 |
P Edu Dosi, SVD |
Oleh: P. Edu Dosi, SVDRohaniwan, Dosen FISIP Unwira Kupang
POS-KUPANG.COM - Kematian telah menghampiri Uskup Emeritus Mgr. Petrus Turang, Jumat(4/4/2025).
Kita merasa kehilangan sosok gembala umat yang sangat memperhatikan kemiskinan dan rakyat kecil. Kita mengingat Mgr. Petrus Turang adalah gembala umat yang telah bersentuhan dengan hidup kita.
Kita mengenal dia dalam banyak ragam pengalaman, teristimewa perhatiannya pada kemiskinan dan rakyat kecil.
Terlepas dari kekurangan dan keterbatasannya, kita mengagumi, menghormati dan merasa bahagia karena pernah memiliki dia. Catatan inspiratif ini berkembang dari diskusi dan kesaksian banyak orang.
Saya tulis sebagai penghargaan kepada beliau, sang gembala yang memberi keteladanan pada komitmen teristimewa bagi yang miskin.
Suatu saat pada hari ulang tahun KSP Kopdit Adiguna saya diundang Vincen Repu, ketua KSP Kopdit Adiguna, untuk mendampingi Uskup Turang merayakan syukur dengan ibadat bersama pendeta dan ustad.
Saat itu saya masih sebagai Kepala LPPM (Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat) Unwira. Saya suka beliau berkhotbah tentang pemberdayaan masyarakat lewat koperasi.
Vincen berceritera, ketika kami meminta beliau memimpin ekaristi, beliau spontan menegur kami dan bertanya,"anggota Koperasi Adiguna itu siapa saja?”
Kami tersadar bahwa beliau ingin pemberdayaan masyarakat melalui koperasi dijalankan bersama, untuk semua,tidak berbasis sekat, tembok atau pembatas tertentu.
Kami diteguhkan bahwa mengelola koperasi dengan prinsip terbuka, demokratis, solidaritas,swadaya, edukasi dan berkeadilan.
Lain kesempatan ketika saya masih anggota dewan Provinsi SVD Timor, bersama P.Vinsen Wun,SVD,Provinsial SVD Timor, bertemu beliau untuk satu urusan pemberdayaan umat Keuskupan Agung Kupang.
Diskusi pun panjang. Ketika kami pamit pulang, beliau mengantar kami lewat pintu samping untuk melihat pembibitan tanaman dan pohon-pohon bagi pemberdayaan umat di wilayah Keuskupan Agung Kupang. Beliau berbicara panjang tentang kemiskinan di wilayah ini yang perlu perhatian.
Kita saksikan bagi Uskup Petrus Turang perhatiannya pada kemiskinan dan rakyat kecil bukan sejauh diskusi, tapi terwujud dalam pelayanannya. Itu sesuai motonya Per transiit benefaciendo.
Ia berkeliling sambil berbuat baik (Kis. 10:38). Kebenaran hidup yang dihayatinya dalam semangat Kristus sendiri.
Katarina Kewa Sabon Lamablawa (April 5, 2025) mencatat Uskup Petrus Turang menyapa, mendengar, dan hadir dengan sepenuh hati.
Dari pelosok desa terpencil di Pulau Alor, Rote, Sabu, Semau, dan daratan Timor, hingga ke pusat Kota Kupang, Mgr. Petrus tidak pernah segan untuk turun langsung ke tengah umat.
Ia melihat dengan mata sendiri kondisi nyata umatnya, berbicara dengan para orang muda, menyalami umat paroki satu per satu, dan menyentuh luka-luka sosial yang dialami masyarakat.
Baginya, menjadi gembala berarti berjalan bersama kawanan domba, bukan mengatur dari kejauhan. Dan dalam jejak langkahnya, kasih Kristus dinyatakan lewat perhatian konkret, pelayanan yang rendah hati, dan kesetiaan yang tanpa pamrih.
Tak terhitung jumlah stasi dan komunitas umat basis (KUB) yang dikunjungi Mgr. Petrus Turang, bahkan dalam kondisi geografis yang sulit dan medan melelahkan.
Di bawah terik matahari atau melintasi jalan berbatu dan berdebu, beliau tetap melangkah.
Seorang imam pernah mengisahkan bahwa bagi Uskup Turang, “misi bukan hanya soal berkhotbah, tetapi hadir dan mendengarkan adalah bentuk cinta yang paling nyata.” Itulah wujud nyata dari per transiit benefaciendo.
Mendahulukan Kaum Miskin
Kardinal Suharyo bersaksi, "Saya kenal bapa Uskup Turang ini sejak tahun 1977. Dulu kami belajar bersama-sama, beliau belajar ilmu sosiologi di Roma. Dan pulang sebagai bagian hidupnya diabdikan untuk mengembangkan masyarakat," kata Kardinal Suharyo, Jumat (4/4/2025).
Kardinal Suharyo mengatakan pula Petrus Turang pernah menjabat sekretaris eksekutif Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE) Konferensi Waligereja Indonesia (KWI).
Kardinal Suharyo sempat bertemu Mgr. Petrus Turang saat menjalani masa rawat. Ia mengatakan, beliau masih berbicara mengenai tugasnya hingga kemiskinan yang menjadi tantangan yang sangat kuat.
"Waktu saya mengunjungi beliau terakhir, satu minggu yang lalu dia masih terus berbicara setengah sadar mengenai tugas-tugas itu, mengenai keadaan betapa kemiskinan masih menjadi tantangan yang sangat kuat. Itu persis komitmennya sebagai imam, sebagai uskup, sebagai warga negara Indonesia untuk melibatkan diri membangun masyarakat Indonesia."
Gubenur NTT Emanuel Melkiades Laka Lena mengenang Turang sebagai salah satu penggerak ekonomi masyarakat. Selama menjadi pemimpin umat Katolik di Keuskupan Agung Kupang periode 1997-2024, Turang mendorong masyarakat untuk bertani dan beternak.
”Dan, itu bukan hanya bagi umat Katolik yang dia pimpin, melainkan juga bagi semua umat,” kata Laka Lena.
Prabowo, Presiden Indonesia katakan, "Ya beliau orang baik, selalu berpikir positif dan beliau selalu kerja untuk rakyat kecil. Itu yang saya tahu."
Kita tentu menyadari keprihatinan Gereja secara ideologis (teologis, gerejawi) untuk mendahulukan kaum miskin terungkap dalam sejarah yang panjang.
Keprihatinan Gereja untuk mendahulukan kaum miskin sudah mulai sejak Paus Leo XIII( 1878-1903) hingga sekarang ini (Donald Dorr).
Ideologi pemihakan terhadap kaum miskin oleh Gereja telah berjalan dalam sejarah yang panjang, namun mengapa tidak cukup kelihatan dampak pemihakan itu pada konteks sosial kita atau Gereja cukup berhasil membuat orang beragama tetapi belum cukup berhasil membuat umatnya bebas dari kemiskinan?
Atau Gereja getol berbicara tentang Allah yang tersalib namun kurang menampakkan ketegaran membela umat yang tersalib?
Institusi negara dan aparatusnya yang berkuasa, realitas sosial dan manajemen ekonomi dapat dicurigai terlibat dalam pemiskinan masyarakat NTT, dapatkah agama Katolik/Gereja Katolik sebagai institusi juga dicurigai terlibat dalam praktek yang sama?
Kekuasaan tidak hanya menyangkut masalah politik kenegaraan. Agama adalah juga suatu bentuk kekuasaan (Foucault).
Kekuasaan dalam perspektif Foucault memberi tekanan pada seluruh struktur tindakan yang menekan dan mendorong tindakan-tindakan lain melalui rangsangan, persuasi atau melalui paksaan dan larangan.
Pemahaman kekuasaan seperti ini memungkinkan melihat agama sebagai bentuk kekuasaan yang sangat berpengaruh. Agama merupakan lembaga produksi kekuasaan-pengetahuan yang dahsyat.
Kalaupun berteologi maka realita ini mestinya menghentak Gereja untuk berteologi dari bawah akar rumput.
Pilihan ini mengakui dalam ekonomi keselamatan Allah, pemahaman tidak diperoleh dari sudut kelompok yang berada pada puncak tangga kehidupan, tapi dari sudut mereka yang berada pada dasar tangga tersebut.
Membaca atau melihat dari bawah tercermin dalam pernyataan teolog Bonhoeffer, ”Masih terdapat suatu pengalaman yang nilainya tiada taranya. Akhir-akhir ini, kita telah belajar untuk melihat peristiwa-peristiwa besar di dalam sejarah dunia dari bawah, dari sudut pandang kaum buangan, dicurigai, dianiaya, tak berdaya, tertindas, dihina”.
Kemiskinan adalah pesoalan kompleks. Tak bisa diatasi teologi dan ritus atau teori pembangunan saja. Perlu juga memperhatikan karakteristik daerah dan perilaku tertentu. Komunitas basis gerejani (KBG) lebih memahami konteks.
KBG sebagai gerakan sangat dekat dengan kaum miskin. Mesti disadari pelaku utama yang mampu menanggulangi kemiskinan adalah kaum miskin sendiri.
Pemberdayaan kaum miskin lewat KBG diyakini lebih tepat dan cepat. Dan uskup Turang telah berusaha untuk itu.
Pola Komunikasi Pemberdayaan
Kita berkeyakinan daya hidup umat Katolik terletak pada basisnya (KBG) dan pembaruan gereja harus berasal dari basis. Gereja tidak dapat menjalankan misi pelayanannya tanpa bersifat setempat.
Gereja hanya menjadi gereja bila berkomunikasi secara inkarnatoris atau mendarah daging dalam suatu bangsa dan kebudayaannya dalam konteks kemanusiaannya.
Pola komunikasi inkarnatoris ini dapat membebaskan manusia dalam konteks hidupnya antara lain kemiskinan.
Semangat dasar yang mendorong dan mendasari kegiatan Gereja dalam pewartaan adalah Inkarnasi yakni sabda menjadi daging dalam mana Allah yang menjelma menjadi manusia. Allah telah mewahyukan diri-Nya di dalam diri Yesus Kristus.
Ia adalah Allah yang memberi diri kepada manusia dan berbicara serta berhubungan dengan manusia dalam konteks kemanusiaannya. Yohanes penginjil menulis “Pada awal mula adalah sabda, dan sabda adalah Allah” (Yoh.1,1 dan 14).
Selama Ia ada di antara kita di dunia, Ia telah mewahyukan diri sebagai komunikator. Ia telah menyampaikan pesan Ilahi dengan kata-kata dan dengan tindakan hidupNya.
Dengan keyakinan tersebut maka komunitas basis muncul dari bawah, pola komunikasinya pun bertolak dari akar rumput, dialogis diskursus, bukan dari aparatus hirarkis semata yang monologis feodalistis.
Hal ini menjadi satu hal yang sangat bertentangan dengan struktur hierarki Gereja katolik yang sangat sentralistik dengan pola komunikasi top down. Setiap keputusan dan tindakan yang dilakukan Gereja Katolik berasal dari atas (pusat).
Organisasi yang memiliki tingkat sentralisasi paling tinggi adalah Gereja Katolik.
Keputusan di tingkat paling bawah tidak boleh terlepas dari keputusan Paus di Roma, hal ini berlaku untuk seluruh penganut agama Katolik yang berpusat di Roma.
Kita berkeinginan mengembangkan komunitas basis dengan pola komunikasi yang dialogis, tetapi kesulitan utama yang kita hadapi saat ini adalah tidak adanya pemahaman atau definisi baku mengenai komunitas basis dengan pola komunikasi yang menyertainya.
Sering nampak komunikasi aparatus gereja bersifat monologis feodalistis. Kita saksikan komunikasi atau propaganda pemerintah dan kaum pengusaha memperlakukan manusia sebagai komoditi, mendominasi, menindas, mengeksploitasi.
Lalu dikokohkan oleh tema komunikasi iman dalam khotbah yang bernada menggurui (moralistis). Juga khotbah yang coba meyakinkan orang kecil bahwa mereka miskin karena kesalahannya sendiri, karena kurang pendidikan, keterampilan dan berinisiatif, karena budaya asli mereka ketinggalan.
Atau menurut kitab suci karena patah semangat, pasrah, tunduk pada takdir adalah sikap-sikap kafir.
Pesan Komunikasi Pemberdayaan
Dalam konteks NTT kita perlu komunikasi pemberdayaan dengan pesan mendasar yang membangun dan membebaskan masyarakat NTT dari kemiskinan dan ketertindasan antara lain sebagai berikut.
Pertama, perdagangan manusia (Human Trafficking). Manusia dieksploitasi secara ekonomis, ditindas secara struktural dan dimarginalkan secara sosial, atau manusia bukan lagi dipandang sebagai pribadi yang memiliki hak dan martabat.
Pesan komunikasi pemberdayaan yang dibangun bahwa manusia semartabat dengan Allah, segambar dengan Allah.
Kedua, kekerasan terhadap perempuan dan anak. Terjadi pelbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Pesan komunikasi pemberdayaan yang mau ditanamkan ialah manusia entah anak, dewasa entah laki-laki dan perempuan diciptakan seturut gambaran Allah. Keunikan prempuan harus dihargai.
Ketiga, konflik sekitar tanah. Ada perang tanding antarkampung dalam perebutan tanah. Tanah dimiliki ketua suku, warga lain hanya penggarap.
Adanya penguasaan tanah secara legal oleh penguasa dan pemodal namun tak adil. Perangkat kultural kehilangan orientasi atas tanah. Masyarakat agraris nyaris tak punya tanah. Minim sumber daya alam.
Pesan komunikasi pemberdayaan dalam situasi ini ialah tanah adalah anugerah Tuhan, sumber hidup untuk semua manusia, perlu dimiliki secara adil dan dihormati.
Keempat, gereja dan kekuasaan. Banyak pemimpin menyalahgunakan kekuasaan. Terdapat korupsi dan indikasi KKN dalam pemerintahan, dana pembangunan untuk rakyat dimakan penguasa.
Pesan komunikasi pemberdayaan yang dibangun: kekuasaan yang ada adalah pemberian Tuhan demi kesejahteraan umum.
Kelima, pengungsi-perantau-pergi melarat. Migrasi tenaga-tenaga terdidik ke luar wilayah (ke Jawa dll). Pengungsi-perantau berada dalam situasi keterasingan, orang melarat, miskin, sulit mengatur hidup dan tidak aman.
Pesan komunikasi pemberdayaan: perhatian dan pelayanan perlu diberikan, mereka adalah saudara-sauadari kita dalam kesulitan.
Kalau ada yang sudah pintar dan maju punya kapital material-sosial-politik jangan lupa solidaritas dengan kampung halaman, seperti Yesus kembali ke Nasaret dan berkembang dengan suburnya. Atau contohi orang Minang punya gerakan Seribu Minang?
Keenam, iman dan kebudayaan. Kebudayaan dianggap kafir, kuno, mau dilepaskan. Pesan komunikasi pemberdayaan yang dibangun: Sabda telah menjadi manusia dan tinggal di antara kita, bumi dan budaya adalah kekayaan untuk bertemu Tuhan.
Ketujuh, iman dan ekonomi (koperasi). Gereja Katolik tetap terlibat dalam perjuangan berkoperasi dengan mendirikan koperasi dan gerakan sosial-ekonomi sebagai bentuk solidaritas terhadap kemiskinan masyarakat/umat.
Terbukti koperasi telah membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi kemiskinan. Pesan komunikasi pemberdayaan yang dibangun adalah solidaritas, "kamu harus memberi mereka makan. Kumpulkan yang ada padamu.”
Kedelapan, Gereja dan lingkungan hidup. Gereja Katolik mengajak umat Katolik peduli terhadap lingkungan hidup.
Pesan komunikasi pemberdayaan yang dibangun: Lingkungan hidup adalah amanah Tuhan yang harus dipelihara manusia. Semua ciptaan berharga dan cerminan keagungan Allah.
Gereja perlu mengkomunikasikan pentingnya kelestarian dan pengelolaan lingkungan hidup.
Atas cara tertentu Uskup Turang telah berusaha membangun pesan pemberdayaan masyarakat lewat pelayanan pastoralnya. Mendiang telah bersaksi membangun gereja yang solider dengan yang kecil, miskin.
Terima kasih berlimpah Bapak Uskup Petrus Turang. Perkataanmu telah menggerakkan dan teladan hidupmu telah memikat kami.
Selamat jalan sang gembala pemberdayaan ke rumah Bapa, tak ada lagi kemiskinan yang menghantuimu. (*)
Sumber: Pos Kupang