Korupsi Didominasi Penyalahgunaan Wewenang

POS KUPANG.COM, KUPANG  -Kasus-kasus tindak pidana korupsi (TPK) di Nusa Tenggara Timur (NTT) didominasi tindak penyalagunaan kewenangan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Karena itu pasal yang digunakan jaksa adalah Pasal 2 dan 3 UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK) dan Pasal 55 KUHP.

Demikian Kajati NTT, Purba, SH melalui Humas Kejati NTT, Ridwan Angsar, SH, Kamis (31/12/2015) menanggapi keluhan para tersangka dan narapidana kasus korupsi terkait penggunaan pasal 2 dan 3 UU PTPK dan pasal 55 KUHP dalam penerapan hukum di Pengadilan.

Seperti diberitakan Pos Kupang, Kamis (31/12/2015), sejumlah narapidana (napi)  kasus korupsi di Lapas Kupang mengaku tidak menikmati uang negara tetapi dihukum karena kesalahan administrasi proyek.

"Pasal 2 dan 3 UU PTPK harus ditinjau kembali. Masa orang yang hanya tanda tangan administrasi, dia masuk penjara. Kami tidak makan uang negara. Tolong aturan itu ditinjau kembali. Bahkan orang yang benar-benar melakukan korupsi sampai miliaran rupiah, hukumannya tidak sebanyak hukuman yang kami terima,"  kata  Maxi Taopan, napi kasus korupsi Alkes tahun 2002  kepada Pos Kupang, medio Desember 2015.

Keluhan yang sama disampaikan napi kasus korupsi lainnya seperti Yakudanga, pengelola dana desa PNPM di Sabu Raijua tahun 2000 dan 2005, Gerson Tanuab (kasus korupsi Tanah RRI Kupang tahun 2015), tahanan Kasatker Chairul Sitepu (kasus korupsi MBR NTT tahun 2015) dan kontraktor Lukas Toen (kasus kapal patroli di Kabupaten TTU), Nur Suartina, ketua panitia penerima barang dan jasa di kantor Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT) pada proyek pembangunan Dermaga Alor-NTT.

Menurut Ridwan, dalam menangani kasus korupsi umumnya jaksa menggunakan pasal 1 sampai 12 UU PTPK dan pasal 55 KUHP. Memang yang kerap digunakan pasal 2 dan 3 lantaran para pihak yang terlibat itu adalah PNS dan tindakannya adalah  penyalagunaan kewenangan yang ada padanya.

Dikatakan, kasus korupsi itu umumnya berjamaah, karena itu tidak mungkin satu orang saja yang melakukan korupsi. Sehingga selain pasal dalam UUPTK maka pasal lain yang digunakan jaksa adalah pasal 55 KUHP.

Dicontohkannya, kenapa panitia PHO atau FHO atau kuasa pengguna anggaran bisa dijadikan tersangka meski mungkin hanya melakukan tandatangan. "Tanpa peran panitia maka suatu perbuatan korupsi tidak akan terjadi.  Contohnya Panitia menandatangani serah terima barang atau membuat berita acara 100 persen bahwa barang sudah sesuai spesifikasi sehingga pencairan dilakukan. Padahal kenyataannya belum, nah jika terbukti maka panitianya bisa diproses hukum," kata Ridwan.

Lebih lanjut dijelaskannya,  jika proyek itu belum selesai 100 persen atau barang yang diadakan tidak sesuai spesifikasi, maka tindakan panitia menurut UU dapat dinilai telah bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi.

Mengenai permintaan untuk merevisi UU PTPK, menurut Ridwan, itu adalah hak dari setia orang untuk menyampaikan pendapat atau saran. Namun jika akan direvisi, Ridwan pun menyarankan agar ancaman hukuman khususnya terkait denda bagi terpidana korupsi itu bisa juga menjadi bahan pertimbangan karena perbandingannya tidak sesuai.

"Hakim memvonis denda atau uang pengganti misalnya Rp 300 juta atau subsider 2 bulan penjara.Makanya seringkali terpidana korupsi memilih menjalani tambahan hukuman 2 bulan penjara daripada membayar denda yang bernilai besar itu. Mungkin ancaman hukumannya bisa lebih ditambah sehingga bisa lebih adil perbandingannya," kata Ridwan.

Mengenai Instruksi Presiden mengenai kesepakatan bersama antara Presiden Jokowi dengan KPK,  Kepolisian, Kejaksaan dan pihak terkait lainnya, Ridwan mengatakan pengertiannya bukan membatasi proses hukum tetapi yang melakukan kesalahan administrasi tidak bisa dipidana. Inpres itu, jelas Ridwan, dibuat Presiden karena penyerapan anggaran yang rendah oleh Pemerintah dengan alasan adanya ketakutan para PNS untuk terlibat sebagai kuasa pengguna anggaran atau panitia mengerjakan proyek.

Ketakutannya tambah Ridwan, karena sering didahului proses penyelidikan sebelum proyek selesai dikerjakan atau sebelum ada audit BPK. "Karena latar belakang itu Jokowi mengeluarkan Inpres bahwa semua proyek yang tidak boleh dilakukan penyelidikan dan penyidikan sebelum proyek itu selesai dikerjakan dan atau sebelum adanya audit BPK," kata Ridwan.

Menurut Ridwan, pihak kejaksaan tentunya menghargai Inpres itu. Namun Inpres itu tidak seta merta membuat jaksa tidak bisa melakukan proses hukum yakni penyelidikan dan penyidikan sebelum proyek itu selesai. Jika indikasi korupsinya sudah jelas terjadi maka meski proyek belum selesai dikerjakan, jaksa bisa melakukan penyelidikan dan penyidikan.

Lebih lanjut Ridwan menjelaskan, hingga tahun 2015 ini jumlah penyelidikan (lead)  kejaksaan sebanyak 52 kasus yakni 14 kasus dari Kejati NTT dan 38 lainnya dari kejari dan cabjari. Sedangkan jumlah penyelidikan (dik) sebanyak 127 perkara yakni 47 perkara dari Kejati NTT dan  80 perkara dari kejari dan cabjari. Sedangkan jumlah penuntuntan (tut) di pengadilan 93 perkara yang berasal dari kejaksaan dan  19 perkara lainnya dari Kepolisian.

"Total kerugiaan negara tahun 2015 sebesar Rp  56 miliar (bukan Rp 30 miliar, red). Jumlah kerugian negara yang sudah dikembalikan tahun 2015 untuk tahap penyelidikan Rp 17.312.850.353 dan pengembalian tahap penuntutan Rp 2.430.571.582 dan pengembalian tahap eksekusi Rp 2.512.533.786," rinci Ridwan.
Ridwan mengatakan, total jumlah jaksa pada kejati NTT, 16 kejari dan 3 cabjari sebanyak 547 orang yang terdiri dari 189 jaksa dan 458 pegawai tata usaha. (vel)

Sumber: Pos Kupang 2 Januari 2016 hal 5


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes