Nurdin

AWAL Maret di bawah mendung senja yang menggantung, bocah-bocah ingusan bermain bola di lapangan sempit berlumpur Kolhua.Sebagian di antara mereka memakai kostum Merah Putih dengan nomor punggung dan nama Christian Gonzalez, Irfan Bachim dan Firman Utina. Di saat jedah menendang bola kumal, mereka ngerumpi soal Nurdin. Mereka juga berdendang turunlah Nurdin...!

Oh bola. Batinku bergumam. Anak-anak ini mengerti apa soal perseteruan di Senayan? Mereka mungkin tak peduli dengan itu. Yang pasti mereka tertular demam Nurdin Halid, ketua umum Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) yang sontak menjadi selebriti. Harus kita akui merupakan news maker nomor wahid di persada Ibu Pertiwi selama tiga bulan terakhir.

Pertama dalam sejarah Indonesia, seorang ketua umum induk organisasi olahraga digoyang lewat gelombang demonstrasi massa yang mengamuk hampir di seluruh negeri. Jika rakyat Tunisia dan Mesir membutuhkan waktu kurang dari sebulan untuk melengserkan diktator Ben Ali dan Hosni Mubarak, gelombang demonstrasi Indonesia sekian bulan tak sanggup menurunkan Nurdin. Luar biasa!



Sampai detik ini Nurdin masih bertahan di kursinya. Argumentasinya di hadapan pers dan wakil rakyat sungguh meyakinkan. Dia paham statuta FIFA. Dia berpegang teguh pada aturan PSSI yang mengharamkan intervensi. Dan, Nurdin memiliki pendukung setia. Sebagian dari mereka sempat diajak berkeliling menonton Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan dan jalan-jalan ke Eropa.

Saat kisruh PSSI meledak banyak pihak harus peras keringat mencari solusi dan klarifikasi, termasuk mengutus seorang Duta Besar menemui Presiden Federasi Sepakbola Internasional (FIFA), Sepp Blatter di Swiss. FIFA sudah memberikan jawaban di akhir pekan, tetapi pergumulan PSSI masih jauh dari selesai. Siapa bilang riwayat Nurdin di PSSI segera berakhir?

Nurdin merupakan sosok menarik dalam jagat sepakbola Indonesia. Dialah ketua umum PSSI dalam sejarah Republik ini yang menyedot perhatian publik sejak awal memimpin. Statusnya sebagai tersangka, terdakwa hingga narapidana dalam kasus korupsi tidak menggeser seinci pun kedudukannya sebagai ketua umum PSSI. Dia tetap memimpin PSSI dari balik jeruji sampai menghirup kebebasan.


Tiga bulan terakhir tiada hari tanpa berita Nurdin di televisi, radio, koran dan majalah. Nurdin juga menjadi topik diskusi di pangkalan ojek sampai warung kopi. Jika hari ini diadakan survei tentang tokoh paling populer di Indonesia, hampir pasti akan menjadi milik Nurdin. Mungkin popularitasnya cuma kalah tipis dibandingkan dengan orang nomor satu Indonesia, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Maka beta tak begitu heran ketika para bocah di bukit Kolhua Kupang lebih hafal nama Nurdin ketimbang Gonzalez, Markus Horison atau Irfan Bachim.

Mengapa Nurdin ngotot sekali mempertahankan kedudukannya sebagai ketua umum PSSI meskipun sudah memimpin dua periode? Tidak sulit menemukan akar pemicunya. Sejak dulu ketua umum PSSI selalu diincar banyak orang. Maklum sepakbola merupakan cabang olahraga terpopuler di Indonesia. Orang tetap menyukai sepakbola kendati prestasi tim Indonesia tak pernah menjulang meski sekadar kawasan Asia Tenggara. Penggemar bola datang semua kalangan. Sebagai cabang olahraga terpopuler, ketua umum PSSI merupakan "jabatan" bergengsi.

Kongres untuk memilih ketua umum PSSI lazimnya lebih riuh ketimbang pemilihan ketua umum KONI Pusat serta ketua umum induk organisasi cabang olahraga lain.
Nurdin kiranya menyadari pesona sepakbola yang mendongkrak popularitas. Dan, popularitas dekat sekali dengan politik. Di era pemilihan langsung seperti sekarang menjadi ketua umum PSSI merupakan pilihan logis. Jadi kalau tuan dan puan mau populer atau lebih meningkatkan popularitas, jadilah ketua PSSI. He-he-he... Kalau tujuannya sekadar popularitas, Nurdin Halid sudah mewujudkan misinya.

Silvio Berlusconi adalah salah satu contoh tokoh politik dunia yang amat piawai memanfaatkan pesona sepakbola untuk popularitas. Pria Italia kelahiran Milan 29 September 1936 itu merupakan pemilik klub AC Milan. Di tangannya, AC Milan berubah menjadi klub raksasa dengan prestasi segudang. Dengan uangnya yang banyak, Berlusconi membeli pemain bintang dari seluruh dunia. Milan menjadi the dream team. Tuan dan puan tentunya ingat ingat kejayaan Milan bersama trio Belanda, Ruud Gullit, Frank Rijkaard dan Marco van Basten. Di era 1990-an Liga Italia adalah kiblat sepakbola sejagat. Prestasi AC Milan demikian hebat antara tahun 1986-2004, masa dimana Berlusconi menjadi presiden klub itu. Bahkan kebesaran AC Milan masih bertahan hingga sekarang.

Menyadari nama besarnya bersama Milan, tahun 1994 Berlusconi mendirikan Partai Forza Italia. Itulah kendaraannya memasuki panggung politik Italia. Saat pemilu mayoritas rakyat Italia memilih dia sebagai Perdana Menteri (PM). Ia menjadi Perdana Menteri selama tujuh bulan (10 Mei 1994-17 Januari 1995) dan kembali terpilih tahun 2001 hingga sekarang. Pemerintahan Berlusconi tercatat sebagai yang terlama dalam sejarah republik Italia. Berlusconi masih memimpin Italia sampai hari ini meski di usianya yang senja dia terlibat skandal dengan perempuan muda.

Banyak yang lupa pesona sepakbola yang lain adalah tambang uang. Sumber kekayaan berlimpah. Selain memiliki perusahaan media massa, dari klub AC Milan sumber uang Berlusconi mengalir deras. Menurut majalah Forbes, Berlusconi adalah orang terkaya di Italia dan orang terkaya ke-25 di dunia.

Bagaimana dengan sepakbola Indonesia? Jangan salah duga kawan. Perputaran uang tidaklah kecil mengingat sebagian besar klub peserta Liga Super Indonesia pendanaannya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), sponsor serta subsidi dari FIFA atas nama pembinaan. Indonesian Corruption Watch (ICW) menaksir nilai kucuran APBD untuk klub mencapai Rp 720 miliar per tahun. PSSI tentu mendapat jatah juga.

Tentang potensi komersial kompetisi sepakbola di Indonesia, Repucom, sebuah perusahaan survei dan analisis independen merilis angka mencengangkan. Pertandingan yang melibatkan klub besar bisa bernilai Rp 10 miliar setiap pertandingan. Kalau dalam satu musim kompetisi ada 300 pertandingan, maka nilai komersialnya menembus angka Rp 3 triliun. Kalau perkiraan itu meleset sekitar 30 persen, tetap saja uang yang masuk sungguh berlimpah. Jadi, kalau banyak orang tergiur mengurus organisasi sepakbola atau mengelola kompetisi sepakbola Indonesia bukan tanpa sebab. Ada gula ada semut. Ada bola ada uang! (dionbata@yahoo.com)

Pos Kupang, Senin 7 Maret 2011 halaman 1
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes