Dikasihi maka Dipilih, Kenangan Atas Sri Paus Fransiskus

Paus Fransiskus di Jakarta 2024

Oleh: RD. L  eo Mali

Rohaniwan dan Dosen Filsafat pada Fakultas Filsafat Unwira Kupang

Pada pagi yang tenang, 21 April 2025, pukul 07.35 waktu Roma, lonceng lonceng Vatikan berdentang dalam hening yang menggema ke seluruh penjuru dunia. 

Kabar duka datang: Kardinal Joseph Kevin Farrell, Camerlengo Takhta Suci, mengumumkan, "Il Vescovo di Roma è tornato alla casa del Padre." Uskup Roma, Paus Fransiskus, telah kembali ke rumah Bapa. 

Sejenak dunia berhenti, dan hati saya — seorang imam kecil yang pernah mengenyam pengalaman studi di Roma — terdiam, terangkat dalam doa yang perlahan berubah menjadi kenangan. 

Selama berada di Roma, saya pernah bertemu beliau dua kali dalam audiensi Natal, pada Desember 2018 dan 2019. 

Namun, bukan pertemuan-pertemuan itu yang terpatri paling kuat dalam hati saya meski banyak hal yang bisa diceritakan. 

Namun hal yang ingin saya tulis di sini adalah justru sebuah pertemuan yang tak pernah terjadi. Anehnya, justru peristiwa itulah yang paling mendalam, membentuk ikatan batin yang lebih kuat, lebih spiritual.

Kisah ini bermula dari satu devosi yang sederhana namun penuh makna: “Maria yang Mengurai Simpul Kehidupan” — Madonna che scioglie i nodi. 

Devosi ini dikenal Paus Fransiskus, saat itu masih seorang Pastor Bergoglio, ketika menjalani studi di Jerman tahun 1986. 

Di sebuah gereja kecil di Augsburg, ia menemukan lukisan karya Johann Georg Melchior Schmidtner dari abad ke-18: Maria sedang mengurai pita yang kusut, dibantu dua malaikat. Ia terdiam di hadapan lukisan itu. 

Bagi Bergoglio, Maria dalam lukisan itu bukan sekadar simbol. Ia adalah Ibu yang sabar, lemah lembut, yang mengurai kerumitan hidup umat manusia, simpul demi simpul, tanpa keluh, tanpa henti. 

Sepulang ke Argentina, devosi ini diperkenalkannya kepada umat, dan perlahan berkembang menjadi salah satu devosi paling dicintai di Amerika Latin. 

Namun, devosi ini tidak hanya berkembang karena pewartaan, tetapi karena ia sendiri pernah terjerat simpul-simpul kehidupan. 

Studi doktoralnya di Frankfurt tidak selesai, mungkin karena kendala bahasa, tekanan pastoral, atau ketidakcocokan dengan pendekatan akademik Jerman. 

Pengalaman itu menjadi luka batin. Tapi justru dari luka itulah ia tumbuh  dan berkembang.

Tahun 1990-1992, ia mengalami masa yang oleh banyak orang disebut sebagai “pengasingan spiritual”. Ia dikirim ke Córdoba, jauh dari pusat kekuasaan Gereja, tanpa jabatan, tanpa peran publik. 

Ia hidup dalam kesunyian: menjadi pembimbing rohani, mendengar pengakuan dosa, membaca, dan menulis. 

Dua tahun itu menjadi masa discernment, pembedaan roh. Dalam keheningan dan kerapuhan, ia belajar mendengar suara Roh Kudus yang halus tapi pasti. 

Di sanalah ia belajar bahwa Allah berkarya bukan hanya dalam kemenangan dan pencapaian, tetapi juga dalam kegagalan, kejatuhan, dan luka-luka yang dihayati dalam kepercayaan. 

Kelemahan-kelemahan manusia adalah jalan untuk mengenal belas kasih dan kerahiman Allah. 

Itulah titik di mana harapan tumbuh. Motto kepausannya, Miserando atque eligendo— “Ia dikasihi, maka dipilih” — tidak dapat dipisahkan dari pengalaman-pengalaman seperti ini. 

Bagi Paus Fransiskus, belas kasih bukanlah konsep atau retorika. Ia adalah jalan hidup.  Dan Maria, dalam devosi yang ia cintai, adalah Ibu yang setia berjalan bersama manusia, bahkan dalam kesendirian dan kekusutan hidup mereka.

Pada tahun 2021 hingga 2023, saya mengalami masa-masa yang berat selama studi di Roma, terutama dalam pengerjaan disertasi pasca-pandemi. 

Dalam kelelahan dan keraguan dan hampir putus asa, saya teringat pada kisah Pastor Bergoglio muda di Jerman dengan problemnya dan devosi kepada Maria yang mengurai simpul kehidupan. 

Dengan mendengarkan dorongan hati, saya menulis surat kepada Paus Fransiskus pada 17 Februari 2023 — curahan hati, permohonan doa, dan pengakuan atas beban batin yang sedang saya tanggung sebagai seorang pastor student. 

Tak lama kemudian, pada 15 Mei 2023, saya menerima jawabannya. Singkat tapi lembut dan penuh kehangatan. 

Tidak ada kalimat panjang. Tapi cukup untuk membuat air mata saya menetes. Ia, Sri Paus yang agung itu, meluangkan waktu menjawab surat seorang mahasiswa biasa. 

Dalam kata-katanya, saya merasakan pemahaman yang tidak lahir dari buku atau teori, melainkan dari luka yang disucikan dan dijalani dalam doa. 

Saya tahu, dia sungguh mengerti. Sebuah pengertian yang lahir dari pengalamannya sendiri.

Tapi sebelum saya menerima surat jawaban beliau, beberapa hari setelah saya kirim surat melalui seorang kawan imam, tepatnya 25 Februari 2023, saya terpilih menjadi salah satu dari enam mahasiswa yang pertanyaannya akan dijawab langsung oleh Paus dalam sebuah audiensi khusus di Vatikan.

Namun, malam sebelumnya saya terjaga hingga dini hari, menyelesaikan bagian disertasi yang harus dikirim pagi harinya. Kelelahan membuat saya tertidur dan melewatkan kesempatan berharga itu.

Ketika terbangun, telepon saya dipenuhi pesan dari rekan-rekan imam Indonesia: “Romo, di mana? Namamu dipanggil berkali-kali.” 

Awalnya ada rasa sesal, tentu. Tapi kemudian saya tahu bahwa pertemuan sesungguhnya terjadi melalui suratnya, dalam devosinya, dalam hidupnya. 

Saya tahu apa pertanyaan saya. Dan saya tahu pula bahwa jawabannya telah ia beri: dalam caranya menghidupi cinta yang penuh belas kasih, dalam ketekunannya berjalan bersama mereka yang hidupnya terjerat simpul, dan dalam keyakinannya bahwa Maria akan selalu hadir, sabar mengurai keruwetan masalah hidup kita.

Paus Fransiskus pernah berkata bahwa Maria adalah ibu yang tidak meninggalkan kita di tengah malam kehidupan. 

Karena itu, ketika ajal menjemput, ia meminta untuk dimakamkan di Basilika Santa Maria Maggiore —tempat yang ia selalu ia kunjungi sebelum dan sesudah setiap perjalanan apostoliknya. 

Di sana, ia menyerahkan seluruh hidupnya kepada Ibu yang senantiasa mengurai benang kusut kehidupan kita dan menenun kembali simpul-simpul yang tercerai. 

Saya merasa bersyukur bisa mengenalnya, meski hanya sejenak, dari kejauhan, melalui kata dan doa. 

Ia adalah imam, gembala, murid Maria, yang menunjukkan bahwa kesucian hati tumbuh dalam keheningan, dalam luka yang dipeluk dengan iman, dalam doa yang tak terdengar tapi penuh kasih dan harapan. 

Selamat jalan, Bapa Suci. Dari dalam simpul-simpul hidup kami yang belum terurai, kami tahu engkau kini mendoakan kami — bersama Maria, Ibu yang lembut, yang tidak pernah lelah membantu kami menemukan kembali makna dari pengharapan dan cinta. (*)

Sumber: Pos Kupang

Warisan Paus Fransiskus Tak Pernah Mati



Paus Fransiskus di Jakarta 2024

Oleh: Gabriel Ola

Umat Katolik,  tinggal di Keuskupan Maumere

POS-KUPANG.COM - Kabut duka menyelimuti Vatikan. Ar mata berderai menetes di setiap kelopak mata umat Katolik sejagat. 

Dunia menangis ketika mendengar pemimpim umat Katolik  Paus Fransiskus meninggal pada Senin, 21 April 2025 di Vatikan. Lonceng berdentang di Basilika St. Petrus sebagai penanda telah berpulangnya sang pemimpin.

Gema lonceng membahana ke seluruh telinga, menembus sukma insan. Terdengar oleh semua suku,agama, golongan, ras dan bangsa; kerena ia bukan sekadar gembala Katolik. Dia  adalah imam dunia. Ia adalah penabur dan pemerkokoh nilai-nilai kemanusiaan universal.

Untuk mengenang kepergiannya (17 Desember 1936-21  April 2025) sepantasnya kita melihat dan mengenang kembali pemikiran (nilai) yang diwariskannya teritimewa tentang pentingnya merawat bumi yang telah dirumuskan dalam ensiklik Laudato Si. 

Bumi adalah ibu; menggambarkan bumi sebagai sumber kehidupan dan tempat yang memelihara semua makhluk hidup. 

Oleh kerena itu kita perlu merawat dan menjaga keseimbangan, kelestarian demi kepentingan generasi mendatang.

Tentang merawat bumi adalah ibu menjadi tanggung jawab bersama seluruh umat manusia dan diletakan dalam sebuah kesadaran bahwa merupakan panggilan kolektif  dan sebagai perwujudan iman tentang mencintai ciptaan Tuhan.

Bagi Jorge Mario Bergoglio, nama asli Paus Fransiskus,  dalam buku Laudato Si,  bumi saat ini sedang terluka akibat dari ulah kaum kapitalis yang mengeruk demi kepentingan penguasaan ekonomi. 

Keprihatinan Paus Fransiskus diungkapkan melalui ensiklik Laudato Si. Ia mengkritik kapitalisme sebagai, “penyembahan terhadap pasar dan mengejar keuntungan di atas segalanya dapat mengakibatkan pengabaian akan martabat manusia dan lingkungannya”.

Beliau menegaskan bahwa  “pasar sendiri tidak  dapat menjamin pembangunan manusia yang inklusif dan berkelanjutan (LS.109). Paus Fransiskus juga menegaskan bahwa kapitalisme sebagai bentuk “kolonialisme baru.”

Pandangan ini menunjukkan bahwa penguasaan terhadap sumber daya alam oleh kaum kapitalis  telah memarjinalkan kaum miskin yang tidak memiliki daya akses terhadap persaingan ekonomi yang begitu pesat dan kuat dari kaum kapitalis. 

Menghadapi situasi ini Paus Fransiskus menyuarakan dengan lantang “dampak dari pelanggaran terhadap lingkungan hidup terutama dirasakan oleh kaum miskin paling rentan,  mereka tidak memiliki sumber daya untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim atau untuk menghadapi bencana alam yang sring terjadi (LS.25).

Manusia, teristimewa kaum kapitalis, saat ini cendrung melihat bumi dan isinya merupakan sumber daya yang mesti dikelola umtuk menguatkan daya ekonomi mereka. 

Mereka saling berlomba uutuk penguasaan terhadap berbagai kekayaaan yang ada dalam perut bumi dengan tidak memperhatikan keseimbangan ekosistim lingkungan. 

Mereka mengabaikan keutuhan ciptaan Tuhan. Mereka lupa bahwa bumi diciptakan oleh Tuhan untuk kepentingan umat manusia  secara keseluruhan bukan untuk kepentingan sekelompok orang (kaum kapitalis) apalagi penguasaan secara sepihak dengan merusak alam, dan merusak alam merupakan dosa terhadap Tuhan dan terhadap alam dan sesama. 

Saai ini umat manusia sedang mengalami degradasi kesadaran ekologis. Oleh karena itu Paus Fransiskus menyerukan perlunya pertobatan ekologis.

Sebuah pertobatan agar adanya perubahan mendalam dalam cara manusia memandang, berinteraksi dan berperilaku dengan alam. 

Pertobatan ekologis juga mencakup perubahan gaya hidup ekonomi, dan politik untuk menciptakan dunia yang lebih berkelanjutan. 

Pertobatan ekologis menurut Laudato Si merupakan panggilan untuk menjadi warga dunia yang bertanggungjawab, peduli dan mencintai alam sebagai rumah bersama.

Semangat Laudato Si yang digaungkan oleh Paus Fransiskus seperti yang diuraikan di atas mestinya dibumikan dalam konteks lokal agar nilai yang telah diwariskan tidak mati ditelan bumi tapi mesti dihidupi. 

Dalam konteks lokal kita menyaksikan berbagai kondisi riil yang menjadi perdebatan hangat terkait  rencana pengelolaan Geothermal di daratan Flores yang berpotensi terciptanya ketidakseimbangan ekosistem lingkungan. 

Situasi ini telah memicu sekelompok masyarakat menolak rencana pengelolaan geothermal. 

Tidak hanya  sekelompok masyarakat,  sejumlah uskup yakni Uskup Agung Ende, Uskup Maumere, Uskup Larantuka, Uskup Denpasar, Uskup Manggarai  dan Uskup Labuan Bajo memberikan reaksi penolakan terdadap rencana pengelolaan geothermal di Flores. 

Sikap gereja menunjukkan keberpihakan terhadap kaum yang terdampak dari proyek geothermal. 

Sikap para uskup mencerminkan perlunya menjaga keseimbangan ekosistem lingkungan sehingga bumi Flores tidak menjadi tempat yang membahayakan bagi umat dan masyarakat. 

Sikap para uskup juga menjadi sebuah awasan gara para pihak yang berkepentingan  semakin bijaksana dalam mengambil  keputusan sehingga bumi Flores yang penuh kedamaian, ketenangan, bumi yang sejuk, ramah tetap terpelihara.

Kita patut beri apresiasi kepada para uskup yang telah mengambil Langkah konkret untuk menjaga bumi seperti yang diamanatkan  dalam Laudato Si. 

Karena itu Paus Fransiskus telah meninggalkan kita semua tapi nilai yang diwariskan mari kita hidupi. Warisannya tak pernah mati.

Paus mengatakan “Agama harus berhenti hanya membicarakan surga.” Katanya “jika ia membiarkan bumi menjadi neraka bagi generasi mendatang”.

Bagi Sri Paus, bumi adalah bagian dari tubuh spiritual manusia, bumi adalah tubuh bersama (our common home). 

Karena itu menjadi panggilan suci nuntuk semua umat manusia untuk secara kolektif mari kita merawat bumi kita, bumi adalah ibu kita. 

Laudato Si mengingatkan kita bahwa manusia bukan menguasai bumi, tapi bumi adalah saudara tua dari ciptaan lainnya.

Maka peran kita bukan menaklkukan tapi memelihara dan bukan mengambil tanpa batas. 

Sekali lagi peran gereja sangat sentral dalam mengajak umat dan masyarakat untuk memelihara lingkungan. 

Karena itu Bapak Uskup Maumere dalam Surat Gembala   dengan tema Pertobatan Ekologis telah mengajak umat keuskupan Maumere untuk merawat bumi.

Berpulangnya Paus Fransiskus meninggalkan kenangan bagi masyarakat Indonesia. 

Kunjungan kenegaraan dan pastoral ke Indonesia pada  tanggal 3 – 6 September 2025 adalah kunjungan kemanusiaan dengan misi menebar nilai cintah kasih antar sesama dan memperkokoh toleransi antarumat beragama dalam sebuah negara yang sangat majemuk. 

Kunjungan ini juga memberi pesan keteladanan dalan hidup sederhana, kerena ia tak sungkan menyapa umat, masyarakat yang dijumpai dengan keramahannya.

Dia  mengasihi tanpa batas, mengasihi dalam perbedaan. Ia datang untuk meneguhkan kembali serpihan toleransi. 

Baginya mencintai apalagi mencintai yang lemah dan papa adalah nilai universal. 

Ia menanamkan cinta yang utuh yakni cinta terhadap Tuhan, cinta terhadap sesama dan cinta kepada alam ciptaan-Nya. “Kita tak bisa mencintai Pencipta sambil terus menyakiti Ciptaan-Nya”.

Paus Fransiskus engkau adalah pemimpin umat Katolik dan dunia. Jasadmu telah bersatu dengan bumi tapi nilai yang telah engkau wariskan kepada umat dan dunia tentang merawat bumi serta keserderhanaan dan cinta melampaui batas  adalah nilai yang tak akan pernah mati. 

Kami akan mewariskannya. (*)

Sumber: Pos Kupang

Legasi Paus Fransiskus bagi Kelestarian Ekologis


Paus Fransiskus di Jakarta 2024

Oleh: Patrix Wea

Pegawai pada Kanwil Kementerian Agama NTT

POS-KUPANG.COM - Ensiklik Laudato Si (2015) dari Paus Fransiskus telah menjadi tonggak penting dalam perjuangan global untuk kelestarian ekologis. 

Dengan judul "Tentang Merawat Rumah Bersama Kita," dokumen ini menekankan bahwa perubahan iklim dan kerusakan lingkungan adalah masalah moral yang memerlukan tindakan konkret dari seluruh umat manusia.

Kerusakan lingkungan dalam lima tahun terakhir menunjukkan bahwa masalah lingkungan telah mencapai tingkat yang sangat serius. 

Deforestasi terus menjadi bentuk pencemaran lahan yang sangat merusak, dengan luasan besar tutupan pohon yang dibabat setiap tahun untuk tujuan pertanian demi memenuhi permintaan komoditas yang terus meningkat. 

Pencemaran lingkungan melalui sampah plastik juga  semakin serius, dengan sekitar 150 juta ton sampah plastik yang terakumulasi di lautan dan sungai dunia pada tahun 2020. Diperkiran sampah plastik tersebut akan berlipat ganda pada tahun 2040. 

Di Indonesia, berdasarkan laporan Greenpeace Asia Tenggara, antara tahun 2015-2019, sekitar 4,4 juta hektar lahan telah terbakar di Indonesia, yang setara dengan 8 kali luas Pulau Bali.

Pada tahun 2019, kebakaran hutan tahunan terburuk sejak 2015 membakar 1,6 juta hektar hutan dan lahan. 

Selain itu, 30 persen dari area kebakaran berada di konsesi kelapa sawit dan bubur kertas. Kerusakan lingkungan ini tidak hanya mengancam kehidupan manusia, tetapi juga mengancam satwa liar asli Indonesia yang terancam punah.

Data Forest Watch Indonesia juga mencatat antara 2017 hingga 2021, Indonesia kehilangan 2,54 juta hektare hutan per tahun—setara dengan enam lapangan sepak bola hilang setiap menit. 

Ini bukan sekadar angka, tetapi alarm dari jantung bumi. Kita sedang kehilangan warisan kehidupan.

Dalam konteks lebih sempit, di kota Kupang, masalah utama yang dihadapi saat ini adalah masalah sampah. 

Berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Kupang tahun 2022, sampah di Kota Kupang mencapai 86 ton sampah per hari sementara tahun 2021 mencapai 218,98 ton per hari.

Laudato Si

Dalam Laudato Si, Paus Fransiskus menjelaskan bahwa lingkungan adalah karya Tuhan yang harus kita hargai dan jaga. 

Ia menekankan bahwa kita memiliki kewajiban moral untuk merawat bumi ini, tidak hanya untuk kesejahteraan kita sendiri, tetapi juga untuk generasi mendatang.

Lingkungan adalah sumber kehidupan dan kesehatan bagi semua makhluk hidup, dan kerusakan lingkungan dapat berdampak buruk pada kesejahteraan manusia dan keanekaragaman hayati.

Paus Fransiskus menjelaskan, lingkungan adalah karya Tuhan yang harus kita hargai dan jaga. 

Ia menekankan bahwa kita memiliki kewajiban moral untuk merawat bumi ini, tidak hanya untuk kesejahteraan kita sendiri, tetapi untuk generasi mendatang. 

Lingkungan adalah sumber kehidupan dan kesehatan bagi semua makhluk hidup, dan kerusakan lingkungan dapat berdampak buruk pada kesejahteraan manusia dan keanekaragaman hayati.

Paus melihat beberapa masalah lingkungan yang sangat mendesak, antara lain perubahan iklim, pencemaran dan sampah, serta kehilangan keanekaragaman hayati. 

Paus Fransiskus mengakui perubahan iklim adalah fenomena nyata yang terutama disebabkan aktivitas manusia. 

Ia menekankan bahwa perubahan iklim dapat menyebabkan berbagai masalah, seperti peningkatan suhu global, peningkatan permukaan laut, dan peningkatan bencana alam.

Pencemaran lingkungan dan masalah sampah menurutnya lahir dari tingginya budaya konsumsi dan rendahnya kesadaran ekologis. Pembuangan sampah plastik telah menciptakan lingkungan yang semakin tercemar. 

Pencemaran udara, air, dan tanah telah mencapai tingkat yang sangat merusak. 

Terkait krisis keanekaragaman hayati, Paus Fransiskus menunjukkan bahwa keanekaragaman hayati di bumi telah terancam karena deforestasi, perburuan liar, dan perubahan habitat. Ia menekankan bahwa keanekaragaman hayati adalah bagian penting dari keseimbangan ekologis.

Laudato Si menawarkan beberapa solusi dan tindakan konkret untuk mengatasi masalah lingkungan, antara lain melalui Kebijakan dan Regulasi, Pendidikan dan kampanye kesadaran ekologis serta  tindakan individu.

Paus Fransiskus menyerukan perlunya kebijakan pemerintah yang tegas dan terorganisir untuk menjatuhkan sanksi terhadap pelanggaran lingkungan. 

Ia menekankan bahwa pemerintah memiliki peran penting dalam mengatur industri dan mempromosikan kegiatan yang ramah lingkungan. Paus juga menekankan pentingnya pendidikan dan kesadaran lingkungan. 

Ia mengajak sekolah, universitas, dan lembaga pendidikan lainnya mengintegrasikan isu lingkungan dalam kurikulum mereka.

Kedua hal tersebut pada akhirnya berujung pada tindakan individu. Paus Fransiskus mengajak setiap individu mengambil tindakan konkret dalam kehidupan sehari-hari. 

Setiap orang dapat berkontribusi nyata dalam menciptakan dan menjaga kelestarian ekologis dengan mengurangi penggunaan plastik dan mendukung produk-produk ramah lingkungan.

Bagaimana dengan kita? Pemerintah Indonesia telah memiliki kesadaran terkait krisis ekologis, antara lain dengan lahirnya Undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan dan Undang-undang No. 18 tahun 2008 tentang pengelolaan sampah. 

Undang-undang No. 41 tahun 1999 antara lain menyebutkan pengelolaan hutan harus dilakukan dengan kegiatan-kegiatan seperti tata hutan, penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan, rehabilitasi dan reklamasi hutan, serta perlindungan hutan dan konservasi alam. 

Sementara Undang-undang No. 18 tahun 2008 menegaskan antara lain tentang pengelolaan sampah yang perlu dilakukan secara komprehensif, yang meliputi tindakan pengurangan sampah dan penanganan sampah. 

Peraturan-peraturan tentu bagus bila dapat diimplementasikan. Sayangnya aturan-aturan turunannya, terutama dalam bentuk Perda/Perbup/Perwali, sepertinya  belum cukup dan tidak bersifat komprehensif. 

Sebagai misal masalah sampah saja. Solusi yang diberikan oleh pemerintah sampai hari ini sepertinya solusi palsu yang hanya memindahkan sampah dari satu lokasi ke lokasi lain. 

Kegiatan bersih-bersih kota tentu baik dan harus terus ada baik oleh masyarakat maupun instansi pemerintah. Namun kegiatan bersih-bersih  seperti itu saja tidak cukup untuk menangani permasalahan sampah tersebut. 

Wacana wali kota Kota Kupang yang baru  menelurkan regulasi yang bersifat koersif dengan memberikan sanksi bagi pembuang sampah sembarangan tentu menjadi salah satu solusi yang patut kita apresiasi dan dukung.

Hal penting kedua yang menjadi catatan kita adalah perlunya kampanye masif untuk menumbuhkan kesadaran ekologis. 

Sebagaimana dikatakan Paus di atas, sekolah, universitas, dan Lembaga pendidikan lainnya perlu  integrasikan isu lingkungan dalam kurikulum mereka. Hal ini penting untuk menumbuhkan kesadaran ekologis sejak dini. Kita akui bahwa hal ini belum menjadi perhatian. 

Pendidikan dan kurikulum di Indonesia saat ini sepertinya belum berkiblat untuk menumbuhkan kesadaran ekologis peserta didik.

Kampanye masif juga dapat dilakukan melalui gerakan-gerakan yang diinisiasi oleh pemerintah dan LSM, antara lain seperti yang dicanangkan oleh Kementerian Agama RI melalui Gerakan Nasional Penanaman Satu Juta Pohon Matoa, pada peringatan Hari Bumi, 22 April 2025. 

Regulasi dan kampanye kesadaran ekologis tersebut ujung-ujungnya mesti menumbuhkan kesadaran ekologis dan tindakan individu pada masyarakat kita. 

Selama belum ada kesadaran dan Tindakan individu dan komunal, maka selama itu krisis ekologis akan terus menjadi pekerjaan rumah yang tidak habis-habisnya, sampai ketika semuanya sudah terlambat dan bumi tidak lagi menjadi tempat diam yang nyaman.

Paus Fransiskus dalam Laudato Si mengingatkan kita bahwa lingkungan adalah karya Tuhan yang tak ternilai dan harus kita hargai serta jaga dengan penuh tanggung jawab. 

Ia menekankan bahwa kita memiliki kewajiban moral yang tak terbantahkan untuk merawat bumi ini, bukan hanya untuk kesejahteraan kita sendiri, tetapi lebih dari itu, untuk generasi mendatang yang akan mewarisi dunia ini. 

Seperti dikatakannya, "Kita tidak mewarisi bumi dari nenek moyang kita. Kita meminjamnya dari anak cucu kita." Kebijaksanaan ekologisnya ini mengingatkan kita bahwa setiap tindakan hari ini akan menentukan masa depan bagi mereka yang belum lahir. 

Kebijakan yang tegas, pendidikan dan kampanye ekologis yang komprehensif, dan tindakan individu yang nyata, kiranya menjadi legasi Paus Fransiskus kita untuk dapat mulai memperbaiki kerusakan yang telah terjadi dan menciptakan dunia yang lebih baik. 

Buon viaggio Papa Francesco! (*)

Sumber: Pos Kupang


Fransiskus: Sang Gembala dengan Bau Domba


Paus Fransiskus 

Oleh: AS Laksana

Pada malam 13 Maret 2013, ketika ia pertama kali muncul di balkon Basilika Santo Petrus, Vatikan, setelah terpilih sebagai Uskup Roma ke-266, Jorge Mario Bergoglio tidak mengangkat tangannya untuk memberkati. 

Ia berkata “Buona sera”—selamat malam—dan membungkuk, meminta orang-orang memberkatinya. Gestur itu sederhana dan memukau. Malam itu, orang menyaksikan kepausan yang tidak menampilkan keagungan, tetapi kerendahan hati.

Ia menolak salib emas dan memilih salib logam biasa di dadanya, menolak mantel merah dan memilih jubah putih, dan memilih nama Fransiskus, nama santo yang hidup bersama kaum miskin, menolak kekuasaan, dan mencintai ciptaan. 

Ia lebih suka menyebut dirinya Uskup Roma, untuk menjadikan posisinya setara dengan semua uskup di tempat-tempat lain, ketimbang Pontif atau Vikaris Kristus atau gembala tertinggi. 

Dalam hitungan jam, dunia menyadari bahwa ia akan menjadi paus yang sangat berbeda.

Dan memang begitu. Selama 12 tahun masa kepausannya, Paus Fransiskus berusaha menata ulang sirkuit moral Gereja Katolik, mengarahkannya dari kekuasaan dan kemurnian ajaran menuju belas kasih dan kedekatan, dan itu tidak mudah. 

Kepausannya kerap terhambat oleh inersia Vatikan dan perlawanan internal. Namun ia berhasil, setidaknya sebagian, dalam upayanya mengembalikan “bahasa Injil”—bahasa yang digunakan oleh Yesus terhadap kaum jelata—ke pusat Gereja Roma. Ia tidak mereformasi doktrin; ia mengubah nada bicara.

Di Buenos Aires, sebelum menjadi paus, Uskup Agung Bergoglio kerap terlihat di Jalur E metro, mengenakan pakaian hitam rohaniwan, tak dikenali oleh sebagian besar penumpang. 

Suatu ketika, ia duduk di dekat pintu dan seorang perempuan di sampingnya bertanya, “Padrecito, maukah anda mendengarkan pengakuan dosa saya?” Ia mengangguk. 

Di hari lain, seorang pria mencurahkan daftar dosa yang begitu panjang hingga ia harus menghentikan orang itu: “Bueno, saya turun dua halte lagi.”

Mengenai hal itu, ia berpegang pada keyakinan bahwa para imam harus “berbau seperti domba mereka”. Mereka harus benar-benar mengenal kehidupan orang-orang yang mereka layani. 

Ia akrab dengan jalanan berlumpur dan perkampungan kumuh, tempat di mana negara nyaris tak hadir dan Gereja hampir tak terlihat, dan singgah di sana untuk memberkati anak-anak, ikut dalam prosesi, berbicara dengan para migran, pecandu, dan ibu dari orang-orang hilang. Mereka memanggilnya Padre Jorge. 

Ia pernah menemui gadis kecil yang menyaksikan kengerian yang tak seharusnya dilihat oleh anak mana pun. 

Gadis kecil itu, yang diadopsi dari perkampungan kumuh, menggambar adegan-adegan mengerikan di rumah, yang kemudian terungkap di dalam terapi bahwa ia telah menyaksikan aborsi. Ia melihat janin dilempar ke anjing untuk dimakan. 

Orang tua angkatnya terpukul. Padre Jorge tidak. Ia akrab dengan dunia itu dan akrab dengan segala jenis kekerasannya. 

Pada 2009, ketika salah satu imamnya, Pastor Pepe Di Paola, secara terbuka menentang perdagangan narkoba di kawasan kumuh Buenos Aires, Bergoglio, sang uskup agung, memindahkan Padre Pepe ke paroki lain di utara kota ketika ancaman dari para bandar semakin menakutkan. 

Kepadanya Bergoglio mengatakan: “Aku lebih memilih mereka membunuhku daripada salah satu dari kalian.”

Ketika seorang imam jatuh cinta dan mengatakan kepadanya ingin keluar dari imamat, ia mempersilakannya, dengan nasihat jangan buru-buru punya anak. Dua tahun kemudian, ketika hubungannya kandas, sang imam kembali dan memohon diterima lagi. 

Bergoglio mengizinkannya, tapi ia harus lebih dulu menjalani lima tahun selibat sebagai warga biasa. Kini, pria itu, menurut para imam setempat, adalah salah satu yang paling dihormati di kota.

Fransiskus memimpin dengan cara merangkul dan mendengarkan, dan ia tak suka pada kekakuan birokratis—pada para rohaniwan yang menghalangi sakramen dengan peraturan dingin dan pemungutan biaya. 

Orang-orang miskin, katanya, hidup demi bertahan hidup, bukan untuk lulus ujian moral. Ia ingin gereja hadir bukan untuk mengontrol orang, melainkan menemani mereka.

“Saya ingin Gereja menjadi miskin dan dekat dengan orang-orang miskin,” katanya. Itu membuat orang-orang di Kuria Roma, “kabinet” dalam sistem kepausan, resah. 

Sejak awal masa jabatannya, Fransiskus menghadapi berbagai kecurigaan dan bahkan perlawanan aktif. Kardinal-kardinal berpengaruh melobi dan menentang reformasinya dan menyebarkan keraguan tentang ortodoksi teologinya. 

Fransiskus, seorang Jesuit yang menempa dirinya di daerah-daerah kumuh, tahu cara menghadapi urusan semacam itu: ia memilih diam, atau membuat khotbah yang tajam meskipun nadanya tetap lembut. 

Ia mengkritik “kaum Farisi modern,” sebutannya untuk mereka yang lebih peduli pada aturan daripada kasih. Ia mengecam “Alzheimer spiritual” yang menimpa mereka yang melupakan sukacita Injil. 

Tetapi pada dasarnya ia seorang humoris. Ia sering bercanda tentang kematiannya, tentang kepausan sebagai “salib yang tidak dicari”, dan tentang bangsanya sendiri. 

Orang Argentina sering dianggap percaya diri berlebihan (kadang dianggap arogan), termasuk oleh bangsa-bangsa Latin lainnya, dan tentang hal itu ia berkelakar: “Tahu bagaimana cara orang Argentina bunuh diri? Ia akan naik ke atas egonya sendiri lalu meloncat.”

Ia lahir di Buenos Aires, 1936, anak dari imigran Italia, menjadi seorang Jesuit, imam, lalu uskup, dan terus menempuh jalan yang akan ia lanjutkan kelak di masa kepausannya, ialah berjalan bersama kaum miskin dan mendengarkan mereka yang butuh didengarkan, seperti yang ia sering lakukan di metro.

Tak lama setelah ia terpilih, fotonya menjadi viral: Ia memeluk seorang pria dengan neurofibromatosis yang menjadikan wajahnya sangat cacat. 

Ia juga memeluk para narapidana, membasuh kaki para pengungsi, mencium anak-anak penyandang disabilitas, dan ia suka menelepon. 

Ia menelepon perempuan yang suaminya dibunuh, ibu yang anaknya diperkosa, dan seorang anak yang menulis surat tentang kematian. Ia sendiri yang menelepon mereka dari Vatikan.

Bagi banyak kaum tradisionalis, ia terlalu sering mengejutkan. Para pengkritik menyebut teologinya terlalu lembek. Prioritasnya, kata mereka, tidak tepat. 

Ia menjawab dengan menunjuk Kristus. “Tuhan tidak takut pada hal-hal baru,” katanya. “Itu sebabnya Dia selalu mengejutkan kita.” 

Namun Fransiskus juga menghadapi badai yang tak bisa dihindari. Kasus pelecehan seksual di Gereja, yang menjadi masalah sejak lama, meledak juga di masa kepausannya. 

Dan ia melakukan kesalahan saat membela para uskup di Chili yang menutupi kasus pelecehan. Baru kemudian ia menyadari bahwa ia keliru, dan ia meminta maaf atas kekeliruan itu.

Kesulitan terbesarnya yang lain adalah mereformasi Kuria Roma. Ia memulai proyeknya, menghadapi perlawanan, dan terus mencoba. Beberapa langkahnya berhasil—seperti mereformasi keuangan Vatikan dan menjadikannya lebih transparan. Yang lain mandek. 

Penanganan pelecehan seksual di banyak keuskupan tetap lamban, pendekatannya terhadap LGBT dan orang-orang yang bercerai dan menikah lagi memicu perpecahan karena tak pernah diatur secara jelas.

Tahun-tahun terakhirnya ditandai dengan penurunan, baik dalam energi maupun jangkauan, terutama karena kesehatannya merosot. 

Namun, ia ingin terus berjalan dan tak punya rencana mengundurkan diri, sebab baginya pelayanan kepausan adalah komitmen seumur hidup, kecuali jika kondisi fisiknya benar-benar menghalanginya untuk menjalankan tugas. 

Ia tahu ada banyak kritik terhadap kepemimpinannya, tetapi ia merasa masih memiliki banyak hal yang ingin ia capai dalam pelayanannya.

Seperti tak mau istirahat, pada Kamis Putih, 17 April 2025, ia mengunjungi penjara Regina Coeli di Roma. 

Para narapidana meneriakkan "doakan kami!", dan ia menjawab, seperti yang ia ucapkan di hari pelantikannya: "Doakan saya." 

Ia juga menelepon komunitas Kristen di Gaza menyampaikan bahwa ia berdoa untuk mereka, memberkati mereka, dan berterima kasih atas doa-doa mereka untuknya.

Pada hari Paskah, Minggu 20 April 2025, ia memberikan berkat Urbi et Orbi—untuk kota (Roma) dan dunia—yang dibacakan oleh anggota klerus setelah ia menyampaikan sapaan pembuka: "Saudara-saudari, Selamat Paskah!" 

Pada 21 April 2025 ia harus rela melepaskan banyak hal yang masih ingin ia capai. 

Ia meninggal pada usia 88, dan ia meninggalkan jalan kepausan yang belum pernah ditempuh oleh para pendahulunya: ke bawah, menuju yang paling hina; ke luar, menuju dunia; ke dalam, menuju wajah Kristus. (*)

In Memoriam Paus Fransiskus


Paus Fransiskus

Oleh Denny JA

Pada musim dingin tahun 2013, sebuah perahu kayu yang rapuh karam di lepas pantai Lampedusa, Italia. Itu pulau kecil di perbatasan Afrika Utara dan Eropa.

Lebih dari 360 pengungsi dari Eritrea dan Somalia tenggelam dalam laut yang membeku. Mayat-mayat mereka ditemukan terapung, terbungkus selimut darurat aluminium, di antara puing-puing perahu dan doa yang tak sempat diselesaikan.

Beberapa hari kemudian, Paus Fransiskus datang ke Lampedusa. Tanpa prosesi megah. Tanpa singgasana emas.

Ia hanya membawa salib kayu yang terbuat dari serpihan kapal karam. Di atas altar darurat, ia merayakan misa bagi jiwa-jiwa yang tak sempat disambut dunia.

Dengan suara gemetar, ia berdoa:

“Kami telah kehilangan rasa menangis. Kami telah membiarkan budaya kematian menjangkiti nurani kami. Ya Tuhan, ampunilah kami.”

Di hadapan laut biru yang menjelma makam tanpa nama, Paus melempar karangan bunga. Air mata para ibu dan doa-doa yatim piatu menggema bersama desir angin.

Hari itu, Lampedusa menjadi tanah suci. Tempat duka dunia dijadikan altar cinta.

-000-

Wafatnya Paus Fransiskus pada awal 2025 bukan hanya meninggalkan duka bagi umat Katolik, melainkan bagi seluruh jiwa yang rindu akan agama yang lembut, membumi, dan penuh kasih.

Ia adalah pelita di tengah dunia yang gelap dan terpolarisasi. Dua warisan utamanya menjelma cahaya: ekologi spiritual dan inklusivitas tak bersyarat.

Angin di Vatikan membawa pesan baru ketika ia memperkenalkan Laudato Si’. Sebuah ensiklik yang tak hanya mengguncang doktrin gereja, tetapi mengetuk hati umat manusia.

Di dalamnya, bumi tidak lagi dipandang sebagai benda mati untuk dieksploitasi, melainkan sebagai tubuh hidup yang menderita—makhluk spiritual yang terluka karena keserakahan manusia.

“Tanah, air, udara, dan semua makhluk adalah bagian dari keluarga kita,” tulisnya. Kalimat sederhana, tapi memuat revolusi teologis dan ekologis yang dalam.

Paus Fransiskus memutar arah agama: dari hanya memandang langit sebagai tujuan, menuju bumi sebagai amanah dan tanggung jawab.

Ia bukan hanya pemimpin Katolik; ia adalah nabi zaman krisis iklim. Di balik jubah putihnya, seorang pejalan sunyi mendengarkan rintih daun kering dan batuk sungai yang keruh.

Ia membaca Injil bukan hanya dari kitab suci, tetapi juga dari retakan tanah, badai yang menerjang, dan es yang mencair di kutub.

Bagi Fransiskus, dosa ekologis bukan konsep abstrak—tapi luka nyata. Dalam dunia yang mengukur nilai dari laba dan pertumbuhan tak terbatas, ia berdiri sebagai suara sunyi yang berkata: cukup.

Paus menyebut keserakahan industri telah melahirkan “kebudayaan sampah”— sebuah sistem yang menjadikan alam dan manusia sebagai barang pakai-buang.

Inilah krisis spiritual terbesar zaman ini: ketika bumi diperlakukan sebagai objek, bukan sebagai subjek yang suci.

-000-

Paus Fransiskus menyerukan pertobatan ekologis. Bukan hanya perubahan cara hidup, tapi perubahan cara mencinta.

Ia mengajak kita membumikan doa—bukan sekadar untuk keselamatan jiwa, tetapi juga untuk pemulihan tanah, air, dan udara.

“Agama harus berhenti hanya membicarakan surga,” katanya, “jika ia membiarkan bumi menjadi neraka bagi generasi mendatang.”

Dan ini bukan retorika. Ia mendorong gereja-gereja memakai energi terbarukan, mendukung pertanian organik, dan menolak proyek ekstraktif yang melukai ekosistem lokal.

Ia memeluk para aktivis lingkungan seperti ia memeluk para pengungsi. Itu  karena keduanya korban dari sistem yang sama: sistem yang mengeksploitasi dan memutus ikatan manusia dengan alam.

Bagi Fransiskus, spiritualitas tidak sah jika tak menyentuh tanah. Relasi dengan Tuhan tak bisa dipisahkan dari relasi dengan bumi.

Kita tak bisa mencintai Pencipta sambil terus menyakiti ciptaan-Nya.

-000-

Apa yang disuarakan Paus Fransiskus melampaui Katolik. Ia merangkul kosmologi spiritual dari banyak tradisi.

Dalam Islam, bumi adalah hamparan kasih sayang Allah, dan manusia adalah khalifah yang bertanggung jawab.

Dalam Hindu, alam adalah manifestasi dari Brahman yang ilahi. Dalam kearifan pribumi, tanah adalah ibu, dan sungai adalah darah kehidupan.

Ia menghidupkan kembali semangat St. Fransiskus dari Assisi— yang menyapa matahari sebagai saudara, dan bulan sebagai saudari.

Laudato Si’ bukan sekadar dokumen keagamaan. Ia adalah puisi cinta untuk planet ini.

-000-

Bumi, kata Paus, adalah bagian dari tubuh spiritual manusia. Apa yang dirasakan bumi, dirasakan pula oleh jiwa kita.

Ketika hutan dibakar, kita kehilangan nafas. Ketika laut tercemar, batin kita menjadi keruh.

Bumi adalah tubuh bersama—our common home. Sebagaimana kita merawat tubuh sendiri, kita juga harus merawat planet ini: dengan gaya hidup berkelanjutan, energi bersih, dan rasa syukur atas secukupnya.

Ia mengingatkan: manusia bukan penguasa bumi, tetapi saudara tua dari ciptaan lainnya. Peran kita bukan menaklukkan, tapi memelihara. Bukan mengambil tanpa batas, tapi memberi dalam diam yang hormat.

-000-

Kini, dunia berkabung. Tapi lebih dari itu: dunia terinspirasi. Ia tak memberi solusi instan, tapi menanam benih kesadaran yang akan tumbuh dalam tindakan-tindakan kecil: menanam pohon, mengurangi sampah, mencintai cahaya pagi dan udara bersih.

Ia membukakan jalan bahwa religiusitas bukan hanya misa atau salat, tapi juga tidak membuang sampah di sungai.

Ia ajarkan bahwa spiritualitas tak  selalu ke langit.  Kadang ia  justru terletak di tanah, dan dalam air mata makhluk hidup yang kita abaikan.

Dalam kepergiannya, Paus Fransiskus meninggalkan pesan: Jika engkau ingin menemukan Tuhan, pergilah ke hutan. Dengarkan suara daun. Di sana, semesta sedang berdoa.

-000-

Filosofi spiritual Paus Fransiskus yang paling agung: Cinta adalah hukum tertinggi.

Bukan cinta yang pasif dan manis, melainkan cinta yang membasuh kaki yang kotor, yang menjahit luka bumi, yang memulangkan mereka yang terbuang ke pelukan Tuhan.

Baginya, agama bukan menara gading bagi para suci, tetapi tenda terbuka bagi para pendosa, pengungsi, pecinta bumi, dan pencari makna.

Ia buka pintu bagi yang tertolak: imigran lelah yang mengangkut duka, LGBT yang rindu dipeluk surga, dan iman lain yang haus cahaya. Mereka diundang  semua duduk setara di meja cinta.

-000-

Ketika kabar wafatnya Paus menggema, lonceng berdentang di Basilika Santo Petrus. Namun gema cintanya terdengar jauh lebih luas: di kamp pengungsi, di hutan yang dibakar, di pelukan pasangan yang dulu tersembunyi dari altar.

Ia bukan sekadar gembala Katolik. Ia adalah imam dunia, yang menyatukan doa dalam berbagai bahasa dan air mata dalam segala warna.

Di Jakarta punya kenangan sendiri soal Paus Fransiskus. Itu  malam 4 September 2024, di depan Galeri Nasional.

Mobil Paus melambat. Jendela terbuka. Seorang perempuan mendekat, membawa lukisan saya: Paus membasuh kaki rakyat Indonesia.

Perempuan itu Pendeta Sylvana Maria Apituley, dari Papua. Dengan gemetar, ia serahkan lukisan itu. Paus memberkatinya— dan Jalan Merdeka menjadi altar jalanan.

Lukisan itu, yang dulu hanya kanvas dan warna, kini menjadi relik.

Sylvana menulis keesokan harinya: “Aku menangis bahagia… tak mau cuci tangan.”

-000-

Kini, tugas kita bukan sekadar mengenang. Tapi meneruskan. Menyiram tanah dengan kasih. Merawat sesama dengan kelembutan. Menerima yang berbeda seperti tubuh kita sendiri.

Karena, sebagaimana Paus Fransiskus wariskan: Cinta adalah satu-satunya doktrin yang tak pernah mati. *

Jakarta, 21 April 2025

Paus Belas Kasih dari Pinggiran Dunia



POS-KUPANG.COM - Pemimpin umat Katolik sedunia, Paus Fransiskus telah berpulang pada hari Senin (21/4/2025) pukul 07.35 waktu Roma, Italia di kediamannya Apartemen Santa Marta. 

Paus Fransiskus, yang sebelum menjadi Uskup Roma bernama Jorge Mario Bergoglio, lahir di Flores, Buenos Aires, Argentina, 17 Desember 1936, meninggal pada usia 88 tahun.

Paus Fransiskus berpulang pada hari Paskah Kedua. Berita tentang wafatnya Paus Fransiskus—terpilih pada tanggal 13 Maret 2013— diumumkan oleh Kardinal Kevin Farell, Carmelengo Gereja Takhta Suci, pada pukul 09.45. 

Masa berkabung akan berlangsung selama sembilan hari. Dan, hari Senin malam, pukul 20.00 waktu Roma, jenazah Paus dimasukkan ke dalam peti mati.

Setelah Paus meninggal, semua kardinal Kuria Roma dan Kardinal Secretary of State (biasanya diartikan Perdana Menteri), berhenti dari jabatan mereka, kecuali Camerlengo (secara bebas bisa diartikan: pejabat penyelenggara negara), yang sekarang dijabat Kardinal Kevin Joseph Farrell, Penitensiaria Utama, Kardinal Vikaris Keuskupan Roma dan Kota Vatikan, dan Dekan Dewan Kardinal.

Paus Fransiskus adalah Paus pertama dari luar Eropa (sejak Paus Gregorius III, dipilih tahun 741); Paus pertama dari Benua Amerika; Paus pertama dari Argentina; Paus pertama dari Serikat Jesus (SJ), Paus pertama yang memilih nama Fransiskus (dari Asisi); 

Paus pertama yang tidak tinggal di Istana Apostolik melainkan di guest-house; dan Paus pertama yang secara tegas menyatakan focus penggembalaannya ke pinggiran dunia.

Namun inti dari pesan-pesannya, adalah seruan evangelisasinya untuk berbelas kasih. Kata Paus Fransiskus, belas kasih adalah "udara yang kita hirup," yang berarti bahwa itulah yang paling kita butuhkan, yang tanpanya mustahil untuk hidup.

Maka bisa dikatakan bahwa seluruh masa kepausan Paus Fransiskus dilaksanakan di bawah panji pesan ini—belas kasih—yang merupakan inti dari Kekristenan. Belas kasih adalah kedekatan dan kelembutan Tuhan terhadap mereka yang menyadari kebutuhan mereka akan pertolongan-Nya.

Karena Sakit

Saat mengumumkan wafat Paus Fransiskus, Kardinal Kevin Joseph Farrell mengatakan: 

"Saudara-saudari terkasih, dengan dukacita yang mendalam saya harus mengumumkan wafatnya Bapa Suci kita, Fransiskus. Pada pukul 7.35 pagi ini, Uskup Roma, Fransiskus, kembali ke rumah Bapa. Seluruh hidupnya dibaktikan untuk melayani Tuhan dan Gereja-Nya." 

"Ia mengajarkan kita untuk menghayati nilai-nilai Injil dengan kesetiaan, keberanian, dan kasih universal, khususnya demi mereka yang paling miskin dan paling terpinggirkan." 

"Dengan rasa syukur yang tak terhingga atas teladannya sebagai murid sejati Tuhan Yesus, kami serahkan jiwa Paus Fransiskus kepada kasih yang tak terbatas dan penuh belas kasihan dari Allah Tritunggal Mahakudus."

Sebelum wafat, Paus Fransiskus sempat dirawat di Rumah Sakit Poliklinik Agostino Gemelli, Roma sejak pada hari Jumat, 14 Februari 2025, dan keluar 38 hari kemudian. Ketika itu, dokter mengatakan Paus Fransiskus menderita pneumonia bilateral.

Tanggal 18 Februari dokter mengatakan, kondisi Paus berangsur-angsur memburuk.

Menurut catatan kesehatan pihak Vatikan, pada tahun 1957, di awal usia 20-an, Jorge Mario Bergoglio menjalani operasi untuk mengangkat sebagian paru-parunya yang terkena infeksi pernapasan parah. 

Seiring bertambahnya usia, Paus Fransiskus sering menderita penyakit pernapasan. Bahkan membatalkan rencana kunjungannya ke Uni Emirat Arab pada bulan November 2023 karena influenza dan radang paru-paru.

“Papal Interregnum”

Setelah seorang paus wafat, ada masa yang disebut sebagai “Papal Interregnum”. Yakni, periode antara wafatnya seorang paus dan pemilihan paus lainnya. 

Jadi masa “Papal Interregnum” kali ini dimulai ketika Fransiskus meninggal pada hari Senin, hingga nanti seorang paus baru terpilih.

Di masa itulah, para kardinal kini harus memutuskan kapan tepatnya pemakaman dapat dilaksanakan, dan setelah itu, kapan konklaf dapat dimulai. Namun, sebagian besar jadwal telah ditentukan sebelumnya.

Seperti sudah disebut di atas, masa berkabung berlangsung selama sembilan hari yang dikenal sebagai Novendiales. Dan Paus harus dimakamkan antara hari keempat dan keenam setelah kematiannya. 

Sementara itu, Paus akan ditempatkan di dalam peti jenazah, setelah itu ia akan disemayamkan selama beberapa hari hingga pemakaman.

Jenazah Paus juga harus disemayamkan di Basilika Santo Petrus selama masa berkabung. Misa Kudus akan diadakan setiap hari.

Di akhir masa berkabung, akan diadakan misa pemakaman besar di Basilika Santo Petrus. Secara historis, ini adalah acara besar, dengan para pejabat tinggi dari seluruh dunia yang diharapkan hadir.

Pada bulan 12 Desember 2023, Paus Fransiskus mengatakan kepada televisi Meksiko Noticieros Televisa bahwa ia ingin “dimakamkan di Santa Maria Maggiore,” sebuah gereja Katolik dan basilika kepausan yang penting, di ibu kota Italia, yang disebut sebagai Basilika Bunda Maria, Salus Populi Romani (Pelindung Orang Roma). 

Di basilika inilah Paus setiap kali akan pergi ke luar negeri dan kembali dari perjalanan ke luar negeri, berdoa di hadapan gambar Bunda Maria.

Setelah keluar dari rumah sakit, Paus juga mengunjungi Basilika St. Maria Maggiore dengan membawa seikat bunga. Bahkan, pekan lalu, Paus Fransiskus ke Basilika St. Maria Maggiore. 

Bila nanti dimakamkan di Basilika St. Maria Maggiore, Paus Fransiskus telah memutus sejarah, karena selama ini sebagian besar paus dimakamkan di Basilika St. Petrus, Vatikan. 

Tetapi, di Basilika St. Maria Maggiore sudah ada beberapa paus yang dimakamkan di tempat itu. Misalnya, Paus Clement IX (bertakhta, 1667- 1669).

Menurut catatan, pada tahun 2024, Paus Fransiskus secara resmi mengubah tata cara pemakaman, menyederhanakan ritual untuk menonjolkan perannya sebagai uskup dan mengizinkan pemakaman di luar Vatikan sesuai dengan keinginannya. 

Surat kabar Vatikan, L’Osservatore Romano menerbitkan rincian buku liturgi yang diperbarui, yang disetujui Paus Fransiskus pada tanggal 29 April 2024. 

Edisi baru tersebut menggantikan versi sebelumnya, yang terakhir diterbitkan pada tahun 2000.

Tata cara pemakaman yang direvisi tersebut menghapus persyaratan bagi jenazah Paus untuk disemayamkan di atas usungan jenazah yang ditinggikan di Basilika Santo Petrus untuk penghormatan terakhir dari publik. Sebagai gantinya, jenazah akan diletakkan dalam peti mati sederhana. 

Pedoman yang diperbarui tersebut juga menghapus penggunaan peti mati tradisional tiga lapis—cemara, timah, dan kayu ek.

Menurut Monsignor Diego Ravelli seperti dikutip L’Osservatore Romano bahwa penyederhanaan ini bertujuan “untuk lebih menekankan bahwa pemakaman Paus Roma adalah pemakaman seorang gembala dan murid Kristus, bukan pemakaman seorang manusia berkuasa di dunia ini.”

Lebih 59 Negara

Sejak dipilih menjadi paus, pada tanggal 13 Maret 2013, Paus Fransiskus belum pernah mengunjungi negaranya, Argantina.

Malahan, Brasil, tetangga Argentina adalah negara pertama yang dikunjungi Paus. September tahun lalu, Paus Fransiskus melakukan perjalanan paling panjang sejak memegang Takhta Kepausan. 

Ia mengunjungi empat negara Asia-Pasifik: Indonesia, PNG, Timor Leste, dan Singapura, dengan menempuh jarak 32.814 kilometer. Ini adalah merupakan perjalanan ke luar negeri yang ke 45 kalinya, ke lebih dari 59 negara.

Selama masa kepausannya, termasuk yang pertama oleh seorang paus ke Irak, Uni Emirat Arab, Myanmar, Makedonia Utara, Bahrain dan Mongolia. Ketika berkunjung ke Irak, Paus Fransiskus bertemu dengan Grand Ayatollah Ali Sistani, otoritas tertinggi Islam Shiah di Irak.

Paus Fransiskus mencintai gerakan persaudaraan dan kerukunan antarumat beragama, dan tidak ada simbol toleransi beragama yang lebih baik di awal perjalanannya selain “Terowongan Persahabatan” bawah tanah yang menghubungkan masjid utama Istiqlal di Indonesia dengan Katedral Maria Assumpta, Jakarta.

Di Jakarta, Paus Fransiskus bersama dengan Imam Besar Masjid Istiqlal, Nasaruddin Umar (Sekarang Menteri Agama) menandatangani “Deklarasi Istiqlal” yang berjudul “Meneguhkan Kerukunan Umat Beragama Untuk Kemanusiaan”

Lima tahun sebelumnya, 2019, Paus Fransiskus bersama dengan Imam Besar Al-Azhar, Kairo, Mesir, menandatangani dokumen “Human Fraternity, for Peace World Peace and Living Together” yang lebih dikenal dengan Dokumen Abu Dhabi.

Paus Perdamaian

Kita akan mengenang Paus Fransiskus sebagai seorang Paus perdamaian. Paus Fransiskus tidak kenal lelah menyerukan perdamaian dan menunjukkan kedekatannya dengan mereka yang menderita akibat salah satu bencana buatan manusia yang paling tidak adil: perang. 

Perdamaian adalah hal yang selalu dipanjatkan saat berdoa. Paus Fransiskus menetapkan hari-hari puasa dan doa perdamaian untuk Suriah, Lebanon, Afghanistan, Sudan Selatan, Republik Demokratik Kongo, dan Tanah Suci, yang melibatkan umat beriman di seluruh dunia.

Dalam pesannya yang terakhir sebelum memberikan berkat “Urbi et Orbi”, hari Minggu (20/4/2025) masalah perdamaian ditekankan lagi. 

Paus menyerukan dan mendesak diupayakannya perdamaian di Timur Tengah (perang antara Israel dan Palestina), di Ukraina, Republik Demokrasi Kongo, Sudan Selatan, Kaukasus Selatan, Armenia, Azerbaijan, Sahael, dan Tanduk Afrika, juga Myanmar.

Kata Paus Fransiskus dalam pesan “Urbi et Orbi-nya: “Saya mengimbau kepada semua orang yang memegang tanggung jawab politik di dunia kita untuk tidak menyerah pada logika ketakutan yang hanya akan menyebabkan isolasi dari orang lain, tetapi lebih baik menggunakan sumber daya yang tersedia untuk membantu yang membutuhkan, memerangi kelaparan, dan mendorong inisiatif yang mempromosikan pembangunan. Inilah ‘senjata’ perdamaian: senjata yang membangun masa depan, alih-alih menabur benih kematian!”

Dengan suaranya yang lembut dan tak kenal lelah, Paus Fransiskus mengingatkan dunia akan persaudaraan manusia dan keadilan sosial, bersaksi, sampai akhir, dengan teladanNya, tentang kedekatan dengan yang termiskin, yang terlupakan, yang terpinggirkan. 

Paus dengan penuh tekad, selalu mencari dialog dan perdamaian. Bapa Suci yang “datang dari ujung dunia” memberi visi kepada siapa saja, di mana seluruh umat manusia dipeluk dalam satu pelukan.

Oleh karena, Paus Fransiskus selalu mengatakan, semua manusia diciptakan dengan harkat dan martabat yang sama.

Maka semua adalah saudara (Fratelli tulli). Satu saudara yang tinggal dan hidup di dunia yang sama yang harus dijaga dan dipelihara (Laodato Si).

Paus Pinggiran

Dijuluki "Paus pinggiran", bukan hanya karena Paus Fransiskus tidak datang dari Eropa—yang dulu disebut sebagai pusat kekatolikan—dan dari Argentina, melainkan Paus Fransiskus selalu meluangkan waktu untuk mengenang mereka yang menderita akibat konflik. 

Jadi, istilah periferi, pinggiran, tidak semata berarti secara geografis, tetapi juga pinggiran eksistensial: misteri dosa, penderitaan, ketidakadilan, ketidaktahuan dan ketidakpedulian terhadap agama, arus intelektual, dan segala kesengsaraan. Ke sanalah Gereja dipanggil; untuk keluar dari dirinya sendiri dan pergi ke pinggiran.

Sambil berdoa untuk perdamaian di daerah-daerah yang paling banyak mendapat perhatian media, ia juga tidak pernah gagal menyalurkan doanya ke beberapa daerah yang paling terpukul, namun paling dilupakan oleh dunia.

Salah satu gerakannya yang paling simbolis—yang menggambarkan belas kasihnya—dan momen yang sangat mencolok dari kepausannya, adalah pada bulan April 2019, ketika Paus Fransiskus berlutut untuk mencium kaki para pemimpin Sudan Selatan yang tengah bergulat dengan perang saudara.

Saat ia menyapa Presiden Salva Kiir dan saingannya Riek Machar di Vatikan, Paus, dalam kerendahan hatinya, mencium kaki mereka, mendesak para pemimpin untuk meletakkan senjata mereka dan menempuh jalan perdamaian (Rilis dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) untuk Takhta Suci, Vatikan)

Sumber:Pos Kupang

Uskup Turang, Sang Gembala Pemberdayaan Masyarakat


P Edu Dosi, SVD

Oleh: P. Edu Dosi, SVD

Rohaniwan, Dosen FISIP Unwira Kupang

POS-KUPANG.COM - Kematian telah menghampiri Uskup Emeritus Mgr. Petrus Turang, Jumat(4/4/2025). 

Kita merasa kehilangan sosok gembala umat yang sangat memperhatikan kemiskinan dan rakyat kecil. Kita mengingat Mgr. Petrus Turang adalah gembala umat yang telah bersentuhan dengan hidup kita. 

Kita mengenal dia dalam banyak ragam pengalaman, teristimewa perhatiannya pada kemiskinan dan rakyat kecil. 

Terlepas dari kekurangan dan keterbatasannya, kita mengagumi, menghormati  dan merasa bahagia karena pernah memiliki dia.  Catatan inspiratif ini berkembang dari diskusi dan kesaksian banyak orang. 

Saya tulis sebagai penghargaan kepada beliau, sang gembala yang memberi keteladanan pada komitmen teristimewa bagi yang miskin. 

Suatu saat pada hari ulang tahun KSP Kopdit Adiguna saya diundang Vincen Repu, ketua KSP Kopdit Adiguna, untuk mendampingi Uskup Turang merayakan syukur dengan ibadat bersama pendeta dan ustad. 

Saat itu saya masih sebagai Kepala LPPM (Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat) Unwira. Saya suka beliau berkhotbah tentang pemberdayaan masyarakat lewat koperasi. 

Vincen berceritera, ketika kami meminta beliau memimpin ekaristi, beliau spontan menegur kami dan bertanya,"anggota Koperasi Adiguna itu siapa saja?” 

Kami tersadar bahwa beliau ingin pemberdayaan masyarakat melalui koperasi dijalankan bersama, untuk semua,tidak berbasis sekat, tembok atau pembatas tertentu. 

Kami diteguhkan bahwa mengelola koperasi dengan prinsip terbuka, demokratis, solidaritas,swadaya, edukasi dan berkeadilan.

Lain kesempatan ketika saya masih anggota dewan Provinsi SVD Timor, bersama P.Vinsen Wun,SVD,Provinsial SVD Timor, bertemu beliau untuk satu urusan pemberdayaan umat Keuskupan Agung Kupang. 

Diskusi pun panjang. Ketika kami pamit pulang, beliau mengantar kami lewat pintu samping untuk melihat pembibitan tanaman dan pohon-pohon bagi pemberdayaan umat di wilayah Keuskupan Agung Kupang. Beliau berbicara panjang tentang kemiskinan di wilayah ini yang perlu perhatian.

Kita saksikan bagi Uskup Petrus Turang perhatiannya pada kemiskinan dan rakyat kecil bukan sejauh diskusi, tapi terwujud dalam pelayanannya. Itu sesuai motonya Per transiit benefaciendo. 

Ia berkeliling sambil berbuat baik (Kis. 10:38). Kebenaran hidup  yang dihayatinya dalam semangat Kristus sendiri. 

Katarina Kewa Sabon Lamablawa (April 5, 2025) mencatat Uskup Petrus Turang menyapa, mendengar, dan hadir dengan sepenuh hati. 

Dari pelosok desa terpencil di Pulau Alor, Rote, Sabu, Semau, dan daratan Timor, hingga ke pusat Kota Kupang, Mgr. Petrus tidak pernah segan untuk turun langsung ke tengah umat. 

Ia melihat dengan mata sendiri kondisi nyata umatnya, berbicara dengan para orang muda, menyalami umat paroki satu per satu, dan menyentuh luka-luka sosial yang dialami masyarakat.

Baginya, menjadi gembala berarti berjalan bersama kawanan domba, bukan mengatur dari kejauhan. Dan dalam jejak langkahnya, kasih Kristus dinyatakan lewat perhatian konkret, pelayanan yang rendah hati, dan kesetiaan yang tanpa pamrih. 

Tak terhitung jumlah stasi dan komunitas umat basis (KUB) yang dikunjungi Mgr. Petrus Turang, bahkan dalam kondisi geografis yang sulit dan medan melelahkan. 

Di bawah terik matahari atau melintasi jalan berbatu dan berdebu, beliau tetap melangkah. 

Seorang imam pernah mengisahkan bahwa bagi Uskup Turang, “misi bukan hanya soal berkhotbah, tetapi hadir dan mendengarkan adalah bentuk cinta yang paling nyata.” Itulah wujud nyata dari per transiit benefaciendo.

Mendahulukan Kaum Miskin

Kardinal Suharyo bersaksi, "Saya kenal bapa Uskup Turang ini sejak tahun 1977. Dulu kami belajar bersama-sama, beliau belajar ilmu sosiologi di Roma. Dan pulang sebagai bagian hidupnya diabdikan untuk mengembangkan masyarakat," kata Kardinal Suharyo, Jumat (4/4/2025). 

Kardinal Suharyo mengatakan pula Petrus Turang pernah menjabat sekretaris eksekutif  Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE) Konferensi Waligereja Indonesia (KWI).

Kardinal Suharyo sempat bertemu Mgr. Petrus Turang saat menjalani masa rawat. Ia mengatakan, beliau masih berbicara mengenai tugasnya hingga kemiskinan yang menjadi tantangan yang sangat kuat.

"Waktu saya mengunjungi beliau terakhir, satu minggu yang lalu dia masih terus berbicara setengah sadar mengenai tugas-tugas itu, mengenai keadaan betapa kemiskinan masih menjadi tantangan yang sangat kuat. Itu persis komitmennya sebagai imam, sebagai uskup, sebagai warga negara Indonesia untuk melibatkan diri membangun masyarakat Indonesia."

Gubenur NTT Emanuel Melkiades Laka Lena mengenang Turang sebagai salah satu penggerak ekonomi masyarakat. Selama menjadi pemimpin umat Katolik di Keuskupan Agung Kupang periode 1997-2024, Turang mendorong masyarakat untuk bertani dan beternak. 

”Dan, itu bukan hanya bagi umat Katolik yang dia pimpin, melainkan juga bagi semua umat,” kata Laka Lena.

Prabowo, Presiden Indonesia katakan, "Ya beliau orang baik, selalu berpikir positif dan beliau selalu kerja untuk rakyat kecil. Itu yang saya tahu." 

Kita tentu menyadari keprihatinan Gereja secara ideologis (teologis, gerejawi) untuk mendahulukan kaum miskin terungkap dalam sejarah yang panjang.  

Keprihatinan Gereja untuk mendahulukan kaum miskin sudah mulai sejak Paus Leo XIII( 1878-1903) hingga sekarang ini (Donald Dorr).

Ideologi pemihakan terhadap kaum miskin oleh Gereja telah berjalan dalam sejarah yang panjang, namun mengapa tidak cukup kelihatan dampak pemihakan itu pada konteks sosial kita atau Gereja cukup berhasil membuat orang beragama tetapi belum cukup berhasil membuat umatnya bebas dari kemiskinan? 

Atau Gereja getol berbicara tentang Allah yang tersalib namun  kurang menampakkan ketegaran membela umat yang tersalib?

Institusi negara dan aparatusnya yang berkuasa, realitas sosial dan manajemen ekonomi dapat dicurigai terlibat dalam pemiskinan masyarakat NTT, dapatkah agama Katolik/Gereja Katolik sebagai institusi juga dicurigai terlibat dalam praktek yang sama? 

Kekuasaan tidak hanya menyangkut  masalah politik kenegaraan. Agama adalah juga suatu bentuk kekuasaan (Foucault). 

Kekuasaan dalam perspektif Foucault memberi tekanan pada seluruh struktur tindakan yang menekan  dan mendorong tindakan-tindakan lain melalui rangsangan, persuasi atau melalui paksaan dan larangan. 

Pemahaman kekuasaan seperti ini memungkinkan  melihat agama sebagai bentuk kekuasaan yang sangat berpengaruh. Agama merupakan lembaga produksi  kekuasaan-pengetahuan yang dahsyat. 

Kalaupun berteologi maka realita ini mestinya menghentak Gereja untuk berteologi dari bawah akar rumput. 

Pilihan ini mengakui  dalam ekonomi keselamatan Allah, pemahaman tidak diperoleh  dari sudut kelompok  yang berada pada puncak tangga kehidupan, tapi dari sudut mereka  yang berada pada dasar tangga tersebut. 

Membaca atau melihat dari bawah tercermin dalam pernyataan teolog Bonhoeffer, ”Masih terdapat suatu pengalaman yang nilainya tiada taranya. Akhir-akhir ini, kita telah belajar untuk melihat peristiwa-peristiwa besar di dalam sejarah  dunia dari bawah, dari sudut pandang kaum buangan, dicurigai, dianiaya, tak berdaya,  tertindas, dihina”.

Kemiskinan adalah pesoalan kompleks. Tak bisa diatasi teologi dan ritus  atau teori pembangunan saja. Perlu juga memperhatikan karakteristik daerah dan perilaku tertentu. Komunitas basis gerejani (KBG) lebih memahami konteks. 

KBG sebagai gerakan sangat dekat dengan kaum miskin. Mesti disadari pelaku utama yang mampu menanggulangi kemiskinan adalah kaum miskin sendiri. 

Pemberdayaan kaum miskin lewat KBG diyakini lebih tepat dan cepat. Dan uskup Turang telah berusaha untuk itu.

Pola Komunikasi Pemberdayaan 

Kita berkeyakinan daya hidup umat Katolik terletak pada basisnya (KBG) dan pembaruan gereja harus berasal dari basis. Gereja tidak dapat menjalankan misi pelayanannya tanpa bersifat setempat. 

Gereja hanya menjadi gereja bila berkomunikasi secara inkarnatoris atau mendarah daging dalam suatu bangsa  dan kebudayaannya dalam konteks kemanusiaannya. 

Pola komunikasi inkarnatoris ini dapat membebaskan manusia dalam konteks hidupnya antara lain  kemiskinan.

Semangat dasar yang mendorong dan mendasari kegiatan Gereja dalam pewartaan adalah Inkarnasi yakni sabda menjadi daging dalam mana Allah yang menjelma menjadi manusia. Allah telah mewahyukan diri-Nya di dalam diri Yesus Kristus. 

Ia adalah Allah yang memberi diri kepada manusia dan berbicara serta berhubungan dengan manusia dalam konteks kemanusiaannya. Yohanes penginjil menulis  “Pada awal mula adalah sabda, dan sabda adalah Allah” (Yoh.1,1 dan 14). 

Selama Ia ada di antara kita di dunia, Ia telah mewahyukan diri sebagai komunikator. Ia telah menyampaikan pesan Ilahi dengan kata-kata dan dengan tindakan hidupNya.

Dengan keyakinan tersebut  maka komunitas basis muncul dari bawah, pola komunikasinya pun bertolak  dari akar rumput, dialogis diskursus, bukan dari aparatus hirarkis semata yang monologis feodalistis. 

Hal ini menjadi satu hal yang sangat bertentangan  dengan struktur hierarki Gereja katolik yang sangat sentralistik dengan pola komunikasi top down. Setiap keputusan dan tindakan  yang dilakukan Gereja Katolik berasal dari atas (pusat). 

Organisasi yang memiliki tingkat sentralisasi paling tinggi adalah Gereja Katolik. 

Keputusan di tingkat paling bawah tidak boleh terlepas dari keputusan Paus di Roma, hal ini berlaku  untuk seluruh penganut agama Katolik yang berpusat di Roma.

Kita berkeinginan mengembangkan  komunitas basis dengan pola komunikasi yang dialogis, tetapi kesulitan  utama yang kita hadapi saat ini adalah tidak adanya pemahaman atau definisi baku mengenai komunitas basis dengan pola komunikasi yang menyertainya. 

Sering nampak komunikasi aparatus gereja  bersifat monologis feodalistis. Kita saksikan komunikasi atau propaganda pemerintah dan kaum pengusaha  memperlakukan manusia sebagai komoditi, mendominasi, menindas, mengeksploitasi. 

Lalu dikokohkan oleh tema komunikasi iman dalam khotbah yang bernada menggurui (moralistis). Juga khotbah yang coba meyakinkan orang kecil bahwa mereka miskin karena kesalahannya sendiri, karena kurang pendidikan, keterampilan dan berinisiatif, karena budaya asli mereka ketinggalan. 

Atau menurut kitab suci karena patah semangat, pasrah, tunduk pada takdir adalah sikap-sikap kafir. 

Pesan Komunikasi Pemberdayaan

Dalam konteks NTT kita perlu komunikasi pemberdayaan dengan pesan mendasar yang membangun dan membebaskan masyarakat  NTT dari kemiskinan dan ketertindasan antara lain sebagai berikut.

Pertama, perdagangan manusia (Human Trafficking). Manusia dieksploitasi secara ekonomis, ditindas secara struktural dan dimarginalkan secara sosial, atau manusia bukan lagi dipandang sebagai pribadi yang memiliki hak dan martabat. 

Pesan komunikasi pemberdayaan yang dibangun bahwa manusia semartabat dengan Allah, segambar dengan Allah.

Kedua, kekerasan terhadap perempuan dan anak. Terjadi pelbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak. 

Pesan komunikasi pemberdayaan yang mau ditanamkan ialah manusia entah anak, dewasa entah laki-laki dan perempuan diciptakan seturut gambaran Allah. Keunikan prempuan harus dihargai.

Ketiga, konflik sekitar tanah. Ada perang tanding antarkampung dalam perebutan tanah. Tanah dimiliki ketua suku, warga lain hanya penggarap. 

Adanya penguasaan tanah secara legal oleh penguasa dan pemodal namun tak adil. Perangkat kultural kehilangan orientasi atas tanah. Masyarakat agraris nyaris tak punya tanah. Minim sumber daya alam. 

Pesan komunikasi pemberdayaan dalam situasi ini ialah tanah adalah anugerah Tuhan, sumber hidup untuk semua manusia, perlu dimiliki secara adil dan dihormati. 

Keempat, gereja dan kekuasaan. Banyak pemimpin menyalahgunakan kekuasaan. Terdapat korupsi dan indikasi KKN dalam pemerintahan, dana pembangunan untuk rakyat dimakan penguasa. 

Pesan komunikasi pemberdayaan yang dibangun: kekuasaan yang ada adalah pemberian Tuhan demi kesejahteraan umum.

Kelima, pengungsi-perantau-pergi melarat. Migrasi tenaga-tenaga terdidik ke luar wilayah (ke Jawa dll). Pengungsi-perantau berada dalam situasi keterasingan, orang melarat, miskin, sulit mengatur hidup dan tidak aman. 

Pesan komunikasi pemberdayaan: perhatian dan pelayanan perlu diberikan, mereka adalah saudara-sauadari kita dalam kesulitan. 

Kalau ada yang sudah pintar dan maju punya kapital material-sosial-politik jangan lupa solidaritas dengan kampung halaman, seperti Yesus kembali ke Nasaret dan berkembang dengan suburnya. Atau contohi orang Minang punya gerakan Seribu Minang?

Keenam, iman dan kebudayaan. Kebudayaan dianggap kafir, kuno, mau dilepaskan. Pesan komunikasi pemberdayaan yang dibangun: Sabda telah menjadi manusia dan tinggal di antara kita, bumi dan budaya adalah kekayaan untuk bertemu Tuhan.

Ketujuh, iman dan ekonomi (koperasi).  Gereja Katolik tetap terlibat dalam  perjuangan berkoperasi dengan mendirikan koperasi  dan gerakan sosial-ekonomi sebagai bentuk solidaritas terhadap kemiskinan masyarakat/umat. 

Terbukti  koperasi telah membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi kemiskinan. Pesan komunikasi pemberdayaan yang dibangun  adalah solidaritas, "kamu harus memberi mereka makan. Kumpulkan yang ada  padamu.” 

Kedelapan, Gereja dan lingkungan hidup. Gereja Katolik mengajak umat Katolik peduli terhadap lingkungan hidup.  

Pesan komunikasi pemberdayaan yang dibangun: Lingkungan hidup adalah amanah Tuhan yang harus dipelihara manusia. Semua ciptaan berharga dan cerminan keagungan Allah. 

Gereja perlu mengkomunikasikan pentingnya kelestarian dan pengelolaan lingkungan hidup. 

Atas cara tertentu Uskup Turang telah berusaha membangun pesan pemberdayaan masyarakat lewat pelayanan pastoralnya. Mendiang telah bersaksi membangun gereja  yang solider dengan yang kecil, miskin. 

Terima kasih berlimpah Bapak Uskup Petrus Turang. Perkataanmu telah menggerakkan dan teladan hidupmu telah memikat kami. 

Selamat jalan sang gembala pemberdayaan ke rumah Bapa, tak ada lagi kemiskinan yang menghantuimu. (*)

Sumber: Pos Kupang

Selamat Jalan Monsinyur Turang

 

Mgr. Petrus Turang

Refleksi Seorang Pengusaha

Oleh: Theodorus Widodo

Ketua Forum Pembauran Kebangsaan FPK-NTT

POS-KUPANG.COM -  Ada rasa sedih yang mendalam ketika saya dan isteri terakhir kali mengunjungi Uskup Emeritus Mgr.Petrus Turang pada tanggal 6 Februari 2025 di wisma KWI, Jalan Kemiri Jakarta. 

Sosok yang dikenal tegar dan berwibawa itu sekarang terlihat begitu rapuh. Rasa sedih ini terbawa pulang sampai berhari-hari kemudian. 

Saya sedih karena merasa ini pasti pertemuan terakhir, walaupun monsinyur ketika itu bertutur bahwa kesehatannya sudah membaik dan sekarang hanya perlu rutin cuci darah. 

Monsinyur bahkan mencontohkan beberapa orang yang bisa bertahan hidup puluhan tahun dengan cuci darah rutin. Pertanda beliau memang ingin hidup lebih lama.

Kesedihan saya akhirnya terbukti. Jumat, 4 April 2025. Tuhan memanggil pulang hambanya, sang gembala baik yang setia sampai akhir hayat dalam panggilan imamatnya, baik sebagai imam maupun sebagai Uskup Agung Kupang.

Walaupun kita tahu, beliau sakit dan terus dirawat intensif di rumah sakit, kepergian monsinyur ini terasa terlalu cepat. Kita semua pasti masih ingin ia hidup lebih lama lagi. 

Kita semua pasti masih ingin mendapatkan banyak saran dan nasehat. Apalagi monsinyur rindu pulang Kupang untuk menjalani sisa hidupnya bersama umat yang setia dilayaninya selama 27 tahun. Apa mau dikata. Tuhan punya rencana lain.

Dalam keheningan malam ini, ketika mata sulit terpejam, kenangan bersama Monsinyur Turang muncul kembali seperti halaman-halaman buku yang terbuka dengan sendirinya. Satu persatu.

Sebagai awam yang berada dalam wilayah yurisdiksi pastoral dengan Mgr. Petrus Turang sebagai pemimpin tertingginya, saya merasa beruntung dapat banyak kesempatan belajar dari beliau dan jadi suatu kehormatan pula ketika saat ini bisa menyuguhkan kembali sedikit penggalan kenangan selama 28 tahun mengalami pelayanan pastoral Monsinyur.

Penggalan kenangan itu salah satunya berasal dari tulisan Monsinyur sendiri tentang dunia usaha di halaman satu buletin Keuskupan Agung Kupang edisi Pastoral Kategorial dengan judul ASG PIKAT Usahawan Express tanggal 13 Juni 2010. Tulisan itu masih saya simpan.

