DIA seorang pria muda, energik dan memiliki idealisme. Idealisme sederhana. Ingin menjadi pendidik yang bekerja dengan kesungguhan hati untuk memanusiakan manusia sebagaimana mendiang ayahnya. Pria muda itu seorang guru.
Dia sahabatku. Kami bertemu pertengahan minggu di rumah kontrakannya yang sederhana di salah satu sudut Kota Kupang. Tidak biasanya -- hari itu dia begitu murung. "Tidak ada kebanggaan lagi menjadi guru sekarang ini. Seorang anak yang kita ikuti perkembangan akademisnya hari demi hari, pada akhirnya ditentukan pihak lain untuk lulus atau tidak. Ujian Nasional (UN) sungguh pembunuh," kata sahabatku itu.
Lalu dia bercerita tentang pengalamannya terkini. Dia guru kelas 3 pada salah satu SMP Negeri. Menghadapi Ujian Nasional (UN) tahun 2008 yang baru berlalu, sekolah melakukan persiapan lebih baik dibanding tahun sebelumnya. Selain menambah pelajaran di luar jam sekolah, para guru menyelenggarakan ujicoba UN bagi siswa-siswi kelas 3. Ujicoba digelar beberapa kali agar peserta didik mereka lebih siap menghadapi UN. Harapan sekolah persentase kelulusan lebih meningkat dari tahun 2007.
Hasil UN 2008 ternyata jauh dari harapan. Persentase kelulusan tidak mengalami perubahan signifikan. "Yang lebih menyakitkan hati kami sebagai guru adalah dua anak yang selalu masuk ranking lima besar sejak kelas satu tidak lulus UN. Sebaliknya, anak dengan prestasi dan kelakuan buruk justru lulus UN," kata sahabat itu.
Dua anak berprestasi sangat terpukul menghadapi kenyataan tidak lulus UN. Ada seorang siswi bahkan tiga hari tidak berani keluar rumah karena merasa malu dengan teman-temannya. Anak yang ceria itu berubah muram. Kehilangan rasa percaya diri. Orangtua memprotes guru dan kepala sekolah. "Mau menjelaskan bagaimana, kami tidak memiliki kewenangan apapun untuk menentukan anak didik lulus atau tidak. Semua tergantung hasil UN. Kerja keras seorang anak selama tiga tahun seolah tak ada artinya," kata guru itu.
Murid SMP yang tidak lulus itu kemudian mengikuti Ujian Nasional Pendidikan Kesetaraan (UNPK) Paket B lalu melamar ke sejumlah SLTA di Kota Kupang. Namun, mereka ditolak karena belum memiliki keterangan lulus UNPK yang baru bisa diperoleh bulan Agustus 2008. Sementara masa Penerimaan Siswa Baru di SLTA negeri dan swasta sudah berakhir. Nasib anak- anak itu ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula. Dan, jumlah mereka tidak sedikit. Di Kota Kupang saja tercatat 3.336 siswa-siswi SLTP yang kini belum pasti melanjutkan pendidikan ke jenjang SLTA.
Menurut data hasil UN SLTP di Propinsi NTT tahun 2008, tercatat 31.437 siswa-siswi yang tidak lulus. Jika 50 persen dari jumlah itu mengikuti jalur UNPK untuk ke SLTA, maka ada sekitar 16 ribu siswa di NTT yang nasibnya kini tidak menentu.
Sungguh bencana pendidikan sedang terjadi di rumah besar Flobamora. Sebagian di antara mereka tidak dapat melanjutkan sekolah ke SLTA bukan karena bodoh dan berwatak buruk. Maka bisa dimengerti perasaan Pak Guru sahabatku itu. Seorang guru seolah tak berarti apapun bagi siswa-siswi yang dibinanya sekian tahun. Dia tahu perilaku sang anak. Tahu tingkat kecerdasannya. Pada akhirnya UN bisa menghapus segala-galanya!
Apakah UN salah? Belum tentu. Yang pasti bagi kita ada persoalan besar di depan mata yang mesti disikapi segera lewat aksi nyata. Tak ada dalil bahwa suatu bangsa bisa maju tanpa pendidikan yang baik. Sistem pendidikan yang berlaku sekarang mutlak direspons dengan kritis serta kesungguhan hati. Juga tidak asal-asalan dalam mengeluarkan suatu kebijakan.
Pembatasan rombongan belajar di Kota Kupang, misalnya, tentu bermaksud baik. Persoalannya apakah kebijakan itu sudah dipertimbangkan dengan jumlah peserta didik yang bisa ditampung sekolah-sekolah yang ada? Seandainya 3.336 siswa-siswi SLTP yang mengikuti UNPK Paket B semuanya lulus, adakah sekolah yang mampu menampung mereka? Sangat mungkin instansi berwenang di sini tidak cermat dan belum siap mengaplikasikan kebijakan tersebut.
Kelemahan terbesar kita adalah akurasi data dan bagaimana memanfaatkan data untuk kebutuhan perencanaan pendidikan. Dinas Pendidikan memiliki data jumlah siswa dari mulai tingkat TK, SD hingga Perguruan Tinggi. Jika data valid dan dipandang penting, data tersebut akan sangat memudahkan siapa pun dalam membuat perencanaan.
Instansi berwenang di bidang pendidikan seharusnya tahu rasio daya tampung sekolah dengan jumlah peserta didik. Kondisi setiap daerah tentu berbeda-beda. Khusus di Kota Kupang, pembatasan rombongan belajar otomatis melahirkan konsekwensi berupa melubernya jumlah siswa yang tak tertampung.
Solusinya apa? Tuan dan puan kiranya tidak serta merta menyalahkan guru, sekolah dan penyelenggara UN sebagai pihak yang salah atau mencari kambing hitam lain untuk dicerca. Bencana pendidikan di rumah Flobamora memerlukan kepedulian yang tinggi mengingat kompleksitasnya. Angka 31.437 pelajar SLTP di NTT yang tidak lulus UN tahun 2008 tidak sekadar nominal di atas kertas. Itu satu angkatan generasi Flobamora yang sedang bertumbuh dan butuh pendidikan demi masa depan. Keterlaluan kalau kita masih bermain-main dengan prahara ini! * (email:dionbata@poskupang.co.id)
Beranda Kita Pos Kupang edisi Senin, 14 Juli 2008 halaman 1
Dia sahabatku. Kami bertemu pertengahan minggu di rumah kontrakannya yang sederhana di salah satu sudut Kota Kupang. Tidak biasanya -- hari itu dia begitu murung. "Tidak ada kebanggaan lagi menjadi guru sekarang ini. Seorang anak yang kita ikuti perkembangan akademisnya hari demi hari, pada akhirnya ditentukan pihak lain untuk lulus atau tidak. Ujian Nasional (UN) sungguh pembunuh," kata sahabatku itu.
Lalu dia bercerita tentang pengalamannya terkini. Dia guru kelas 3 pada salah satu SMP Negeri. Menghadapi Ujian Nasional (UN) tahun 2008 yang baru berlalu, sekolah melakukan persiapan lebih baik dibanding tahun sebelumnya. Selain menambah pelajaran di luar jam sekolah, para guru menyelenggarakan ujicoba UN bagi siswa-siswi kelas 3. Ujicoba digelar beberapa kali agar peserta didik mereka lebih siap menghadapi UN. Harapan sekolah persentase kelulusan lebih meningkat dari tahun 2007.
Hasil UN 2008 ternyata jauh dari harapan. Persentase kelulusan tidak mengalami perubahan signifikan. "Yang lebih menyakitkan hati kami sebagai guru adalah dua anak yang selalu masuk ranking lima besar sejak kelas satu tidak lulus UN. Sebaliknya, anak dengan prestasi dan kelakuan buruk justru lulus UN," kata sahabat itu.
Dua anak berprestasi sangat terpukul menghadapi kenyataan tidak lulus UN. Ada seorang siswi bahkan tiga hari tidak berani keluar rumah karena merasa malu dengan teman-temannya. Anak yang ceria itu berubah muram. Kehilangan rasa percaya diri. Orangtua memprotes guru dan kepala sekolah. "Mau menjelaskan bagaimana, kami tidak memiliki kewenangan apapun untuk menentukan anak didik lulus atau tidak. Semua tergantung hasil UN. Kerja keras seorang anak selama tiga tahun seolah tak ada artinya," kata guru itu.
Murid SMP yang tidak lulus itu kemudian mengikuti Ujian Nasional Pendidikan Kesetaraan (UNPK) Paket B lalu melamar ke sejumlah SLTA di Kota Kupang. Namun, mereka ditolak karena belum memiliki keterangan lulus UNPK yang baru bisa diperoleh bulan Agustus 2008. Sementara masa Penerimaan Siswa Baru di SLTA negeri dan swasta sudah berakhir. Nasib anak- anak itu ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula. Dan, jumlah mereka tidak sedikit. Di Kota Kupang saja tercatat 3.336 siswa-siswi SLTP yang kini belum pasti melanjutkan pendidikan ke jenjang SLTA.
Menurut data hasil UN SLTP di Propinsi NTT tahun 2008, tercatat 31.437 siswa-siswi yang tidak lulus. Jika 50 persen dari jumlah itu mengikuti jalur UNPK untuk ke SLTA, maka ada sekitar 16 ribu siswa di NTT yang nasibnya kini tidak menentu.
Sungguh bencana pendidikan sedang terjadi di rumah besar Flobamora. Sebagian di antara mereka tidak dapat melanjutkan sekolah ke SLTA bukan karena bodoh dan berwatak buruk. Maka bisa dimengerti perasaan Pak Guru sahabatku itu. Seorang guru seolah tak berarti apapun bagi siswa-siswi yang dibinanya sekian tahun. Dia tahu perilaku sang anak. Tahu tingkat kecerdasannya. Pada akhirnya UN bisa menghapus segala-galanya!
Apakah UN salah? Belum tentu. Yang pasti bagi kita ada persoalan besar di depan mata yang mesti disikapi segera lewat aksi nyata. Tak ada dalil bahwa suatu bangsa bisa maju tanpa pendidikan yang baik. Sistem pendidikan yang berlaku sekarang mutlak direspons dengan kritis serta kesungguhan hati. Juga tidak asal-asalan dalam mengeluarkan suatu kebijakan.
Pembatasan rombongan belajar di Kota Kupang, misalnya, tentu bermaksud baik. Persoalannya apakah kebijakan itu sudah dipertimbangkan dengan jumlah peserta didik yang bisa ditampung sekolah-sekolah yang ada? Seandainya 3.336 siswa-siswi SLTP yang mengikuti UNPK Paket B semuanya lulus, adakah sekolah yang mampu menampung mereka? Sangat mungkin instansi berwenang di sini tidak cermat dan belum siap mengaplikasikan kebijakan tersebut.
Kelemahan terbesar kita adalah akurasi data dan bagaimana memanfaatkan data untuk kebutuhan perencanaan pendidikan. Dinas Pendidikan memiliki data jumlah siswa dari mulai tingkat TK, SD hingga Perguruan Tinggi. Jika data valid dan dipandang penting, data tersebut akan sangat memudahkan siapa pun dalam membuat perencanaan.
Instansi berwenang di bidang pendidikan seharusnya tahu rasio daya tampung sekolah dengan jumlah peserta didik. Kondisi setiap daerah tentu berbeda-beda. Khusus di Kota Kupang, pembatasan rombongan belajar otomatis melahirkan konsekwensi berupa melubernya jumlah siswa yang tak tertampung.
Solusinya apa? Tuan dan puan kiranya tidak serta merta menyalahkan guru, sekolah dan penyelenggara UN sebagai pihak yang salah atau mencari kambing hitam lain untuk dicerca. Bencana pendidikan di rumah Flobamora memerlukan kepedulian yang tinggi mengingat kompleksitasnya. Angka 31.437 pelajar SLTP di NTT yang tidak lulus UN tahun 2008 tidak sekadar nominal di atas kertas. Itu satu angkatan generasi Flobamora yang sedang bertumbuh dan butuh pendidikan demi masa depan. Keterlaluan kalau kita masih bermain-main dengan prahara ini! * (email:dionbata@poskupang.co.id)
Beranda Kita Pos Kupang edisi Senin, 14 Juli 2008 halaman 1