Marcel Gobang: Disiplin dan Tidak Banyak Bicara

Doa untuk Om Marcel Gogang (foto Novemy Leo)
KUPANG, PK -  Delapan hari yang lalu, tepatnya Sabtu (13/6/2015), mantan Pemimpin Redaksi Surat Kabar Harian (SKH) Pos Kupang, Marcel Weter  Gobang meninggal dunia di kediamannya di Jakarta. Banyak kenangan serta keutamaan nilai yang ditinggalkan almarhum bagi Pos Kupang.

Pemimpin Umum SKH Pos Kupang, Damyan  Godho bersama seluruh karyawan Pos Kupang menggelar  doa untuk arwah almarhum Marcel  Gobang di ruang rapat redaksi surat kabar ini, Jumat (19/6/2015) sore. Ibadat sabda dipimpin  Diakon Januario Gonzaga, Pr dari Seminari Tinggi St. Mikhael Penfui Kupang.

Sebelum ibadat sabda, Damyan Godho menyampaikan kesan-kesannya selama bersama almarhum Marcel W Gobang membangun surat kabar yang dicintai masyarakat NTT ini. Menurut Damyan, sebelum ke Kupang Marcel W Gobang bekerja pada Surat Kabar Harian Surya di Surabaya.

Pada tahun 1996, ketika SKH Pos Kupang sedang berusaha mengembangkan usaha,  dirinya mendapat telepon dari pimpinan grup koran daerah Kompas Gramedia di Jakarta tentang rencana kehadiran Marcel W Gobang di Kupang.
"Saya jawab, datang secepatnya. Tahun 1996, Marcel datang ke Kupang," cerita Damyan. "Marcel bersama Pos Kupang kurang lebih selama sembilan tahun. Tahun 2005 dia pensiun dan memilih kembali ke Jakarta," tambah Damyan.

Menurut Damyan, Marcel Weter Gobang sangat memberi warna dalam perjalanan hidup SKH Pos Kupang, khususnya di bidang redaksi. Marcel Gobang pun berperan besar dalam  mendidik wartawan koran harian ini.  "Marcel itu cerdas. Tidak banyak bicara. Dia bicara seperlunya saja. Dia juga disiplin. Dalam keseharian, teman-teman di redaksi Pos Kupang yang pernah bersamanya pasti mengenal betul karakternya," kata Damyan.

Pada Jumat (12/6/2015) pekan lalu, tambah Damyan, tiba-tiba ia dan istrinya mendengar ada suara laki-laki memanggil-manggil di teras rumahnya. Halo-Halo.. Setelah dilihat ternyata tidak ada tamu yang datang. Sapaan itu seperti pertanda. Pada Sabtu siang, Damyan mendapat informasi dari Dion DB Putra bahwa Marcel W Gobang telah meninggal dunia di Jakarta.  "Kita mendoakan semoga almarhum Marcel Gobang mendapat tempat yang layak di sisi Tuhan," kata Damyan.

Damyan juga menyampaikan permohonan maafnya kepada almarhum Marcel Gobang atas semua kesalahpahaman dan tutur kata yang mungkin membuat almarhum tersinggung atau sakit hati selama kerja di Pos Kupang atau dalam keseharian selama ini.


Kesan mendalam tentang almarhum pun disampaikan  Dion DB Putra. Menurut Dion, Marcel  Gobang adalah sosok pemimpin yang mampu meneguhkan hari wartawan dan seluruh karyawan Pos Kupang saat menghadapi masalah berat.
"Om Marcel katakan, dengan jumlah wartawan empat atau lima orang pun besok Pos Kupang harus tetap terbit. Dia selalu menguatkan kami di saat yang sulit," kata Dion.

Bagi Dion, Marcel  Gobang adalah figur seorang guru. "Om Marcel itu orangnya teliti dan penuh pertimbangan. Almarhum juga memiliki jiwa kebapaan. Kalau hendak menegur atau memarahi bawahan, almarhum biasanya putar-putar dulu. Ya kurang lebih seperti gaya penulisan feature," kata Dion.

Setelah Dion DB Putra, dilanjutkan dengan kesan-kesan dari Plh Pemred Pos Kupang, Benny Dasman, Pemimpin Perusahaan Daud Sutikno, Setya MR, Sekretaris Redaksi, Marsel Ali, Fery Jahang dan Manajer Iklan, Mariana Dohu.
Benny Dasman mengatakan, saat Marcel  Gobang menjadi pemimpin redaksi, ia menjabat manajer produksi surat kabar ini. Suatu saat, ia dimarahi Marcel Gobang karena suatu kesalahan. Ia merasa sakit hati dan sempat tidak masuk kerja selama dua hari. Tapi di luar dugaan, Marcel W Gobang menemui Benny rumahnya dan memberi penjelasan mengapa ia marah dan apa yang ia lakukan sebagai bentuk teguran dari seorang bapak kepada anak atau adiknya.

"Saya sangat tersentuh dengan cara beliau. Besoknya saya langsung masuk kerja kembali," kata Benny. Kesan lain diceritakan Pemimpin Perusahaan Daud Sutikno yang pernah tinggal bersama serumah dengan Marcel Gobang di Kupang. "Om Marcel orang baik," demikian Daud Sutikno. (mar)


Sumber: Pos Kupang edisi Sabtu 20 Juni 2015 halaman 6

Mukjizat dari Bukit Cinta Lembata

Bukit Cinta Lembata
PAGI itu alam Lembata sungguh indah. Birunya laut melingkar dari kaki Gunung Ile Ape sampai di kaki Gunung Ile Boleng, merambat jauh ke kaki gunung Lewotobi nun jauh Flores Timur sana.    Hijaunya ilalang juga memeluk erat deretan bukit  yang sedang memancarkan kemilau emas melalui pucuk-pucuk rerumputan yang mulai berubah warna lantaran dipanggang teriknya mentari.

Ada lagi butir-butir pasir putih memanjang sepanjang pantai mulai dari Tanjung SGB Bungsu hingga di Tanjung Mingar, Kecamatan Nagawutun. Sementara di kejauhan sana, samar-samar terlihat bayang-bayang putih yang juga membentuk garis panjang membingkai pantai Ile Ape.

Panorama alam itu hanya ada di tanah Lomblen dan hanya dapat disaksikan dari puncak Bukti Cinta, "bukit teletabis" yang baru ditemukan beberapa tahun terakhir.  Bukit yang satu ini memang sungguh luar biasa.

Selain didekorasi oleh bukit yang berderet-derat di belakangnya, dari bukit ini pula kita merasakan seolah ada "mukjizat" yang sedang terjadi. Bayangkan, arus maut di Selat Watowoko seketika berubah tenang tatkala ditatap dari Bukit Cinta.

Hilir mudik kapal-kapal nelayan, lalulalang bus-bus laut, juga kapal-kapal barang dan kapal penumpang lainnya, seolah-olah sedang melukisi permukaan laut. Belum lagi deburan ombak berbuih putih tak henti-hentinya membingkai daratan, memagari hijaunya pepohonan dan melingkari mutiara-mutiara putih yang terhampar manja  di depan mata.

Mungkin karena "mukjizat" itulah, orang-orang Lembata selalu menyebutkan, bahwa bila Anda berkunjung ke kabupaten ini, tidaklah lengkap bila Anda melewatkan Bukit Cinta. Sebab dari bukit inilah Anda akan menyaksikan hebatnya ciptaan Tuhan.

Bukit Cinta tak jauh dari Lewoleba. Bisa dengan mengendarai sepeda motor, bisa pula dengan kendaraan lain. Hanya butuh waktu beberapa saat, Anda sudah tiba di tempat tersebut.Memang, ruas jalan ke lokasi ini masih dihiasi aneka kekurangan. Pertama, di sisi kiri dan kanan jalan beraspal, sudah penuh dengan rerumputan yang tinggi-tinggi. Rerumputan yang tumbuh liar tersebut membuat badan jalan semakin sempit.

Kedua, kondisi jalan ke Bukti Cinta juga berlubang-lubang. Bahkan pada beberapa titik, kerusakannya sudah sangat parah. Lubang-lubang itu semakin lebar, semakin dalam dan semakin memrihatinkan. Bila tubuh Anda kurang fit, misalnya, maka Anda bisa mabuk gara-gara kondisi jalan tersebut. Bila kurang istirahat pun Anda so pasti akan mabuk, karena keadaan jalan itu cukup mengganggu kenyamanan selama berkendara.

Tapi Anda jangan risau. Nasib jalan ini akan segera diakhiri oleh keseriusan Pemerintah Kabupaten Lembata. Terbetik kabar, Komisi V DPR RI telah menyetujui permintaan Bupati Lembata, Eliaser Yentji Sunur agar ruas jalan dari Wulandoni-Lamalera-Puor-Boto-Labalimut-Bukit Cinta hingga di Balauring, ditingkatkan statusnya menjadi jalan negara.

Jikalau benar kabar ini, maka ruas jalan itu nantinya berubah menjadi jalan negara. Bila telah menjadi jalan negara, berarti keadaannya pasti akan membaik. Kalau begitu, maka sungguh pantas dan layak bila mulai saat ini kita harus melakukan yang terbaik untuk Bukit Cinta.Bukit Cinta tak menuntut sesuatu yang luar biasa. Bukit Cinta juga tak mengharuskan terobosan yang hebat. Yang didambakan hanyalah hal-hal mudah dan sederhana. Misalnya, tak boleh membakar rerumputan di tempat itu. Sebab membakar rerumputan sama artinya dengan mencampakkan keindahan Bukit Cinta.

Berikutnya, Bukit Cinta perlu dijamah lebih serius. Menata Bukit Cinta tak harus dengan mendirikan banyak bangunan. Memoles Bukit Cinta tak selamanya dengan menjadikan lokasi itu sebagai obyek untuk diproyekkan. Yang paling penting untuk dilakukan, adalah memangkas rerumputan secara teratur. Memangkas rerumputan merupakan kunci utama melestarikan kemolekan Bukit Cinta. Mengapa? Karena daya tarik utama tempat itu adalah padangnya yang hijau oleh rerumputan liar.

Memangkas rerumputan itu bukan untuk semua bukit dan lereng di tempat itu. Memangkas rerumputan itu hanya pada area yang saat ini sedang dibangun. Bila rerumputan dipangkas secara baik dan teratur, maka Bukit Cinta itu akan semakin menampilkan keindahan yang tiada duanya. 

"Tidak ditata saja Bukit Cinta sudah indah, apalagi kalau ditata secara lebih serius. Saya yakin Bukit Cinta akan menarik semakin banyak orang untuk datang dan menghabiskan waktu di tempat ini," ujar James salah seorang wisatawan mancanegara asal Inggris, yang mendatangi Bukit Cinta, baru-baru ini.
Ungkapan wisatawan tersebut memang benar adanya. Yang jadi pertanyaan, adalah mampukah kita merawat Bukit Cinta dengan hal-hal yang sederhana tadi?

Sanggupkah kita untuk tidak membakar rerumputan sebagaimana yang terjadi selama ini? Sanggupkah kita memangkas rerumputan secara teratur pada area yang biasa ditapaki untuk menyaksikan panorama alam tanah Lomblen dan sekitarnya? Bila dua pertanyaan ini dapat kita jawab bersama-sama dengan kemauan dan komitmen yang tinggi, maka  suatu hari nanti Bukit Cinta akan menjadi ikon baru pariwisata Kabupaten Lembata, bahkan Nusa Tenggara Timur (NTT) pada umumnya. Dan, keindahan Bukit Cinta itu akan membawa semakin banyak cinta untuk Lembata yang lebih baik.  (frans krowin)

Sumber: Pos Kupang 7 Juni 2015 halaman 2

Lanjutkan Replikasi Praktek Cerdas

Winston Rondo (kiri)
* Evaluasi Program Dukungan AIPMNH di NTT

SANUR,  PK  -  Praktek cerdas yang diperoleh melalui kemitraan AIPMNH (Australia Indonesia Partnership for Maternal and Neonatal Health) atau program kemitraan untuk kesehatan ibu dan anak yang telah direplikasi oleh pemerintah provinsi, kabupaten dan kota di Nusa Tenggara Timur (NTT) agar  dilanjutkan.

Lanjutan program itu dengan penekanan pada upaya peningkatan partisipasi masyarakat dan pengendalian pertumbuhan penduduk melalui Keluarga Berencana (KB) yang responsif gender. Demikian satu dari sembilan rekomendasi hasil rapat evaluasi program dukungan AIPMNH di NTT yang berlangsung di Hotel Inna Grand Bali Beach, Sanur, Bali, 27-28 Mei 2015.

Acara evaluasi tersebut dibuka Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (BPMPD) Provinsi NTT, Drs. Flori Mekeng mewakili Gubernur NTT. Hadir antara lain Direktur Kesehatan DFAT, Mr. John  Leigh, Manajer Transisi AIPMNH, Henyo Kerong, Ketua Komisi V DPRD NTT, Winston Rondo, Ketua Tim Penggerak PKK Provinsi NTT, Lusia Adinda Lebu Raya, Bupati Manggarai, Christian Rotok, Bupati Flotim, Yoseph Lagadoni Herin, Bupati Lembata  Eliaser Yentji Sunur, Bupati TTS, Paul VR Mella, Wabup Ngada Paulus Soliwoa, para kepala Bappeda dan kepala dinas kesehatan dari 14 kabupaten/kota di NTT serta mitra kerja AIPMNH lainnya.

Setelah melalui dua sesi panel materi serta diskusi kelompok, rapat evaluasi menghasilkan sembilan butir rekomendasi yang dibacakan ketua panitia yang juga Kepala Bidang PP I Bappeda Provinsi NTT, Djoese SM Naibuti. Pertama, berkaitan dengan keberlanjutan pembangunan kesehatan di Provinsi NTT yang akan mendapatkan dukungan dari Pemerintah Australia sedapat mungkin menggunakan mekanisme yang sudah dilaksanakan oleh kemitraan AIPMNH karena terbukti cukup efektif dalam pencapaian target kinerja.

Kedua, praktek cerdas yang diperoleh melalui kemitraan AIPMNH yang telah direplikasi oleh provinsi dan kabupaten/kota agar terus dilanjutkan dengan penekanan pada upaya peningkatan partisipasi masyarakat dan pengendalian pertumbuhan penduduk melalui Keluarga Berencana yang responsif gender.

Ketiga, khusus untuk keberlanjutan Program Sister Hospital, pemerintah kabupaten/kota sepakat untuk melakukan replikasi melalui dukungan APBD II. Keempat, untuk pemenuhan dan pemerataan tenaga kesehatan di daerah dimohon dukungan dari Kementerian Kesehatan melalui penempatan tenaga PTT.

Kelima, Kementerian Kesehatan (Kemenkes)  agar membantu mensosialisasikan dan mempublikasikan praktek cerdas pembangunan kesehatan terutama Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) yang diperoleh melalui dukungan kemitraan AIPMNH. Keenam, perlunya pembagian peran antara pusat, provinsi dan kabupaten/kota dalam meningkatan upaya kesehatan berbasis masyarakat.

Ketujuh,  Kementerian Kesehatan perlu mendukung daerah dalam menyiapkan standar pemberian insentif bagi dokter spesialis di daerah. Kedelapan, mendukung inisiatif Komisi 5 DPRD Provinsi NTT menyiapkan Rancangan Peraturan Daerah tentang Revolusi KIA. Kesembilan,  mendukung usulan Kemenkes kepada Kemen PAN untuk meninjau kembali moratorium pengangkatan tenaga kesehatan khusus untuk wilayah NTT melalui surat resmi dari Gubernur NTT. (osi)
Salut dan Bangga Sekali

KETUA Komisi V DPRD NTT, Winston Neil Rondo memberikan apresiasi atas keberhasilan program kemitraan ini. Tingkat kematian ibu di NTT yang sebelum adanya program kemitraan itu (2008) tergolong tinggi di Indonesia yaitu mencapai 330 orang hingga menjelang berakhirnya program tersebut pada Juli 2015, turun menjadi 159 orang per setiap 1.000 kelahiran.

"Salut dan bangga sekali. Apresiasi yang tinggi untuk kerja keras Pemda, masyarakat dan lembaga-lembaga masyarakat sipil (bantuan  AIPMNH , LSM, ormas) yang sudah menunjukkan hasil nyata penurunan signifikan 40 persen  dalam lima tahun terakhir," kata Winston.

Menurut dia, apa yang sudah dicapai akan jadi pembelajaran untuk melakukan kebijakan, program dan kerja yang lebih nyata, terukur, padu dan sinergis dan lebih baik lagi. Winston merekomendasikan tiga poin kunci. Pertama, alokasi anggaran harus lebih besar diarahkan untuk memastikan program dan kebijakan kita memperkuat peranserta masyarakat dalam Pelayanan Kesehatan. Biayai lebih banyak pada pro sehat, pada aspek promosi dan preventif.

 Kedua, prioritas kunci bidang legislasi tahun 2015 adalah Ranperda Revolusi KIA (memperkuat Pergub No. 42 Tahun 2009). Ketiga, komitmennya pada membangun keterpaduan dan sinergi antar aktor sebagai sistem yang melembaga, peningkatan peranserta masyarakat dan alokasi anggaran yang lebih besar serta pengawasan yang  lebih kuat dan terukur. (osi)

Sumber: Pos Kupang 30 Mei 2015 halaman 5

Lusia Adinda Tawarkan Tiga Strategi

Peserta evaluasi program dukungan AIPMNH di Sanur
* Evaluasi  Program Dukungan AIPMNH di NTT (3)
 
MENGAPA angka kematian bayi di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) fluktuatif bahkan cenderung meningkat beberapa tahun terakhir? Pertanyaan tersebut terjawab saat Asnawi Abdullah, PhD selaku konsultan researcher Australia Indonesia Partnership for  Maternal and Neonatal Health (AIPMNH) memaparkan hasil penelitiannya dalam rapat evaluasi di Sanur, Bali,  27 Mei 2015.

Asnawi yang meneliti hubungan faktor resiko Kesehatan Ibu  dan Kematian Bayi Baru Lahir  di 14 kabupaten dan kota telah mengindentifikasi beberapa faktor resiko kematian neonatal di NTT yang perlu mendapatkan perhatian semua pemangku kepentingan.

Dari hasil penelitian itu, Asnawi memberikan sejumlah kesimpulan serta rekomendasi. Dikatakannya, penguatan dan peningkatan kualitas pelayanan kesehatan ibu selama kehamilan dan perhatian khusus kepada bayi selama 28 hari pertama kehidupan dipercaya dapat memberikan kontribusi besar untuk penurunan kematian neonatal di NTT

Komplikasi selama kehamilan, neonatus lahir dengan komplikasi dan mempunyai riwayat komplikasi merupakan faktor resiko utama kematian neonatus di NTT. Manajemen komplikasi obstetrik dan neonatus harus diperkuat dan faktor-faktor yang mendasarinya (underlying factor) seperti anemia dan malaria harus ditangani dan dipantau lebih seksama. Pendidikan dan promosi kesehatan berkaitan dengan konsumsi Fe dan pencegahan dan pengobatan malaria pada ibu hamil terutama di daerah endemik perlu mendapatkan perhatian lebih.

Menurut Asnawi, tindakan  perawatan dini neonatus yang efektif merupakan langkah penting untuk meningkatkan kelangsungan hidup bayi baru lahir dan mencegah kematian dini. Kunjungan rumah neonatus harus dilakukan secara teratur dan harus diprioritaskan serta perlu penguatan upaya pendidikan kesehatan bagi ibu sehingga mampu mendeteksi dini penyakit pada neonatus.

Hasil penelitian itu juga menunjukkan, melahirkan di rumah masih relatif banyak; peran dukun beranak masih cukup dominan dan ini merupakan tantangan utama dalam menurunkan angka kematian bayi di NTT. Social marketing untuk mendorong persalinan di pelayanan kesehatan perlu terus dilakukan secara efektif dan Revolusi KIA perlu terus didukung oleh berbagai pemangku kepentingan.

Metode Kangguru juga ditemukan sebagai faktor yang menentukan kelangsungan hidup neonatal, terutama untuk neonatus lahir dengan berat badan rendah. Ini merupakan metode sederhana dan murah namun mempunyai kontribusi dalam penurunan resiko kematian neonatal. Maka dianjurkan agar metode ini perlu terus dipromosikan terutama untuk bayi BBLR (Berat Badan Lahir Rendah).

Pemberdayaan Masyarakat

Menghadapi fakta sebesar 70 persen bayi di Provinsi NTT mati pada umur 0-1 bulan, Ketua Tim Penggerak PKK Provinsi NTT, Ny.  Lusia Adinda Lebu Raya, S.Pd, MM menawarkan konsep pemberdayaan masyarakat dan keluarga.

Dalam forum rapat evaluasi program dukungan AIPMNH di Sanur 27 Mei 2015, Lusia memaparkan tiga strategi. Strategi tahap pertama adalah menyelamatkan bayi yang lahir agar tidak mati. Strategi tahap kedua, meningkatkan kualitas bayi yang akan lahir dan menghindarkan  bayi dari kematian melalui pemantauan ibu hamil dan peningkatan gizi ibu hamil. Strategi tahap ketiga,  meningkatkan kualitas calon orangtua bayi agar melahirkan bayi sehat dan berkualitas melalui pendampingan pasangan usia subur dan remaja.

"Yang sudah kita laksanakan di lapangan adalah strategi tahap pertama. Sedangkan strategi kedua dan ketiga masih dalam masih proses perencanaan  dan analisa," kata Lusia Lebu Raya. Menurut dia, strategi tahap pertama itu melalui pemantauan bersama, kolaborasi antara pemberdayaan masyarakat oleh kader PKK, Posyandu dan pelayanan kesehatan.

Lusia Lebu Raya mengatakan, setiap desa atau kelurahan  di NTT memiliki sumber daya manusia (SDM) yang memadai untuk melakukan pemantauan bersama terhadap bayi. Mereka adalah para kader PKK di desa yang rata-rata beranggotakan 10-16 orang, kader Posyandu rata-rata 15 orang, perangkat desa, bidan desa, tenaga kesehatan yang rumahnya di desa/kelurahan, orangtua dan keluarga bayi serta masyarakat di sekitar bayi.  Untuk desa tertentu malah ada kader siaga, kader dasa wisma dan pendamping Desa Mandiri Anggur Merah.

"Rata-rata di NTT ini hanya ada tiga sampai empat orang bayi yang dilahirkan per desa per bulan. Jumlah yang tidak terlalu banyak untuk dipantau secara rutin sehingga bisa menekan resiko kematian bayi," kata Lusia Lebu Raya.

Adapun sumber dana yang bisa dimanfaatkan untuk kegiatan itu antara lain Anggaran Dana Desa (ADD) yang besarnya Rp 50 - 100 juta per desa bahkan lebih sesuai amanat UU Desa. Dana Bantuan Operasional Kesehatan (BOK)  yang memang prioritas  untuk promosi kesehatan termasuk kunjungan rumah (Rp 250 juta per puskesmas), bantuan Pemprov NTT melalui BPMPD dan lainnya.

Dijelaskannya, tugas tim adalah memantau secara intensif  bayi usia 0-1 bulan agar mendapat penanganan cepat jika dibutuhkan. Setiap bayi memiliki format pemantauan tanda-tanda bahaya yang berpotensi menyebabkan kematian. Orangtua, keluarga dan kader diberi bimbingan  cara memantau setelah bayi lahir.
Pemantauan rutin terhadap bayi baru lahir sudah terbukti mampu menekan angka kematian. Hal tersebut diakui Bupati Flores Timur, Yoseph Lagadoni Herin, S.Sos yang hadir dalam rapat evaluasi program dukungan AIPMNH di Sanur.

"Pemantauan rutin merupakan salah satu cara yang efektif. Kami di Flores Timur sudah melakukan itu dengan hasil positif," kata Kepala Dinas Kesehatan Flotim, dr. Yoseph U Aman saat berbagi dalam sesi diskusi di forum evaluasi tersebut.

Strategi pemberdayaan masyarakat yang ditawarkan Lusia  Lebu Raya adalah langkah elok demi menopang keberlanjutan Revolusi KIA di NTT. Apalagi poin kedua dari sembilan rekomendasi rapat evaluasi di Sanur pekan lalu tegas menyebut pentingnya partisipasi masyarakat.

Hal itu sejalan pula dengan catatan kritis Ketua Komisi V DPRD NTT, Winston Neil Rondo bahwa  peran serta masyarakat menjadi garansi bagi keberlanjutan Revolusi KIA. Tanpa partisipasi para pemangku kepentingan, sederet panjang praktek cerdas yang diperoleh berkat dukungan program AIPMNH di NTT sejak tahun 2010 akan sia-sia. (dion db putra/habis)

Sumber: Pos Kupang 4 Juni 2015 halaman 1

Revolusi KIA Butuh Revolusi Anggaran

Winson Rondo (kiri) dan Lusia Lebu Raya (tengah)
* Evaluasi  Program Dukungan AIPMNH di NTT (2)

LIMA tahun program dukungan  Australia Indonesia Partnership for  Maternal and Neonatal Health (AIPMNH) di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) terbukti  mampu menurunkan angka kematan ibu saat melahirkan yang merupakan tujuan dari Revolusi KIA (Kesehatan Ibu dan Anak).

Selain itu program kemitraan ini sudah melahirkan banyak cerita sukses atau praktek cerdas yang layak direplikasi dan dilanjutkan pemerintah dan masyarakat NTT sekalipun AIPMNH berakhir.

Menurunnya Angka Kematian Ibu (AKI) pernah diungkapkan Kepala Dinas  Kesehatan Provinsi NTT, dr. Stef Bria Seran, MPH dalam workshop penguatan jurnalis di Palapa Resto, Kupang bulan Maret  2015. Dia menyebutkan, tingkat kematian ibu di NTT sebelum adanya program dukungan kemitraan AIPMNH pada 2008 tergolong tertinggi di Indonesia yaitu mencapai 330 orang per setiap 1.000 kelahiran. Hingga menjelang berakhirnya program tersebut pada Juli 2005, AKI di NTT  turun menjadi 159 orang per setiap 1.000 kelahiran.

"Ini perlu diapresiasi," kata dr. Stef saat itu. Apresiasi atas keberhasilan program dukungan AIPMN di 14 kabupaten/kota di NTT pun diungkapkan Direktur Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia (DFAT), Dr.John Leigh saat memberikan sambutan pada acara pembukaan rapat evaluasi program dukungan AIPMNH di Hotel Inna Grand Bali Beach, Sanur, Bali, 27 Mei 2015.  John Leigh memuji komitmen politik pemerintah mulai dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten dan kota, kecamatan hingga ke desa.

 "Program kemitraan sudah membuahkan hasil positif sehingga keberhasilan ini patut dirayakan," kata Leigh sambil mengingatkan pembelajaran yang baik perlu dibagikan agar orang lain bisa memetik manfaatnya.


Apresiasi juga disampaikan dari Ketua Komisi V DPRD Provinsi NTT, Winston Neil Rondo dalam forum tersebut. "Salut dan bangga sekali. Apresiasi yang tinggi untuk kerja keras pemerintah daerah NTT, masyarakat dan lembaga masyarakat sipil  yang sudah menunjukkan hasil nyata penurunan signifikan 40 persen dalam lima tahun terakhir. Walaupun masih relatif tinggi dibanding rata-rata nasional tetapi performance penurunan AKI dan AKB semakin baik," kata Winston.

Menurut Winston, apa yang sudah dicapai akan menjadi pembelajaran untuk membuat  kebijakan, program dan kerja yang lebih nyata, terukur, padu,  sinergis dan lebih baik lagi. Dalam kata-kata Drs. Agustinus Bebok, M.Si saat menjadi moderator pada diskusi kelompok, keberhasilan itu jangan membuat kita tersandung sindrom "makan puji". Sebab menurunnya AKI belum seiring dengan Angka Kematian Bayi (AKB).

Menurut data Sie KIA Dinkes Provinsi NTT, dalam periode 2008-2014 jumlah kematian bayi fluktuatif bahkan ada kecenderungan meningkat.  Tahun 2008 AKB tercatat 1.274 orang. Tahun 2014 angkanya malah meningkat jadi 1.282. Dengan kata lain, tantangan pelayanan kesehatan di bumi Flobamora bagi ibu dan bayi masih sangat berat.

Catatan kritis disampaikan Ketua Komisi V DPRD NTT, Winston Rondo. Dia menyebut tantangan pelayanan kesehatan NTT masih terkait dengan lima fakta kunci yakni  masih tingginya angka kematian Ibu, Bayi dan Balita, masih tinggi persentasi balita gizi buruk (nomor 3 tertinggi di Indonesia), masih kurangnya tenaga kesehatan (bidan, perawat),  dokter umum dan dokter ahli (ratio 3 orang  per  100 ribu penduduk) dan sulitnya akses pada sarana kesehatan, serta masih rendahnya mutu pelayanan kesehatan dasar dan rujukan.

Selain itu, partisipasi masyarakat dalam pelayanan kesehatan masih kurang diperhitungkan. Urusan pelayanan kesehatan masyarakat punya keterkaitan  dengan berbagai bidang bukan hanya berurusan dengan praktik medis semata. "Peran Dinas Kesehatan masih banyak fokus pada pelayanan kesehatan  untuk Kuratif dan Rehabilitatif,  bukan Promosi dan Preventif.  Perlu mengubah ideologi dan orientasi pembangunan kesehatan NTT dari Pro Sakit ke Pro Sehat," katanya.

Revolusi Anggaran

Revolusi KIA yang bernaung di bawah payung hukum Peraturan Gubernur (Pergub) NTT Nomor  42 tahun 2009 idealnya merupakan usaha luar biasa dari semua pihak guna menekan AKI dan AKB. Menurut catatan Komisi V DPRD NTT, dari perspektif alokasi dan peruntukan anggaran, Revolusi KIA   belum `Revolusi' sesungguhnya. Sebab dari alokasi APBD sebesar Rp 85 miliar untuk Dinas Kesehatan tahun 2015, alokasi untuk  Peningkatan Kesehatan Ibu dan Anak tak lebih dari 5 persen.

Alokasi anggaran dari pemerintah lokal NTT  yang memadai merupakan komponen penting untuk keberlanjutan program Revolusi KIA ke depan. Apalagi Direktur DFAT,  John Leigh sudah memberi isyarat bahwa alokasi anggaran pembangunan internasional dari pemerintah Australia turun 40 persen.  "Prioritas di bidang kesehatan  akan berkurang, mungkin 50 persen," kata Leigh.

Guna mendongkrak alokasi dana dari APBD tentu saja dibutuhkan payung hukum yang lebih memiliki daya kejut dan bergigi sekaligus memperkuat Peraturan Gubernur NTT yang sudah ada. Gayung pun bersambut. Menurut Winston Rondo, salah satu prioritas kunci bidang legislasi DPRD NTT  tahun 2015 adalah Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda)  Revolusia KIA. Komitmennya pada membangun keterpaduan dan sinergi antar aktor sebagai sistem yang melembaga, peningkatan peran serta masyarakat, alokasi anggaran yang lebih besar dan pengawasan yang  lebih kuat dan terukur. Jika NTT sudah memiliki Perda Revolusi KIA niscaya secara hukum lebih mengikat daerah untuk mengalokasikan dana dari APBD yang lebih besar untuk menyelamatkan nyawa ibu dan bayi.

"Rekomendasi alokasi anggaran harus lebih besar diarahkan untuk memastikan program dan kebijakan kita memperkuat peran serta masyarakat dalam pelayanan kesehatan.  Biayai lebih banyak pada Pro Sehat,  pada aspek promosi dan preventif," kata Winston sembari meniupkan filosofi berpihak pada ibu dan anak berarti kita berpihak pada kehidupan.

Dia juga mengingatkan Revolusi  KIA  tak boleh hanya diurus oleh Dinas Kesehatan, RSUD, atau Puskemas  saja, tetapi usaha bersama dan tak kenal lelah untuk menenun sinergi dengan semua pihak.  "Secara khusus partisipasi masyarakat harus jadi prioritas. Pastisipasi masyarakat menjadi garansi keberlanjutan Revolusi KIA," tandasnya.

Winston Rondo juga menggarisbawahi prinsip dasar untuk keberlanjutan Revolusi KIA di NTT yaitu fokus dan keberpihakan jelas, pada masalah atau tantangan paling prioritas yang harus diatasi. Bekerja dengan pendekatan multi sektoral, gotong-royong, berbagi sumber daya. Perbesar kapasitas pemerintah untuk berdaya dan mandiri. Pro inovasi dan bukan doing bussines as usual serta taat aturan.

Ikhwal alokasi anggaran yang lebih besar disadari pemerintah kabupaten dan kota. Hal itu tercantum sebagai satu dari sembilan poin rekomendasi rapat evaluasi program dukungan AIPMNH di Sanur, 27 Mei 2015. Khusus untuk keberlanjutan program Sister Hospital, misalnya, pemerintah kabupaten dan kota di NTT sepakat melakukan replikasi melalui dukungan APBD II. Indah nian bila rekomendasi tersebut sungguh diwujudkan. Segera! (dion db putra/bersambung)

Data Kematian Ibu di NTT (2008-2014)
Tahun      Angka Kematian
2008          330  Orang
2009          272
2010          252
2011          208
2012          192
2013          176
2014          159

Data Kematian Bayi di NTT (2008-2014)
Tahun       Angka Kematian
2008          1.274 orang
2009          1.219
2010          1.305
2011          1.272
2012          1.350
2013          1.286
2014          1.282
Sumber: Sie KIA Dinkes Provinsi NTT


Pos Kupang, 3 Juni 2015 halaman 1

Romo Nus dan Gerakan Sayang Mama

Peserta evaluasi program dukungan AIPMNH di Sanur, 27-5-15
* Evaluasi Program Dukungan AIPMNH di NTT (1)

SUATU hari di bulan Juni 2011, Romo Konstantinus Nggajo atau yang akrab disapa Romo Nus mendapat undangan mengikuti seminar lintas sektor tentang membangun jaringan donor darah. Seminar itu diprakarsai Australia Indonesia Partnership for Maternal and Neonatal Health (AIPMNH)  atau kemitraan Australia Indonesia untuk kesehatan ibu dan bayi baru lahir di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).

Seminar di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Ekapata, Waikabubak, Kabupaten Sumba Barat itu sungguh mengejutkan bagi Romo Nus. Pastor yang sehari-hari bertugas di Gereja Katolik Waikabubak ini seolah 'disadarkan' tentang pentingnya setetes darah guna menyelamatkan ibu yang alami perdarahan saat melahirkan.

"Saya sama sekali tidak tahu bahwa angka kematian ibu begitu tinggi di kabupaten ini (Sumba Barat). Dan, ternyata setetes darah saya dapat menyelamatkan nyawa ibu atau bayi. Jadi saya merasa harus melakukan sesuatu," kata Romo Nus.

Seminar itu menggudah Romo Nus terlibat aktif.  Dia pun mendirikan Gerakan Sayang Mama. Gerakan ini mendorong masyarakat agar mau mendonorkan darah demi menyelamatkan ibu dan bayi. Pada hari Minggu setelah seminar di rumah sakit itu, Romo Nus mengumumkan kepada 500 umatnya bahwa dia akan mendonorkan darahnya sendiri sekaligus mengajak umat mengikuti jejaknya.

Persoalan donor darah juga diungkapkannya kepada sesama biarawan-biarawati dalam pertemuan mingguan paroki. Dia tak henti menggalang dukungan. Pada bulan itu juga Romo Nus mengundang staf rumah sakit menyelenggarakan  pemeriksaan golongan darah gratis di aula paroki. Lebih dari 100 orang mengikuti kegiatan tersebut dan 30 orang di antaranya langsung mendonorkan darahnya.

Sekitar tiga bulan setelah Romo Nus mengikuti seminar lalu mendirikan Gerakan Sayang Mama, rumah sakit melaporkan adanya peningkatan signifikan dalam  jumlah calon pendonor darah yang terdaftar resmi.  Pada bulan Juni RSUD Ekapata hanya miliki 31 pendonor. Bulan Juli 2011, jumlahnya  119, Agustus menjadi 218 dan bulan September tahun yang sama 172 orang lagi yang terdaftar.

Dengan umat lebih dari 8.000 orang yang setia menghadiri misa, pencerahan dari Romo Nus tentang pentingnya setetes darah bagi ibu dan bayi telah menyentuh hati ratusan calon pendonor darah potensial.

Seperti pastor lainnya, setiap hari Minggu Romo Nus lazim mengirimkan pesan singkat (SMS) kepada umatnya berupa salam dan kutipan dari Injil. Romo Nus menambahkan lagi dengan ajakan mendonorkan darah yang menurut dia berhasil membangkitkan rasa ingin tahu umatnya. Romo Nus memanfaatkan media itu guna membangun jejaring calon pendonor darah potensial. Mereka siap dipanggil rumah sakit ketika dibutuhkan.

Perdarahan merupakan salah satu penyebab utama tingginya angka kematian ibu di Provinsi  NTT, selain asfiksia, dan masih banyak rumah sakit tidak memiliki stok darah yang cukup untuk kasus-kasus gawat darurat. Itulah sebabnya keterlibatan tokoh agama seperti Romo Nus memotivasi masyarakat mendonorkan darah niscaya dapat menyelamatkan banyak nyawa.

Romo Nus tidak sendirian. Hari-hari ini sudah menjadi pemandangan lumrah di berbagai pelosok NTT bila  Anda melihat pastor dan pendeta atau tokoh agama lainnya fasih bicara tentang kesehatan ibu dan anak. Tidak sekadar fasih bercakap, mereka pun terlibat aktif bersama masyarakat guna memastikan persalinan yang aman bagi ibu dan bayi di fasilitas kesehatan (faskes).

                                                                                  ***
KISAH tentang Romo Nus yang dikutip dari buku Kompilasi Cerita Sukses (AIPMNH, 2015) hanyalah satu contoh dari begitu banyak praktek cerdas yang
yang diperoleh melalui kemitraan AIPMNH. Sejak bekerja di Provinsi NTT lima tahun lalu,  program kemitraan antara Pemerintah Australia dan Indonesia tersebut berhasil meningkatkan pelayanan bagi kehamilan dan persalinan, memperkuat sistem kesehatan serta meningkatkan akuntabilitas dan kinerja.

Demikian antara lain yang mengemuka dalam rapat evaluasi program dukungan AIPMNH di NTT yang berlangsung di Hotel Inna Grand Bali Beach, Sanur, Bali, tanggal 27-28 Mei 2015.

Sepintas, kiprah AIPMNH di bumi Flobamora seolah tak terpisahkan dengan Desa Siaga. Sejak awal AIPMNH memang tiada henti mendukung pembentukan Desa Siaga di NTT mengingat perannya penting amat dalam menyelamatkan nyawa ibu dan bayi. Di Desa Siaga, partisipasi masyarakat sungguh dirajut dengan indah.

Masyarakat desa membangun jejaring dana, Keluarga Berencana, transportasi dan donor darah demi memastikan ibu bisa bersalin dengan selamat di faskes bukan di rumah  dengan bantuan dukun beranak yang tidak terlatih, faktor lain yang ikut memicu tingginya angka kematian ibu dan bayi di Flobamora.

Melalui Desa Siaga, tradisi yang mengekang perempuan seperti ritual Naketi  Naho'e di Desa Tuabatan, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) diarahkan ke hal  positif yang menyelamatkan ibu dan bayi. Juga munculnya kaum pria menjadi kader Posyandu sebagaimana diperankan dengan luar biasa oleh kraeng Sebastianus Jelalu di Desa Nenu, Kabupaten Manggarai.

Selain Desa Siaga, AIPMNH juga mendukung program Reformasi Puskemas, Sister Hospital serta Pelatihan PONED. Reformasi Puskesmas adalah program pendukung pelayanan klinis yang bertujuan meningkatkan keterampilan staf Puskemas dalam menyajikan Pelayanan Obstetri dan Neonatal Emergensi Dasar (PONED).

Melalui program ini  petugas kesehatan mendapat pelatihan di bidang layanan  non-klinis antara lain mengenai prosedur operasional standar, etika, transparansi dan kerja sama tim serta dukungan untuk pembentukan Badan Penyantun Puskesmas (BPP) yang memberi informasi kepada pasien mengenai hak mereka serta advokasi bagi Puskemas.  Praktek cerdas Reformasi Puskemas antara lain sudah  tercipta di Puskemas Pasir Panjang, Kota Kupang dan Puskemas Wolowaru, Kabupaten Ende melalui kehadiran Rumah Tunggu "Napa Ana", tempat ibu hamil berteduh.

Melalui program Sister Hospital, AIPMNH membantu 11 RSUD kabupaten di NTT dengan  mengontrak tim spesialis dari beberapa rumah sakit ternama di Indonesia, misalnya RS Dr. Sutomo Surabaya dan RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta,   guna menangani kasus-kasus emergensi dan mengembangkan  kapasitas teknis tenaga kesehatan rumah sakit. Tim tersebut memberi pelatihan  bidang-bidang seperti penanganan emergensi tingkat lanjut, anestesi, transfusi darah dan pengendalian infeksi. Melalui pengembangan dan pelatihan mengenai SOP,  program Sister Hospital ingin mewujudkan  standar klinis yang lebih baik dan memperkuat sistem penyajian layanan kesehatan dan pelayanan medis.

Manfaat program Sister Hospital sudah dirasakan masyarakat. Sebut misalnya pasien ibu hamil di SoE, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) yang alami komplikasi tidak perlu lagi dirujuk ke Kota  Kupang karena sudah bisa ditangani RSUD SoE. Sebelum program Sister Hospital tahun 2010, RSUD SoE menangani sekitar 200 persalinan selama enam bulan.

Pada tahun 2012, jumlah tersebut meningkat dua kali lipat yaitu 537 persalinan. Sebelumnya, RSUD SoE tidak mampu menangani operasi caesar. Namun, pada paruh kedua 2012, ada 182 dari 537 persalinan  melalui operasi caesar.  Tanpa operasi caesar, mungkin banyak dari ibu dan bayi tersebut sudah pergi mendahului kita. (dion db putra/bersambung)

Sumber: Pos Kupang 1 Juni 2015 halaman 1

Sagi Butuh Kelincahan Petinju

Tinju adat Sagi di Soa, Ngada (2015)
SELASA (12/5/2015) pukul 14.00 Wita, Kampung Libunio, Desa Libunio, Kecamatan Soa, Kabupaten Ngada dipadati ribuan warga yang menyaksikan pagelaran  Sagi atau tinju adat. Hadir juga Bupati Ngada, Marianus Sae, Wakil Bupati, Paulus Soliwoa, Ketua DPRD, Helmut Waso dan beberapa pimpinan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) di Ngada.

Dalam waktu empat jam, tersaji 29 partai pertandingan yang memuaskan para penonton. Setiap partai melakonkan tiga sampai lima ronde. Para petinju ada yang mengalami luka lecet, bengkak bahkan berdarah di pipi, hidung, bibir dan pelipis. Meski dalam kondisi berdarah, mereka tetap enjoy dan di akhir pertarungan mereka saling memaafkan sebagai wujud sportivitas.

Bagi petinju Sagi, kondisi luka, bengkak bahkan berdarah di bagian wajah menjadi hal biasa. Sagi merupakan tinju adat yang saling memberikan pukulan dengan wilayah sasaran adalah bagian wajah.

Di babak pemanasan mulai dari partai pertama sampai partai kelima, para Mosa (orang yang mengatur petinju) menurunkan petinju kelas menengah dan didominasi peserta tuan rumah. Di partai pemanasan ini, petinju hanya bertarung dua sampai tiga ronde. Namun, di partai keenam hingga partai ke-29, peserta yang tampil adalah petinju berpengalaman, mereka peserta sudah sering bertarung di setiap acara Sagi di wilayah itu, bahkan ke luar daerah seperti  tinju adat Etu di Boawae, Kabupaten Nagekeo.

Gaya dan taktik peserta kelas ini sangat menarik perhatian penonton. Di kelas ini biasanya mereka bertarung hingga lima ronde. Sagi merupakan tinju adat yang cukup populer bagi masyarakat Soa dan sekitarnya. Karena dalam Sagi, banyak hal menarik yang ingin disaksikan penonton seperti peserta tinju, gaya tinju, taktik dan juga hasil tinjunya. Namun, warga kampung yang biasa menonton Sagi sudah mengetahui kalau Sagi itu mulai seru saat para Mosa memasukkan peserta tinju kelas atas dan biasanya pertarungan petinju kelas ini dilakukan di pertengahan tinju atau saat penonton sudah mulai banyak.

Dalam Sagi, para petinju membutuhkan kelincahan dan teknik tinggi menyerang lawan. Tinju semakin menarik, ketika peserta saling menyerang dan memberikan pukulan telak ke wajah lawan. Saat-saat seperti itu, para penonton akan berteriak untuk memberikan semangat. Akan tetapi, ketika salah satu dari peserta berdarah, entah di pipi, hidung, bibir atau pelipis, para penonton terkadang diam sambil mengucapkan kata-kata iba. "Aduhhh kasian!! Dia kena di bibir. Lihat dia punya bibir darah," kata beberapa penonton.

Pertarungan seru juga terlihat  ketika salah satu petinju mendapat pukulan telak dari lawannya. Semakin banyak mendapat pukulan, semakin semangat pula para petinju menambah ronde. Tambahan ronde karena petinju ingin membalas pukulan lawannya. Kepuasan petinju muncul saat lawannya berdarah atau mengaku kalah. Namun, terkadang ada petinju yang merasa tidak puas dengan hasil pertarungan. Hal ini umumnya dirasakan petinju yang sering mendapat  pukulan berat, namun ia belum sempat membalasnya. Rasa dendam  muncul dalam diri petinju.

Ketika niat untuk membalas belum tercapai, biasanya salah satu dari peserta yang berdarah meminta untuk tambah ronde atau meminta berhenti bertarung, jika merasa tidak sanggup lagi. Keputusan ini dinilai oleh Sike atau orang yang bertugas memegang dan mengontrol jalannya tinju setiap peserta dan seorang penengah atay wasit (Dheo Woe). Dheo Woe bisa menghentikan pertarungan manakala pertarungan sudah tidak berjalan dengan baik.   

Tokoh adat Soa yang juga Ketua Panitia Penyelenggara Sagi, Thomas Sogo kepada Pos Kupang menjelaskan, peserta tinju yang belum puas dengan hasil pertarungan  tidak diperkenankan untuk protes, apalagi membuat keributan atau perkelahian. "Kalau antara mereka ada yang dendam, maka di Sagi berikutnya mereka dua bisa bertarung lagi. Yang penting rasa dendam jangan jadi permusuhan di luar arena," kata Thomas.

Menurut Thomas, setiap pergelaran Sagi, mosalaki dari berbagai kampung tetangga datang menyaksikan dan mereka juga membawa petinju untuk bertarung. Mereka langsung mengambil posisi yang sudah disediakan panitia, biasanya di ujung arena tinju (ulu-eko), seperti, bagian timur dan barat atau utara dan selatan, tergantung posisi kampung. Di tempat itu, para Mosa mulai menawarkan beberapa petinju yang siap bertarung dengan lawan. Mosa juga melakukan koordinasi soal peserta tinju yang akan bertarung, apakah kedua peserta itu layak atau tidak untuk bertarung. Hal ini dilihat dari faktor umur, pengalaman tinju (Sagi) dan faktor lainnya.

Menurut Thomas, Sagi atau tinju adat bagi masyarakat Soa, merupakan warisan budaya nenek-moyang yang harus dijaga. Sagi dimaknai sebagai acara syukuran panen yang diperoleh masyarakat dalam satu tahun.


Sagi memiliki tiga tahap pertama, Kobhe Dero yaitu, tahapan sebelum tinju dimulai. Dero dilakukan pada malam hari yang diawali dengan ritual menyongsong acara tinju keesokan harinya. Pada malam Dero itu, warga memulai dengan tarian dan nyanyian lagu-lagu. Mereka juga saling membalas pantun lewat lagu-lagu. Dero dilakukan hingga pagi hari.

Kedua, Sagi yaitu, acara inti yang dilakukan lewat pertarungan tinju. Peserta tinju terdiri dari dua orang, baik peserta tinju yang sudah disiapkan masing-masing kubu maupun penonton yang dipilih oleh Mosa saat acara berlangsung. Alat yang digunakan dalam Sagi disebut Woe. Woe terbuat dari kayu atau tanduk kerbau yang dilapisi dengan ijuk, pasir dan pecahan botol. Saat tinju, Woe diikat di telapak tangan petinju yang berfungsi untuk memukul lawan. Peserta tinju mengenakan pakaian berupa Lesu (kain yang diikat di kepala), selendang (kain penutup dada) dan kain penutup tubuh bagian bawah.    

Ketiga adalah Sogo, yaitu ritual akhir dari Sagi yang ditandai dengan belah kelapa oleh tua adat. Kelapa yang sudah dibelah  itu di lempar ke tanah dan apabila kedua belahan kelapa itu semuanya dalam posisi tertutup maka hal itu memberikan tanda bahwa hasil panen tahun itu dinilai gagal. Sebaliknya, hasil panen akan berlimpah ruah  apabila belahan kelapa yang dilempar itu satu bagiannya tertutup dan sebagiannya terbuka. Tanda-tanda seperti itu yang diakui warga setempat saat melakukan ritual adat. 

Thomas mengatakan, Sagi hanya digelar di beberapa kampung di Kecamatan Soa yakni, Boamuji, Piga, Wuli, Lebuni dan Loa. Pelaksanaan Sagi di beberapa kampung itu biasanya dari April hingga Juli. Kepala Desa Libunio, Blasius Gholo saat ditemui mengatakan, Sagi merupakan warisan budaya yang selalu dijaga oleh masyarakat setempat. Dan sepanjang sejarah, pelaksanaa acara Sagi belum pernah dibuat di luar kampung di Soa. Berbeda dengan pesta Reba yang bisa dilakukan di luar Ngada, seperti Reba di Kupang atau di Jakarta oleh masyarakat Ngada. Namun, untuk acara adat Sagi belum pernah dibuat oleh masyarakat Soa yang ada di luar daerah Ngada. (teni jenahas)

Sumber: Pos Kupang 31 Mei 2015 halaman 5

Indahnya Kebersamaan TNI dan Rakyat

Umat Stasi Deru (foto Egy Moa)
POS KUPANG.COM - Raut wajah Romo Vitalis Salung, Pr, Pastor Paroki Datak di Kecamatan Welak, Kabupaten Manggarai Barat tampak semringah, Rabu (27/5/2015) pagi. Dia gembira menyaksikan gedung baru Kapela Deru yang berdiri kokoh di sisi utara lapangan SDN Watu Deru.

Keceriaan sang gembala umat Katolik itu beralasan. Sejak terbentuk stasi Deru enam tahun silam, umat hanya mampu mendirikan rumah darurat untuk ibadah. Atap dari alang-alang, dinding bambu dan lantai tanah. Dua tahun kemudian angin kencang dan hujan lebat merobohkan bangunan itu.

Sejak itu, ibadah mingguan pindah ke salah ruangan SDN Watu Deru, sekitar 100 meter  arah barat bekas bangunan kapela lama. Semenjak itu pula, umat swadaya mengumpulkan batu dan pasir guna mendirikan gedung baru, meski hingga tahun ketiga belum cukup membangun sendiri.

Pada awal April 2014 Kodim 1612 Ruteng melakukan survey lokasi kegiatan TNI Manunggal Membangun Desa (TMMD) ke-94 Tahun 2015 di Desa Lale. Pendirian rumah ibadah menjadi salah satu target program itu. Romo Vitalis, dewan stasi dan umat sempat ragu-ragu menanggapi rencana itu. Pasalnya umat hanya punya tenaga dan tanpa modal finansial. Namun, kekhawatiran itu sirna ketika Komandan Distrik Militer (Dandim) 1612 Ruteng, Letkol (Kav) Imron Rosadi, SE memimpin Satgas TMMD ke lokasi dua hari jelang pembukaan TMMD, Rabu 7 Mei 2015.

Seluruh umat gembira menyambutnya. Kehadiran Satgas TMMD,ibarat dewa penolong. Keceriaan tampak sekali di Deru dan Lale, basis kegiatan TMMD.
Mereka mulai kerja bareng. Setiap hari, ratusan umat pria dan wanita dewasa hingga anak-anak usia sekolah bersama Satgas TNI bahu-membahu mendirikan gedung baru. Kaum wanita dan anak-anak memikul air dari kali, mengangkat batu, adonan semen hingga menyiapkan makanan dan minuman. Tak terasa di hari ke-21, sebuah gedung ukuran panjang 20 dan lebar 10 meter rampung.

Satgas TNI dinilai Romo Vitalis, memberi banyak nilai positif kepada umat. Kehadiranya mereka di kampung tak hanya menghadirkan kapela baru di Deru, musola di Lale, rehabilitasi Kapela Loi, rehabilitasi jaringan air bersih dan pembukaan jalan baru. Mereka meninggalkan pesan moral tak ternilai yakni semangat kerja keras, gotong-royong, kebersamaan dan solidaritas.

"Tidak terbayangkan sebelumnya. Ternyata pekerjaan yang besar dan seberat apapun bisa diselesaikan dengan gotong-royong," ujar Romo Vitalis. Romo Vitalis terharu menyaksikan kebersamaan prajurit  TNI dan umat. Kedekatan dan keakraban telah menjauhkan jarak dan cara pandang masyarakat terhadap korps berbaju loreng yang dianggap angker dan kasar.

"Saya bersama umat hanya bisa bilang terima kasih. Kalau tunggu swadaya umat, tidak tahu kapan kapela ini akan jadi. Hari Minggu (31/5/2015), saya misa di  stasi ini, akan kami pakai gedung baru," kata Romo Vitalis. Keceriaan umat polos tanpa rekayasa. Romo Vitalis bersama murid SDN Deru, prajurit TNI, Polri, dan warga bersukacita menari di lapangan merayakan sukses program TMMD.

Sekretaris Daerah Manggarai Barat, Rofinus Mbon, SH, MSi, mengingatkan bahwa kapela dan musola yang dibangun susah payah oleh Satgas TMMD dimanfaatkan bagi pengembangan iman umat. Juga pembentukan sikap dan karakter generasi muda menyongsong hari esok yang lebih baik.

Demikian halnya dengan jalan rintisan sepanjang 3,2 km. Rofinus minta warga yang punya lahan di sisi kiri dan kanan jalan agar membuka kebun menanam berbagai jenis tanaman perdagangan. "Percuma jalan yang sudah payah dibangun melewati batas-batas kebun, tapi lahan dibiarkan kosong. Tahun 2016 akan ditingkatkan dengan telford. Luar biasa kegiatan yang dihasilkan TMMD, dalam  21 hari seluruh pekerjaan beres,"puji Rofinus saat menutup TMMD di Lapangan SDN Watu Deru, Rabu (27/5/2/2015).

Kepala Bagian Pembangunan Setda Manggarai Barat, Salvador Pinto, menilai pekerjaan jalan, rumah ibadah dan air bersih yang dilakukan TMMD dalam tempo 21 hari, tak sepadan dengan alokasi dana swakelola Rp 700 juta dari Pemkab Manggarai. Menurut Pinto, Satgas TNI memberi nilai lebih tinggi bila semua pekerjaan itu dihitung dengan proyek.

Rancangan Anggaran Biaya (RAB) untuk pembangunan kapela Rp 115 juta untuk pekerjaan pondasi, tiang sampai atap seng (rangka kayu). Tanpa dinding, pintu dan daun jendela. Tetapi Satgas TMMD memberi nilai lebih mendirikan bangunan yang utuh dengan rangka baja ringan sampai finishing.

Musola Lale, dialokasikan Rp 65 juta untuk rehabilitasi. Tetapi Satgas TMMD mendirikan gedung tembok baru dengan rangka baja ringan sampai finishing. Kapela Loi direhabitasi 28 juta namun disulap jadi baru, jaringan air bersih Rp 40 juta dan pembukaan jalan baru Rp 452 juta. "Satgas TMMD menciptakan lebih banyak efek positif, lebih maju dan lebih tinggi nilainya. Tentang semangat gotong-royong, kebersamaan, disiplin dan kerja keras. Kami belum menghitung nilai aset yang sudah dibangun ini. Tapi kalau dinilai dengan proyek, angkanya jauh di atas Rp 700 juta," ujar pria asal Timor Leste ini. (egy mo'a)


Sumber: Pos Kupang 31 Mei 2015 halaman 4

Khasiat Jitu Batu Penis Raksasa

Batu Penis di Liangbua Manggarai, Flores
Batu penis raksasa di Liang Bua, Manggarai sudah banyak menolong  pasangan suami istri yang sulit mendapatkan momongan.

KEBERADAAN batu kemaluan (penis stone) di Liang Bua, Desa Wae Mulu, Kecamatan Wae Rii, Kabupaten Manggarai belum setenar Liang Bua, gua tempat ditemukan sembilan tulang-belulang Manusia Flores atau Homo Floresiensis. Homo Floresiensis yang dijuluki hobbit  adalah nama yang diberikan pakar antropologi dan tim gabungan Australia-Indonesia terhadap spesies dari genus homo yang punya tubuh dan volume otak kecil.

Menurut serial subfosil (sisa-sisa tubuh yang belum sepenuhnya membatu), individu sisa tulang itu diberi kode LB1-LB9. Postur tubuh paling tinggi sepinggang manusia moderen sekitar 100 cm. Pos Kupang  sudah empat kali mengunjungi gua yang terkenal ke sentero jagat pasca penemuan Homo Floresiensis tanggal 6 September 2003.

Kerja sama penggalian dilakukan tim gabungan Indonesia-Australia dimulai tahun 2001 untuk mencari jejak peninggalan migrasi nenek moyang orang Aborigin Australia di Indonesia. Tim Indonesia dipimpin Raden Pandji Soejono dari Puslitbang Arkelogi Nasional (dulu Puslit Arkenas) dan tim Australia dipimpin Mike Marwood dari Universitas New England.

Pada kedalaman lima meter (ekspedisi sebelumnya tidak pernah mencapai kedalaman  itu), ditemukan kerangka mirip manusia yang luar biasa kerdil. Tulang-tulang itu tidak membatu (bukan fosil), tetapi rapuh dan lembap. Terdapat sembilan individu, namun tidak ada yang lengkap. Diperkirakan Liang Bua dipakai sebagai tempat pekuburan.


Individu terlengkap, LB1, diperkirakan berjenis kelamin wanita ditemukan pada lapisan berusia sekitar 18.000 tahun. Bagian yang ditemukan berupa tengkorak, tiga tungkai (tidak ada lengan kiri) dan beberapa tulang badan. Individu lainnya berusia antara 94.000 dan 13.000 tahun.
Batu Penis di Liangbua, Manggarai

Agaknya sudah banyak publikasi tentang manusia kerdil dari Liang Bua. Yang masih sayup adalah cerita tentang batu berbentuk penis atau batu kemaluan. Guna menghilangkan rasa penasaran itu, Selasa tanggal 5 Mei 2015 pukul 08.00 Wita Pos Kupang bergegas ke Liang Bua. Cerita tentang batu penis pernah disampaikan pemandu wisata Kornelis Jaman, dua tahun silam  saat  Pos Kupang  ke Liang Bua. Tetapi  saat itu konsentrasi tercurah kepada penemuan berbagai fosil binatang purba oleh tim Arkelogis Nasional.

Batu berbentuk alat kelamin pria itu berdiri kokoh di dalam gua. Letaknya agak ke utara dekat dinding gua dan langit-langit gua yang dipenuhi stalaktit. Dari depan gua yang berukuran panjang 50 meter, lebar 40 meter dan tinggi 20 meter, batu penis itu tampak kokoh di antara batu-batuan lainnya.

Bila tujuan utama kedatangan  ke Liang Bua untuk mengamati batu penis, maka tidak sulit mengenalinya. Bentuk batuan warna putih kelabu tersebut memang mirip penis. Pos Kupang bersama Kornelis, mengukur batu penis raksasa ini. Bukan main besarnya. Bayangkan, panjang batu penis 80 cm, lingkaran helm 95 cm dan lingkaran bawah dekat pangkal 132 cm.

"Besar sekali. Saya tidak sempat mengukurnya selama ini," kata Kornelis sambil terbahak-bahak. Pengenalan Kornelis dengan batu penis raksasa ini bukan kebetulan saja. Sejak kecil, neneknya Antonius Agang (80) selalu bercerita kepada Kornelis tentang legenda Liang Bua.

Antonius, cerita Kornelis, bukan dukun. Tapi pernah ada pasangan suami istri yang telah lama menikah dan belum punya keturunan menemui nenek Antonius. Dia memberi pasangan itu "ramuan" berupa air rendaman batu asah. Setelah minum air tersebut, pasangan ini dikaruniai anak.

Suatu ketika, kata Kornelis, sang nenek menceritakan lagi batu mirip penis di Liang Bua. Batu penis itu,katanya,  merupakan milik orang tertua yang tinggal di dalam gua ribuan tahun silam. Mengapa penis milik penghuni Liang Bua menjadi batu, Kornelis mengaku tak punya kisahnya.


Entah sejak kapan penis raksasa itu tersohor, Kornelis pun tak ingat lagi ceritanya. Seingat Kornelis, suatu ketika pada  tahun 2011, dia ditemui sepasang suami istri asal Ruteng. Raut wajah mereka kurang cerah seperti ada soal yang hendak dibagikan kepada Kornelis. Delapan tahun menikah, pasangan itu trak kunjung mempunyai momongan.
Batu Penis di Liangbua Manggarai, Flores

Kornelis menyatakan, ada berbagai syarat yang mesti dipatuhi berkaitan dengan legenda batu penis itu. Yang paling penting, kata Kornelis, permohonan (sungke dalam Bahasa Manggarai) dan niat kepada batu penis. "Syaratnya, pertama tidak boleh memberitahu atau menceritakan kepada siapapun bila niatnya ke Liang Bua mengambil `ramuan' dari batu penis ini. Datang berdua bersama pasangan. Bila mau mengorek bagian batu penis ini atau mengambil air yang jatuh dari gua, tidak boleh memandang ke belakang. Tidak boleh juga dilihat orang. Pada waktu mau pulang juga tidak boleh lihat ke belakang," kata Kornelis.

Menurut Kornelis, pasangan dari Ruteng mengorek sedikit batu penis, mengambil air yang jatuh dari stalaktit dan mencampurkanya ke dalam botol plastik untuk dibawa pulang. Ramuan itu diminum selama lima hari setiap bangun pagi dan sebelum berhubungan suami istri "Sebulan lebih kemudian, pasangan ini menemui saya menyampaikan khasiat ramuan batu penis. Entahlah istrinya hamil atau berhasilnya seperti apa, mereka tidak jelaskan detail," demikian Kornelis.

Kornelis yang  sudah 15 tahun dipercaya Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pemkab Manggarai mengelola Liang Bua mengatakan sudah 12 pasangan suami istri yang datang kepadanya menyampaikan niat serupa.

Cerita mujarab batu penis raksasa itu juga menjadi bagian dari tugas pemandu wisata. Kepada setiap pengunjung terutama yang dewasa, baik wisatawan domestik maupun asing, Kornelis tak sungkan mempromosikan khasiat batu penis raksasa ini.  "Kalau pengunjung  punya niat yang kuat, mereka akan kembali lagi.

Mengorek batu penis dan mengambil air dari stalaktit. Saya yakin dengan publikasi ini akan menarik perhatian orang yang punya niat khusus untuk mencobanya. Silahkan datang, dengan senang hati saya memandu," demikian  Kornelis. (eugenius mo'a)

Sumber: Pos Kupang 10 Mei 2015 halaman 5

Susilowati Selamatkan Bumi dari Sampah

Susilowati Koopman (foto feliks janggu)
Mengolah sampah menciptakan bumi baru bagi generasi mendatang. Demikian ide besar Ibu Susilowati Koopman di balik pendirian Bank Sampah Flores di Kota Maumere Kabupaten Sikka, 14 Februari 2014 lalu, bertepatan dengan Hari Valentine.

"Pada zaman modern sekarang ini, banyak orang mengapresiasikan cintanya lewat kado. Pada saat bersamaan, dunia ini penuh dengan sampah. Lalu siapa yang kelola? Saya pun mau menjadi pemulung dan mengabdikan cintaku pada sampah," kata Ibu Susilowati di kantor pusat Bank Sampah Flores di Pantai Paris, Maumere, Rabu (29/4/2015).

Satu tahun sudah Bank Sampah berada di Kota Maumere.  Keberadaannya banyak membantu mendidik masyarakat untuk tidak membuang sampah, menjaga kebersihan lingkungan dan memanfaatkan sampah untuk menambah pendapatan keluarga.Susilowati khawatir  jika sampah tidak diolah, maka ribuan bahkan jutaan tahun nanti sampah akan mengusai bumi ini.

Dibantu Fransiskus Xaverius Iri dan Fransiskus Xaverius Soi Sabe, Ibu Susilowati melayani nasabah yang kini menyebar di delapan kelurahan di Maumere. Nasabah individu sebanyak 769 orang tidak termasuk lembaga pendidikan, lembaga gereja dan kantor-kantor pemerintahan di  Sikka.

 "Nasabah kita itu individu, sekolah, rumah sakit, puskesmas. Paling luar biasa itu  lembaga-lembaga gereja setiap kali menabung di Bank Sampah sampai 1/2 ton per bulan," kata  Susilowati.


Bank Sampah Flores sudah  memiliki 21 Bank Sampah Unit yang tersebat di beberapa titik, sebut beberapa di antaranya Bank Sampah Unit Madawat, Bank Sampah Unit Geliting, Bank Sampah Unit Mauloo dan lainnya.

Adapun yang ditabung,  antara lain kaleng, kertas, plastik, botol dan sebagainya. Sampah-sampah itu ditabung di Bank Sampah untuk kemudian diolah menjadi barang yang bisa dipakai lagi, seperti piring, tas, keranjang, meja, lemari dan aneka produk lainnya.

Kini produk tas Bank Sampah Flores menjadi penjualan tertinggi. Bank sampah Flores kini tengah memenuhi pesan piring dan keranjang dari Denpasar, Bali. Adapun produk Bank Sampah Flores,  antara lain  program sekolah sampah bagi masyarakat. Bank Sampah Flores memberikan pelatihan kepada masyarakat untuk mengelolah sampah secara mandiri menjadi barang-barang berharga yang bisa dimanfaatkan kembali untuk keperluan rumah tangga.

Program lainnya, beasiswa bagi nasabah. Nasabah menabung sampah, dalam jangka waktu yang telah ditetapkan, nasabah sudah bisa mengambil tabungannya di Bank Sampah. "Baru satu anak yang mengambil program ini, setiap hari dia menabung sampah, dan menurut ibunya dia menabung untuk kuliah," kata Susilowati.

Bank Sampah Flores berbasiskan kesadaran masyarakat, mengurangi  beban pemerintah mengelolah sampah di kota, dan berorientasi kepada lingkungan hidup.


"Jika masyarakat mengelolah sampah secara mandiri dengan baik, lingkungan jadi sehat, sampah juga membawa keuntungan ekonomi," tambah Susilowati. Sampah juga bisa ditukar dengan pulsa telpon, pulsa listrik dan akan dibuka Kios Barter Sampah di Pusat Bank Sampah Flores di Pantai Paris.

Muara dari semua perjuangan Susilowati adalah Zero Waste (sampah nol) di Flores. Perlu perjuangan, adanya perubahan mindset (pola pikir, Red) masyarakat tentang sampah. Perlu edukasi terus-menerus. 

Filosofi pengelolaan sampah di Bank Sampah Flores adalah Reduce, Reuse, Recyle, Responsibilyty, Revolusi Mental dan Action atau disingkat 5R1A. Relawan Green Indonesia Eco Flores ini mengatakan, semua permasalahan  terkait sampah adalah perilaku.

Dia harus membagi waktu antar kesibukan mengolah sampah di Kota Maumere dan mengajar di Komodo Mangarai Barat, Ruteng-Manggarai, Sumba, Maumere dan Larantuka. "Saya juga relawan Green Indonesia dari Eco Flores," ujarnya.

Susilowati bertekad membangun monumen Bank Sampah Flores di Kota Maumere. Monumen sampah Flores itu mungkin bisa menjadi satu hal yang menarik wisatawan di Kota Maumere. "Tidak bisa membangun pariwisata tanpa kota yang bersih. Salah satu barometer pembangunan pariwisata itu, kotanya harus bersih. Bank Sampah Flores sangat mendukung program pemerintah daerah Sikka, menjadikan Pariwisata Leading sektor pembangunan," ujar Susilowati.

Flores is Magic
Mengapa Susilowati mengabdikan hidupnya untuk masyarakat Kota Maumere? Dia mempunyai kisah panjang sampai akhirnya dia jatuh cinta dengan Maumere.

Baginya, Flores is Magic. Sejak pertama kali menginjak Flores di Pantai Paga, tahun 1998 bersama dengan suaminya,    Herman Koopman asal Belanda, Susilowati jatuh cinta. "Saya benar-benar jatuh cinta dengan Flores. Flores is Magic," ujar ibu empat anak ini.

Susilowati lahir di Rowoseneng,  Jawa Tengah, 3 November 1967. Ayahnya bernama Mulyono, seorang gitarist dan penyanyi terkenal di desanya dan ibunya bernama Ariati.  Kedua orang tuanya telah tiada. Susilowati memilih tinggal jauh dari suami dan anak-anaknya. Suami Susilowati bekerja di Kedutaan Belanda di Afganistan. Putra pertamanya di Irlandia, anak keduanya di Australia sambil kuliah, Morlies Koopman di Bali dan Isabel Kooman di Maumere bersama dirinya.

"Suami saya seorang petani di Afganistan, saya seorang pemulung, anak pertama saya ngamen di Irlandia dan anak kedua ngamen di Australia," kata Susilowati.

Susilowati menceritakan kenangan indah saat dirinya dan suami memutuskan meninggalkan Pakistan dan bekerja di Paga, Sikka tahun 1998. "Itu keputusan yang sangat sulit. Kami punya kehidupan yang baik di Pakistan," ujarnya.

Pertama kali menginjak kaki di Paga, kata Susilowati, dirinya langsung jatuh cinta dengan penyambutan keluarga di Paga.

Susilowati pernah menjadi perawat di RS Samarinda Kaltim, tetapi meninggalkan pekerjaan itu dan bersama suaminya ke Belanda. Dia berkenalan dengan Herman saat Herman menjadi VSO (Volunter Seas Overseas) dari Inggris. "Kami bertemu dan jatuh cinta, sampai komitmen menikah di sana. Saya diangkat menjadi anak Suku Dayak, dia juga," cerita Susilowati.

Selama berada di Sikka, Susilowati mendampingi suaminya. Tetapi dia pun bingung tinggal di Paga karena tidak ada hal yang bisa dikerjakan. Akhirnya dia melamar di Care International.
Tetapi demi pendidikan anak-anak, Susilowati  memilih  hijrah ke Denpasar. Anak-anaknya pun sekolah di Bali. Tetapi setelah semua anaknya mandiri, Susilowati memutuskan mengabdikan talentanya bagi masyarakat Kabupaten Sikka.

Susilowati setiap tiga bulan sekali baru bisa bertemu dengan suaminya, sedangkan anak-anaknya bertemu setiap kali perayaan Natal. "Kami berkomitmen, perayaan Natal harus bersama. Bisa di Maumere, bisa di Bali atau atas kesepakatan bersama," kata Susilowati.

Untuk memuaskan rasa rindu dengan anak-anaknya Susilowati mengaku sangat terbantu dengan teknologi komunikasi yang semakin canggih saat ini. "Saya bisa melihat wajah anak-anak setiap hari, berkomunikasi setiap hari. Saya merasa mereka tidak jauh dengan saya," ujarnya. (feliks janggu)

Sumber: Pos Kupang 5 Mei 2015 halaman 1
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes