas persoalan-persoalan sosial di NTT. Ini butuh dana yang tidak sedikit. Dari mana mendatangkan dana-dana itu?
Berkat data-data secukupnya dari Methil Dhiu, wartawati PK yang juga meliput peristiwa pengukuhan itu saya tertolong. Untuk membuat berita, selain wawancara dengan nara sumber dan tokoh-tokoh kunci, penting untuk menghimpun data-data pendukungnya. Sambil mengolah angel-nya kita bisa memperkaya berita-berita kita. Supaya, jangan hanya modal nekat bro!
"Kuda hitam" di atas karang
Sepuluh hari terlalu singkat untuk sebuah kegiatan magang. Namun, Pengalaman tujuh hari di lapangan plus tiga hari pertama di redaksi memang sulit terlupakan. Setiap hari usai sidang redaksi pagi yang berlangsung selama kurang lebih 45 menit kami turun ke lapangan. Ada beberapa berita yang mesti di-follow up. Ada undangan untuk menghadiri rapat dan seminar, pengresmian gedung dan lain-lain. Setiap warkot sudah ditunjuk untuk itu.
Pada Rabu (12/7), bersama Aris Ninu, warkot yang menangani halaman `Kupang Crime' kami menuju Polda NTT. Lalu Polsekta Kelapa Lima, Brimobda, RSU WZ Johannes - Kupang, RS Bhayangkari satu demi satu untuk memburu berita-berita kriminal.
Untuk ukuran NTT, kota Kupang memiliki stok wartawan yang lumayan. Sebagai sebuah Propinsi dan basis beberapa surat khabar, majalah dan stasiun TV hal ini memacu para wartawan untuk berbuat yang terbaik bagi medianya. Siapa cepat dia dapat.
Bebek Astrea yang membawa kami terus melaju di jalan-jalan utama. Bung Ris, sang joki sering nakal melarikan `kuda hitamnya' itu dan menarik gas sampai bunyinya cekikan seperti suara anak kambing yang tersesat. "Hanya begini sa ko?" Satu suara dari boncengan coba mengusik konsentrasi sang joki. Nihil. Merasa dipanas-panasi, Astrea makin ngebut.
Kami tiba di halaman parkir RSU WZ Johannes - Kupang 10 menit kemudian setelah beberapa kali Astrea nekat melambung angkota-angkota yang agak `kamatek' di jalan raya. Bung Ris masuk ke UGD dan mengambil gambar seorang pria korban tabrak lari.
Kamera digital merk Siemens itu diberikan kepadaku. Lensa kamera kuarahkan kepada seorang ibu korban KDRT. Dari sisi kiri kurekam gambarnya untuk melengkapi keterangan yang telah kami peroleh di Polsekta Kelapa Lima.
Duduk di atas kursi, Yasinta Fai (30), seorang ibu rumah tangga yang beralamat di RT 04/RW 09 Kelurahan Manutapen, rela mencabut laporannya atas peristiwa suami pukul istri beberapa waktu lalu. Mengenakan kaus merah dipadu jeans biru, ibu tanpa anak ini terus tersenyum ketika ditemui wartawan. Di dahinya, luka bekas hantaman linggis sang suami, Yulius Tafuli (32) masih dibalut plester.
Kisah sedih ini berawal ketika korban meminta uang Bantuan Langsung Tunai pada sang suami untuk membeli beras. Pasalnya, uang bantuan itu tak pernah diberikan sesen pun kepada korban. Giliran korban meminta untuk keperluan dapur, Tafuli naik pitam. Merasa ketenangannya diobok-obok, pelaku yang adalah suami korban sendiri mengangkat linggis dan mengahantam kepala korban sampai menimbulkan luka robek. Fai mandi darah. Tafuli malas tahu. Sudah diperlakukan kasar, kini Fai cabut laporannya dan rela memaafkan suaminya. Inikah rasanya cinta?
Ini berita kesekian yang berhasil kami bawa pulang. Bung Ris kelihatan agak panas oleh sikap dingin Yasinta Fai. Bung joki memaki-maki di atas `kuda hitam'nya sepanjang perjalanan pulang. Di redaksi, berita yang terakhir ini dia kasih judul "Sudah dihantam linggis, istri cabut laporan".
Tiga berita selesai dalam hitungan 30 menit. Lima tahun berkutat dengan masalah-masalah kriminal di halaman ini menjadikan bung joki piawai mengolah berita. "Gaya bertuturnya punya karakter kuat, makanya ia sulit dipindahkan dari halaman ini," kata Om Dion Putra suatu sore.
Sehabis menyelesaikan dua atau tiga berita kami segera kembali ke rumah di kawasan pasar Oebobo. Sepuluh hari di Kupang, kami menginap di rumah keluarga Bapak Lukas Liunome (60) dan Mama Yuli Bana (40), sebuah keluarga Kristen Protestan yang baik sekali. Sudah seperti orang tua sendiri. Naef tua orang SoE dan Mama Yuli orang Kefa, tantanya teman Jilo.
Kehadiran kami cukup meramaikan suasana rumah yang sebelumnya hanya beranggota tiga orang. Naef tua, Mama dan Melki, anak sematawayangnya yang sedang berlibur.
Selama di PK ada sederet kegiatan yang kami liput. Rapat teknis Sail Indonesia (10/7), Pantauan Pendaftaran Siswa baru di sekolah-sekolah sekota Kupang (11/7) dan mewawancarai beberapa Kepala Sekolah, Buru berita kriminal (12/7), Semianar dan Lokakarya Kritisi terhadap tindak Pidana Pornografi dan Pornoaksi dalam KUHP dan Rancangan KUHP (14/7) bertempat di hotel Sylvia - Kupang. Konfrensi Pers perjalanan dan Uji Coba Jatropha (jarak pagar) di Aula El Tari (15/7), Pantauan wartawan kota di titik-titik rawan (16/7). Rapat pengukuhan Dewan Riset Daerah (DRD) plus wawancara dengan beberapa penggagas DRD (17/7) di aula El Tari.
Kecuali hari Minggu, rumah ini benar-benar hanya sebagai tempat penginapan. Kami selalu keluar pagi dan masuk tengah malam untuk tidur. Dua hari pertama di PK keadaanya lebih parah. Pergi pagi dan pulang dini hari. Kalau sudah begini kami selalu mengirimkan pesan singkat ke rumah. Biar orang-orang rumah aman.
Sarapan pagi dan makan malam umumnya di rumah. Mama Yuli selalu setia menyiapkannya untuk kami seisi rumah. Makan siang biasanya `ditanggung' teman-teman wartawan atau ya bayar sendiri. Untuk kembali ke rumah butuh uang jalan. Karena itu kami selalu memilih jalan terbaik, pulang usai rapat redaksi terakhir kira-kira pukul 20.30 Wita. Jadi, makan siang dan malam kadang-kadang terlantar.
Saban malam Bapa Lukas, pegawai Kantor kehutanan itu selalu lebih dulu berjaga dan membukakan pintu kalau kami pulang telat. Pernah, Naef tua terbangun sampai tiga kali lantaran mendengar bunyi langkah kaki anak-anak tetangga yang hendak berbelanja di kios sebelah rumah. Pagi-pagi kami tiba di rumah dan Mama Yuli menceritakannya.
Senin, 17 Juli 2006, kami meninggalkan mereka dengan rasa terima kasih yang mendalam. Dapur Pos Kupang dan Rumah Bapa Lukas, dua tempat yang berbeda dan telah mengajarkan kami banyak hal tentang seninya hidup di kota yang sibuk (Ve Nahak).
Sumbernya di Disini