Artikel ini disampaikan ketika komunitas  PIKAT mengadakan wisata rohani sekaligus rekoleksi di paroki Sta. Helena Lili- Camplong pada tanggal 13 Juni 2010.

PIKAT ini singkatan dari Pendalaman Iman Katolik. Terbentuk dari diskusi antara sesama teman yang prihatin pada kedangkalan pemahaman iman kami. 

Hal-hal mendasar saja seperti tiga pilar iman Katolik yaitu Alkitab, Tradisi Suci dan Ajaran Magisterium tidak kami pahami. 

Kami tidak tahu alasan di balik empat dogma penting Gereja tentang Bunda Maria yang membuat Bunda Yesus ini sangat dihormati dan menempati posisi tertinggi di antara semua orang kudus. 

Keprihatinan ini membawa kami pada satu keputusan. Pengetahuan yang dangkal ini harus didalami agar kami tahu alasan dibalik semuanya. 

Beriman dengan nalar itu baik adanya. Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan termulia karena ia berakal budi.

Maka setelah berdiskusi dengan para pastor dan terutama dengan Mgr. Turang, terbentuklah Komunitas Pendalaman Iman Katolik disingkat PIKAT pada tanggal 15 Juli 2005. 

Sejak itu "kuliah" gratis dengan pengajar kaum tertahbis (tidak boleh awam) ini rutin dilaksanakan sampai sekarang. 

Harapan Monsinyur, PIKAT harus bisa jadi salah satu gerakan awam Katolik untuk melengkapi semua gerakan yang ada semisal Kharismatik, Legio Maria, Marriage Encounter, Pasukris dll yang misi gerakannya bukan pada pengajaran tentang iman atau doktrin Gereja. 

Pesan Monsinyur, kami harus terus lakukan pendalaman iman secara komprehensif, bukan hanya Alkitab saja. Iman Katolik tidak hanya bertumpu pada Alkitab saja.

Salah satu pesan Monsinyur yang disampaikan dalam artikel beliau ketika itu adalah tentang panggilan hidup.

Bahwa manusia harus bekerja supaya ia hidup baik dan berkecukupan. Dengan kerja, manusia membangun hubungan dengan sesama dan alam ciptaan Tuhan. 

Manusia berperan sebagai mitra Allah dalam mengembangkan dunia agar jadi indah dan bermutu bagi manusia itu sendiri. 

Dan manusia yang berkegiatan ekonomi adalah pemeran utama dalam mewujudkan ketersediaan kebutuhan hidup. Dengan tersedianya barang dan jasa, manusia mengambil peran dalam karya penciptaan Tuhan.

Dengan bergiat dalam bidang ekonomi, manusia menjawab panggilan Tuhan untuk "mengolah dan memelihara" dunia ciptaanNya.

Juga para pengusaha dalam pelbagai kegiatan ekonominya harus belajar menjadi murid Kristus yang baik. 

Mereka harus membangun kekudusan diri dengan prinsip tidak boleh merugikan sesama, terutama yang miskin dan lemah.

Ini sejalan dengan Ajaran Sosial Gereja yang bertumpu pada solidaritas yang merupakan perwujudan perintah cinta kasih Kristus dalam tata dunia yang baik dan harmonis. 

Solidaritas kristiani adalah peduli sesama tanpa memandang suku, agama dan golongan dalam semua aspek kehidupan. Sebagai makluk sosial, manusia perlu membangun semangat persaudaraan dan persahabatan. 

Termasuk di dalamnya adalah kegiatan ekonomi yang pasti lebih berat karena sangat akrab dengan persoalan "untung rugi". 

Di sini kita perlu saling melayani dan melengkapi untuk membangun jati diri manusia beriman yang lebih lengkap.

Kebersamaan dengan Mgr.Petrus Turang ini jadi kenangan indah yang sulit dilupakan.

 Pesan pesannya terus membekas serta menjiwai perjalanan hidup kami sebagai pengusaha. Juga teman teman yang berprofesi lain.

Salah satu kenangan indah lain "pertransit benefaciendo" Mgr. Petrus Turang adalah ketika bersama beliau mengunjungi paroki St.Kristoforus di Ba'a, Kabupaten Rote  Ndao yang saya lupa tanggalnya.

Dalam perjalanan patroli Monsinyur yang memang suka patroli ini, kami dapat banyak tambahan pengetahuan dan pesan tentang bagaimana seharusnya seorang pengusaha menjalani profesinya.

Beliau kembali menekankan tentang Ajaran Sosial Gereja. Satu hal penting yang saya ingat dari pelayaran dari Bolok-Kupang menuju Ba'a-Rote ini adalah ajaran beliau yang selalu dikenal rasional tentang hutang budi. 

Bahwa sukses seorang pengusaha karena ia murah hati tidak harus dilihat dari perspektif iman semata. Siapapun yang dibantu pasti akan merasa berhutang budi. 

Maka bila ada peluang usaha yang ia ketahui, anda pasti akan jadi orang pertama yang ditawarinya. 

Tempat pertama yang akan didatanginya ketika ia ingin membeli sesuatu pasti tempat jualan anda yang pernah menolongnya. 

Masih banyak yang ingin saya tulis. Berbagi cerita bersama Monsinyur selama masa masa pembangunan Taman Doa Yesus Maria di Oebelo -Kupang. 

Seringkali beliau berada di sana selama berjam-jam. Kadang datang pagi dan pulang ketika hari mulai gelap.

Perjalanan bersama dalam patroli Monsinyur ke paroki Hati Tersuci Maria-OeEkam. Perjalanan ke paroki Yesus Gembala Yang Baik di Kalabahi-Alor. 

Pentahbisan kapela kapela yang dibangun komunitas PIKAT termasuk Kapela 

terakhir Maria Bertaburan Rahmat (MBR) Kuasaet-Petuk pada tanggal 25 Februari 2024. 

Dalam sambutan pentahbisan Gereja ini, ada ucapan Monsinyur yang membuat kami sedih. "Ini pasti kapela terakhir yang saya tahbiskan".

Akhirnya, sekali lagi saya harus bersyukur karena mendapatkan begitu banyak kesempatan  untuk menimba ilmu dari dari Monsinyur Turang.

Kalau diminta pendapat tentang seberapa luas pengetahuan seorang Monsinyur Turang, bagi saya hanya ada satu kalimat. "Monsinyur tahu segalanya". 

Bukan hanya tentang Gereja, tapi juga tentang kesehatan, pendidikan, sejarah, sosial, antropologi, ekonomi, politik dan lain-lain. Pokoknya tahu semua.

Terlalu berlebihan? Tidak. Ini juga kesan sesama teman tentang Monsinyur.

Kadangkala muncul  pertanyaan. Beliau tahu semua itu dari mana? 

Padahal Monsinyur nyaris tidak pernah keluar dari kompleks Keuskupan  Agung Kupang selain patroli atau tugas ke luar daerah.

Pertanyaan ini mungkin sulit dijawab tapi satu hal yang pasti, kalau kita ke ruang kerja Mgr.Turang untuk urusan apapun, beliau selalu sedang membaca. 

Monsinyur Turang, Uskup Agung yang berwawasan sangat luas dan selalu rasional.

Kadang muncul juga ide, kalau sudah jadi Uskup Emeritus nanti kami ingin sekali meminta beliau jadi narasumber ceramah di berbagai bidang. Sayangnya "jabatan" Emeritus ini terlalu singkat.

Selamat jalan Monsinyur.

Keinginanmu untuk kembali pulang di saat perjumpaan terakhir kita sekarang sudah terpenuhi. Di sini, di tanah ini kami akan selalu bisa mengunjungimu. Sampai kapanpun. Tidak akan ada lagi yang bisa memisahkan kita.

Atas iman dan perbuatan baik Monsinyur, kami yakin, engkau sekarang sudah berbahagia di surga dan selamanya Monsinyur akan jadi pendoa bagi kami semua.

Kami semua sudah belajar banyak. Terutama tentang "Pertrancit Benefaciendo". (*)

Sumber: Pos Kupang


You, Anak Kecil atau Anak Besar?


Romo Amanche Ninu

Oleh RD Amanche Ninu

Seorang Romo dengan langkah malu malu dan harap harap cemas bertemu Bapak Uskup Turang di Rumah Keuskupan. Pagi pagi beberapa tahun yang lalu.

Romo itu mau izin. Ikut Festival Sastra di Makassar, MIWF, Makassar International Writers Festival, tahun 2013.

"Selamat paaagiii Bapak Uskup..." Romo itu beri salam untuk Bapak Uskup. Sapaan khas dengan nada suara tarikan khas orang Dawan Timor. Sopan santun yang paling halus. Tata krama tingkat tinggi. Strategi!

Selamat...! You, bagaimana?? Balas Bapak Uskup Turang, halus tapi tegas. 

"Saya ada perlu dengan Bapak Uskup", jawab Romo muda itu dengan dada dan jantung berdenyut, dag dig dug, darah model ke mo stop, nafas diatur bae bae. Sambil tunduk malu malu pus. Meo meo isbai bai tutu kolo, kol paka lele manse nsae. 

Ya, Bagaimana?? Bapak Uskup tanya lagi. Kali ini dengan tatapan tajam. Mata Uskup adalah mata elang yang melihat si Romo muda yang su noe model burung puyuh su basah kuyub.

"Saya mau izin ikut kegiatan sastra di Makassar"....Ini Romo mo maen "to the point" deng Baptua.

'You stop! You Guru atau Sastrawan??" Tanya dan tantang Bapak Uskup, saat itu. Memang, itu Romo tu Guru. SK Guru di SMA milik Keuskupan. Tugasnya mengajar. Kenapa dia pi maen sastra, pantun puisi dan "puiteko"

"Saya Guru Bapak Uskup", Romo itu jawab dengan malu, tapi dia pung hati su noe. Jantung dag dig dug deg dog. Hehe. Harapan untuk berkegiatan sastra pupus. Tiket su di tangan. Uang saku su di saku. Bahkan su makan stengah. Ailo...

"You kurang fokus ya. You Guru bukan sastrawan. You urus sekolah, bukan urus kegiatan kegiatan yang tidak penting", tambah Bapak Uskup. Kali ini makin tegas.

You pulang, pulang.., urus sekolah dan anak-anak, demikian keputusan Bapak Uskup.

Tapi dasar "anak tukang palese". Itu Romo son abis akal. Saat Bapak Uskup marah dan tegas. Saat itu jurus jitunya keluar. Dia menangis. Batareak. Ingos keluar. Panjang. Napas sat satu. 

Bapak Uskup pukul meja....

Itu Romo makin gas, menangis batarea. Ingos kaluar makin panjang. Kaka Ronya, karyawati lari dari dapur, kasi tinggal ikan yang sementara digoreng. Mungkin itu ikan tu angos saat itu. Kaka Ronya pikir Bapak Uskup su "cekik" ini anak. Hehe. Kasian.

Karena itu Romo pung suara tangis makin kencang, tamba batarea dan ingos malele.

Maka Bapak Uskup pukul meja tambah besar dan dengan suara tegas.

"Amancheeeee....., you anak kecil atau ANAK BESAR???

Saya ANAK BESAR Bapak USKUP....

Amarah Bapak Uskup mereda bersamaan dengan suara tangis yang mereda juga.

Izin diberikan kepada "anak" Amanche..

Cium tangan Bapak Uskup. Tarik nafas. 

Ya...You boleh jalan. Tapi pulang, fokus urus sekolah ya.

Amanche anak yang besar itu keluar dengan air mata yang sudah dihapus dengan ketegasan dan kasih sayang Bapak Uskupnya, Mgr Petrus Turang. Dia ke Makassar, ikut MIWF 2013, bersastra. Dan pulang tetap fokus urus sekolah sampe sekarang. 

Bapak sayang. Bapak terkasih. Bapak Mgr Petrus Turang. Engkau adalah Bapak dan kami adalah anak. Dari ketegasan dan kasih sayangmu, kami hidup, bertumbuh dan berkembang. Terima kasih Bapak. Dari sikapmu yang "keras", saya belajar untuk tidak main-main. 

Dan dari kasih sayangmu, saya tau, betapa Allah sangat mencintai kita. Maaf Bapak Uskup karna kadang kami anak-anak ini, hanya "taputar", tak tentu arah, dan itu kadang membuatmu marah. Kami mendoakanmu Bapak, karna kami percaya bahwa Engkau mendoakan kami juga dari kebahagiaan abadi di surga. Amin.

Dari akun Fb Romo Amanche


Mgr. Petrus Turang Uskup yang Cerdas



Oleh: Pastor Melky Malingkas

Tadi pagi sementara kami makan bersama di Refter Seminari Pineleng, tiba-tiba Pst Max Manewus nyeletuk, Mgr Petrus Turang baru saja meninggal, informasi itu lewat WA Group Pastores Manado, dari Rekan Pst kami, Pst Steven Lalu.  

Sejenak kami terdiam saat itu, lalu mulailah kami berkisah tentang Mgr. Turang di ruang makan yang dulu juga Mgr pernah punya pengalaman indah makan bersama teman-teman frater, ataupun ketika beliau menjadi dosen sekaligus formator di Seminari Pineleng. 

Makan bersama teman-teman di refter dengan menu ala kadarnya tapi bersih, dan sehat telah membentuk karakter Mgr Petrus Turang. 

Perbanyak nasi karena kurangnya lauk pauk dan sayur, tidak mengurangi kualitas dan kompetensi beliau sebagai calon imam, imam dan ditahbiskan menjadi Uskup Keuskupan Agung Kupang.  Beliau yang ku kenal tercermin lewat pengalaman pribadi.

Uskup yang Cerdas

Kesan pertama ketika beliau disambut di Seminari Pineleng, mensyukuri tahbisannya sebagai Uskup Keuskupan Agung Kupang, 10 Oktober 1997. 

Dia hadir di Seminari Pineleng, dan saya saat itu tingkat 2. Kami berbaris di depan Seminari Pineleng, dan menarik dalam kata-kata penyambutan oleh Ketua Stfsp waktu itu mengatakan, “Bapak Uskup Petrus merupakan Alumnus terbaik dari STFSP, karena itu mari kita menyambut dengan sukacita dan berharap ada ‘Uskup-uskup Petrus baru’ dihasilkan dari Stfsp”. 

Saya terkesima dan tersanjung dengan Uskup yang baru ini; ganteng, berkarisma, penuh senyuman, tapi matanya menatap tajam “seperti mata elang” karena kewibawaannya sebagai Uskup tampak pada saat itu. 

Saya semakin terperangah ketika beliau membawakan kata-kata sambutan pada saat itu. 

Isinya begitu memukau dan menyentuh kami para frater, calon imam waktu itu agar memiliki karakter yang baik, yang dibutuhkan oleh umat dan masyarakat. 

Kecerdasan Uskup tidak pernah sirna dalam penggembalaannya sebagai Uskup. Saya ingat tahun 2010, beliau berkunjung ke Roma dan waktu itu, saya masih sementara studi. 

Beliau mengajak saya pertama-tama untuk mengunjungi Alma Maternya, Universita Gregoriana Roma. 

Ketika tiba di Universitas tersebut, yang dekat dengan Fontana Trevi, air mancur, tempat indah untuk berfoto ria, Mgr mengajak saya bukan untuk ke tempat indah tersebut, tetapi langsung menuju ke libreria, toko buku dari universitas tersebut. Mgr hanya berkata, “Melky, pilih joh yang ngana suka yang ‘servire’ studi kamu”. 

Saya hanya ambil dua buku karena rasa malu ku lebih besar karena agak mahal. Beliau bilang, “Jangan cuman itu”. 

Akhirnya beliau memilihkan beberapa buku dan tulisan-tulisan pentingnya yang sudah dicover, Mgr menambahkan, “Jadi pastor, jangan jadi pastor bodok-bodok”. 

Uskup Yang “Pambae”

Siapa tidak kenal dengan kebaikan dan ringan tangannya Mgr dalam memberi. Satu kali saya tiba di wisma keuskupan Manado dan karyawan-wati keuskupan pada riang gembira, karena ternyata mereka baru menerima “ampao” dari bapak Uskup. 

Saat itu, Saya masih sempat bertanya, apakah Mgr masih ada?, mereka mengatakan, Yaaa…. Mgr baru pergi beberapa menit yang lalu, maka sedihlah saya, tidak sempat mendapatkan sesuatu. 

Tapi ternyata Tuhan itu adil lewat kebaikan Mgr Turang. Saya masih ingat ketika beliau berkunjung ke Roma, sesudah mengunjugi Universita Gregoriana, beliau mengajak saya untuk mencicipi makanan Cina. 

Beliau pun bertanya, “Melky dimana Restorante Cinese, paling enak yang dekat dengan Piazza San Pietro”. 

Kamipun makan di Restoran Cina dengan pesanan Rusuk Babi dua porsi, ikan dan nasi goreng, tak lupa Gelato Panas, ice cream yang digoreng karena lapisan luarnya dari tepung. 

Saat itu ice cream ini begitu terkenal. Sambil makan, Mgr Bersharing banyak hal termasuk restoran Cina, dimana kami sementara makan, dan menurut beliau pada zamannya ketika kuliah di Roma, Restoran Cina ini belum ada.  

Sesudah makan malam yang sangat berkesan, saya mengantar Mgr ke Casa Del Clero, dekat piazza San Pietro, teriring kata Ciao, untuk berpisah waktu itu, beliau masih merogoh 100 Euro dari dompetnya untuk saya. 

“Melky, tinggal ini yang didompet, harap boleh membantu”. 100 Euro untuk mahasiswa di negeri Pizza sangat berarti. Teryata Mgr “yang pambae” sampai di akhir hidupnya tetap “Pambae”. 

Terkenang di bulan Agustus tahun 2024, MCC (Manado Catholic Choir) membutuhkan dana yang besar untuk Festival Internasional di Lasarte-Spanyol. 

Saya bertemu dengan Mgr, dan mengutarakan maksud dari MCC yang membutuhkan anggaran yang besar. Mgr Berjanji akan membantu MCC dalam pengaadaan Seragam MCC. Dia menelpon saya, “Melky kamari sekarang, dana bantuan untuk MCC sudah ada”. 

Cepat-cepat saya ke Lotta, dan benarlah beliau memberikan segepok uang pecahan 100 ribu untuk kostum MCC dan Ia telah menyiapkan uang saku untuk saya yang tidak sedikit pula, Terima kasih Mgr. Ia hanya tersenyum dan mengundang saya untuk duduk dan berbincang bersama-sama.

Uskup yang “Disiplin dan Prinsipil”

Banyak memberikan kesaksian bahwa Uskup Petrus Turang memiliki sifat yang sangat khas. 

Banyak mengatakan bahwa Mgr adalah pribadi yang sangat disiplin dan sangat ketat dan tegas memegang prinsip-prinsip. 

Prof Perry bahkan mengatakan dalam ungkapan dukanya, “Sungguh kita kehilangan seorang Uskup tegas pemberani. Tuhan terimalah Mgr Petrus dalam kedamaian abadi, Semoga muncul lagi Uskup asal Sulawesi Utara yang tegas dan pemberani”. 

Begitupun kisah dan cerita dari mantan sopir Mgr di Kupang, yang mengatakan sosok Mgr adalah orang yang sangat disiplin. 

Bahkan ia mengatakaan bersyukur karena boleh belajar soal disiplin dari Mgr selama 27 tahun menjadi sopir pribadi dari Bapak Uskup. 

Memang benar, Mgr Turang memiliki karakter khas dalam hal menghormati waktu didalamnya ada sifat kedisiplinan dan prinsipiil. Saya ingat dua tahun lalu ada pertemuan Aptik di Kupang, sesudah perayaan Ekaristi, ada pembukaan resmi kegiatan tersebut. 

Acara agak molor karena lagi menunggu kepala dinas Pendidikan, kalau tidak salah. 

Sambil bicara-bicara dengan Uskup, beliau meminta saya untuk mampir di wisma keuskupan, dan saat itu beliau mengatakan bahwa kalau kepala dinas belum datang dalam 10 menit, maka beliau akan segera pergi. 

Saya sangka, beliau hanya “bakusedu” saat itu, tapi ternyata memang yang ditunggu-tunggu nanti datang 30 menit sesudahnya, dan Mgr telah meninggalkan venue kegiatan 20 menit sebelumnya. 

Mgr mengajarkan betapa berharganya waktu itu, ia pergi dan pasti tidak akan datang lagi. Sesudah beliau bergelar Emeritus, maka ada banyak waktu di Manado atau tepatnya di Lota. 

Ia punya banyak rencana untuk pengembangan UNIO Manado; ingin dirikan rumah ret-ret di Amurang, dan penggantian rumah panggung UNIO yang terbakar beberapa tahun yang lalu. 

Menarik kalau beliau membutuhkan kehadiran saya. Beliau telpon dan langsung bertanya, Melky dimana? Kalau saya menjawab di Seminari, beliau langsung bilang “Sekarang datang di Lota, 30 menit sudah di sini yah”. 

Saya oke..Oke, saja, Karena tahu karakter beliau yang mencintai ketepatan dan pemanfaatan waktu. Maka, cepat-cepat ke Lota dan beliau sudah siap untuk pergi. 

Uskup yang cinta “Presiden kita, Prabowo”

Sore ini menjadi Viral di pelbagai media, karena kunjungan Presiden Prabowo ke Katedral Jakarta untuk memberikan penghormatan dan mendoakan keselamatan kekal dari Uskup Petrus Turang. 

Seorang Presiden datang untuk memberikan penghormatan, itu berarti pribadi Mgr begitu baik dan berkesan di mata Presiden Prabowo. Tentu ada banyak masukan kepada Presiden tentang pribadi dan karya dari Mgr Petrus Turang. 

Kalau ditanya, Apakah Mgr cinta dan senang dengan Presiden Prabowo? Saya katakan benar adanya. Saya ingat ketika Presiden Prabowo baru terpilih menjadi presiden. 

Waktu itu, saya di Lota, dimana Mgr tinggal, berbicara mengenai keterpilihan dari Prabowo sebagai Presiden. 

Dan Mgr, secara blakblakan saat itu mengatakan, bahwa ia sudah memprediksi bahwa Prabowo yang akan jadi Presiden, biarpun dia mengatakan pula, bahwa sebelum pemilihan sebagai Uskup, Ia tidak terang-terangan mengatakan keberpihakan karena dia tahu Uskup tidak boleh berpolitik praktis. 

Kamipun berbincang-bincang seputar berpolitikan Indonesia, termasuk pemerintahan di NTT, termasuk di Kupang sendiri. 

Beliau banyak bercerita tentang sepak terjang para politisi disana dengan usaha-usaha memajukan NTT dan Kupang, dan selalu Mgr mengatakan bahwa Ia selalu bersikap kritis terhadap pemerintah, dan selalu ada dibenaknya bagaimana “option for the poor” mesti menjadi pilihan utama dalam memajukan suatu daerah atau negara. 

Kehadiran tadi sore Bapak Presiden menjadi apresiasi dan perhatian indah bagi Mgr Turang. 

Dengan orang yang dicintainya, yang ia percaya bisa memajukan Indonesia datang menghampiri dan mendoakannya memberikan “keceriaan dan senyum” bagi Mgr. 

Uskup yang sayang pada imam-imam dan umatnya

Kehadiran Mgr di tengah-tengah para imam dan umatnya sungguh dialami sebagai ‘pendamai, pemberi ketenangan dan penguatan’. Mgr begitu mengasihi dan mencintai para imamnya. 

Dari karakter keras dan tegasnya dalam memformasi para imamnya, terdapat hati seorang bapa yang merangkul, memeluk dan mencium para imamnya. 

Salah satu percakapan kami yang berkesan ketika saya bertanya bagaimana dengan imam-imam di Keuskupan Kupang. 

Ia hanya mengatakan, “Sebagai Uskup saya sangat mengasihi mereka, termasuk mereka yang membuat kesalahan selalu ada jalan keluar untuk mereka semua”. 

Menurut beliau biasanya untuk mendampingi para imam “bermasalah” ada tim khusus yang mendampingi mereka. Beliau biasa mendapat laporan, dan akan membuat kebijakan tertentu kepada imam tertentu kalau dirasa perlu. 

Tetapi dari kedalaman hatinya, Ia begitu mencintai para imamnya. Termasuk kami di Manado, bagaimana kehadiran dari Mgr membawa berkat dalam banyak hal. Ia mendampingi, menguatkan, bahkan beberapa imam kami yang sakit dan bermasalah mendapat perhatian khusus. 

Suatu ketika, Beliau menelpon saya, “Melky, ajak teman-teman untuk pergi ke Pst Yo Ansow di Keroit”, dua jam setengah dari Pineleng-lota. 

Beliau begitu antusias menuju ke Keroit dan disana ada suasana persaudaraan antar kami, sambil disuguhi dengan bir dan “aer kata-kata” (captikus), kami membagi pengalaman satu dengan yang lain. 

Ungkapan kegembiraan Pst Yo dengan menyiapkan makan siang dengan menu ayam kampung, babi panggang dan mujair bakar. Pulang juga kami dibekali dengan beberapa botol “aer kata-kata”. 

Hati seorang Uskup selalu untuk para imamnya. Termasuk juga hatinya tertuju selalu pada umatnya. Ada begitu banyak orang telah mengalami kebaikannya. 

Ci Lucia Liando adalah sahabat dari Mgr Turang, pernah berkata “Pastor, biar Mgr keras bagitu, mar dia pe hati baek sekali untuk semua”. 

Perbincangan itu muncul dalam rangka renovasi rumah Unio di Manado. Ci Lucia punya keinginan tertentu dengan menggunakan arsitek agar hasilnya lebih baik, tetapi Mgr berkehendak yang lain, maka akhirnya saya yang jadi bingung sebagai ketua Unio mau ikut siapa. 

Tetapi solusinya, Ci Lucia mengatakan, “Ikut saja kemauan Mgr, dia begitu keras mar pambae sekali for torang”. Tentu ada banyak kenangan indah Mgr bersama dengan umatnya, yang pasti Mgr selalu punya hati untuk seluruh umatnya.

Masih banyak kisah yang indah telah terjalin bersama dengan Mgr Petrus Turang, paling terakhir, Terima Kasih atas pengabdianmu, cintamu tapi terlebih kesetiaanmu sebagai imam sampai mati. SACERDOS IN AETERNUM.

Salam dan doa

Pengagummu, Pineleng, 4 April 2025, Pukul 20.00

Pastor Melky Malingkas

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes