Selamat Jalan Mgr. Donatus Djagom, SVD

Mgr. Donatus Djagom, SVD
ENDE, PK – Uskup Emeritus, Mgr. Donatus Djagom, SVD, menghembuskan nafas terakhir di tempat perawatannya di Istana Keuskupan Ende, Selasa (29/11/2011) pukul 13.00 Wita. Mgr. Donatus meninggal dunia dalam usia 92 tahun. Selamat Jalan Uskup Donatus.

Uskup Agung Ende, Mgr. Vincentius Sensi Potokota, Pr, yang ditemui, mengatakan, Mgr. Donatus dijemput dari kampung halamannya di Ranggu, Manggarai sejak bulan April 2011 untuk menjalani perawatan karena faktor usia.

Ada rasa kehilangan yang dialami Mgr. Vincentius atas kematian seniornya ini. Dia tidak memiliki kesan khusus dengan Mgr. Donatus, namun dia merasa sangat kehilangan. “Mgr Donatus sangat berjasa khususnya untuk perkembangan gereja Katolik di Keuskupan Ende. Saat menjabat, keuskupan ini berkembang sangat pesat. Beliau amat berjasa bukan hanya karena paling lama menjadi uskup di sini, namun jasanya bagi perkembangan gereja di sini sangat besar,” ujar Mgr. Vincentius.

Mgr. Vincentius mengaku di hari-hari terakhir hidupnya, dia selalu bersama Mgr Donatus. Namun, kata Mgr. Vincentius, tidak ada pesan khusus yang ditinggalkan sang senior.


Kematian Mgr Donatus menimbulkan duka mendalam bagi umat Katolik di Kota Ende dan sekitarnya. Sekab Ende, Drs. Yoseph Ansar Rera, Asisten I, Marthinus Ndate, Kepala Dinas Perhubungan, Abraham Badu, langsung hadir di Istana Keuskupan Ndona sesaat setelah mendengar kepergian beliau.
Para pimpinan gereja dan rohaniawan juga nampak memenuhi sekitar Istana Keuskupan. Mulai dari dimandikan hingga diantar ke gereja di kompleks istana, warga tampak berjubel.

Usai dimandikan, jasad Mgr Donatus diarak dan disemayamkan di altar kapela Istana Keuskupan Rencananya, Rabu pagi (30/11/2011), jenazah Mgr. Donatus akan dibawa untuk disemayamkan di Gereja Katedral Ende. “Kami akan berikan kesempatan kepada umat untuk mendoakan Mgr. Donatus sepanjang hari,” katanya Uskup Sensi. (eko)

Uskup Donatus Dimakamkan Jumat 2 Desember 2011


KEUSKUPAN Agung Ende dalam berita kepada seluruh umat mengumumkan kematian Mgr. Donatus Djagom, SVD, Uskup Emeritus Keuskupan Agung Ende pada HARI Selasa (29/11) pukul 13.00 Wita di Ndona.

Sejak hari Selasa (29/11/2011) hingga Rabu (30/11/2011) pukul 09.30, jenazah Mgr. Donatus Djagom, SVD disemayamkan di Kapela Keuskupan-Ndona. Selanjutnya pada pukul 10.00 Wita hari ini akan diantar ke Gereja Katedral Ende untuk disemayamkan di sana sampai dengan misa pemakaman pada Jumat (2/12/2011).

Rute prosesi dari Ndona menuju Gereja Katedral Ende sebagai berikut: Jl. Ndona-Wolowona, Jl Gatot Subroto. Jl El Tari, Jl Wirajaya, Jl Pahlawan, Jl Soekarno, Gereja Katedral.

Selama disemayamkan di Gereja Katedral, selain doa-doa bergilir dari seluruh umat yang datang, juga akan dirayakan Ekaristi dengan jadwal:
- Tanggal 30 November: pkl 17.00 Wita.
- Tanggal 1 Desember: pk 17.00 Wita
- Tanggal 2 Desember: misa pemakaman pk 08.00 Wita. Setelah misa dilanjutkan dengan upacara pemakaman dengan rute prosesi mulai dari Jl Katedral, Jl Irian Jaya, Jl Kelimutu, Jl Gatot Subroto, Jl. Wolowona-Ndona.

Dengan demikian Uskup Donatus Djagom, SVD akan dimakamkan di Ndona, di tempat yang sama dengan Uskup Longinus da Cunha, Pr yang meninggal dunia pada tahun 2006. (osi)

DATA DIRI

Nama : Mgr. Donatus Djagom, SVD, Uskup Emeritus
Lahir : Bilas, Manggarai, 10 Mei 1919

Pendidikan :
- Tahun 1929 masuk sekolah desa (3 tahun)
- Tahun 1932 masuk sekolah standar di Ruteng
- Tahun 1935 melanjutkan pendidikan di Seminari Menengah Mataloko
- Masuk Novisiat SVD di Ledalero 1942
- Kaul pertama diikrarkan pada tahun 1944
- Studi Teologi di Ledalero tahun 1946 dilanjutkan hingga selesai di Teteringen-Belanda tahun 1948
- Ditahbiskan imam di Teteringen – Belanda, 28 Agustus 1949

Karya/Masa Pengabdian :
- Tahun 1951 – 1952 sebagai pengajar pada Seminari Menengah San Dominggo di Hokeng, Flores Timur
- Tahun 1952 – 1953 sebagai pengajar pada Seminari Menengah di Lalian, Belu
- Tahun 1953 – 1956 sebagai pengajar pada Seminari Menengah San Dominggo Hokeng, Flores Timur
- Tahun 1956 -1958 tugas belajar di Filipina
- Tahun 1958 – 1960 sebagai pengajar pada Seminari San Dominggo Hokeng, Flores Timur
- Tahun 1960 – 1969 sebagai Rektor SMA Katolik Syuradikara, Ende
- 11 Juni 1969 – 1996 sebagai Uskup Agung Ende

Tugas-Tugas Lain :
- Sebagai Wakil Regional (mendampingi Regional Ende, pada masa PA Bakker, SVD dan PN Apeldoorm, SVD)
- Konsultor untuk Uskup Agung Ende, Mgr. Gabriel Manek, SVD
- Anggota Presidium Konferensi Wali Gereja Indfonesia (KWI)
- Anggota Standing Committee FABC (Federasi Konferensi Wali Gereja Asia)

Masa pensiun dijalani di Ranggu, Manggarai, kampung halamannya. Meninggal dunia di Ndona, Ende hari Selasa 29 November 2011 sekitar pukul 13.00 Wita.

Sumber: Keuskupan Agung Ende

Pos Kupang, Rabu 30 November 2011 hal 1

Hidup di Bumi yang Makin Panas

WARGA Kota Ende menjerit di penghujung November. Suhu kota ini sungguh menikam ubun, membakar kulit dan mendidihkan dada. Di tengah krisis air yang mendera mereka sejak awal September 2011, suhu udara rata-rata 35-37 derajat Celcius sungguh membuat hidup jauh dari rasa nyaman. Tidur tak nyenyak. Makan pun tak berselera.

Ya, mereka hidup di kota yang panas. Bahkan panas luar biasa. Jauh berbeda dibanding kondisi lima atau sepuluh tahun silam. Ende, kota yang diapit empat gunung menjulang, Kengo, Wongge, Iya dan Meja biasanya tidak terlalu panas seperti Kota Maumere atau Kupang. Kota ini bersuhu sedang. Tapi kini justru di akhir November yang mestinya sudah masuk musim baru, suhu udara malah semakin tak bersahabat. Hujan tak kunjung datang. Entah sampai kapan.

Terik mentari menikam ubun kiranya bukan hanya menimpa warga Kota Ende semata. Anda yang berdomisili di Kupang, Maumere, Larantuka, Kalabahi, Atambua, Waingapu dan Ba’a dan kota lainnya pasti merasakan kegerahan yang sama dan sebangun. Kita hidup di bumi makin panas. Bumi yang menjerit krisis air, pangan dan energi tiada henti. Kalau hari ini sudah sepanas itu, bagaimana kondisi dua puluh atau lima puluh tahun ke depan? Kita bisa membayangkan sendiri situasinya. Kasihan anak cucu kita.

Begitulah iklim yang telah berubah drastis. Seperti telah diungkapkan beribu kali oleh banyak tokoh, mulai dari ilmuwan sampai tokoh agama dan pemimpin negeri, iklim yang berubah sangat buruk itu akibat ulah manusia sendiri. Bumi adalah rumah hunian kita, tetapi di antara makhluk hidup di bumi ini, manusia paling rakus dan pongah. Manusia angkuh dan serakah mengeksploitasi sumber daya alam dan lingkungannya.

Dulu negeri kita dikenal sebagai paru-paru dunia karena hutan tropisnya yang maha luas di berbagai pulau besar maupun kecil. Namun, wikipedia Indonesia mencatat berdasarkan data Bank Dunia sejak tahun 1985-1997 Indonesia telah kehilangan hutan sekitar 1,5 juta hektar setiap tahun dan diperkirakan tinggal sekitar 20 juta hektar hutan produksi yang tersisa.
Hilangnya hutan akibat penebangan liar berkaitan dengan meningkatnya kebutuhan kayu di pasar internasional, besarnya kapasitas terpasang industri kayu dalam negeri, konsumsi lokal, lemahnya penegakan hukum dan pemutihan kayu di luar kawasan tebangan.

Menurut data Kementerian Kehutanan RI tahun 2006, luas hutan yang rusak dan tidak dapat berfungsi optimal telah mencapai 59,6 juta hektar dari 120,35 juta hektar kawasan hutan di Indonesia. Laju deforestasi (kerusakan hutan) rata-rata 2,83 juta hektar per tahun. Dan, sebagian besar deforestasi itu akibat sistem politik dan ekonomi yang menganggap sumber daya hutan sebagai sumber pendapatan dan bisa dieksploitasi untuk kepentingan politik serta keuntungan pribadi.

Menebang pohon adalah pekerjaan enteng. Dengan gergaji mesin cuma butuh beberapa menit untuk menumbangkan sebatang pohon yang telah berusia puluhan bahkan ratusan tahun. Yang sulit adalah menanam kembali. Pemerintah RI lewat Kementerian Kehutanan serta berbagai instansi formal telah berkali-kali menggelorakan gerakan menanam pohon. Beberapa tahun lalu kita kenal Gerakan Nasional Menanam Sejuta Pohon. Tahun ini lagi-lagi kita mendengar gerakan yang lebih heboh yaitu Menanam Satu Miliar Pohon.

Sejuta pohon atau satu miliar pohon hendaknya dimengerti sebagai angka imajiner. Pemerintah memiliki pesan mendalam di balik gerakan tersebut yaitu mengajak seluruh masyarakat Indonesia untuk menanam pohon sebagai bagian dari keseharian hidupnya. Anda jangan hanya gesit memotong, tetapi piawai juga menanam kembali. Kalau setiap rumah tangga di negeri ini menanam satu pohon saja di pekarangan rumah atau di lahan yang kosong, maka impian sejuta pohon bukanlah sesuatu yang muskil.

Dua hari yang lalu, Wakil Gubernur NTT, Ir. Esthon L Foenay, M.Si memimpin aparat Pemerintah Propinsi NTT dan Kota Kupang menanam pohon di kawasan Loti, Kelurahan Fatukoa, Kota Kupang. Kegiatan tersebut menandai dimulainya Gerakan Menanam Satu Miliar Pohon tingkat Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Baik adanya melihat aparatur pemerintah memberikan contoh tentang budaya menanam pohon. Cuma kita tidak lupa pengalaman masa lalu. Gebyar menanam hanya pada saat gerakan itu dikumandangkan. Seiring perjalanan waktu, pohon yang ditanam merana mati karena tidak disiram dan dirawat. Kegagalan proyek penghijauan di wilayah NTT bukan kabar baru.

Kita tidak mau pengalaman buruk itu terulang. Menaman mesti diikuti dengan menyiram dan merawat sampai pohon itu tumbuh berkembang. Juga disertai pengawasan agar orang tidak mudah memotong pohon sesuka hati. Kalau kita mendambakan bumi yang lebih adem, suhu udara yang nyaman dan sehat, maka gerakan menanam pohon harus menjadi kebiasaan baru dalam hidup yang bermartabat. Siapa menanam, dia akan menuai. Siapa malas menanam, siap-siaplah untuk hidup di bumi yang makin panas dan gersang. Kira-kira begitulah. *

Pos Kupang, 30 November 2011 hal 4

Mgr. Donatus Djagom, SVD: Masih Semangat Bicara Sepakbola

Uskup Donatus (kiri) di Ndona, 25-11-2011
INGATAN Yang Mulia memang tidak sejernih dulu. Maklum faktor usia serta kondisi kesehatan yang agak menurun setahun terakhir. Untuk menyegarkan ingatannya, mudah saja resepnya. Ajak Yang Mulia bicara soal sepakbola. So pasti dia penuh semangat mengisahkan masa jayanya ketika studi di Belanda serta hobinya bermain bola guna menjaga kebugaran tubuh.

Tokoh yang sangat kuat ingatannya soal sepakbola itu adalah Uskup Emeritus Mgr. Donatus Djagom, SVD. Tahun ini Yang Mulia berusia 93 tahun. “Tak menyangka.” Cuma kalimat itu yang diungkapkan Uskup Donatus Djagom kepada Pos Kupang yang menemuinya di Lembaga Pendidikan Remaja Biara Susteran CIJ di Kawasan Istana Keuskupan Agung Ende di Ndona, Jumat (25/11/2011). Uskup Emeritus ketika itu didampingi Romo Efraim Pea, Pr.

Rm. Efraim Pea mengatakan, Uskup Donatus telah berada di biara tersebut sejak bulan April 2011. Menurut Rm.Efraim Pea, Uskup Donatus sakit sehingga Uskup Agung Ende, Mgr. Vinsensius Sensi Potokota, Pr menjemput beliau dari Ranggu, Manggarai ke Ndona untuk perawatan. Sakit yang diderita telah diobati, namun karena faktor usia Uskup Donatus tidak bisa berjalan normal lagi.

Menurut Rm. Efraim, ingatan Uskup Donatus cenderung melemah, namun beliau penuh semangat berceritera jika ingatannya sesekali muncul. Beliau sangat antusias menceritakan pengalamannya bermain bola di Belanda saat studi di sana. Kaki kanan Uskup Donatus selalu menghasilkan gol, meski tendangan dari jarak jauh. Uskup Donatus juga sering bercerita tentang Vatikan dan pengalaman berkesan setiap kali bertemu Sri Paus di Vatikan. Selama menjadi Uskup Agung Ende, Uskup Donatus bertemu Sri Paus secara langsung di Roma sebanyak lima kali.

Romo Efraim Pea mengatakan, soal resep panjang umur, Uskup Donatus selalu berkata, hal pertama yang tidak dilupakan adalah doa. Kemudian bersikap jujur serta tidak menyusahkan hidup orang lain. Ungkapan lain yang sering disampaikan Uskup Donatus adalah “tak menyangka”. Tak menyangka ia bisa menjadi Uskup Agung Ende dan tak menyangka usianya bisa setua kini.

Seperti disaksikan Pos Kupang, Uskup Donatus duduk di atas kursi roda. Matanya lebih banyak tertutup. Kedua tangannya terus terkatup seperti orang sedang berdoa. Ingatannya muncul-tenggelam. Sesekali merespons pembicaraan orang lain dan mengumbar senyum kebapaan.

Salah seorang anak yang mendampingi Uskup Donatus, Erik Djo mengungkapkan, beliau langsung berdoa setelah bangun tidur pagi. Demikian pula malam hari sebelum tidur. Beliau juga suka berjemur matahari. Menu santapan pagi Uskup Donatus berupa biscuit dengan air putih. Siang makan sedikit nasi, sayur dan lauk. Demikian juga pada malam hari.

Mgr. Donatus Djagom, SVD adalah Uskup Agung Ende selama dua puluh delapan tahun yaitu dari tahun 1968 hingga 1996. Uskup Donatus menggantikan Mgr. Gabriel Wilhelmus Manek, S.V.D. Donatus Djagom memimpin Keuskupan Agung Ende sejak tanggal 19 Desember 1968 hingga pensiun pada 23 Februari 1996. Pemimpin Tahta Suci kemudian mengangkat Mgr. Longinus da Cunha, Pr sebagai pengganti beliau. Uskup Longinus memimpin keuskupan itu sejak 23 Februari 1996 hingga wafat pada 6 April 2006.

Keuskupan Agung Ende meliputi tiga kabupaten yaitu Ende, Ngada dan Nagekeo. Keuskupan Agung Ende merupakan tahta metropolitan dari empat keuskupan sufragan yaitu keuskupan Denpasar, Larantuka, Maumere dan Ruteng.

Kami Memberitakan Kristus yang Disalibkan (1 Kor 1 : 23). Itulah motto Mgr. Donatus Djagom, SVD saat diangkat menjadi Uskup Agung Ende.Uskup Donatus lahir pada tanggal 10 Mei 1919 di Ranggu, sebuah desa kecil dan subur di Manggarai, Flores Barat.

Dalam buku Kenangan 75 tahun Paroki Kristus Raja Ende dikisahkan, setamat dari Seminari Mataloko, Donatus masuk Novisiat SVD dan melanjutkan studi filsafat di Seminari Tinggi Ledalero. Sesudah perang dunia II Donatus melanjutkan studi teologi di Seminari Tinggi SVD di Teteringen, Belanda dan ditahbiskan menjadi imam pada tanggal 28 Agustus 1949.

Donatus kemudian studi lanjut di Universitas San Carlos, Cebu-Filipina dan sekembali dari sana diangkat menjadi Rektor SMAK Syuradikara-Ende, merangkap sebagai Asisten atau Wakil Regional SVD Ende hingga akhirnya diangkat menjadi Uskup Agung Ende.

Uskup Donatus terhitung sebagai Uskup Agung Ende kedua sejak Gereja Katolik Indonesia berbentuk hirarki sendiri. Uskup Donatus menggantikan Uskup Gabriel Manek, SVD, beliau memimpin pada masa kehidupan menggereja menapaki tahap pengakaran dan pendalaman iman. Dalam masa kepemimpinannya, terjadi perkembangan dan kemajuan yang amat pesat dalam segala bidang, baik iptek, komunikasi dan informasi, ekonomi dan sosial-politik serta pendidikan dan kebudayaan. Semua faktor tersebut memberikan dampak dan sumbangan yang tidak kecil pada pertumbuhan dan pendewasaan iman umat dan kehidupan menggereja umumnya.

Setelah pensiun dari uskup tahun 1996, Uskup Emeritus Donatus Djagom minta kembali ke kampung halamannya di Ranggu, Manggarai. Uskup Donatus menikmati hari tuanya dengan keluarganya di desa kecil yang subur itu. Meski telah pensiun sebagai seorang uskup, namun Yang Mulia tetap menjalankan tugasnya sebagai seorang gembala umat. (okto manehat)

Pos Kupang, Selasa 29 November 2011 halaman 11

Ikhwal Korupsi di Kabupaten Ende

ilustrasi
TENTANG Kabupaten Ende, ingatan kolektif kita hari-hari ini tidak sekadar keindahan danau Tri Warna Kelimutu, pisang beranga yang gurih atau ubi Nuabosi yang nikmat tiada tara. Dari Kabupaten Ende baru saja kita mengecapi warta penegakan hukum dalam kasus korupsi APBD yang melibatkan mantan pejabat tinggi daerah tersebut.

Hari Selasa, 8 November 2011, mantan Sekretaris Kabupaten (Sekab) Ende, Drs. Iskandar Mberu akhirnya menyerahkan diri kepada aparat Kejaksaan Negeri (Kejari) Ende. Hari itu juga Iskandar masuk Lembaga Pemasyarakatan (LP) Ende.

Iskandar sempat masuk daftar pencarian orang (DPO) Kejari Ende setelah gagal dieksekusi jaksa di rumahnya pada Kamis (3/11/2011). Selama lima hari informasi tentang keberadaan Iskandar Mberu simpang-siur.

Iskandar Mberu mesti masuk penjara karena permohonan kasasinya ditolak Mahkamah Agung (MA) RI. MA memutuskan Mberu terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana secara bersama-sama dan berkelanjutan dalam perkara korupsi dana APBD Kabupaten Ende tahun 2005 dan 2008 sebesar Rp 3,5 miliar. Iskandar dihukum selama 5 tahun 6 bulan, dan denda Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan.

Sejak awal proses hukum kasus ini menarik perhatian yang sangat besar dari masyarakat Kabupaten Ende serta NTT karena melibatkan dua mantan pejabat. Selain Iskandar, kasus ini pun melibatkan mantan Bupati Ende, Drs. Paulinus Domi (terakhir menjabat anggota DPRD NTT) dan pengusaha Samuel Matutina. Setelah divonis bersalah di pengadilan negeri, baik Mberu, Domi maupun Matutina mengajukan upaya hukum banding hingga kasasi.
Paulinus Domi yang diputus 2,6 tahun pidana penjara oleh MA telah menjalani hukuman di LP Kupang sejak Juni 2011, sedangkan Samuel yang divonis 4 tahun penjara masih menunggu putusan MA.

Pidana penjara bagi Iskandar Mberu dan Paulinus Domi menebarkan eksptektasi yang tinggi terhadap penegakan hukum kasus korupsi di Kabupaten Ende serta Nusa Tenggara Timur (NTT) pada umumnya. Ya, sudah seharusnya demikian. Hukum tidak memandang bulu. Siapa pun yang bersalah, siapa pun yang mencuri uang negara dia wajib mempertanggungjawabkan perbuatannya secara hukum.

Saat ini penyidik Polres Ende mengusut kembali kasus dugaan korupsi dana APBD pada dua Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Kabupaten Ende, yakni Dinas Perhubungan (Dishub) dan Bagian Umum Setda Ende tahun 2002 dan 2003. Menurut Kapolres Ende, AKBP Musni Arifin, SIK, tiga calon tersangka sudah di kantong polisi. Dugaan korupsi pada dua SKPD tersebut terkait proyek pengadaan alat uji kendaraan bermotor. Menurut hasil audit BPKP, kerugian negara mencapai Rp 374 juta lebih.

Kita tentu saja mendukung langkah kepolisian membuka kembali kasus yang sudah berusia hampir sepuluh tahun itu. Selama masih dimungkinkan pengusutan oleh ketentuan hukum positif di negeri itu, polisi harus jalan terus. Hukum tidak memandang bulu. Pejabat daerah sekelas bupati saja dihukum, apalagi di level berikutnya. Mereka yang dulu bertanggungjawab terhadap proyek bernilai miliaran rupiah tersebut perlu diusut sekalipun telah pensiun sebagai pegawai negeri. Pensiun bukan alasan bebas dari jeratan hukum.

Selain kasus dugaan korupsi di Dinas Perhubungan, aparat Kejaksaan Negeri Ende telah menemukan indikasi korupsi dana penanggulangan bencana alam di Kabupaten Ende tahun 2010. Menurut Kejari Ende, Adianto, S.H, banyak orang penting di Ende yang kebakaran jenggot karena keterlibatan mereka dalam kasus ini. "Saya sudah punya bukti kuat siapa-siapa yang terlibat,” kata Adianto, Selasa (8/11/2011).

Semakin banyak kasus korupsi diproses hukum, semakin baik manfaatnya bagi semua. Kita harapkan aparat penegak hukum di Ende tidak sekadar gertak sambal. Juga tidak memilih strategi tebang pilih. Kalau mau melibas koruptor, libas saja semuanya. Kita tunggu keseriusan polisi dan jaksa memberantas praktik korupsi yang menciptakan penderitaan bagi masyarakat. Sekali lagi hukum tidak memandang bulu!

Pos Kupang, 17 November 2011 halaman 4

FA Sungkono: Baktinya Untuk Pendidikan

FS Sungkono dan istri Martha Fernandez
RUMAH permanen berteras mungil di Jalan Kelimutu-Ende tampak asri. Rumah ini semakin memanjakan mata karena di halaman depan dihiasi beraneka bunga. Sore itu, Selasa (15/11/2011), seorang kakek berada di taman depan rumah. Dia sedang mengamati bunga satu persatu.

Kakek yang masih awet dan bugar itu mengenakan baju warna putih abu-abu dipadu celana biru. Ketika Pos Kupang menyapanya, pria berusia 81 tahun itu langsung merespon dengan melangkah ke arah pagar. “Damy Godho itu murid saya,” tuturnya spontan ketika Pos Kupang memperkenalkan diri. Kakek ini langsung membuka pintu pagar dan mengajak Pos Kupang ke teras rumah.

“Damy Godho itu murid saya di SGA Ndao. Dia berasal dari Flores tengah, Boawae. Saat Damy tamat SGA, dia ajak saya bersama sejumlah temannya ke kampungnya. Dia potong seekor babi. Kita pesta, makan satu setengah hari tidak habis,” kata Fransiskus Asisi (FA) Sungkono sambil mengumbar tawa.
Suami Maria Martha Fernandez ini kemudian mengisahkan perjalanan hidupnya sebagai guru. Menurut Sungkono, setamat dari Sekolah Guru Atas (SGA) Malang tahun 1951, dia dibujuk pimpinan Frater Bunda Hati Kudus (BHK) untuk berangkat ke tanah misi. Tanah misi yang dimaksud adalah Ende di Pulau Flores, NTT.

Tiba di Ende tahun 1951, pria kelahiran Wonosobo, 4 September 1930 tersebut menjalani tugas sebagai pengajar di SMPK Ndao asuhan Frater BHK. Guru SMP Ndao saat itu adalah frater-frater asal Belanda dan dua guru pribumi, yaitu LE Monteiro dan Hendrikus Frederico. Keduanya tamat dari Muntilan.

Di SMPK Ndao, Sungkono yang baru berusia 21 tahun diberi tugas mengajar sejumlah mata pelajaran, mulai dari palajaran jasmani (olahraga), aljabar, ilmu ukur hingga sejarah. Sungkono terkesan mengajar sejarah karena sejarah Indonesia belum dikenal secara luas di Flores. Sungkono pun piawai mengajarkan lagu-lagu nasional dan lagu kebangsaan Indonesia Raya karya WR Supratman.

Menurut Sungkono, statusnya saat mengajar di SMPK Ndao adalah tenaga subsidi yang diangkat pemerintah Indonesia. Selain SMPK Ndao, Sungkono juga mengajar SGA Ndao yang saat itu baru dibuka. Berbekal ilmu dari perguruan tinggi olahraga di Surabaya, Sungkono muda juga membuka Kantor Inspeksi Pendidikan Jasmani. Pemerintah mengembangkan jadi beberapa bidang, yakni pendidikan masyarakat, pendidikan jasmani dan pendidikan kebudayaan.

Kantor inspeksi selanjutnya berkembang menjadi kantor perwakilan Departemen Olahraga. Tugas Sungkono saat itu membuka Sekolah Menengah Olahraga Atas (SMOA) Negeri. Lokasi sekolah di Pasar Senggol atau Pasar Potulando-Ende saat ini. “Pasca gempa ketika itu pemerintah bangun gedung pasar. Karena belum dipakai, kita pakai untuk SMOA,” ungkapnya.

Pendiri SMP Nur Jaya Ende ini juga berperan besar saat mendirikan SMPP (Sekolah Menengah Persiapan Pembangunan) Ende tahun 1977. Pada tahun 1980-an, SMPP telah berganti nama menjadi SMAN 1 Ende di Jalan Wirajaya.
Setelah malang melintang sebagai seorang praktisi pendidikan yang sarat pengalaman sebagai guru, Sungkono dipercayakan pemerintah menempati posisi struktural yaitu Kepala Kantor Departemen (Kandep) Pendidikan dan Olaharaga Kabupaten Ende pada tahun 1977.

Setelah mengabdikan diri di Ende, FA Sungkono ditarik Pemerintah Propinsi NTT ke Kupang menjadi Koordinator Pengawas (Korwas) pada Kantor Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi NTT hingga memasuki masa pensiun tahun 1990.

Sungkono bangga melihat perkembangan dunia pendidikan masa kini. Fasilitas dan sarana pendidikan sudah berkembang maju bahkan sampai di pelosok desa. Namun, di balik kemajuan itu dia melihat ada sesuatu yang perlu dibangun kembali yakni komitmen pelaku pendidikan memfokuskan diri secara total. Pergantian kelewat sering pejabat di bidang pendidikan menjadi masalah tersendiri. Demikian juga godaan bagi seorang guru bermain di area politik.

“Ada yang ingin jadi bupati, ada yang ingin jadi DPR atau DPRD. Mengakibatkan spirit sebagai pendidik yang melekat dalam dirinya menjadi bias,” demikian ayah empat anak ini.

Sungkono mengkritisi peran orangtua. Menurut dia, ada salah kaprah soal perhatian terhadap anak dalam proses belajar. “Saya melihat kebanyakan orang tua kita beri perhatian terhadap anak sekolah dengan mencari duit untuk memenuhi kebutuhan yang anak minta. Bagaimana perkembangan psikologi anak kurang diperhatikan,” jelas Sungkono.

Mengenai program Gong Belajar yang dicanangkan Pemerintah Propinsi NTT, antara lain dengan asramakan anak sekolah, Sungkono mengatakan asrama tidak wajib diterapkan pasa masa sekarang. Kalau dulu diasramakan karena sekolah masih terbatas dan di sekitar sekolah tidak ada kos-kosan seperti saat ini. Program itu bisa sukses jika semua pihak menjalankan perannya secara baik.

Khusus tentang kehadiran Perguruan Tinggi (PT) di Kota Ende yang jumlahnya makin banyak, Sungkono mengatakan, itu tanda kemajuan. Tetapi harus diatur secara baik oleh pemerintah agar kualitasnya terjaga. Legalitas dan akreditasi dari sebuah PT harus diutamakan.

“Intinya banyak perguruan tinggi tidak menjadi masalah, tetapi outputnya harus bisa bersaing dalam dunia begitu kompetitif,” tandasnya. Begitulah pandangan Sungkono. Darma baktinya demi kemajuan pendidikan dan olahraga di Kabupaten Ende tak diragukan oleh siapapun. Sampai hari ini. (okto manehat)

Data Diri
Nama: Fransiskus Asisi Sungkono
Lahir: Wonosobo, 4 September 1930
Isteri: Martha Fernandez
Anak :
1. Nuri Sungkono
2. Ati Sungkono
3. Santi Sungkono
4. Yoyo Sungkono

Pos Kupang, 18 November 2011 halaman 13

Benih Lokal yang Makin Terpinggirkan

KITA tidak kaget lagi mendengar warta memilukan dari Kefamenanu, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) tentang petani kesulitan benih jagung dan padi untuk musim tanam tahun ini. Ketiadaan benih merupakan dampak yang sudah bisa diprediksi tatkala gagal panen terjadi di hampir sebagian besar wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) termasuk TTU sepanjang tahun ini dan tahun-tahun sebelumnya.

Di Kabupaten TTU, sebagaimana dilaporkan harian ini, lahan pertanian seluas 18.323 hektar yang sudah diolah terancam tak bisa ditanami karena petani ketiadaan benih. Itu baru di Kabupaten TTU. Hampir pasti kesulitan serupa juga melanda para petani di wilayah lain NTT dan luas lahan yang terancam gagal ditanami lebih luas lagi. Tahun 2011, menurut catatan kita, wilayah Pulau Timor, Alor dan Sumba paling parah mengalami gagal panen yang diikuti kasus rawan pangan dan gizi buruk.

Sejujurnya kesulitan benih sudah merupakan masalah tahunan petani di Nusa Tenggara Timur dalam satu dasawarsa terakhir. Pemerintah daerah pernah mewacanakan pendirian Balai Benih yang representatif sehingga saban tahun NTT tidak lagi mendatangkan benih dari luar daerah, seperti Jawa, Sulawesi dan Sumatera. Apalagi benih dari luar daerah tentu mengandung risiko tertentu, misalnya rusak atau menurun kualitasnya akibat perjalanan panjang melalui beberapa titik perhentian. Kecuali itu belum tentu benih dari luar cocok dengan kondisi lahan pertanian di NTT.

Entah mengapa wacana menghadirkan Balai Benih tersebut belum terwujud sampai hari ini. Mengingat data statistik sekitar 85 persen penduduk NTT menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian, membangun Balai Benih yang representatif kiranya sudah menjadi kebutuhan Nusa Tenggara Timur yang mencanangkan diri sebagai Propinsi Jagung, juga Propinsi Ternak.

Jeritan petani tentang ketiadaan benih hari-hari ini pun merupakan buah nyata dari kebijakan ala sinterklas yang diusung pemerintahan kita mulai dari level pusat hingga ke daerah. Kebijakan ala sinterklas, semisal program beras untuk rakyat miskin (raskin) dan lainnya, selain tidak mendidik juga melunturkan semangat kemandirian, menciptakan ketergantungan.

Sejak lama petani kita seolah dininabobokan dengan bantuan pemerintah setiap tahun anggaran, termasuk dalam hal perbenihan. Selalu tertanam dalam benak petani, untuk apa repot siapkan benih? Kalau tidak ada benih pasti pemerintah akan membantu. Pemerintah pasti mengalokasikan anggaran untuk mendatangkan benih dari luar wilayah. Tugas sebagai petani cukup menyiapkan lahan.

Tanpa kita sadari bantuan semacam itu justru menumpulkan kecakapan petani NTT dalam menyiapkan benih untuk kebutuhan mereka sendiri setiap musim tanam. Coba turun ke kampung-kampung di Nusa Tenggara Timur. Bisa dipastikan tidak banyak lagi petani kita yang piawai menyimpan benih berkualitas seperti generasi terdahulu. Seumpama butuh benih sayur, mereka tinggal ke toko benih. Keluarkan duit sekian rupiah dan bawa pulang benih.

Kemudahaan mendapatkan benih semacam itu serta tumpulnya kecakapan petani mengelola benih hasil panenan sendiri menyebabkan posisi benih lokal NTT semakin terpinggirkan. Posisinya telah digeser oleh benih (jagung atau padi) yang berasal dari luar daerah. Hasil riset sejumlah mahasiswa pertanian menunjukkan, puluhan jenis benih palawija lokal NTT main langka bahkan sebagian bisa dilukiskan telah punah. Kalau benih lokal tidak digarap serius, mungkin dalam waktu yang tidak lama lagi untuk benih kangkung pun kita harus mengimpor dari Amerika Serikat.

Ada pesan manis dari petani sawah di Ekoleta, Kecamatan Detusoko, Kabupaten Ende. Meskipun saat ini banyak benih varietas padi unggul yang mudah mereka dapatkan, namun petani Ekoleta lebih memilih benih padi lokal. Mengapa? Selain cita rasanya khas, benih padi lokal lebih tahan terhadap serangan hama. Melirik kembali benih lokal NTT agaknya harus menjadi kampanye utama kita. *

Pos Kupang, Sabtu 29 Oktober 2011 hal 4

Tikam Kepala

ilustrasi
JANGAN salah duga. Tikam kepala bukan berarti ada peristiwa pembunuhan. Misalnya, Om Dorus menikam Ama Pe’u di bagian kepala hingga mengeluarkan darah.

Tanam kaki pun demikian. Tidak bermakna seseorang dengan sengaja menanam kakinya ke dalam perut bumi. Kalau tanam kaki benaran bisa dianggap sikap iseng berlebihan, bahkan bisa saja gila benaran. Ha-ha-ha….

Tikam kepala tanam kaki adalah cara orang Flores (yang menghuni Pulau Flores di Propinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia), melukiskan sikap kerja mereka. Tikam kepala artinya seseorang bekerja keras. Tanam kaki artinya siap hadapi segala tantangan. Jadi, tikam kepala tanam kaki mencerminkan etos manusia Flores dalam bekerja.

Sejatinya manusia Flores dan penghuni pulau-pula lain sekitarnya misalnya Adonara, Lembata, Solor, Palue, Pulau Ende adalah tipe pekerja keras. Meski demikian tetap saja ada yang kurang keras bekerja alias malas, kurang disiplin dan sebagainya. Juga dalam beberapa hal mereka kurang cerdas bekerja, sehingga meraih hasil kurang maksimal. *

Aparatur Pemerintah Tidak Mau Repot

ilustrasi
BUKAN pertama kali kita mendengar pejabat pemerintah daerah di Nusa Tenggara Timur (NTT) melakukan otokritik tentang kegiatan pemerintahan berlangsung di hotel-hotel (berbintang) dan bukan memanfaatkan fasilitas milik pemerintah sendiri.

Kritik, imbauan sudah acapkali digaungkan gubernur, bupati, anggota DPRD atau elemen masyarakat lainnya. Namun, praktiknya masih sama dan sebangun. Banyak suara di tengah masyarakat yang melukiskan kebiasaan aparatur pemerintah bikin rapat di hotel, seminar di hotel, pendidikan dan latihan (diklat) juga di hotel sebagai bagian dari gaya hidup. Kenapa memang?

Sederhananya orang tidak mau repot. Jika bikin seminar di hotel, Anda tinggal angkat telepon untuk pesan ruangan, konsumsi bagi sekian orang, spanduk, backdrop, sound system dan lainnya. Pembayaran bukan perkara sulit. Bisa dibayar sekian persen dulu sebagai tanda jadi sebelum seminar atau bayar penuh setelah kegiatan. Praktis dan mudah. Poinnya kerja secara profesional!

Urusan yang sama bisa berbeda kondisinya jika memilih fasilitas pemerintah sendiri. Sudah menjadi rahasia umum jika fasilitas pemerintah dikelola dengan semangat apa adanya. Ruang pertemuan mungkin tanpa pendingin udara. Kalaupun ada, peserta seminar tetap berkeringat lantaran mesin pendingin udara (AC) jarang dibersihkan. Untuk konsumsi peserta, panitia harus memesan catering dari luar. Repot dan mengeluarkan tenaga ekstra.

Ini zaman instan. Orang tidak suka kerja ruwet. Kalau bisa meraih kemudahan di hotel dan restoran, kenapa tidak? Bayar uang habis perkara. Apalagi kalau pengelola hotel dan restoran memberikan fee bagi panitia. Siapa tidak suka uang. Fee merupakan trik pemasaran. Lumrah dalam jagat bisnis agar pelanggan tetap setia. Jangan lupa instansi pemerintah termasuk target pasar utama hotel dan restoran.

Pemerintah daerah di berbagai pelosok NTT memiliki fasilitas gedung pendidikan dan latihan atau balai yang dilengkapi penginapan, ruang pertemuan dan sebagainya. Lagi-lagi fasilitas yang dibangun dengan pajak rakyat itu bisa dilukiskan mubazir karena jarang dipakai bahkan oleh instansi pemerintah sendiri. Kalau pemiliknya saja tidak mau pakai apalagi orang lain atau pihak luar.

Kita setuju dengan imbauan Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya agar Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) setda propinsi dan kabupaten/ kota di NTT mau melirik kembali fasilitas mereka sendiri. Kurangi kegiatan di hotel. Selain demi efisiensi anggaran belanja pemerintah juga demi kontribusi bagi kas daerah. Kita pun sependapat dengan pandangan anggota DPRD Propinsi NTT, Jimy Sianto dan Vinsen Pata agar gubernur (kepala daerah) berani memberikan sanksi kepada pimpinan SKPD yang tidak menghiraukan imbauannya.

Agaknya tidak cukup sekadar imbauan dan pemberian sanksi. Saatnya pemerintah daerah berbenah lewat aksi konkrit. Daripada menebar prasangka ada ‘main mata’ antara pimpinan SKPD dengan pengelola hotel tertentu, tirulah cara kerja profesional pengelola hotel guna membenahi fasilitas pemerintah daerah.

Ciptakan standar pelayanan dan tingkat kenyamanan setara hotel atau minimal sedikit di bawahnya. Tempatkan sumber daya manusia (SDM) aparatur yang kompeten dan profesional mengelola fasilitas itu. Jangan tempatkan SDM yang hanya omong besar tapi hasil kerjanya nol bulat. Kalau belum profesional, kirim dia belajar untuk menambah pengetahuan dan keterampilan manajerial serta visi bisnis. Toh fasilitas pemerintah dibangun agar berkontribusi terhadap PAD. Kalau cuma omong-omong, tidak ada manfaatnya. Aparatur pemerintah berani repot? *

Pos Kupang, Jumat 30 September 2011

Memilih Wartawan Sebagai Jalan Hidup

Pieter Amalo (kiri)
* Mengenang Adhie Malehere dan Pieter Erasmus Amalo

Oleh Dion DB Putra


SEOLAH sudah janjian, mereka pergi dalam waktu berdekatan. Mereka menderita sakit dan akhirnya menikmati rahmat kesembuhan ilahi, sang empunya kehidupan. Hari Sabtu 24 September 2011 sekitar pukul 22.00 Wita, saya baru saja menyelesaikan editing berita terakhir untuk Harian FloresStar di Biro Maumere, Flores.

Saya sedang mengaso sejenak di bawah rimbunan pohon mangga di depan kantor kami di Jl. Gelora No. 2 Maumere. Dalam waktu hampir bersamaan telepon genggam saya berbunyi. Rupanya ada pesan singkat dari beberapa rekan wartawan di Kupang. Mereka menyampaikan kabar duka. Telah berpulang wartawan senior Harian Suara Pembaruan, Adhie Malehere di RSU Prof. Dr. WZ Johannes Kupang. “Duh, Om Adhie sakit apa?”

Seingatku Om Adhie sehat-sehat saja saat kami bertemu terakhir di Kantor Gubernur NTT di Jalan El Tari Kupang akhir Juni 2011 – sebelum saya berangkat menunaikan tugas baru di Maumere. Selama ini saya tidak mendapat kabar tentang dia sakit. Om Adhie yang saya kenal, masih penuh semangat bekerja sebagai wartawan harian terkemuka yang berbasis di Jakarta tersebut.

Dia contoh wartawan senior yang memiliki komitmen lapangan sangat kuat. Dia tidak merasa senior dalam hal bekerja, sehingga cenderung duduk di belakang meja lalu memberikan perintah kepada yang yunior. Hampir semua peristiwa dia tekel langsung di lapangan. Om Adhie tangguh, seolah tidak ada persoalan baginya dalam mengumpulkan dan meramu bahan berita menjadi suatu karya jurnalistik.

Dia pun bukan tipe wartawan yang pelit membagikan informasi yang bisa digali lebih dalam untuk bahan berita. Saya hampir selalu mendapat informasi dari Om Adhie jika ada kejadian yang penting di NTT. Dia dengan senang hati berbagi kepada wartawan media lain. Sebaliknya, bila dia mendapatkan data simpang-siur, dia tidak malu bertanya. Om Adhie setia menjunjung tinggi prinsip verifikasi yang merupakan salah satu elemen dasar jurnalisme.
 

“Ada kejadian di Alor begini, beta mesti tanya ade karena ade punya anak buah di sana. Pasti dia lebih tahu kondisi lapangan daripada beta yang dapat data lewat telepon saja dari Kupang,” kata Om Adhie suatu ketika ada peristiwa tawuran di Kalabahi-Alor.

Saya pertama kali mengenal dan bertemu Om Adhie medio tahun 1990-an di rumah wartawan Kompas, Frans Sarong di Perumnas Ende. Bersama senior saya Frans Sarong, Om Adhie dengan senang hati memberikan motivasi, pengetahuan dan keterampilan kepada saya yang kala itu masih minim pengalaman di dunia jurnalistik. Suaranya yang berat menggelegar serta tawa cerianya masih terngiang sampai sekarang.

Hanya empat hari setelah kepergian Adhie Malehere, komunitas pers Nusa Tenggara Timur (NTT) kembali berduka dengan kepulangan mantan Kepala Stasiun RRI Kupang, Drs. Pieter Erasmus Amalo. Om Pieter Amalo meninggal dunia sekitar pukul 04.00 Wita hari Rabu, 28 September 2011 di Kupang. Orang pertama yang menyampaikan kabar duka tersebut adalah rekan saya di PWI Cabang NTT, Aser Rihi Tugu.

Saya memang sudah mendengar kalau Om Pieter sakit, tetapi tidak menyangka dia akan pergi secepat ini. Saat peringatan Hari Pers Nasional (HPN) di Kupang bulan Februari 2011 lalu, Om Pieter dalam jabatannya sebagai Ketua Dewan Kehormatan Daerah (DKD) PWI Cabang NTT masih aktif terlibat menyukseskan perhelatan nasional yang dihadiri Presiden SBY, lebih dari selusin menteri Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II, Wakil PM Timor Leste dan lebih dari 2.500 wartawan dari seluruh Indonesia tersebut.

Siapa tidak kenal Pieter Amalo? Pendengar radio di seluruh pelosok NTT pasti mengenal dia dengan baik. Om Pieter adalah reporter RRI sejati hingga akhir hayatnya.Untuk organisasi PWI Cabang NTT, Om Pieter selama lebih dari 10 tahun mengemban tanggung jawab sebagai sekretaris, baik pada masa kepemimpin Martinus Tse maupun Damyan Godho. Om Pieter termasuk di antara tokoh pers NTT yang merintis lahirnya organisasi PWI yang eksistensinya masih ada sampai detik ini.

Saya yang sejak tahun 2008 dipercayakan teman-teman anggota PWI Cabang NTT sebagai ketua berterima kasih kepada Om Pieter serta wartawan senior lainnya yang telah membangun kebersamaan dan solidaritas di tubuh PWI Cabang NTT. Om Pieter…kami akan terus berusaha mewujudkan harapanmu lewat PWI Cabang NTT serta profesi kami sebagai jurnalis yang masih berkarya di dunia ini.

Secara pribadi saya sedih dengan kepergian dua seniorku dalam waktu hampir bersamaan. Kesedihan itu berlipat lantaran saya tidak sempat mengantar kepergian mereka ke tempat peristirahatan terakhir di Kupang. Sampai kenangan ini saya rangkai, saya masih di Maumere, menjalankan tugas saya sebagai wartawan. Om Adhie dan Om Pieter harap maklum. Maafkan saya yang belum sempat menyalakan sebatang lilin di pusara abang berdua….

Kematian pasti menebarkan duka. Namun, kepergian Om Adhie dan Pieter meninggalkan kebanggaan karena mereka mewariskan keutamaan ini. Memilih wartawan sebagai jalan hidup. Dunia mengenang mereka sebagai pewarta. Sampai akhir hayat… Saya bangga pada abang berdua. Selamat jalan Om Adhie dan Pieter. Beristirahatlah dalam damai Tuhan. *

Studi Banding

ilustrasi/jakartapress
JUJUR harus dikatakan di ruangan ini bahwa setiap kali mendengar warta studi banding, entah dilakoni pemerintah atau wakil rakyat, reaksi awal masyarakat umumnya pesimis. Pesimis terhadap hasil studi banding itu akan membawa manfaat langsung bagi kemajuan daerah dan terutama untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Masyarakat tentu belajar dari pengalaman. Pengalaman menunjukkan, betapa studi banding yang di negeri ini telah menjadi aktivitas rutin tahunan selalu kurang jelas hasil akhirnya. Media massa lazimnya riuh melaporkan perjalanan studi banding, entah dalam negeri sendiri atau ke mancanegara. Tetapi media dan juga masyarakat sulit sekali mendapatkan data akurat tentang hasil studi banding. Giliran masyarakat menagih hasil studi banding, sikap yang segera muncul adalah orang lari dari tanggung jawab. Bahkan menganggap pertanggungjawaban atas hasil studi banding itu bukanlah hal penting.

Ikhwal studi banding umumnya terjadi kisah berikut ini. Studi banding hampir pasti menelan dana tidak sedikit yang bersumber dari APBD atau APBN. Hampir setiap tahun anggaran, saat eksekutif dan legislatif bersidang di gedung wakil rakyat, jadwal studi banding beserta anggarannya sudah dipatok memang. Dana dialokasikan untuk ongkos transportasi, akomodasi dan konsumsi. Pos yang tak kalah penting adalah uang saku bagi setiap peserta studi banding.

Peserta studi banding, dalam sejumlah kasus baik di Nusa Tenggara Timur (NTT) maupun di luar NTT, memperlihatkan sisi yang menggelikan. (Pejabat negara) peserta studi banding membawa serta istri, anak dan anggota keluarganya. Prinsipnya mumpung ada perjalanan ke tempat lain yang elok sehingga keluarga sendiri tidak boleh dilupakan. Ketika ada kesempatan, mengapa tidak dimanfaatkan?

Lokasi studi banding biasanya hanya dua pilihan. Di dalam negeri atau luar negeri. Luar negeri lazimnya lebih banyak dipilih pejabat esksekutif dan legislatif di tanah air karena dianggap lebih maju, lebih makmur dan lebih baik untuk distudibandingkan dengan kondisi dalam negeri. Nah, perjalanan ke mancanegara itu kerap disalahgunakan. Misalnya membawa serta istri dan anak sebagaimana contoh di atas.

Bagaimana aksi nyata saat studi banding? Pengalaman lagi-lagi memperlihatkan, tidak lebih dari 20 persen peserta studi banding yang serius melakukan studi, sungguh-sungguh menggali pengetahuan atau keterampilan di tanah orang untuk dipraktekkan di daerah sendiri. Selebihnya sekadar peserta studi banding. Hanya bangga angguk-angguk kepala atau berdecak kagum akan kelebihan orang.

Waktu studi banding justru lebih banyak digunakan untuk pelesiran dan berbelanja. Studi banding ke mancanegara pun seringkali tidak mempertimbangkan aspek penguasaan bahasa dalam pergaulan internasional. Yang tak cakap bahasa Inggris misalnya, hanya bisa berkata Yes or No atau senyam-senyum tanpa mengerti sedikit pun apa yang dikatakan lawan bicara. Bagaimana mungkin kita mengharapkan hasil studi banding dari orang dengan kapasitas semacam ini?

Demikian sejumput kisah studi banding di masa lampau. Mudah-mudahan ke depan kisah tersebut tidak terulang dalam studi banding pejabat pemerintahan atau anggota DPRD di NTT, termasuk studi banding yang akan dijalani para Kepala Dinas Pariwisata di Pulau Flores ke Singapura dan Malaysia bulan Oktober 2011 (Pos Kupang, 14 September 2011 halaman 13).

Pasti karena Singapura dan Malaysia dipandang lebih maju mengelola industri pariwisata untuk memakmurkan rakyatnya sehingga kepala dinas pariwisata dari delapan kabupaten di Pulau Flores mau belajar ke sana. Harapan kita mereka sungguh memetik pengalaman dari kedua negeri serumpun itu untuk diterapkan di daerah sendiri. Memajukan industri pariwisata Pulau Flores yang sampai detik ini dikelola secara parsial, setengah hati dan tidak visioner. Flores dan NTT umumnya begitu kaya dengan obyek wisata alam dan budaya, namun kekayaan tersebut belum mampu mendongkrak kesejahteraan masyarakat.

Kiranya diingat bahwa studi banding yang menjadi pola umum pemerintahan kita merupakan bukti betapa kita lebih suka melihat ke luar. Kita masih menganggap yang di luar itu pasti lebih baik, suatu pandangan yang keliru. Kita kurang peduli melihat ke dalam, menggali kekuatan diri sendiri. Studi banding hanyalah faktor pembanding. Kemajuan industri pariwisata Flores bisa dicapai kalau kita mau dan mampu menggunakan kekuatan diri sendiri. *

Pos Kupang, Jumat 16 September 2011 hal 4
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes