Tawanya yang Menggelegar Itu...

Valens Goa Doy di Balikpapan  2003 (foto Adrizon Zuibir)
Oleh Dion DB Putra*

INFORMASI itu berkembang dari mulut ke mulut sebagian orang NTT di tengah kebisingan ibu kota Jakarta. Orang pertama yang menyampaikan kepada saya adalah Raymundus Jeghe Tiwa.

"Aji (adik, bahasa Flores Tengah, Red)) akan ada koran terbit di Kupang," begitu kata Mundus, anak Maukeli itu di Jl. Sam Ratulangi, Menteng-Jakarta Pusat medio Juli 1992.

Saat itu kami baru selesai mengikuti pendidikan dan latihan jurnalistik yang diselenggarakan bersama oleh Pengurus Pusat PMKRI dan PMII.

"Yang punya SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) Om Damyan Godho, wartawan Kompas," tambah Mundus yang belakangan ketika menjadi wartawan mengubah sapaan akrab dengan Rey. "Biar lebih keren ko," katanya enteng dengan logat Maukeli, Mauponggo.

Kami mengikuti Pendidikan Pers Pancasila di lokasi Diklat Kejaksaan di Cinere, tanggal 5-12 Juli 1992. Kegiatan ini atas kerja sama Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). PMKRI kala itu dipimpin Ir. Cyrilus Kerong, kini salah seorang pimpinan koran bisnis terkemuka, Harian Bisnis Indonesia. Sedangkan PMII dipimpin Ali Masykur Musa. Pembicara antara Matori Abdul Jalil, Mensesneg Moerdiono, Dr. Alberth Hasibuan, Drs. Cosmas Batubara, Rikard Bagun (kini Wakil Pemimpin Redaksi Kompas), Choirie Effendi dan lainnya.

Informasi itu makin berembus kencang setelah kami mendapat pesan telepon dari Kupang, antara lain dari Johny Pari agar segera pulang karena masa pendaftaran wartawan baru sudah dibuka. Johny Pari, senior di PMKRI Kupang menginformasikan bahwa salah satu lokasi pendaftaran melalui Kantor Wilayah Departemen Penerangan (Deppen) Propinsi NTT di Jl. Palapa Kupang (kini Kantor Badan Infokom NTT). Johny bertugas menerima pendaftaran. Niat kami untuk lebih lama lagi di Jakarta memudar. Kupang seolah terus memanggil pulang. "Terlambat datang berarti rugi besar," kata Johny.

Tapi apa daya, uang di kantong nyaris habis. Tak cukup lagi buat tiket pulang dengan kapal. Modal dana bantuan dari Gubernur NTT, Bapak dr. Hendrik Fernandez sudah habis dipakai kami bertiga, Dion, Mundus dan Paul Burin -- utusan PMKRI Cabang Kupang ke diklat jurnalistik itu.

Sudah mengadu kepada Cyrilus Kerong, Ketua Presidium PP PMKRI. "Ade, saya juga berat. Caya akan coba dekati beberapa senior di Jakarta," katanya. Bergerilia ke sana-sini. Cari keluarga di Jakarta tapi uang belum cukup buat tiket pulang dan ongkos makan dalam perjalanan.

Setelah sepekan berlalu, datang malaikat penolong, Drs. Markus Mali (alm) di margasiswa Menteng-Jakarta. Anton Doni yang bisikan aspirasi bahwa kami kehabisan duit. Maklum saja, tiga pekan ikut pelatihan jurnalistik di Cinere. Di Jakarta sudah seminggu. Hampir satu bulan. Modal Rp 750 ribu dari Kupang telah terkuras. Nyaris tak tersisa di dompet kumal yang lebih banyak berisi kertas biar kelihatan tetap padat.

"Besok tunggu saya di sini jam tiga sore," kata Markus Mali. Kala itu Purek III Universitas Krisna Dwipayana. Markus, anak Ende-Lio yang memimpin PMKRI Pusat selama lima tahun itu memenuhi janjinya. Datang ke Menteng dengan mobil kijang mulus. Mobil dinas Purek III. "Ini uang Rp 200 ribu. Kalian pakai bae-bae, usahakan bisa sampai di Kupang. Tiba di sana, lapor Alo Jong Djoko. Beritahu dia kenapa tidak bisa kasi uang lebih," katanya sambil terbahak-bahak. Markus Mali dan Alo Jong Djoko adalah sahabat karib. Sama-sama alumni PMKRI.

Begitulah gaya Markus Mali. Orang Lise yang blak-blakan. Puji Tuhan. Berbagilah saya dengan Mundus dan Paul. Saya bergerak ke Stasiun Gambir. Naik kereta api kelas ekonomi menuju Surabaya. Berdesak-desakan dengan penumpang yang bergelantungan, pedagang asongan dan pengamen yang naik turun semaunya di tiap stasiun. Tak karuan. Besok pagi sampai Surabaya. Cari tahu informasi, jadwal KM Kelimutu ke Pelabuhan Tenau- Kupang masih seminggu lagi. Gawat!

Lagi-lagi Marga PMKRI Surabaya menjadi tempat bernaung. Dua hari lewat, sudah tak tahan. Muncul solusi pulang via jalur darat saja daripada uang habis dan keleleran di Kota Pahlawan. Saya pulang dengan bus Jawa Baru melintasi rute Surabaya-Labuan Bajo. Tiga hari tiga malam dalam perjalanan. Nyeberang selat Bali-Lombok, Bima, Sape, Labuan Bajo. Sampai juga di ujung barat Flores. Dengan bus malam ke Ruteng terus ke Ende. Menginap semalam di rumah orangtua di Onekore dan melajutkan perjalanan ke Kupang via Larantuka (Flores Timur) dengan kapal fery.

"Cepat sudah buat surat lamaran," kata teman-teman di marga St. Fransiskus Xaverius, Jl. Soeharto No. 20 Kupang seperti Alo Min, Marthen Darmonsi, Hardi Himan, Eman Laba, Gabriel Dala, Jannes Eudes Wawa, John Lalongkoe. Bagaimana mungkin? Saya baru masuk semester VII di FIA Undana, belum sarjana sebagai dipersyaratkan.

"Sudah, tulis saja sarjana dalam kurung belum diwisuda. Mereka sonde (tidak, Bahasa Kupang) mungkin periksa semua. Kita kan sudah biasa menulis. Yang penting lampirkan kliping tulisan di berbagai media massa. Fotokopi surat tugas dari mingguan Dian dan UCAN (Union Catholic Asian News)," kata Mundus yang paling rajin mengumpulkan informasi.

Berbondong-bondonglah kami memasukkan lamaran ke Kanwil Deppen NTT. Semua kru Mingguan Dian Biro Kupang di bawah pimpinan Pius Rengka memasukkan lamaran. Ferry Jahang, Lorens Gabur, Viktus Murin, Cyriakus Kiik, Paul K Burin, Karolus Kia Burin, Key Tokan Abdul Azis, Ans Marsali, Kons Kleden, Joss Gerrard Lema, Karolus Kopong Medan dan lainnya. Calon wartawati, antara lain Mariana Dohu, Renata Fernandez, Esther Gah, Evie Pello.

Iklan penerimaan calon wartawan juga diumumkan melalui Harian Surya - Surabaya. Maka banyaklah yang mendaftar. Tidak hanya dari NTT. Belakangan baru saya tahu, putra daerah dan calon yang sudah berpengalaman menulis lebih diutamakan koran baru yang segera terbit itu.

Kelompok 5W + 1H

Bulan Oktober 1992, kehadiran koran baru itu mendekati kenyataan. Kami para calon wartawan dan karyawan-karyawati divisi bisnis dipanggil menjalani tes. Itulah pertama kali saya bertemu dengan Valens Goa Doy, nama besar dalam jagat pers nasional. Orangnya ternyata berbadan kecil, tidak terlalu tinggi, rambut keriting, senyum ramah. Ciri khas utama suara dan tawanya menggelegar. Tatapan matanya tajam, seperti menembus dinding-dinding hati dan otak.

Proses rekruitmen itu berlangsung ketat. Hanya yang lolos seleksi administrasi yang dipanggil untuk wawancara dan tes tertulis. Jumlahnya kurang lebih 70 orang dan terseleksi mengikuti pelatihan wartawan 40 orang. Di kantor sederhana di Jl. Soeharto No. 53 Kupang, seluruh kegiatan itu berlangsung. Di sanalah markas besar redaksi dan bisnis koran Pos Kupang. Letaknya berdampingan dengan tempat fotokopi dan Percetakan Sylvia. Kalau Rudolf Nggai dan Damyan Godho tidak asing lagi. Tempat usaha Om Rudolf adalah langganan kami mahasiswa fotokopi tugas dan jilid makalah. Om Damy pun bukan orang baru. Biasa memberikan materi dalam pelatihan jurnalistik di Kupang.

Pelatihan dikendalikan langsung Om Valens Doy. Mentor lainnya Damyan Godho, Hilarius Japi, Pius Rengka.Wens John Rumung juga ikut membantu dengan kebiasaannya memasang wajah angker dan suara keras. Seluruh materi pelatihan (teori dan praktek) dikendalikan Om Valens Doy. Setiap calon wartawan wajib membawa mesin ketik. Tidak soal apakah milik sendiri atau pinjaman. "Lancar dulu pakai mesin ketik baru kalian boleh rubu-raba (menggunakan) komputer," kata Om Damyan dalam berbagai kesempatan. Komputer di tahun 1992 bagi warga NTT masih merupakan barang luks dan langka.

Om Valens tahu betul kemampuan setiap calon wartawan yang dilatih. Kami dikelompokkan sesuai level kemampuan. Ada grup 5W1H, grup deskripsi, kelompok angle, grup judul dan lead. Grup 5W1H artinya belum cakap dalam mengumpulkan bahan berita. Maka saban hari Anda turun lapangan menggarap sedalam-dalamnya 5W1H itu. Kalau sudah mahir melangkah ke grup angle (mengambil sudut pandang berita).

Menurut Om Valens, bila angle oke berarti akan mudah membuat lead dan judul berita. Pengelompokkan semacam itu menghidupkan suasana pelatihan yang berlangsung meletihkan sejak pukul 08.00 Wita sampai malam hari. "Kalau masih di kelas 5W1H jangan dulu sombong. Belajar lebih keras agar segera masuk kelompok lead dan judul," demikian salah satu cara Om Valens memotivasi.

Setelah menjalani pelatihan selama satu setengah bulan, kami memasuki ujian akhir dan dinyatakan lulus.
Sebanyak 27 orang resmi tercatat sebagai wartawan Pos Kupang angkatan pertama. Kami mulai dibagi ke setiap desk dan beat. Saya merasa beruntung karena mendapat tugas di Kupang khususnya Desk Politik dan Keamanan (Polkam). Banyak teman yang dikirim ke 12 kabupaten se-NTT.

Tanggal 16 November 1991 terbit edisi percobaan yang dibagi-bagikan secara gratis kepada warga Kota Kupang. Setelah enam kali terbit percobaan, tepat hari Selasa tanggal 1 Desember 1991 Pos Kupang terbit reguler enam hari sepekan. Tanggal tersebut menjadi tonggak sejarah lahirnya Pos Kupang, koran harian pertama di Propinsi Nusa Tenggara Timur.

SKH Pos Kupang resmi beredar di Nusa Tenggara Timur dari Jl. Soeharto No. 53 Kupang dengan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) No. 282/SK/Menpen/SIUPP/A.6/1992 tanggal 6 Oktober 1992.

Komposisi pengelola sebagai berikut:
Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi: Damyan Godho
Pj. Pemimpin Perusahaan: Rudolf Nggai
Redaktur Pelaksana : Valens Doy
Redaktur Khusus: Gerson Poyk, Julius R Siyaranamual, Pieter Gontani.
Staf Redaksi: Pius Rengka, Hilarius Japi, Hans Ita, Wens John Rumung, RJ Mardjuki.
Wartawan Daerah: Yulius Lopo (Alor), Yohanes Tende (Waikabubak/Sumba Barat), Domu Warandoy (Waingapu/Sumba Timur), Karolus Kia Burin (Larantuka/Flotim), Ans Marsali, Yos Gerald Lema (Maumere/Sikka), Bone Pukan, (Ende), Yosafat Koli (Bajawa/Ngada), Lorens Gabur (Ruteng/Manggarai), Cyriakus Kiik (Atambua/Belu), Anton Gelat (Kefamenanu/TTU), Marthen Manuain (SoE/TTS). Kupang: Dion DB Putra, Hilarius F Jahang, Evie Pello, Beny Dasman, Renata Fernandez, Mariana Dohu, Karolus Kopong Medan, Azis Tokan, Viktus YK Murin, Bonevantura Sumarmo, Esther Gah, Paul K Burin, MAP Dethan.
Jakarta: J Soetardjo, Marcel W Gobang, Raymundus Tiwa. Koresponden: Emanuel Tukan (Denpasar), Vianey K Burin (Surabaya), Ruston Ndapanga (Malang). Manajer Iklan: Johny Juang. Manajer Sirkulasi: Rudolf Nggai.

"Promosi tsunami"
SKH Pos Kupang terbit dengan promosi yang unik. Selain melalui radio terutama RRI Kupang, tim bisnis harian ini menyebarkan brosur lewat udara. Om Damy memanfaatkan hubungan baiknya dengan Dan Lanud El Tari-Kupang saat itu, Lektol (Pnb) Djoko Purwoko.

Djoko yang merupakan instruktur penerbang pesawat F16 didikan Amerika Serikat mengizinkan penyebaran brosur Pos Kupang dari pesawat Hercules yang terbang keliling Kota Kupang dan sekitarnya. Maka dalam sekejap ribuan brosur itu tersebar luas.

Gara-gara cara ini, Walikota Kota Administratif (Kotif) Kupang, SK Lerik sempat berguyon, Pos Kupang bikin repot pasukan kuning (petugas kebersihan kota) yang harus membersihkan sampah berupa brosur yang tersebar di mana-mana.

Promosi dengan cara semacam itu jelas tidak memadai. Tidak banyak orang NTT segera mengenal Pos Kupang dan menyadari kehadirannya di tengah mereka. Alam rupanya berbaik hati, alam tidak selamanya kejam. Baru dua pekan Pos Kupang hadir, terjadi peristiwa besar dalam sejarah Propinsi NTT. Hari Sabtu tanggal 12 Desember 1992 pukul 13:29:25 Wita gempa tektonik berkekuatan 7,5 skala Richter menghantam Pulau Flores dengan Maumere paling parah terkena dampaknya. Pusat gempa pada kedalaman 15 km di Laut Flores itu sangat kuat yang segera diikuti dengan gelombang tsunami.

Dalam sekejap 2.080 orang meninggal dunia dan lebih dari 500 orang luka berat. Jumlah bangunan yang roboh atau rusak berat sebanyak 28.118 rumah, 785 gedung sekolah, 307 rumah ibadah, 493 kantor dan toko. Banyak terjadi tanah terbelah antara Maumere dan Ende, hubungan darat antara Maumere dan Larantuka terputus karena jalan utama tertutup tanah longsor.

Gempa diikuti dengan gempa susulan yang masih terpantau hingga tanggal 5 Januari 1993. Flores seolah mengalami kiamat kecil. Presiden Soeharto menetapkannya sebagai bencana nasional. Pak Harto juga mengunjungi para korban di Maumere. Dengan sedih tokoh nasional asal Sikka, Drs. Frans Seda melukiskan Flores mengalami kemunduran selama 25 tahun.

Peristiwa alam itu menjadi jualan utama Pos Kupang berbulan-bulan kemudian. Dalam waktu singkat Pos Kupang menjadi populer di NTT serta Indonesia. Koran selalu habis terjual. Bayangkan saja Pos Kupang yang pada dua pekan pertama hanya dicetak 3.000 eksemplar, melonjak drastis menjadi 16.000 eksemplar per hari karena tingginya permintaan. Dalam dua minggu pertama pasca gempa, berita Pos Kupang bahkan difotokopi lalu perjualbelikan. Kejadian seperti ini antara lain berlangsung di Flores Timur, Manggarai dan Sumba.

Gempa Flores 1992 juga mengantar Pos Kupang masuk jaringan surat kabar dunia. Berita dan foto Pos Kupang dimuat hampir semua kantor berita internasional seperti Reuters, AFP, AP, Yonhap, Xinhua, NHK, Bernama, Antara. Tentu saja merupakan kebanggaan tersendiri bagi kami ketika itu. Foto kapal yang dihempas tsunami hingga terlempar ke darat hampir 100 meter di bibir pantai Maumere karya Wens John Rumung, misalnya, menjadi foto utama Reuters.

Hampir saban malam, Pos Kupang juga mensuplai berita untuk koran-koran daerah yang dirintis Om Valens Doy seperti Surya, Sriwijaya Pos, Serambi Indonesia, Bernas. Cukup sering deadline Pos Kupang terlambat karena kami harus mengutamakan berita untuk koran lain. Om Damy "muka asam" kalau melihat Om Valens Doy sibuk menghubungi berbagai redaksi di daerah lain.

Salah satu pengalaman berkesan saat gempa adalah tentang Kelimutu. Ketika itu Pos Kupang 'kecolongan' dari salah satu koran terbitan Surabaya yang memberitakan danau Tri Warna itu telah kering gara-gara gempa 12 Desember 1992. Om Valens Doy penasaran hebat. "Pos Kupang harus buktikan apakah danau kebanggaan nasional itu sudah kering atau belum," katanya di ruang rapat redaksi.

Om Valens memutuskan untuk menugaskan wartawan daerah di Bajawa, Yosafat Koli yang ketika itu sedang membantu Bonne Pukan di Ende untuk liputan gempa Flores. "Yos, you bagus dalam menulis features. Sekarang you ke Kelimutu," perintah Om Valens via telepon.

Jarak Ende-Kelimutu tidak lebih dari 60 km. Bukan perkara besar kalau kondisi normal. Hanya memerlukan waktu sekitar dua jam untuk sampai di puncak Kelimutu. Nah, masalahnya jalan trans Ende-Maumere putus total akibat longsoran. Yos harus ke Kelimutu dengan berjalan kaki saja. Pengamalan jurnalistik yang fantastik!

Yos patuh pada perintah Om Valens -- meskipun Om Damy sebenarnya agak keberatan karena gempa susulan masih terjadi dan Yos bisa celaka dalam perjalanan. Yos menghabiskan waktu enam hari pergi-pulang Ende-Kelimutu. Tidur di rumah penduduk dalam perjalanan. Om Valens bangga padanya.

Dia membuat tulisan dan gambar yang mematahkan laporan koran Surabaya bahwa Kelimutu kering. Berita itu bohong, spekulatif. Danau Kelimutu masih tetap Triwarna, meskipun akibat gempa terjadi penurunan permukaan tanah di sekitar bibir danau. Pos Kupang menampilkan foto Yosafat Koli dengan latar belakang danau tiga warna.

Celakanya pada kredit foto kiriman Yos yang kini Ketua KPU Kabupaten Ngada itu tertulis: Foto Pos Kupang/Yosafat Koli. Yos kok bisa mengambil gambar dirinya sendiri. Padahal kami semua tahu, kamera yang dipakainya cuma sebuah kodak tua, bukan kamera otomatis. Hans Itta yang mengelola halaman Flobamora bercanda, "Yos apakah yang foto engkau itu setan di Gunung Kelimutu?" Yos pun terbahak-bahak menyadari kekeliruannya.

Mengenang masa-masa awal di Pos Kupang sungguh jauh berbeda dengan kondisi sekarang yang semuanya sudah jauh lebih lengkap dan memadai. Dulu wartawan ke mana-mana mencari berita mengandalkan jalan kaki atau naik angkutan umum. Sekarang umumnya sudah memiliki kendaraan sendiri. Dulu di halaman parkir cuma satu dua sepeda motor, sekarang jumlahnya lusinan. Teknologi komunikasi dan informasi pun begitu pesat. Memudahkan pekerjaan menjadi lebih efisien dan efektif. Zaman memang berubah.


Orang Gila

SKH Pos Kupang hadir di tengah pesismisme sebagian besar pembaca di NTT. Pertanyaan besar adalah apakah koran ini bisa bertahan hidup? Pengalaman kegagalan Kupang Pos kerap menjadi referensi pembanding. Apalagi salah satu tokoh kunci koran harian ini adalah Damyan Godho, koresponden Harian Kompas yang juga merintis lahirnya Kupang Pos yang dengan susah payah sempat melayani pembaca di NTT antara tahun 1978-1986.

Saat acara launching Pos Kupang di Hotel Pantai Timor Kupang, Gubernur NTT dr. Hendrik Fernandez melukiskan para perintis koran ini sebagai "orang-orang gila". Gila karena begitu berani menerbitkan koran harian di daerah minus NTT. Gubernur Fernandez membayangkan betapa beratnya bisnis Pos Kupang karena semua bahan baku harus didatangkan dari Pulau Jawa. Juga sulitnya mendistribusikan koran ke seluruh pelosok Flobamora -- di tengah kendala isolasi wilayah dan sarana prasarana transportasi dan komunikasi yang jauh dari memadai.

"Tetapi NTT ini memang memerlukan 'orang-orang gila' seperti pak Damyan Godho, Valens Doy. Pak Rudolf Nggai. Demi perubahan, harus ada keberanian mengambil resiko. Saya menyambut baik hadirnya Pos Kupang yang akan memberikan pencerahan kepada masyarakat NTT," kata Gubernur Fernandez ketika itu.

Teman-teman kami yang bertugas di kabupaten se-NTT rata-rata mengalami pengalaman yang sama. Ketika memperkenalkan diri sebagai wartawan Pos Kupang, ada saja yang menyambut dengan cibiran. Tidak percaya dan sinis. Ada yang menantang apakah Pos Kupang sanggup melewati masa enam bulan. "Jangan-jangan cuma terbit tiga bulan lalu selesai," demikian komentar dari beberapa orang. Kecaman dan hujatan begitu sering mampir ke redaksi manakala Pos Kupang mulai menjalankan salah satu perannya sebagai alat kontrol sosial.

Ada pengalaman menarik ketika dalam enam bulan pertama kami menerima ribuan pucuk surat kaleng. Surat tanpa nama dan alamat pengirimnya. Kalaupun ada, nama dan alamat palsu. Kantor kami di Jl. Soeharto No. 53 juga sering dihujani batu kelikir pada malam hari. Kami pun digugat secara hukum hingga pengadilan. Kehadiran Pos Kupang mulai dirasakan sebagai 'pengganggu tidur malam' bagi sebagian orang yang merasa kemapanannya terusik.

Kisah di atas cuma secuil kenangan. Setiap angkatan tentu memiliki kisah masing-masing. Semua punya kontribusi membesarkan harian ini sampai usianya 15 tahun (2007)  bahkan hingga kapanpun Pos Kupang bertahan hidup sesuai takdir sejarahnya.

Menjadi wartawan Pos Kupang berarti menjadi anak Nusa Tenggara Timur, anak bangsa Indonesia yang mengabdi untuk sebagian besar yang masih miskin dan papa, tertinggal, terpinggirkan. Mungkin terlalu ideal disebutkan menjadi garam dan lilin bagi sesama. Wartawan Pos Kupang coba merealiasikan visi dan misinya dalam pekerjaan sehari-hari. 

Membantu sesama keluar dari persoalannya atau dalam kata-kata Valens Doy media itu harus memberi benefit bagi publik. Menjelaskan suatu masalah secara proporsional sehingga menjadi referensi, inspirasi, penuntun, pedoman bagi masyarakat. Menyentil tanpa menyakiti. Mengeritik untuk dimaklumi dan menemukan solusi. 

Hanya dengan semangat itulah saya dan siapa pun yang bergabung di lembaga ini boleh dengan bangga memperkenalkan diri: Saya wartawan Pos Kupang, Suara Nusa Tenggara Timur. Wartawan dengan integritas baik. Wartawan yang bisa dipercaya. Keutamaan sikap itu harus tetap terpelihara pada setiap insan yang memilih medan pengabdian lewat lembaga ini. Jika tidak, maka Pos Kupang akan ditinggalkan pembacanya, akan dilupakan dalam penggalan sejarah.  Dari buku: 15 Tahun Pos Kupang.**
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes