FAKTA itu suci. Wartakanlah keadilan dan kebenaran. Begitulah yang sering diingatkan kepada insan pers agar dia tetap lurus dalam bekerja. Peringatan itu terus-menerus disampaikan karena pers seperti juga institusi sosial lainnya, bisa lupa diri. Menjauh dari misinya mewartakan kebenaran dan keadilan.
Sejarah pers di belahan dunia manapun selalu kaya warna. Ada masa dimana pers begitu dihormati karena keberpihakannnya yang jelas, nyata dan tegas akan kebenaran dan keadilan. Pers sungguh hadir sebagai suara hati nurani rakyat. Dia menyuarakan aspirasi rakyat yang tak mampu bersuara atau tidak dibolehkan bersuara.
Tapi ada juga masa kelam yang memilukan hati. Pers tidak lebih dari corong penguasa, alat kekuasaan yang ikut menindas, memarjinalkan kaum lemah. Pers menjadi tirani baru selain penguasa yang sejatinya memang cenderung menindas.
Pers mudah tergoda atau terbuai. Tergoda untuk memonopoli informasi. Dan karena itu memonopoli kebenaran yang sesungguhnya tabu bagi pers. Kecenderungan seperti ini biasanya tumbuh subur dalam kehidupan bangsa dan negara yang dipimpin penguasa otoriter dan represif. Penguasa yang anti-demokrasi. Agar tetap bertahan hidup pers larut dalam iklim yang diciptakan penguasa. Dia tidak berani berbeda pendapat apalagi melawan arus. Berani melawan berarti harus men__ima resiko pembredelan atau pemberangusan.
Indonesia pernah mengalami masa suram seperti itu. Tak sedikit institusi dan insan pers di negeri ini yang menjadi korban karena berseberangan dengan kehendak penguasa, karena mau menjalankan misinya secara jujur dan benar.
Hingga awal tahun 1990-an, pembredelan pers masih menjadi cerita biasa di negeri kita. Kalaupun ada yang bertahan hidup, toh pers tidak pernah sungguh-sungguh bebas.
Dia terbelenggu dalam dunianya sendiri yang dibayangi ketakutan dan tekanan yang tiada henti. Sensor super ketat menjadi pilihan sikap. Mengeritik secara halus menjadi trend pemberitaan media massa nasional. Tak berani menyentuh langsung lembaga kekuasaan atau aktor-aktor utama dalam lingkaran kekuasaan itu. Sangat jelas mana yang boleh dan tidak boleh diwartakan kepada publik. Ada saja yang sakral dan sensitif meskipun itu berkaitan dengan urusan khalayak.
Informasi cenderung top down. Dari atas ke bawah. Bukan timbal balik. Suara pemerintah adalah menu harian yang disajikan pers Indonesia. Apa kata pemerintah itulah yang dianggap benar. Padahal fakta yang dilaporkan tidak lagi suci. Sudah banyak pesan sponsor dan kepentingan di dalamnya.
Tapi syukurlah. Kisah di atas adalah masa lalu. Kita sekarang sudah masuk era baru bernama reformasi. Kran kebebasan sudah terbuka lebar. Pers semakin independen, tidak lagi menghadapi resiko pemberangusan secara kejam oleh penguasa. Dewasa ini amat mudah mendirikan institusi pers. Tidak ada lagi regulasi yang mengekang dan berbelit-belit.
Persoalan terbesar justru terletak pada insan pers sendiri karena kebebasan yang lebih besar tidak serta merta mengubah wataknya yang mudah tergoda dan terbuai itu. Maka menarik nian otokritik Direktur Utama (Dirut) Perjan RRI, Drs. H. Suryanta dalam sambutan tertulis yang dibacakan Direktur Pemasaran dan Pengembangan Usaha, RH Gun Sukmagunadi, S.E, M.S., saat melantik Drs. Pieter Erasmus Amalo menjadi Kepala RRI Cabang Muda Kupang, menggantikan Prayono, S.E, Selasa (26/4) lalu.
Kita kembali mengutip pernyataan Suryanta. "Radio Republik Indonesia (RRI) selama ini menjadi salah satu media elektronik yang dinantikan para pendengar. Tapi pada masa tertentu, RRI juga hampir ditinggalkan pendengarnya. Sebab RRI semata-mata berfungsi sebagai corong pemerintah dan kurang menyuarakan aspirasi masyarakat."
Kita sebut otokritik karena Dirut Perjan RRI berkata apa adanya tentang kiprah RRI. Bahwa RRI mengalami pasang surut. Ada waktu dimana RRI sekadar menjadi corong pemerintah. Mewartakan yang baik-baik saja dari sisi pemerintah. RRI kurang memberi ruang bagi aspirasi rakyat. Zaman berubah, RRI pun harus berubah. Kira-kira itu yang hendak dikatakan Suryanta bagi jajarannya.
Menurut pandangan kita, otokritik Suryanta menyentuh relung hati insan pers pada umumnya. Kritik atau peringatan Suryanta itu menyadarkan kita semua bahwa kebebasan harus disertai tanggung jawab yang harus nyata wujudnya dalam pengabdian sehari-hari kepada pendengar, pemirsa atau pembaca.
Sekali pers mengabaikan aspirasi masyarakat, menomorduakan kebutuhan mereka akan informasi yang jujur dan benar, maka siap-siaplah untuk ditinggalkan. Kematian pers era keterbukaan ini bukan karena kurang uang atau kurang keterampilan. Pers bisa mati mendadak karena dia tidak lagi dipercaya. Menjaga atau merawat kepercayaan pendengar, pemirsa dan pembaca, itulah tantangan terbesar insan pers, kapan dan dimanapun dia berada. Salam Pos Kupang, Jumat 29 April 2005. (dion db putra)
Sejarah pers di belahan dunia manapun selalu kaya warna. Ada masa dimana pers begitu dihormati karena keberpihakannnya yang jelas, nyata dan tegas akan kebenaran dan keadilan. Pers sungguh hadir sebagai suara hati nurani rakyat. Dia menyuarakan aspirasi rakyat yang tak mampu bersuara atau tidak dibolehkan bersuara.
Tapi ada juga masa kelam yang memilukan hati. Pers tidak lebih dari corong penguasa, alat kekuasaan yang ikut menindas, memarjinalkan kaum lemah. Pers menjadi tirani baru selain penguasa yang sejatinya memang cenderung menindas.
Pers mudah tergoda atau terbuai. Tergoda untuk memonopoli informasi. Dan karena itu memonopoli kebenaran yang sesungguhnya tabu bagi pers. Kecenderungan seperti ini biasanya tumbuh subur dalam kehidupan bangsa dan negara yang dipimpin penguasa otoriter dan represif. Penguasa yang anti-demokrasi. Agar tetap bertahan hidup pers larut dalam iklim yang diciptakan penguasa. Dia tidak berani berbeda pendapat apalagi melawan arus. Berani melawan berarti harus men__ima resiko pembredelan atau pemberangusan.
Indonesia pernah mengalami masa suram seperti itu. Tak sedikit institusi dan insan pers di negeri ini yang menjadi korban karena berseberangan dengan kehendak penguasa, karena mau menjalankan misinya secara jujur dan benar.
Hingga awal tahun 1990-an, pembredelan pers masih menjadi cerita biasa di negeri kita. Kalaupun ada yang bertahan hidup, toh pers tidak pernah sungguh-sungguh bebas.
Dia terbelenggu dalam dunianya sendiri yang dibayangi ketakutan dan tekanan yang tiada henti. Sensor super ketat menjadi pilihan sikap. Mengeritik secara halus menjadi trend pemberitaan media massa nasional. Tak berani menyentuh langsung lembaga kekuasaan atau aktor-aktor utama dalam lingkaran kekuasaan itu. Sangat jelas mana yang boleh dan tidak boleh diwartakan kepada publik. Ada saja yang sakral dan sensitif meskipun itu berkaitan dengan urusan khalayak.
Informasi cenderung top down. Dari atas ke bawah. Bukan timbal balik. Suara pemerintah adalah menu harian yang disajikan pers Indonesia. Apa kata pemerintah itulah yang dianggap benar. Padahal fakta yang dilaporkan tidak lagi suci. Sudah banyak pesan sponsor dan kepentingan di dalamnya.
Tapi syukurlah. Kisah di atas adalah masa lalu. Kita sekarang sudah masuk era baru bernama reformasi. Kran kebebasan sudah terbuka lebar. Pers semakin independen, tidak lagi menghadapi resiko pemberangusan secara kejam oleh penguasa. Dewasa ini amat mudah mendirikan institusi pers. Tidak ada lagi regulasi yang mengekang dan berbelit-belit.
Persoalan terbesar justru terletak pada insan pers sendiri karena kebebasan yang lebih besar tidak serta merta mengubah wataknya yang mudah tergoda dan terbuai itu. Maka menarik nian otokritik Direktur Utama (Dirut) Perjan RRI, Drs. H. Suryanta dalam sambutan tertulis yang dibacakan Direktur Pemasaran dan Pengembangan Usaha, RH Gun Sukmagunadi, S.E, M.S., saat melantik Drs. Pieter Erasmus Amalo menjadi Kepala RRI Cabang Muda Kupang, menggantikan Prayono, S.E, Selasa (26/4) lalu.
Kita kembali mengutip pernyataan Suryanta. "Radio Republik Indonesia (RRI) selama ini menjadi salah satu media elektronik yang dinantikan para pendengar. Tapi pada masa tertentu, RRI juga hampir ditinggalkan pendengarnya. Sebab RRI semata-mata berfungsi sebagai corong pemerintah dan kurang menyuarakan aspirasi masyarakat."
Kita sebut otokritik karena Dirut Perjan RRI berkata apa adanya tentang kiprah RRI. Bahwa RRI mengalami pasang surut. Ada waktu dimana RRI sekadar menjadi corong pemerintah. Mewartakan yang baik-baik saja dari sisi pemerintah. RRI kurang memberi ruang bagi aspirasi rakyat. Zaman berubah, RRI pun harus berubah. Kira-kira itu yang hendak dikatakan Suryanta bagi jajarannya.
Menurut pandangan kita, otokritik Suryanta menyentuh relung hati insan pers pada umumnya. Kritik atau peringatan Suryanta itu menyadarkan kita semua bahwa kebebasan harus disertai tanggung jawab yang harus nyata wujudnya dalam pengabdian sehari-hari kepada pendengar, pemirsa atau pembaca.
Sekali pers mengabaikan aspirasi masyarakat, menomorduakan kebutuhan mereka akan informasi yang jujur dan benar, maka siap-siaplah untuk ditinggalkan. Kematian pers era keterbukaan ini bukan karena kurang uang atau kurang keterampilan. Pers bisa mati mendadak karena dia tidak lagi dipercaya. Menjaga atau merawat kepercayaan pendengar, pemirsa dan pembaca, itulah tantangan terbesar insan pers, kapan dan dimanapun dia berada. Salam Pos Kupang, Jumat 29 April 2005. (dion db putra)