Menunggangi Ombak


ilustrasi
MANTAN pimpinanku yang sudah belasan tahun pensiun, wartawan senior dari media terkemuka mengungkapkan kegundahannya ihwal kerja jurnalis masa kini.

Dia biasanya jarang berceloteh di akun medsos.

Namun, ketika perbarui statusnya beberapa hari lalu, sentilannya memancing perhatian mata.

Saya dididik selalu berpikir positif. Namun sehari-hari melihat dan mendengar para pembawa acara TV selalu bekerja dengan pendekatan negatif. Padahal pikiran kita itu seperti tanah, jika ditanami jagung tumbuh jagung, tanam kedele tumbuh kedele. Jika pikiran kita "ditanami" hal-hal negatif, bukankah yang akan muncul perbuatan negatif, hal-hal yang tidak baik? Jurnalis kita lebih pentingkan judul daripada inti masalah bahkan sering tidak mau mendengarkan jawaban narasumber demi menggiring opininya sendiri. Apa itu yang juga diberikan kepada mahasiswa jurnalistik sekarang? Wah ambyar tenan!”

Lain lagi gerutuan pengamat media. Masih kerabatku juga.

“Seolah kecepatan adalah segalanya. Mayoritas portal berita online semata mengandalkan sumber dari medsos. Apa saja informasi yang berkeliaran di medsos langsung diolah sebagai bahan berita. Mereka mengabaikan prinsip cover both side apalagi cover all sides”.

Seniorku yang doyan mengikuti perkembangan bahasa Indonesia gemas.

Wartawan dan editor ‘zaman now’ rupanya gagal paham mengenai penggunaan kata “usai dan “seusai”. Salah kaprah ”usai tak kunjung usai” sudah berlangsung terstruktur, sistematis dan masif. Hahaha..

Komentar berikut tak kalah menohok.

“Mohon maaf, mulai hari ini saya berhenti berlangganan media Anda. Saya juga tidak akan akses lagi versi digital mediamu ketika saya tahu berita kalian 80 persen click bait. Isinya sampah. Maaf!”

Beberapa kutipan di atas sekadar contoh kegelisahan orang tentang konten media dewasa ini.

Para jurnalis, wartawan, editor tidak lagi menulis elok pada garis-garis bengkok demi benefit bagi publik.

Mereka justru menulis bengkok hingga melahirkan antipati bahkan benci.

Kenyataan ini tentu mengiris hati di tengah gemerlapnya perkembangan media era digital.

Memang tak sedikit wartawan profesional di ini negeri. Mereka bekerja dengan kesungguhan hati.

Karyanya jadi referensi. Mereka jurnalis yang bisa dipercaya karena berintegritas tinggi.

Akan tetapi masih banyak pula yang abai terhadap prinsip dasar kerja kewartawanan sehingga menghasilkan produk jurnalistik tak bermutu.

Pihak yang rugi adalah publik lantaran tidak mendapatkan pencerahan untuk memahami permasalahan sesungguhnya.

Pendiri Harian Kompas, Jakob Oetama kerap berpesan bahwa wartawan atau jurnalis hendaknya tidak pasif saat menangani berita.

Dia mesti proaktif sehingga piawai mengemas isi berita yang dapat memberi benefit sebesar besarnya bagi banyak orang.

Dalam bahasa Pak Jakob, wartawan itu harus menunggangi ombak (riding the wave) bukan diombang-ambingkan ombak atau malah ditenggelamkan ombak yang ganas.

Wartawan senior Kompas, Ninok Leksono menjabarkan sangat indah spirit riding the wave atau in full command of the news tersebut.

Menurut Ninok dalam bukunya, Yuk Simak Pak Jakob Berujar (Penerbit Kompas 2016), menunggangi ombak meniscayakan wartawan memiliki sejumlah persyaratan yang dibutuhkan.

Ia harus tekun, terus belajar agar memiliki pengetahuan dan punya semangat juang untuk menggeluti permasalahan.

Riding the wave menganjurkan jurnalis membekali diri dengan pemahaman atas duduk perkara suatu masalah, punya tekad kuat mengikuti perkembangan permasalahan dan punya insting untuk melihat biang masalah tersebut akan berujung.

Dengan mengusung spirit riding the wave, wartawan akan punya konteks atas permasalahan yang diliputnya, membawa hasil liputannya di posisi terdepan selain komprehensif dan mendalam.

Dengan spirit ini juga media tempat jurnalis bekerja akan dipercaya dan dikagumi.

Di era ketika persaingan antarmedia semakin ketat, terutama setelah menanjaknya media digital, kualitas konten merupakan kunci sukses.

Kelengkapan berita yang kaya serta luasnya perspektif wartawan menjadi faktor kompetitif.

Akan tetapi problem besar sebagian jurnalis hari ini antara lain sikap kerja seadanya di tengah banjir bandang informasi.

Mereka enggan berusaha memverifikasi data dan fakta sehingga informasi yang masih sumir pun terpublikasikan.

Akibatnya bukan kabar baik yang tersaji tapi malah fake news atau kabar bohong yang meresahkan khalayak.

Kecepatan seolah hantu.

Jurnalis cenderung menyajikan informasi sekadarnya di era digital yang mensyaratkan kegesitan.

Kedalaman dan kelengkapan terpinggirkan.

Yang penting jadi portal berita pertama yang mewartakan agar bisa menjaring kunjungan sebanyak-banyaknya.

Celakanya lagi ada yang senang click bait atau umpan klik.

Umpan klik merupakan suatu istilah peyoratif merujuk kepada konten web yang ditujukan untuk mendapatkan penghasilan iklan daring sambil mengorbankan kualitas atau akurasi informasi.

Caranya bikin judul bombastis, sensasional.

Jauh panggang dari api. Judul lain isinya lain. Tujuannya semata demi klik. Judul dibikin sedemikian rupa untuk menarik perhatian orang.

Jualan paling laris biasanya masalah seks, kasus kriminal dan kadang menyerempet isu SARA (Suku, Agama, Ras dan Golongan).

Sejak dulu para guru jurnalistik acap mengingatkan bahwa peristiwa itu hanyalah kapstok alias gantungan baju. Ya sebagai gantungan saja.

Itu berarti jurnalis tidak hanya puas dengan apa yang dia liput, dia dengar, lihat dari sebuah kejadian atau peristiwa.

Jadikan peristiwa sebagai kapstok berarti seorang wartawan hendaknya membuat liputan lengkap dan komprehensif. Menjaga kedalamannya.

Bagaimana mungkin dapat menghasilkan liputan komprehensif bila cara kerja sebagian jurnalis masih seperti gambaran dalam contoh berikut ini.

Senangnya berkumpul di ruangan humas saja, press room atau apalah namanya.

Rajin menunggu keterangan polisi, pejabat humas atau juru bicara suatu instansi atau menanti penuh harap untaian kata press release.

Sumber-sumber itu dipandang cukup. Atas nama setia kawan, siapa paling lekas merajut berita mesti berbagi lekas pula kepada kawan-kawan.

Jadilah angle dan isi berita nyaris sama dan sebangun.

Hanya beda tipis di judul, kata pembuka atau paragraf pertama.

Kemudahan teknologi hari ini ikut menyuburkan praktik copy paste berita.

Reporter cloning. Dia tidak perlu repot menyusun kata dan kalimat sendiri.

Maka sebagian wartawan belakangan ini tak ubahnya juru bicara polisi, jaksa, pengacara atau pejabat pemerintah.

Wartawan rilis. Titik.

Tak tergerak otak dan hatinya untuk menjadikan rilis itu sekadar informasi awal.

Dia mestinya lebih rajin turun ke lapangan, bertemu semua pihak terkait dengan peristiwa, pelaku, korban, keluarga, kolega dan jaringannya. Mencari juga referensi terkait.

Dengan menggali dan mengumpulkan sebanyak mungkin informasi niscaya karya jurnalistiknya akan kaya perspektif.

Laksana pelaut, jurnalis yang baik itu harus menunggangi ombak, bukan mengkhayal mengayuh perahu dari daratan.

Dia mesti berada di tengah badai untuk mengecapi betapa indahnya pelangi permasalahan sosial.

Tatkala menggali dan mengumpulkan bahan berita atau tulisan, tak ada gunung yang terlalu tinggi untuk didaki dan tak ada jurang yang terlalu dalam untuk dituruni seorang jurnalis.

Idealnya begitu. Berat? Ya pastilah.

Tapi bukan tidak mungkin dikerjakan kalau tuan dan puan mau menjadi jurnalis atau penulis yang baik. Profesional!

Dalam simakrama (silaturahmi) dengan para jurnalis belum lama berselang, seorang CEO grup media di Jakarta memberi wejangan meneguhkan.

“Ketika kamu menulis dengan baik, maka pertama-tama itu adalah modal pribadimu bukan lembaga tempatmu mencari nafkah. Kamu bisa pindah tempat kerja atau medan pengabdian kapan saja. Tapi kecakapan menulis merupakan modal hidupmu sehingga akan lebih mudah diterima di manapun. Ada kiasan, jadilah koin karena serendah apapun nilainya tetap dilirik atau dipungut orang. Jangan puntung rokok yang akan diremas lalu dimasukkan ke kotak sampah.”

Begitulah. Profesi jurnalis mensyaratkan sikap ikhtiar, terus mengasah kemampuan menulis hari demi hari.

Dari purnama ke purnama. Tak boleh berhenti selama hayat masih dikandung badan.

Rumitnya itu antara lain ada di sini.

Efa reformasi yang diwarnai deregulasi total di bidang penerbitan pers dan media massa tak otomatis menghadirkan pers berwajah baik.

Reformasi memudahkan siapapun mendirikan media. Apalagi media baru (digital) jauh lebih gampang caranya.

Cukup bermodalkan sekian juta rupiah sudah bisa bikin domain website news lalu unggah berita, foto dan video dan sebagainya.

Data Dewan Pers (2019) menyebutkan, jumlah media online di Indonesia kurang lebih 47.000.

Dari jumlah tersebut yang sudah terverifikasi Dewan Pers kurang dari 3.000.

Terbayangkan berapa banyak media digital yang hadir begitu saja memberikan informasi bagi masyarakat luas.

Si A yang kemarin bekerja sebagai kontraktor bangunan, misalnya, sontak alih profesi sebagai jurnalis karena sudah mendirikan media sendiri.

Kemudahan menjadi jurnalis meminggirkan pentingnya pendidikan dan pelatihan.

Proses rekruitmen seperlunya saja. Calon jurnalis tidak sungguh-sungguh dilatih sebelum terjun ke lapangan menggali bahan berita dan melaporkannya.

Asal paham sedikit unsur 5 W + 1 H dan bisa merangkai kata sudah boleh membuat berita.

Tidak penting amat apakah dia membuat kalimat sesuai kaidah bahasa Indonesia agar pesan tersampaikan secara jelas dan benar.

Bermodalkan kartu identintas dari medianya, si jurnalis bangga berkeliling ke mana-mana, menemui narasumber, memperkenalkan diri sebagai wartawan.

Giliran menulis, kata dan kalimat berlepotan, melepoti logika dan rasa.

Dan, dia berlagak tanpa beban. Tak merasa khilaf apalagi salah.

Jangan tanya lagi apakah dia mengerti secuil pesan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel tentang sembilan elemen jurnalisme dan implementasinya.

Pada akhirnya memilih profesi jurnalis itu memang berat, seberat bisnis media di era generasi tik-tok ini yang membuat banyak orang tunggang-langgang.

Senjakala media cetak bukan isapan jempol belaka.

Jalan terjal menganga di depan sana akibat perangai disrupsi yang beringas dan tak terprediksikan.

Karena berat maka diperlukan usaha luar biasa lewat seperangkat daya kreasi dan inovasi.

Tak mungkin cuma setengah hati mengingat model bisnis media baru berubah lekas amat.

Life without problems is not a real life.

Hidup tanpa masalah bukanlah kehidupan yang nyata, kata kaum bijak bestari.

Memilih profesi jurnalis bukan tanpa masalah. Bisnis media bukan tanpa soal. Problem malah datang silih berganti, tumpang tindih selama kita masih bertemu matahari.

Demikianlah. Menjadi jurnalis kiranya tak semata merajut formula klasik 5 W tambah 1 H.

Jurnalis akan bergumul selalu dengan news value, bertengkar dan mencumbui realitas.

Dalam tugasnya bertengkar dan berdiskusi tentang realitas itu, wartawan sampai kapan pun mesti menjaga kredibilitas dan integritasnya.

Tentu butuh ikhtiar tanpa akhir serta pengorbanan.

Hanya dengan itu, seorang jurnalis tetap cerdas dan bijak menjahit fakta sosial dalam nada dan langgam yang indah, dalam cara rupawan elegan.

Mencubit tanpa meninggalkan sakit hati. Keras menghela tanpa melukai, mencandai dinamika hidup masyarakat tanpa hujat mempermalukan.

Menulis untuk dipahami secara benar oleh semua orang dari anak milenial hingga opa dan oma.

Pembaca, pemirsa atau pendengar tidak hanya boleh melibatkan pikiran tetapi juga melegokan perasaan.

Silakan masuk ke lokus logika, mengendap ke dasar palung rasa, dari testa turun ke hati.

Dengan begitulah seorang jurnalis akan dikenang dalam karir panjang dan terhormat.

Inilah sekeping otokritik dan refleksiku menjelang peringatan hari pers 9 Februari 2020.

Pasti tidak sepenuhnya benar, malah banyak keliru dan kurang. Mohon maaf.

Saya hanya ingin mengajak rekan seprofesi untuk sejenak menghampiri jendela, menatap gerimis, mengusap senja, mereken seberapa tangguh kita akan bertahan.

Biarkan diri terpana memandang cakrawala. Di kaki langit dan daratan yang jengang itu selalu ada asa.

Selamat Hari Pers Nasional. Dirgahayu. (dion db putra)

Sumber: Tribun Bali

Jerit Perih Peternak Babi di Bali


ilustrasi
BABI itu hewan kaya lemak berhidung besar yang rakus makan dan jarang diam.

Apalagi kalau perutnya belum terisi, maka seisi kampung pun bisa mendengar ‘gerutuannya’ yang khas. Riuh rendah.

Sejak penghujung 2019 hingga jelang purnama kedua 2020, riuhnya kisah babi tak kunjung usai di Bali.

Malah makin lantang mencabik langit Pulau Dewata lantaran kematian babi secara mendadak kian kencang saja.

Januari 2020 berakhir dengan catatan miris. Peternak di Sarbagita: Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan tunggang-langgang menelan pil pahit. Mereka tak mendengar lagi riuhnya suara babi yang mengisi keseharian.

Jumlah babi yang mati bikin merinding. Seuntai kabar buruk menjelang Hari Raya Galungan yang mestinya membuat peternak tersenyum.

Laporan jurnalis Tribun Bali sejak bulan Desember 2019 -- mengutip pernyataan pejabat berwenang setiap kabupaten dan kota sebagai berikut.

Kota Denpasar 54 ekor, Kabupaten Badung 564 ekor, Gianyar 36 ekor dan Tabanan 527 ekor (sampai 31 Januari 2020). Nah kalau ditotalkan 1.181 ekor.

Jumlah sebanyak itu mati mendadak dalam rentang waktu sebulan lebih. Ngeri!

Data terbaru Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali, per 31 Januari 2020 jumlah babi mati di Bali mencapai 888 ekor.

Dari jumlah tersebut mayoritas kematian berada di kawasan Sarbagita.

Angka kematian tertinggi terjadi di Kabupaten Badung yaitu 598 ekor dan Kabupaten Tabanan berjumlah 219 ekor.

Selanjutnya di Kota Denpasar 45 ekor dan Kabupaten Gianyar 24 ekor.

Kabupaten Bangli dan Kabupaten Karangasem masing-masing satu ekor.

Perbedaan data kematian bukan masalah yang terlampau gawat.

Perkara ini menarik atensi justru karena fakta bahwa korban babi masih terus berjatuhan.

Makin ke sini angkanya melejit dengan cakupan wilayah epidemi kian luas.

Awal di Denpasar lalu menjalar ke Badung. Tak lama merambah Tabanan dan Gianyar.

Karangasem dan Bali di timur Bali pun mulai kena.

Mungkin tak lama lagi akan terdengar jeritan peternak babi dari Klungkung, Buleleng di utara dan Jembrana di jantung lalu lintas super sibuk Bali Jawa.

Kematian babi hari demi hari mengalirkan lara. Menurut  pengakuan sejumlah peternak, babi yang montok, sehat dan rakus tiba-tiba murung, mencret dan kehilangan nafsu makan.

Tak berselang lama ternak andalan sebagian besar petani di Bali itu meregang nyawa lalu mati. Tak terdengar lagi suaranya yang gaduh.

Dari sumber protein bernilai ekonomis tinggi, babi mendadak berubah jadi bangkai.

Celakanya lagi sejumlah orang tega membuang bangkainya ke sungai atau tebing. Duh!

Dampaknya perih mengiris. Bagai tersayat sembilu. Banyaknya babi yang mati di beberapa kabupaten membuat harga daging babi di Bali merosot tajam. Hampir 50 persen.

Umumnya peternak babi buru-buru menjual babi dengan harga murah.

Mereka berpandangan lebih baik jadi duit ketimbang ternak yang dipelihara dengan biaya tak secuil itu mati sia-sia.

Psikologi massa jauh lebih pelik. Kematian babi sungguh menebar cemas dan kepanikan.

Hari-hari ini masyarakat takut konsumsi daging babi sehingga penjualan di pasar menurun tajam.

Meski pakar kesehatan bersabda virus yang menyerang hewan ungulata asli Eurasia ini tidak menular pada manusia, tapi tetap saja orang mengerem niat konsumsi si omnivora tersebut.

Lagi-lagi peternak yang terpukul. Kematian babi, nama ilmiahnya sus dari familia suidae dan ordo artiodactyla, menimbulkan kerugian tidak sedikit.

Ambil misal seekor babi harganya Rp 2,5 juta (taksiran harga terendah) - maka kerugian peternak di Bali akibat kematian ribuan ekor babi itu bisa lebih dari Rp 2,5 miliar.

Bukan angka ecek-ecek. Bayangkan kalau kelipatannya mengingat harga babi lazimnya bervariasi sesuai umur dan bobot tubuh.

Harga tertinggi bisa Rp 9 hingga 10 juta per ekor. Bahkan lebih.

Harga babi di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur, misalnya, tembus belasan juta rupiah atau mirip harga sapi tambun.

Memang, menurut data Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan, populasi ternak babi di Bali sekitar 700 ribu ekor.

Jumlah kematian ribuan ekor itu tentu baru sepersekian persen dari total populasi.

Banyak yang bilang masyarakat tak perlu khawatir. Toh stok babi masih cukup memenuhi kebutuhan termasuk menyambut Hari Raya Galungan bulan Februari 2020.

Tapi masalah tak segampang itu, bung. Kerugian peternak tetaplah musibah yang pilu. Sebanyak 1.181 ekor babi bukan angka yang cilik.

Misteri hingga Hari Ini

Fakta kematian babi di Bali pun melahirkan fenomena cengang. Pun sedikit ganjil.

Kabar babi mati mendadak mencuat sejak Desember namun mengapa mati masih tetap sebuah misteri hingga detik ini.

Raungan tanya suara peternak mendapat jawaban sama dari pihak berwenang sampai wabah ini memasuki bulan ketiga.

Kesamaannya adalah entah apa yang merasuki dan membunuh babi-babi tersebut.

Rangkuman official statement dari pemerintah daerah melalui pejabat dinas terkait kira-kira demikian.

Petugas kami di lapangan sudah ambil sampel darah dan organ dalam babi yang mati mendadak untuk diteliti di laboratorium Balai Besar Veteriner (BB Vet) Denpasar.

Dari BB Vet Denpasar sampel tersebut dikirim ke BB Vet Medan untuk diteliti lebih lanjut.

Dari Medan hasilnya dibawa lagi ke Jakarta sehingga memerlukan waktu lama untuk identifikasi apakah kematian babi disebabkan penyakit African Swine Fever (ASF) atau demam babi yang mewabah di berbagai negara.

Dan, yang berwenang mengumumkan adalah pihak Kementerian Pertanian. Bukan kami di daerah.

Kami juga tidak bisa berbuat banyak lantaran obat dan vaksin penyakit babi tersebut belum tersedia.

Langkah yang sudah kami lakukan adalah memberikan edukasi kepada masyarakat tentang cara mencegah penyebaran wabah.

Pencegahan dengan menerapkan bio sekuriti yaitu selalu menjaga kebersihan kandang, semprot disinfektan, membatasi ketat orang, barang, bahan dan hewan keluar masuk kandang babi guna mencegah virus.

Begitulah tuan dan puan. kurang lebih pernyataan pemerintah ihwal kematian babi di Bali. Jelas beda pandang dan aksi.

Tanggapan atas geger babi mati kalah sigap dibanding heboh virus corona dari Wuhan, kota dengan 206 danau.

Demam virus dari tepian Sungai Yangtze jauh lebih bergemuruh dan mendapat atensi ketimbang demam babi, ternak andalan ekonomi keluarga sebagian krama Bali.

Perbandingan ini mungkin bak rambutan dan apel, bukan apple to apple.

Cuma di tengah era keterbukaan informasi serta kemajuan teknologi, menanti hasil laboratorium berbulan-bulan itu sungguh sesuatu.

Sebenarnya ada apa denganmu? Hanya semesta yang tahu.

Tapi setidaknya Semeton Dewata pastilah tahu bahwa babi mati mendadak sudah mengguncang Indonesia sejak muncul kasus perdana di Tapanuli, Sumatera Utara September 2019.

Itu hampir setengah tahun yang lalu.

Berhari-hari kematian babi di sana menjadi berita utama media massa Tanah Air.

Makin menarik tatkala ribuan bangkai babi mengambang di danau dan sungai lantaran peternaknya malas mengubur dan bingung mau buang ke mana lagi.

Sampai bulan Desember 2019, Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Sumatera Utara menyebut jumlah babi yang mati mencapai 30.000 ekor.

Tercatat kematian massal ternak ini terjadi di 16 kabupaten Sumatera Utara.

Seperti diwartakan Kompas.Com, Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Sumatera Utara Azhar Harahap menyebutkan, daerah yang alami kematian babi secara massal adalah Dairi, Humbang Hasundutan, Deli Serdang, Medan, Karo, Toba Samosir, Serdang Bedagai, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Simalungun, Pakpak Bharat, Simalungun, Siantar, Tebing Tinggi dan Langkat.

"Yang tertinggi di Dairi, Karo dan Deli Serdang," kata Azhar di kantor Gubernur Sumatera Utara, Jumat (20/12/2019).

Penyebab kematian babi di Sumatera Utara jelas yaitu virus hog cholera atau kolera babi dan terindikasi African Swine Fever (ASF).

Merebaknya virus itu dimulai sejak 25 September 2019. Matinya hewan itu terjadi sangat cepat. Dalam satu hari, angka kematian yang terlapor rata-rata 1.000 - 2.000 ekor.

Kecenderungan serupa itu mulai terjadi di Bali sekarang.

Kasus awal di Denpasar hanya belasan ekor. Seiring waktu berlalu jumlahnya meningkat
sekian kali lipat.

Angka kematian sudah lebih dari 1.000 ekor. Untuk wilayah serawit Bali, bila dibandingkan Sumatera Utara, bencana ini kiranya tidak dipandang remeh.

Keresahan peternak menebal. Maka bisa dimengerti bila mereka menuntut pemerintah segera mengumumkan hasil laboratorium untuk mengetahui penyebab pasti kematian babi dan solusinya.

Selama ini peternak sudah menjadi korban dari ketidakjelasan informasi tersebut.

“Ini kejadian yang luar biasa. Sangat berdampak terhadap peternak dan konsumen,” kata Ketua Gabungan Usaha Peternak Babi Indonesia (GUPBI) Bali, Ketut Hari Suyasa kepada Tribun Bali, Jumat (31/1/2020).

Pengusaha ternak babi sangat menyayangkan hasil laboratorium tidak kunjung datang, dengan alasan yang berhak mengumumkan hasil laboratorium tersebut Kementerian Pertanian.

“Kita kan ingin tahu virus ini African Swine Fever atau bukan? Sampai sekarang kita masih menunggu,” kata Suyasa.

Menurut dia, jika sudah jelas penyebabnya, pemerintah dan peternak bisa menentukan tindakan yang tepat demi mencegah jatuhnya korban babi berikutnya.

Bola panas sekarang ada di tangan pemerintah daerah Bali.

Segera bergegas mengambil langkah cepat atau mendiamkannya.

Negara harus hadir di tengah penderitaan rakyat. Itulah idealnya.

Tugas pemerintah mempersuasi masyarakat agar kecemasan dan kepanikan segera berakhir.

Mendengar curahan hatinya sekaligus berikan solusi atas persoalan yang dihadapi.

Mengutip pandangan pakar Komunikasi Politik Jerman Elisabeth Noelle-Neumann, pemerintah tidak boleh menyuburkan fenomena yang dikenal sebagai teori Spiral of Silence atau Spiral Kebungkaman.

Orang takut mengungkapkan pandangan atau pendapat karena khawatir akan sesuatu.

Sebaliknya pemerintah wajib menularkan virus keterbukaan karena bonum commune (kebaikan bersama) hanya bisa tercapai dengan itu.

Tidaklah elok pemerintah justru memberi kesan seolah sedang menutup-nutupi sesuatu. Ah seandainya bulan bisa omong… (dion db putra)

Sumber: Tribun Bali

Damyan Godho, Firmus Wangge dan Uskup Petrus Turang


Damyan Godho
TANGGAL 27 Juli itu istimewa. Setidaknya bagi ketiga tokoh ini, Firmus Wora Wangge, Damyan Godho dan Uskup Agung Kupang, Mgr. Petrus Turang, Pr.

Nama pertama dan kedua telah berpulang ke haribaanNya. Berselang setahun saja.  Damyan Godho meninggal dunia 29 Januari 2019.  Dua belas purnama kemudian Firmus Wangge menyusul, 6 Februari 2020.

Buat Om berdua yang terkasih, semoga bahagia di sisiNya. Amin.
Saya mengenang 27 Juli karena gara-gara tanggal itulah saya berintekrasi cukup intens  dengan mereka.

Itu dua dekade lalu, 23  tahun silam, tepatnya 27 Juli 1997. Setahun menjelang Soeharto lengser keprabon.

Saya masih wartawan muda.  Belum genap lima tahun berkiprah bersama Harian Pos Kupang  yang mulai terbit 1 Desember 1992.


Semua  bermula dari kota suci Vatikan tanggal 21 April 1997.

Kegembiraan disertai rasa penasaran menyeruak di Kupang serta kota dan desa seantero wilayah Keuskupan Agung Kupang  ketika pemimpin Umat Katolik Sedunia Paus Johanes Paulus II mengumumkan Petrus Turang sebagai uskup koajutor.

Umat  Keuskupan Agung Kupang (KAK) gembira mendapat seorang gembala. Serentak pula merebak rasa  penasaran mengenai sosok sang  gembala yang kala itu berusia 50 tahun  karena namanya belum begitu familiar.

Sebagai uskup koajutor, Mgr. Petrus Turang berhak menggantikan Uskup Agung Kupang Mgr. Gregorius Manteiro, SVD yang waktu itu telah memasuki usia pensiun. Kondisi kesehatan beliau pun tidak begitu bugar lagi.

Firmus Wangge
Saat Uskup Manteiro wafat  10 Oktober 1997,  Mgr. Petrus Turang meneruskan secara otomatis kepemimpinan keuskupan ini sampai sekarang.

Pascapengumuman Tahta Suci 21 April 1997 tersebut,  pekerjaan besar menanti hirarki gereja lokal dan seluruh umat  KAK  yaitu mempersiapkan acara penahbisan Uskup Petrus Turang.

Rapat menetapkan penahbisan tanggal 27 Juli 1997 di Kota Kupang. Firmus  Wangge didaulat  sebagai ketua panitia pentahbisan Uskup Turang.

Suatu  pagi yang cerah,  Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi Harian Pos Kupang, Damyan Godho memanggil saya ke ruang kerjanya di kantor kami, Jl. Kenari No 1 Naikoten I Kupang.

“Dion, saya sudah masukkan  kau di seksi Humas dan Publikasi Panitia Penahbisan Uskup Piet Turang. Kerja baik-baik ya,” kata Om Damyan Godho membuka percakapan.

 “Iya Om,:” jawab saya.

“Om Damy, sebagian besar masyarakat NTT sepertinya belum terlalu mengenal bapak uskup kita yang baru,” lanjut saya.

“Benar. Justru karena itu tugas kau untuk menulis sebanyak mungkin tentang beliau  sehingga bisa dikenal umat Keuskupan Agung Kupang dan masyarakat NTT pada umumnya,” kata Om Damy.

Sebelum saya pamit  dari pertemuan pagi itu, Om Damy meminta saya segera bersua  Firmus Wangge sebagai ketua panitia.

“Ingat, selalu koordinasi dengan kau pung Om  Firmus. Usahakan satu atau dua hari ada berita mengenai persiapan penahbisan.” kata Om Damy memberi arahan. Saya menganggukkan kepala.

Kurang lebih tiga bulan persiapan panitia, saya  jadinya berintekasi cukup intens dengan Om Firmus dan semua anggota panitia yang lain seperti Alo Djong Joko, para tokoh umat  termasuk Gubernur NTT saat itu, Herman Musakabe.

Semua informasi mengenai tahbisan  itu selalu saya publikasikan di Pos  Kupang yang merupakan satu-satunya koran harian yang ada di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) saat itu.

Jangan dikau tanya media online karena belum muncul  batang hidung dan sosoknya, sehingga  Pos Kupang  merupakan sumber informasi utama bagi masyarakat Flobamora.

Mgr. Petrus Turang, Pr
Hampir sebulan menjelang penahbisan saya menulis mengenai tema tersebut.

Beberapa topik yang saya tulis secara serial antara lain, sejarah Keuskupan Agung Kupang dari gereja diaspora hingga menjadi keuskupan,sejarah Gereja Katedral Kupang,  profil Uskup Gregorius Monteiro dan yang paling menantang saya adalah profil Uskup Petrus Turang.

Maklum sumber referensi mengenai Yang Mulia di sekretariat keuskupan pun tidak banyak.

Saya mesti  putar otak (baca: kerja keras)  untuk mendapatkannya.  Waktu itu belum ada Google,  bung. Jadi semua harus cari secara manual. Tapi di situlah letak keasyikannya.

Puji Tuhan semua bahan yang saya butuhkan tersedia pada waktunya. Maka saya menulis profil Mgr. Petrus Turang sejak masa kecil di Tondano, Minahasa, Provinsi  Sulawesi Utara, masa pendidikan di seminari, tahbisan imamat serta pengabdian beliau sebelum diangkat Paus Johannes Paulus II sebagai uskup.

Petrus Turang yang ditahbiskan menjadi imam diosesan Keuskupan Manado pada 18 Desember 1974 sempat memegang jabatan sebagai Sekretaris Eksekutif Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE) Konferensi Waligereja Indonesia (KWI).

Saya juga  menulis makna motto beliau Petransiit Benefaciendo atau Berkeliling Sambil Berbuat Baik (Kisah Para Rasul 10:38), makna lambang keuskupan dan lain-lain yang berkenaan dengan tugas sang gembala kelahiran Tataaran, Tondano Selatan, Minahasa, Sulawesi Utara, 23 Februari 1947 tersebut.

Bekerja dengan Om Firmus Wangge dalam kepanitiaan menyenangkan. Berlatarbelakang pengusaha, cara berpikir dan bertindak Om Firmus jauh dari birokrasi bertele-tele.

Apalagi waktu efektif bagi panitia pentahbisan saat itu tidak lama. Hanya kira-kira dua bulan lebih.

Om Firmus selalu memastikan setiap rencana dapat dikerjakan secara baik oleh masing-masing seksi dalam kepanitiaan. Orangnya tegas, bicara blak-blakan tapi juga mau mendengar setiap saran dan masukan.

Singkat cerita tibalah hari H  acara penahbisan Uskup Petrus Turang pada 27 Juli 1997 di Arena Promosi Hasil Kerajinan Tangan Rakyat NTT, Kelurahan Fatululi, Kecamatan Kelapa Lima, Kupang.

Di lokasi tersebut kini berdiri megah Lippo Mall Kupang. Arena promosi yang dibangun masa pemerintahan Herman Musakabe  tak berbekas lagi.

Uskup Agung Jakarta, Kardinal Julius Darmaatmadja, SJ bertindak sebagai Penahbis Utama  didampingi Pro-Nuncio Apostolik untuk Indonesia yang bergelar Uskup Agung Tituler Bellicastrum, Pietro Sambi dan Uskup Agung Kupang saat itu, Gregorius Manteiro, SVD.

Upacara penahbisan berlangsung hikmat dan meriah. Sukses. Puluhan ribu umat Katolik tumpah ruah di sana.

Saya masih ingat  kepada siapa ucapan terima kasih pertama yang disampaikan Uskup Petrus Turang, Pr saat memberikan sambutan seusai prosesi penahbisan. Beliau mengucapkan terima kasih kepada wartawan!

“Terima kasih wartawan yang telah menulis sangat banyak tentang saya dan keuskupan ini.” kata Uskup Petrus Turang.

Saya yang berdiri meliput dari sisi kanan tribune, merinding. Tak lazim seorang tokoh melakukan itu. Biasanya terima kasih bagi wartawan di bagian akhir, bahkan cukup sering tak ada  sama sekali.

Tentu bukan tujuan utama kami meminta atau mengharapkan ucapan terima kasih.

Menulis adalah tugas dan kewajiban jurnalis. Tapi ketika seorang gembala mengucapkan pada sebuah forum yang luar biasa, sungguh merupakan sesuatu.

Sampai akhir hayatnya, Om Damyan Godho dan Om Firmus Wangge menjalin relasi indah dengan Uskup Agung Kupang, Mgr. Petrus Turang.

Hubungan mereka tidak sekadar antara umat atau tokoh umat dengan sang gembala atau pemimpinnya. Mereka bersahabat. Teman diskusi. Saling berbagi.

Ketika kematian menjemput Om Damy dan Om Firmus, Yang Mulia Bapa Uskup Petrus Turang, orang pertama yang memberi peneguhan bagi keluarga.

Beliau juga yang memimpin misa requiem melepas jenazah kedua sahabatnya menuju tempat peristirahatan terakhir.

“Damy sudah berada di tempat yang lebih baik.” kata Mgr. Petrus Turang ketika memimpin misa pelepasan jenazah Om Damyan Godho di Gereja St Fransiskus dari Asisi Kolhua Kupang, akhir Januari 2019 silam.

Kata peneguhan dan penghiburan senada beliau sampaikan ketika memimpin misa requiem saat pemakaman jenazah Om Firmus Wangge di Gereja Katedral Kupang, Minggu 9 Februari 2020.

Saya, terus terang, belajar banyak dari beliau bertiga dalam membangun relasi. Saling berbagi dalam setiap gerak langkah untuk berkontribusi bagi pembangunan daerah, masyarakat luas, untuk Gereja dan Tanah Air.

Tatkala Om Damyan Godho dipercayakan Uskup Turang menjadi Ketua Panitia Pembangunaan Taman Ziarah Yesus Maria di Belo, Kabupaten Kupang, saya tidak kaget.

Bapak Uskup tahu betul kepada siapa beliau memberikan kepercayaan dan tanggung jawab yang besar tersebut.

Bukit tandus dan lerengnya seluas kurang lebih 5 hektare berubah menjadi taman ziarah yang indah setelah dibangun selama 4 tahun.

Menurut Mgr. Petrus Turang, lahan ini merupakan hibah dari seorang umat, Yoseph Soleman kepada Keuskupan Agung Kupang.

Keuskupan lalu berinisiatif membangun tempat ziarah dengan bantuan para dermawan serta swadaya umat.

Pembangunan taman ziarah tersebut  yang panitianya dipimpin Om Damyan Godho  mulai 1 Oktober 2009. Di taman ini ada 20 titik tempat berdoa dan satu kapel di puncak bukit, Kapel St. Yohanes Paulus II.

Dari halaman kapel itu peziarah akan menikmati pemandangan indah jika mengarahkan  pandangan mata ke Teluk Kupang serta pegunungan Fatuleu di kejauhan sana.

Pada hari Senin tanggal 25 November 2013, taman ziarah  Yesus Maria Belo diresmikan Kardinal dari Vatikan, Mgr. Stanislaw  Rylko.

Sampai akhir hayatnya Om Damyan Godho tercatat sebagai pengurus stasi taman ziarah tersebut. Setiap kali berziarah ke sana, saya selalu teringat beliau. Karyanya akan terkenang selalu.

Dalam wujud dan cara yang berbeda, kontribusi Firmus Wangge untuk Gereja dan Tanah Air  pun tidaklah kecil.

Dalam suatu forum diskusi kecil, saya melihat bagaimana Firmus Wangge, Damyan Godho dan Uskup Mgr. Petrus Turang bertukar pandangan untuk membangun daerah, membangun Indonesia. Mereka tak sekadar  bergumul dengan masalah tapi memberikan tawaran solusi.

Kesaksian mengenai peran penting Firmus Wangge itu antara lain diungkapkan mantan Gubernur Nusa Tenggara Timur, Drs. Frans Lebu Raya.

"Jasa beliau sangat besar bagi pembangunan di Nusa Tenggara Timur. Kita kehilangan seorang putra terbaik Flobamora," kata Frans Lebu Raya  hari Sabtu (8/2/2020) malam.

Firmus Wangge dikenal luas sebagai pengusaha dan  sesepuh Partai Golongan Karya (Golkar).

Pria kelahiran Ende, Flores tersebut  pernah menjadi Ketua Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Nusa Tenggara Timur.  Firmus juga aktif dalam berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan.

Menurut Lebu Raya, ketika dirinya masih menjabat gubernur,  Firmus Wangge selalu menyempatkan waktu bertemu dan berdiskusi tentang pembangunan.

Frans Lebu Raya selalu mendengar dan menghargai masukan dari Firmus.

"Saya sering bertemu beliau untuk berdiskusi, tukar pikiran. Beliau selalu memberikan masukan yang sangat berharga bagi daerah ini. Saya sangat menghormatinya," kata Lebu Raya.

Ketua DPD I Partai Golkar NTT, Melki Laka Lena juga mengenang jasa mendiang Firmus Wangge bagi Nusa Tenggara Timur.

"Pak Firmus Wangge memberi warna ekonomi dan politik di NTT.   Sampai akhir hayatnya  masih terus berbicara dan mengamati perkembangan ekonomi dan politik NTT," kata Melki Laka Lena, anggota DPR periode 2019-2024.

Demikian sekeping catatanku  mengenang dua  tokoh yang bersahabat karib, Damyan Godho dan Firmus Wangge.

Om Damy…
Om Firmus…
Beristirahatlah dalam damai dan kasih Tuhan. 

Bapa Uskupku, Mgr. Petrus Turang, sehat selalu dan bahagia.

Dengan penuh cinta

Dion DB Putra
Denpasar, 11 Februari 2020
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes