Ben Mboi |
Setamat SD di Manggarai, Flores, Pak Ben Mboi merantau ke Kupang untuk melanjutkan ke SMP atas dorongan ayahnya seorang mantri kakus (WC). Maksudnya ingin menumpang di keluarga Manggarai, eh terdampar di rumah Om Bentanone, orang Timor asli.. Om dan Tanta Bentanone menerima bocah Ben tinggal di rumahnya dan bersekolah di SMP Negeri Airnona, satu-satunya SMP di Kota Kupang waktu itu.
Di situlah Ben bertemu dengan ayahku, Pak Anton Sinaama Belen sebagai guru Sejarah. Kata mamaku, kalau bapa dan mama bertandang ke rumah Om dan Tanta Bentanone, mereka lihat bocah Ben itu rajin tumbuk jagung untuk bikin jagung bose. Ben juga senang main bola kaki.
Setamat SMP di Kupang, Ben melanjutkan ke SMA Katolik Dempo (SMA Saint Albertus, alma mater Prof Dr Widjojo Nitisastro, Laksamana Sudomo, dan Jenderal Rudini) di Malang. Murid anak orang miskin ini tidak mampu membayar uang sekolah. Pastor Direktur SMA orang Belanda bingung karena menurut aturan tiap siswa harus bayar uang sekolah. Karena Ben siswa yang amat pintar, direktur mencari jalan. Ben ditugaskan menyapu, mengepel lantai, dan membersihkan WC. Dari kerja itu ia seolah digaji dan gajinya ini langsung dicatat sebagai uang sekolah yang dibayar Ben.
Setamat SMA, tetap dengan modal nekat, Ben Mboi mendaftar masuk Fakultas Kedokteran UI. Ia indekos dan tidak bisa bayar juga. Tapi Ben yang miskin menggunakan otaknya dengan rajin membantu kerja rumah tangga ibu kos. Dampaknya ibu kos membebaskan biaya bayar kos. Ben lalu mengajar di SMA Antonius di Matraman untuk mendukung biaya kuliah di UI.
Ia hanya pakai satu baju putih yang sama tiap hari sepanjang tahun. Sekali Profesor orang Ambon bertanya, Ben, saya lihat kamu ini pakai baju putih yang sama ini tiap hari. Baju itu sudah kena bercak dari praktik di lab. Ben tersinggung dan marah. Katanya, kalau UI menerima mahasiswa menurut kekayaan orang tuanya berarti saya salah pilih universitas. Tapi, kalau UI menerima mahasiswa menurut kepintaran otaknya, maka saya akan buktikan bahwa saya yang akan lulus duluan sebagai dokter. Ternyata ia lulus lebih dulu dari teman-temannya.
Sekali Pater Konterius, orang Sikka-Maumere yang memberi baju putih dari luar negeri yang bersejarah itu kepada Ben Mboi bertanya, Ben, kau ini hari minggu ke mana, saya tidak pernah lihat kau di gereja. Ben menjawab, bagaimana saya bisa ke gereja, baju saya hanya satu itu, baju putih yang pater hadiahkan. Hari Minggu pagi saya harus cuci dan jemur agar hari Senin - Sabtu saya pakai lagi. Pater Konterius lalu memberi hadiah satu baju lagi.
Itulah kisah anak cerdas NTT dari keluarga miskin, anak mantri kakus. Prof Widjojo Nitisastro bilang, kalau Indonesia memiliki 10 gubernur saja seperti Ben Mboi, pembangunan Indonesia akan maju pesat, kita akan jadi bangsa maju. Pak Ben Mboi menjadi gubernur kesayangan Pak Harto. Usul-usul Pak Ben Mboi untuk NTT sering disetujui Pak Harto.
Beliau tetap hidup bersajaha, bukti bahwa sebagai gubernur beliau jujur, tidak korupsi, hanya berbakti tanpa pamrih bagi rakyat NTT. Waktu TNI-AD "mengusir" para pensiunan dari rumah dinas di belakang Balai Kartini, Jl Gatot Subroto, Pak Ben tak punya rumah. Pak Ben dan Ibu Nafsiah hanya punya tabungan senilai separuh harga rumah di Cilandak. Teman-teman Pak Ben Mboi urunan membantu dan akhirnya Pak Ben Mboi dan Ibu Nafsiah bisa punya rumah sendiri di Cilandak itu.
Pak Ben, teladanmu amat berharga bagi generasi muda, khususnya dari NTT. Pak Ben, jalan bae-bae oh ke rumah abadi yang baru. Katong iringi Pak dengan katong pung doa sonde putus-putus. Bae-bae sa di sana.
Sumber: S Belen