Aparatur Pemerintah Tidak Mau Repot

ilustrasi
BUKAN pertama kali kita mendengar pejabat pemerintah daerah di Nusa Tenggara Timur (NTT) melakukan otokritik tentang kegiatan pemerintahan berlangsung di hotel-hotel (berbintang) dan bukan memanfaatkan fasilitas milik pemerintah sendiri.

Kritik, imbauan sudah acapkali digaungkan gubernur, bupati, anggota DPRD atau elemen masyarakat lainnya. Namun, praktiknya masih sama dan sebangun. Banyak suara di tengah masyarakat yang melukiskan kebiasaan aparatur pemerintah bikin rapat di hotel, seminar di hotel, pendidikan dan latihan (diklat) juga di hotel sebagai bagian dari gaya hidup. Kenapa memang?

Sederhananya orang tidak mau repot. Jika bikin seminar di hotel, Anda tinggal angkat telepon untuk pesan ruangan, konsumsi bagi sekian orang, spanduk, backdrop, sound system dan lainnya. Pembayaran bukan perkara sulit. Bisa dibayar sekian persen dulu sebagai tanda jadi sebelum seminar atau bayar penuh setelah kegiatan. Praktis dan mudah. Poinnya kerja secara profesional!

Urusan yang sama bisa berbeda kondisinya jika memilih fasilitas pemerintah sendiri. Sudah menjadi rahasia umum jika fasilitas pemerintah dikelola dengan semangat apa adanya. Ruang pertemuan mungkin tanpa pendingin udara. Kalaupun ada, peserta seminar tetap berkeringat lantaran mesin pendingin udara (AC) jarang dibersihkan. Untuk konsumsi peserta, panitia harus memesan catering dari luar. Repot dan mengeluarkan tenaga ekstra.

Ini zaman instan. Orang tidak suka kerja ruwet. Kalau bisa meraih kemudahan di hotel dan restoran, kenapa tidak? Bayar uang habis perkara. Apalagi kalau pengelola hotel dan restoran memberikan fee bagi panitia. Siapa tidak suka uang. Fee merupakan trik pemasaran. Lumrah dalam jagat bisnis agar pelanggan tetap setia. Jangan lupa instansi pemerintah termasuk target pasar utama hotel dan restoran.

Pemerintah daerah di berbagai pelosok NTT memiliki fasilitas gedung pendidikan dan latihan atau balai yang dilengkapi penginapan, ruang pertemuan dan sebagainya. Lagi-lagi fasilitas yang dibangun dengan pajak rakyat itu bisa dilukiskan mubazir karena jarang dipakai bahkan oleh instansi pemerintah sendiri. Kalau pemiliknya saja tidak mau pakai apalagi orang lain atau pihak luar.

Kita setuju dengan imbauan Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya agar Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) setda propinsi dan kabupaten/ kota di NTT mau melirik kembali fasilitas mereka sendiri. Kurangi kegiatan di hotel. Selain demi efisiensi anggaran belanja pemerintah juga demi kontribusi bagi kas daerah. Kita pun sependapat dengan pandangan anggota DPRD Propinsi NTT, Jimy Sianto dan Vinsen Pata agar gubernur (kepala daerah) berani memberikan sanksi kepada pimpinan SKPD yang tidak menghiraukan imbauannya.

Agaknya tidak cukup sekadar imbauan dan pemberian sanksi. Saatnya pemerintah daerah berbenah lewat aksi konkrit. Daripada menebar prasangka ada ‘main mata’ antara pimpinan SKPD dengan pengelola hotel tertentu, tirulah cara kerja profesional pengelola hotel guna membenahi fasilitas pemerintah daerah.

Ciptakan standar pelayanan dan tingkat kenyamanan setara hotel atau minimal sedikit di bawahnya. Tempatkan sumber daya manusia (SDM) aparatur yang kompeten dan profesional mengelola fasilitas itu. Jangan tempatkan SDM yang hanya omong besar tapi hasil kerjanya nol bulat. Kalau belum profesional, kirim dia belajar untuk menambah pengetahuan dan keterampilan manajerial serta visi bisnis. Toh fasilitas pemerintah dibangun agar berkontribusi terhadap PAD. Kalau cuma omong-omong, tidak ada manfaatnya. Aparatur pemerintah berani repot? *

Pos Kupang, Jumat 30 September 2011

Memilih Wartawan Sebagai Jalan Hidup

Pieter Amalo (kiri)
* Mengenang Adhie Malehere dan Pieter Erasmus Amalo

Oleh Dion DB Putra


SEOLAH sudah janjian, mereka pergi dalam waktu berdekatan. Mereka menderita sakit dan akhirnya menikmati rahmat kesembuhan ilahi, sang empunya kehidupan. Hari Sabtu 24 September 2011 sekitar pukul 22.00 Wita, saya baru saja menyelesaikan editing berita terakhir untuk Harian FloresStar di Biro Maumere, Flores.

Saya sedang mengaso sejenak di bawah rimbunan pohon mangga di depan kantor kami di Jl. Gelora No. 2 Maumere. Dalam waktu hampir bersamaan telepon genggam saya berbunyi. Rupanya ada pesan singkat dari beberapa rekan wartawan di Kupang. Mereka menyampaikan kabar duka. Telah berpulang wartawan senior Harian Suara Pembaruan, Adhie Malehere di RSU Prof. Dr. WZ Johannes Kupang. “Duh, Om Adhie sakit apa?”

Seingatku Om Adhie sehat-sehat saja saat kami bertemu terakhir di Kantor Gubernur NTT di Jalan El Tari Kupang akhir Juni 2011 – sebelum saya berangkat menunaikan tugas baru di Maumere. Selama ini saya tidak mendapat kabar tentang dia sakit. Om Adhie yang saya kenal, masih penuh semangat bekerja sebagai wartawan harian terkemuka yang berbasis di Jakarta tersebut.

Dia contoh wartawan senior yang memiliki komitmen lapangan sangat kuat. Dia tidak merasa senior dalam hal bekerja, sehingga cenderung duduk di belakang meja lalu memberikan perintah kepada yang yunior. Hampir semua peristiwa dia tekel langsung di lapangan. Om Adhie tangguh, seolah tidak ada persoalan baginya dalam mengumpulkan dan meramu bahan berita menjadi suatu karya jurnalistik.

Dia pun bukan tipe wartawan yang pelit membagikan informasi yang bisa digali lebih dalam untuk bahan berita. Saya hampir selalu mendapat informasi dari Om Adhie jika ada kejadian yang penting di NTT. Dia dengan senang hati berbagi kepada wartawan media lain. Sebaliknya, bila dia mendapatkan data simpang-siur, dia tidak malu bertanya. Om Adhie setia menjunjung tinggi prinsip verifikasi yang merupakan salah satu elemen dasar jurnalisme.
 

“Ada kejadian di Alor begini, beta mesti tanya ade karena ade punya anak buah di sana. Pasti dia lebih tahu kondisi lapangan daripada beta yang dapat data lewat telepon saja dari Kupang,” kata Om Adhie suatu ketika ada peristiwa tawuran di Kalabahi-Alor.

Saya pertama kali mengenal dan bertemu Om Adhie medio tahun 1990-an di rumah wartawan Kompas, Frans Sarong di Perumnas Ende. Bersama senior saya Frans Sarong, Om Adhie dengan senang hati memberikan motivasi, pengetahuan dan keterampilan kepada saya yang kala itu masih minim pengalaman di dunia jurnalistik. Suaranya yang berat menggelegar serta tawa cerianya masih terngiang sampai sekarang.

Hanya empat hari setelah kepergian Adhie Malehere, komunitas pers Nusa Tenggara Timur (NTT) kembali berduka dengan kepulangan mantan Kepala Stasiun RRI Kupang, Drs. Pieter Erasmus Amalo. Om Pieter Amalo meninggal dunia sekitar pukul 04.00 Wita hari Rabu, 28 September 2011 di Kupang. Orang pertama yang menyampaikan kabar duka tersebut adalah rekan saya di PWI Cabang NTT, Aser Rihi Tugu.

Saya memang sudah mendengar kalau Om Pieter sakit, tetapi tidak menyangka dia akan pergi secepat ini. Saat peringatan Hari Pers Nasional (HPN) di Kupang bulan Februari 2011 lalu, Om Pieter dalam jabatannya sebagai Ketua Dewan Kehormatan Daerah (DKD) PWI Cabang NTT masih aktif terlibat menyukseskan perhelatan nasional yang dihadiri Presiden SBY, lebih dari selusin menteri Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II, Wakil PM Timor Leste dan lebih dari 2.500 wartawan dari seluruh Indonesia tersebut.

Siapa tidak kenal Pieter Amalo? Pendengar radio di seluruh pelosok NTT pasti mengenal dia dengan baik. Om Pieter adalah reporter RRI sejati hingga akhir hayatnya.Untuk organisasi PWI Cabang NTT, Om Pieter selama lebih dari 10 tahun mengemban tanggung jawab sebagai sekretaris, baik pada masa kepemimpin Martinus Tse maupun Damyan Godho. Om Pieter termasuk di antara tokoh pers NTT yang merintis lahirnya organisasi PWI yang eksistensinya masih ada sampai detik ini.

Saya yang sejak tahun 2008 dipercayakan teman-teman anggota PWI Cabang NTT sebagai ketua berterima kasih kepada Om Pieter serta wartawan senior lainnya yang telah membangun kebersamaan dan solidaritas di tubuh PWI Cabang NTT. Om Pieter…kami akan terus berusaha mewujudkan harapanmu lewat PWI Cabang NTT serta profesi kami sebagai jurnalis yang masih berkarya di dunia ini.

Secara pribadi saya sedih dengan kepergian dua seniorku dalam waktu hampir bersamaan. Kesedihan itu berlipat lantaran saya tidak sempat mengantar kepergian mereka ke tempat peristirahatan terakhir di Kupang. Sampai kenangan ini saya rangkai, saya masih di Maumere, menjalankan tugas saya sebagai wartawan. Om Adhie dan Om Pieter harap maklum. Maafkan saya yang belum sempat menyalakan sebatang lilin di pusara abang berdua….

Kematian pasti menebarkan duka. Namun, kepergian Om Adhie dan Pieter meninggalkan kebanggaan karena mereka mewariskan keutamaan ini. Memilih wartawan sebagai jalan hidup. Dunia mengenang mereka sebagai pewarta. Sampai akhir hayat… Saya bangga pada abang berdua. Selamat jalan Om Adhie dan Pieter. Beristirahatlah dalam damai Tuhan. *

Studi Banding

ilustrasi/jakartapress
JUJUR harus dikatakan di ruangan ini bahwa setiap kali mendengar warta studi banding, entah dilakoni pemerintah atau wakil rakyat, reaksi awal masyarakat umumnya pesimis. Pesimis terhadap hasil studi banding itu akan membawa manfaat langsung bagi kemajuan daerah dan terutama untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Masyarakat tentu belajar dari pengalaman. Pengalaman menunjukkan, betapa studi banding yang di negeri ini telah menjadi aktivitas rutin tahunan selalu kurang jelas hasil akhirnya. Media massa lazimnya riuh melaporkan perjalanan studi banding, entah dalam negeri sendiri atau ke mancanegara. Tetapi media dan juga masyarakat sulit sekali mendapatkan data akurat tentang hasil studi banding. Giliran masyarakat menagih hasil studi banding, sikap yang segera muncul adalah orang lari dari tanggung jawab. Bahkan menganggap pertanggungjawaban atas hasil studi banding itu bukanlah hal penting.

Ikhwal studi banding umumnya terjadi kisah berikut ini. Studi banding hampir pasti menelan dana tidak sedikit yang bersumber dari APBD atau APBN. Hampir setiap tahun anggaran, saat eksekutif dan legislatif bersidang di gedung wakil rakyat, jadwal studi banding beserta anggarannya sudah dipatok memang. Dana dialokasikan untuk ongkos transportasi, akomodasi dan konsumsi. Pos yang tak kalah penting adalah uang saku bagi setiap peserta studi banding.

Peserta studi banding, dalam sejumlah kasus baik di Nusa Tenggara Timur (NTT) maupun di luar NTT, memperlihatkan sisi yang menggelikan. (Pejabat negara) peserta studi banding membawa serta istri, anak dan anggota keluarganya. Prinsipnya mumpung ada perjalanan ke tempat lain yang elok sehingga keluarga sendiri tidak boleh dilupakan. Ketika ada kesempatan, mengapa tidak dimanfaatkan?

Lokasi studi banding biasanya hanya dua pilihan. Di dalam negeri atau luar negeri. Luar negeri lazimnya lebih banyak dipilih pejabat esksekutif dan legislatif di tanah air karena dianggap lebih maju, lebih makmur dan lebih baik untuk distudibandingkan dengan kondisi dalam negeri. Nah, perjalanan ke mancanegara itu kerap disalahgunakan. Misalnya membawa serta istri dan anak sebagaimana contoh di atas.

Bagaimana aksi nyata saat studi banding? Pengalaman lagi-lagi memperlihatkan, tidak lebih dari 20 persen peserta studi banding yang serius melakukan studi, sungguh-sungguh menggali pengetahuan atau keterampilan di tanah orang untuk dipraktekkan di daerah sendiri. Selebihnya sekadar peserta studi banding. Hanya bangga angguk-angguk kepala atau berdecak kagum akan kelebihan orang.

Waktu studi banding justru lebih banyak digunakan untuk pelesiran dan berbelanja. Studi banding ke mancanegara pun seringkali tidak mempertimbangkan aspek penguasaan bahasa dalam pergaulan internasional. Yang tak cakap bahasa Inggris misalnya, hanya bisa berkata Yes or No atau senyam-senyum tanpa mengerti sedikit pun apa yang dikatakan lawan bicara. Bagaimana mungkin kita mengharapkan hasil studi banding dari orang dengan kapasitas semacam ini?

Demikian sejumput kisah studi banding di masa lampau. Mudah-mudahan ke depan kisah tersebut tidak terulang dalam studi banding pejabat pemerintahan atau anggota DPRD di NTT, termasuk studi banding yang akan dijalani para Kepala Dinas Pariwisata di Pulau Flores ke Singapura dan Malaysia bulan Oktober 2011 (Pos Kupang, 14 September 2011 halaman 13).

Pasti karena Singapura dan Malaysia dipandang lebih maju mengelola industri pariwisata untuk memakmurkan rakyatnya sehingga kepala dinas pariwisata dari delapan kabupaten di Pulau Flores mau belajar ke sana. Harapan kita mereka sungguh memetik pengalaman dari kedua negeri serumpun itu untuk diterapkan di daerah sendiri. Memajukan industri pariwisata Pulau Flores yang sampai detik ini dikelola secara parsial, setengah hati dan tidak visioner. Flores dan NTT umumnya begitu kaya dengan obyek wisata alam dan budaya, namun kekayaan tersebut belum mampu mendongkrak kesejahteraan masyarakat.

Kiranya diingat bahwa studi banding yang menjadi pola umum pemerintahan kita merupakan bukti betapa kita lebih suka melihat ke luar. Kita masih menganggap yang di luar itu pasti lebih baik, suatu pandangan yang keliru. Kita kurang peduli melihat ke dalam, menggali kekuatan diri sendiri. Studi banding hanyalah faktor pembanding. Kemajuan industri pariwisata Flores bisa dicapai kalau kita mau dan mampu menggunakan kekuatan diri sendiri. *

Pos Kupang, Jumat 16 September 2011 hal 4

Lebaran Telah Tiba

TAK terasa puasa selama sebulan penuh segera berakhir. Tibalah sudah Idul Fitri, hari yang fitri atau secara harafiah berarti hari yang suci. Menyambut momentum yang indah ini kita mengucapkan selamat kepada umat Muslim di mana saja Anda berada teristimewa pembaca setia harian ini. Selamat Lebaran. Mohon maaf lahir dan batin.

Di negeri ini, Idul Fitri merupakan perayaan yang unik. Hari raya Idul Fitri atau lebih populer dengan istilah lebaran bukan hanya perayaan umat Muslim semata. Hampir seluruh elemen bangsa merayakannya dalam cara yang khas. Sudah seharusnya demikian mengingat spirit Lebaran sesungguhnya merajut kembali persaudaraan dan solidaritas sosial. Jika selama bulan Ramadhan kita menyaksiksan banyak pihak menyelenggarakan acara buka puasa bersama, maka acara tersebut terkandung maksud mulia yakni mempererat tali silaturahmi, merekatkuatkan persahabatan.

Selama bulan puasa kita juga melihat solidaritas sosial yang kental dalam berbagai rupa. Orang menjadi lebih mudah tergugah untuk memperhatikan sesama yang kurang beruntung. Misalnya lewat sumbangan materi bagi kaum fakir miskin. Bagi kalangan dunia usaha, bulan Ramadhan mereka jadikan moment untuk memperlihatkan tanggung jawab sosialnya. Perusahaan tidak semata mengejar profit, tetapi memberi sumbangan nyata sesuai dengan kebutuhan masyarakat di sekitarnya. Bazar murah yang digelar selama bulan Ramadhan hendaknya dimengerti dalam konteks itu.

Makna Lebaran, dengan demikian, tidak hanya berdimensi religius tapi juga berdimensi ekonomi dan sosial budaya. Sebagai bangsa yang majemuk sudah sepatutnya kita mensyukuri tradisi tersebut. Bahwa melalui bulan Ramadhan semangat kebhinekaan terjaga. Lewat kehadiran bulan puasa setiap tahun semangat persatuan dan kesatuan kita sebagai anak bangsa Indonesia kembali disegarkan.

Keunikan lainnya dalam perayaan Idul Fitri di Indonesia adalah tradisi mudik. Sejak pekan lalu kita melihat jutaan orang pulang ke kampung halamannya untuk sejenak bertemu dengan orang tua, sanak keluarga dan handai taulan. Ini merupakan tradisi masyarakat Indonesia sejak ratusan tahun lalu. Tradisi yang telah menjadi identitas Indonesia setiap Lebaran tiba.

Setelah setahun sibuk mencari nafkah untuk kehidupan masing-masing di tempat yang berbeda bahkan berjauhan, mudik Lebaran merupakan kesempatkan untuk bersua kembali dengan keluarga, dengan orang-orang yang dicintai. Mudik lalu menjelma sebagai jembatan sosial yang menihilkan batas ruang sosial antara kota dan desa, antara si kaya dan si miskin. Maka mudik atau pulang kampung niscaya menebarkan energi positif yang menjadi modal untuk menata kehidupan selanjutnya.

Dampak ekonomi dari tradisi mudik sangat dashyat. Yang paling nyata adalah melonjaknya permintaan akan jasa transportasi. Hampir semua perusahaan transportasi harus menambah jumlah armada mulai dari perusahaan bus, kereta api, kapal laut dan pesawat terbang. Harga tiket pun melonjak drastis karena tingginya permintaan. Artinya, Lebaran juga membawa rejeki. Uang ratusan miliar berputar pada waktu bersamaan. Belum lagi jika ditambah dengan kebutuhan lain seperti baju baru, bensin, solar, makanan dan minuman, pulsa HP dan lainnya.

Beberapa tahun belakangan ini dengan keluarnya kebijakan pemerintah tentang cuti bersama, Lebaran menjadi masa libur panjang bagi seluruh masyarakat Indonesia yaitu hampir sepekan. Kesempatan itu dimanfaatkan keluarga untuk kumpul atau melakukan perjalanan wisata bersama. Masyarakat Indonesia meninggalkan rutinitas pekerjaannya. Inilah waktu untuk bersantai sejenak. Waktu yang tepat untuk sedikit mengendurkan keletihan. Ada saat bekerja, ada waktu untuk berlibur. Sekali lagi kita mengucapkan selamat merayakan Idul Fitri. Selamat berlibur. Semoga Lebaran 2011 membangkitkan semangat hidup baru. *

Pos Kupang, 29 Agustus 2011 hal 4

Bangun Sarana Transportasi Setengah Hati

ilustrasi saja
KALAU Anda iseng mau merasakan kondisi jalan berlubang, tidak perlu jauh-jauh bepergian dari pusat Kota Kupang sebagai barometer pembangunan di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Pergilah sebentar ke pinggiran ibukota Propinsi NTT tersebut.

Tidak butuh waktu lama untuk menemukan kondisi jalan dengan rupa buruk. Kalau ingin melanjutkan penelusuran, jalan-jalanlah ke pelosok wilayah Amarasi, Kupang Tengah atau Kupang Barat. Sebaiknya siap fisik dan mental untuk menikmati jalan berlubang yang membuat kendaraan Anda bergoyang-goyang.

Petualangan akan lebih asyik jika kita ke bumi Lembata yang hari ini, 27 Juli 2011 menggelar pesta pemilu kada putaran final untuk memilih bupati dan wakil bupati periode 2011-2016. Masih di dalam Kota Lewoleba saja pemandangan jalan buruk segera menyambut kedatangan kita.

Masuk lebih jauh ke pedalaman Lembata, suasana makin memilukan dan menyayat hari. Jarak 60 kilometer bisa menghabiskan waktu lebih dari tiga sampai empat jam dengan syarat kondisi kendaraan bagus. Jika mesin kendaraan sudah mulai batuk-batuk maka waktu tempuh akan lebih lama lagi. Sepuluh tahun usia otonomi Lembata yang disebut kemajuan itu sulit ditemukan buktinya.

Begitulah sekilas gambaran tentang bagaimana Nusa Tenggara Timur memposisikan pembangunan sarana transportasi untuk meretas isolasi sekaligus menggairahkan perekonomian masyarakat. Pembangunan sarana transportasi tidak bermutu terjadi di hampir seluruh wilayah propinsi ini. Bukan cuma di Kabupaten Kupang atau Lembata. Hampir saban hari masyarakat merintih dan mengeluh tentang jalan buruk. Hampir setiap waktu selalu terdengar ratapan tentang ongkos transportasi yang mahal atau kesulitan petani memasarkan hasil komoditi mereka karena kendala transportasi.

Keluhan masyarakat itu seolah angin lalu. Sangat jarang terlihat aksi konkret pemerintah dan mitranya di lembaga DPRD memberikan respons yang memadai. Pengawasan wakil rakyat terhadap pembagunan sarana jalan sangat lemah. DPRD lazimnya hanya bereaksi sesaat jika ada pengaduan atau laporan dari masyarakat. Tindak lanjutnya kerapkali mengambang. Dugaan penyimpangan atau penyelewenangan dalam pembangunan sarana transportasi menguap begitu saja.
Penegakan hukum masih jauh dari harapan. Wakil rakyat di Nusa Tenggara Timur belum sungguh-sungguh memainkan peranannya sebagai mata dan telinga masyarakat. Janji pasangan bupati-wakil bupati pada saat pemilu kada untuk memprioritaskan pembangunan sarana transportasi sekadar pernak-pernik kampanye untuk meraih dukungan suara. Setelah meraih kekuasaan mereka lebih sering bepergian ke mana-mana bahkan sampai ke manca negara ketimbang masuk keluar kampung memberi solusi bagi masyarakat.

Itu cerita tentang sarana transportasi darat. Pembangunan sarana transportasi laut pun setali tiga uang. Sebagai Propinsi Kepulauan, Nusa Tenggara Timur idealnya telah memiliki sistem transportasi laut yang sungguh memberi manfaat ekonomis bagi masyarakat. Kenyataannya tidak demikian. Sistem transportasi laut di wilayah ini masih dibangun secara parsial dan tambal-sulam.
Sebagai contoh, mari kita cermati wilayah utara Pulau Flores dan selatan Pulau Timor. Selama puluhan tahun, wilayah yang kaya dengan hasil pertanian, perkebunan dan kelautan tersebut terabaikan. Sama sekali tak tersentuh sistem transportasi laut yang baik. Di utara Flores, misalnya, Pelabuhan Marapokot di Mbay, Kabupaten Nagekeo, Pelabuhan Reo di Kabupaten Manggarai dan Pelabuhan Lorens Say di Sikka seolah terpisah satu sama lain.
Ketiga pelabuhan itu tidak dilayani kapal secara rutin yang mampu mendorong tumbuhnya perekonomian antardaerah. Sudah berulangkali dianjurkan agar pemerintah membuka matanya ke utara, memberi perhatian secara maksimal ke sana namun anjuran itu seperti suara orang di padang. Tidak didengar dan direspons dengan kebijakan konkret yaitu menyiapkan sarana angkutan kapal yang murah dan nyaman bagi masyarakat.

Wilayah selatan Pulau Timor kondisinya lebih parah lagi. Sejauh ini hampir tidak ada pelabuhan yang layak di pesisir selatan. Dengan transportasi darat yang buruk bahkan sebagian besar wilayah selatan Timor masih terisolir, kekayaan alam di kawasan tersebut sekadar menjadi data potensi yang tidak memberi dampak langsung kepada masyarakat.


Di tengah gencarnya Pemerintah Propinsi Nusa Tenggara Timur memperjuangkan pengakuan formal negara ini terhadap NTT sebagai propinsi kepulauan, perjuangan itu mestinya didukung dengan keseriusan menyiapkan master plan pembangunan sarana transportasi yang baik. Pengakuan sebagai propinsi kepulauan yang tentu akn diikuti dengan dukungan dana lumayan besar dari pemerintah pusat tidak akan bermanfaat apa-apa bagi masyarakat Flobamora manakala sistem transportasi dibangun dengan semangat tambal sulam seperti sekarang. *

Pos Kupang, 27 Juli 2011 hal 4

Epen

“Nona e….bobo siang sudah ka. Kalau nona tidak bobo, malam nanti kau tidak bisa belajar karena mengantuk!” kata seorang bapak kepada putrinya yang tahun ini kelas VI SD. “Epen!” jawab sang putri berambut keriwil itu sambil berlari menuju lapangan di samping rumah.

Di sana sudah menunggu teman sebayanya dengan sepeda masing-masing. Usai makan siang gadis kecil itu memilih mengayuh sepeda bersama rekan-rekannya ketimbang bobo siang seperti anjuran sang ayah.

Epen! Emang penting? Bahasa “gaul” generasi anak dan remaja 2011. Apakah bobo siang memang penting, begitu yang dikatakan sang anak kepada ayahnya. Anak zaman ini memang kadang bikin kesal orangtua. Kalau dulu zaman saya kecil kena rotan di pantat, sapu lidi di betis atau berlutut sambil pegang telinga itu biasa. Sekarang jangan coba-coba, bro. Kalau tuan berani pakai rotan, si kecil sontak berkata, “Bapa e…ini KDRT!” Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Bibir terkunci. Mati kutu! Ha-ha-ha… Jadi pendekatan, bimbingan atau pembinaan terhadap anak zaman ini sudah berbeda sama sekali.

Epen? Emang penting rupanya bukan hanya sikap spontan para bocah. Epen justru dipraktikkan dengan telanjang oleh para orangtua yang sudah berkumis bahkan beruban. Di Kota Kupang barusan terjadi lagi duel seru di gedung wakil rakyat yang terhormat. Kehabisan kata-kata saat berdebat memperebutkan kursi ketua DPRD, mereka mau bakuhabok saja. Adu otot. Apakah tidak merasa malu? Mereka pasti menjawab, “Epen!”

Di Kefamenanu, Timor Tengah Utara (TTU), elite politik sibuk memperebutkan kursi bupati-wakil bupati. Tiada hari tanpa demo. Tiada hari tanpa menghujat dan memaki-maki. Sementara krisis pangan dan air mendera ratusan ribu jiwa penduduk. Korban gizi buruk terus berjatuhan. Epen! Demikianlah yang ada dalam otak dan hati mereka.

Para pemimpin daerah di Flores pun mengucapkan “epen” dengan lantang kendati anjing rabies terus menggila dan merenggut nyawa manusia setiap saat. Bupati dan DPRD di Flores sudah gonta-ganti sejak rabies mewabah medio 1990-an, namun prahara anjing gila tidak pernah tuntas bahkan semakin menjadi-jadi. Tentu soalnya bukan karena otak mereka bodoh. Mereka umumnya pintar dan ahli. Termasuk ahli mencuri… Mau bukti? Tengoklah bui, ada beberapa mantan petinggi daerah di sana!

Tuan dan puan kita hidup di negeri epen. Yang penting dibikin tidak penting. Yang tidak penting justru ditahtakan sedemikian rupa seolah-olah sangat penting….

Rogo

ilustrasi
HARI Selasa 6 September 2011. Saya baru saja selesai rapat perencanaan pagi dengan Aris Ninu dan Feliks Janggu, kru FloresStar dan Pos Kupang biro Maumere. Jarum jam menunjukkan pukul 09.05 Wita. Terdengar langkah kaki memasuki ruang tamu kantor kami.

Saya melirik dan langsung bangun dari tempat duduk menyambut tamu pagi itu. Dia merupakan salah seorang pelanggan setia Pos Kupang, Drs. Daniel Woda Palle. Sapaan awalku kepadanya (mungkin karena kebiasaan bila bertemu beliau) spontan terlontar dalam bahasa ibu, Lio.

“Saya mau bayar langganan koran bulan ini. Mana kwitansi,” katanya sambil menebarkan senyum. Begitulah Daniel Woda Palle. Pelanggan yang selalu membayar sendiri biaya bulanan. Dan, beliau selalu membayar di muka, berbeda dengan sistem yang berlaku umum, pelanggan bayar pada akhir bulan. Dia mengusung prinsip bayar dulu baru baca, bukan baca dulu baru bayar.

Pernah teman-teman kami mengatakan akan ke rumah beliau saja untuk mengambil biaya langganan, tetapi beliau menolak dengan alasan sebagai pelanggan sudah semestinya dia yang datang ke kantor kami untuk membayar. Sungguh sebuah keteladanan yang luar biasa. Sulit dicari tokoh semacam ini.

Sejak pensiun dari pengabdiannya sebagai pamong praja sejati, Daniel Woda Palle memilih tinggal di Maumere. Dia sungguh menikmati masa pensiunnya dengan santai. Dia masih rajin berolahraga dan meneruskan hobinya bercengkerama dengan pantai, gelombang laut dan udara perairan yang jernih. Anda mungkin tidak percaya kalau bertemu beliau yang masih sangat bugar di usianya yang sudah senja. Tidak banyak mantan pejabat tinggi daerah yang seperti Dan Palle. Di saat begitu banyak pensiunan terkena post power syndrome bahkan makin rakus menguber jabatan dan kedudukan hingga jatuh sakit, Dan Palle memilih pensiun dengan damai.

Putra-putri Flobamora pastilah mengenal sosok ini. Dia sesepuh masyarakat Sikka dan Nusa Tenggara Timur. Jabatan publik yang pernah diembannya antara lain, Bupati Sikka selama dua periode dan terakhir Ketua DPRD Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Di bidang politik, Dan Palle pernah menjadi ketua DPD I Partai Golkar NTT.

Ah sudahlah, saya kok ngelantur. Figur populer ini tidak perlu diperkenalkan lebih jauh. Hehehe…. Saya kembali ke fokus cerita. Selasa pagi itu dalam pertemuan singkat dengan Dan Palle saya mendapat hadiah dua filosofi Orang Lio. Pertama, filosofi rogo dan kedua mengapa dalam khasanah bahasa daerah Lio tidak ada kata terima kasih.

Rogo atau rogo renda adalah bahasa Lio yang secara harafiah artinya meracik atau meramu menu makanan dan minuman. Setiap kita pasti mendambakan masakan ibunda kita masing-masing. Masakan ibu pasti beda cita rasanya dibandingkan dengan masakan istri, saudari atau makanan di restoran atau warteg. Mungkin bahan dasar makanan dan minuman itu sama, menu yang dibuat pun sama, tetapi cita rasanya di lidah pasti berbeda. Beda koki beda pula rasanya bukan?

Nah, dalam konteks ini, kata Dan Palle, orang sering bertanya kepadanya. Mengapa sampai seumur dia sekarang, petuah, pernyataan atau nasihat-nasihatnya selalu baru, bermakna mendalam dan orang senang mendengarnya? “Itu karena rogo tadi, Dion,” katanya. Ketika membedah suatu perkara, misalnya, Daniel Woda Palle meramu dengan seluruh pengetahuan, pengalaman dan kebijaksanaannya. Dengan demikian apa yang dia ucapkan, apa yang dia sampaikan punya “cita rasa” berbeda. “Aih benar juga orang tua ini,” gumamku pagi itu.

Hal kedua, mengapa tidak ada kata terima kasih dalam bahasa Lio. “Itu karena orang Lio tidak menyatakan terima kasih dengan kata-kata. Tetapi lewat perbuatannya!” demikian Daniel Woda Palle. Saya masih ingin berdiskusi lebih jauh dengan beliau pagi itu. Tapi rupanya beliau buru-buru meninggalkan Kantor Pos Kupang di Jl. Gelora No. 2 Maumere karena ada suatu urusan yang sudah terjadwal.

“Cukup sudah Dion. Hari ini kau dapat dua pesan dari saya,” kata Dan Palle sambil beranjak menuju mobil yang sudah menunggunya di pintu masuk kantor kami. Saya mengantar beliau. Melambaikan tangan….Ketika mobil bergerak meninggalkan Jalan Gelora, entah ke mana pagi itu. Senyum tetap mengembang di wajah Daniel…

Berwisata Penuh Sensasi ke Komodo

Komodo
TAK dapat dimungkiri, Pulau Komodo di Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, adalah salah satu pulau terunik di dunia. Oleh karena itu, bagi Anda yang ingin berwisata mengisi liburan Lebaran, tentu tak rugi kalau Anda mengagendakan berkunjung ke pulau ini.

Apalagi sejak Taman Nasional Z Komodo menjadi salah satu finalis Tujuh Keajaiban Alam Baru (New 7 Wonders of Nature) yang pemenangnya akan diumumkan pada 11 November 2011, Pulau Komodo menjadi perhatian dunia.

Makin banyak pula wisatawan asing yang berwisata ke pulau yang terletak di antara Pulau Sumbawa dan Flores itu, termasuk mereka yang datang dengan kapal-kapal pesiar. Kunjungan wisatawan ke Komodo dalam tiga tahun terakhir meningkat 300 persen, dari sekitar 16.000 orang menjadi 50.000 orang.

Tahun 1986, TN Komodo ditetapkan oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) sebagai cagar biosfer dan warisan alam dunia.

Dengan berwisata ke Pulau Komodo, sebenarnya kita tak hanya melulu dapat menyaksikan komodo (Varanus komodoensis), reptil purba turunan dinosaurus. Namun, kita juga dapat merasakan sensasi alam yang indah dan unik, yang tak akan terlupakan, di antaranya perbukitan dengan padang sabana nan luas, juga keindahan pantai beserta taman bawah lautnya.

Kita bahkan dapat menyaksikan komodo yang jumlahnya mencapai 2.753 ekor tidak hanya di Pulau Komodo, tetapi juga di Pulau Rinca. Di dalam kawasan TN Komodo, naga atau kadal raksasa itu juga terdapat di Pulau Nusa Kode dan Gili Motang. Adapun di luar kawasan, komodo terdapat pula di Manggarai Timur, Pulau Flores. Di dunia, komodo hanya terdapat di lima tempat ini.

Rate menuju Pulau Komodo tak terlalu sulit. Yang lebih mudah ditempuh dari Denpasar, Bali, dengan pesawat menuju Labuan Bajo, kota di ujung barat Flores.

Dari Labuan Bajo, kita dapat menggunakan jasa dari hotel tempat kita menginap ataupun biro pariwisata untak mengantar ke Komodo. Selain itu, kita juga dapat menyewa kapal motor kayo milik penduduk. Kita bisa mencarinya di dermaga Labuan Bajo.

Rata-rata kapal motor penduduk dapat menampung 10 orang. Waktu tempuh Labuan Bajo-Komodo sekitar empat jam. Sebaiknya, untak meringankan biaya, Anda berangkat berkelompok sebab biaya sewa kapal berkisar Rp 2 juta pergi-pulang. Biaya tersebut sudah termasuk makan dan minum karena kita mesti menginap. Biasanya wisatawan ke Komodo menginap selama dua hari satu malam.

Namun, perlu diketahui, biaya kelas itu hanya untak kapal tanpa kamar. Artinya, wisatawan akan tiduran di dek kapal. Ini tentu saja salah satu sensasi tersendiri bagi wisatawan, menikmati suasana tidur di dalam kapal, di perairan pulau yang notabene habitat asli komodo.

Akan tetapi, Anda juga tak perlu khawatir. Penduduk di Labuan Bajo ada yang menyewakan kapal dengan fasilitas kamar tidur meski biayanya lebih mahal, yakni di atas Rp 2 juta.

Berwisata ke Palau Komodo, biasanya wisatawan ditawari satu paket. Dalam perjalanan kembali ke Labuan Bajo, wisatawan umumnya akan diantar oleh pemandu ke Pantai Merah (Pink Beach), pantai dengan pasir herwarna putih kemerahan. Di sini, wisatawan juga bisa berenang atau menyelam (diving).

Terumbu karang di perairan TN Komodo yang mempunyai 132.572 hektar lautan itu memang sangat memukau dan termasuk salah satu yang terindah di dunia. Di perairan ini terdapat lebih dari 1.000 jenis ikan, 260 jenis karang, dan 70 jenis bunga karang (sponge).

Kepala Tata Usaha Balai TN Komodo Hera Rudiharto mengatakan, sampai saat ini, di Pulau Rinca dan Komodo belum ada tempat penginapan bagi wisatawan.

"Ada beberapa kamar, tapi lebih dikhususkan untuk para ranger yang bertugas di sana, termasuk yang akan mengawal wisatawan selama berkeliling di lokasi. Namun, kalau pengunjung ingin menginap di situ pun diperbolehkan," kata Heru.

Sebenarnya ada alternatif jika Anda ingin ke Palau Komodo tanpa harus menginap, yakni menggunakan speedboat. Namun, biaya sewanya lebih mahal, sekitar Rp 4 juta, dengan waktu tempuh Labuan Bajo-Komodo cuma 1,5 jam.

Koordinator Sekretariat Bersama Pemuda dan Masyarakat Manggarai Barat Ferry Adu menuturkan, di wilayah perairan Labuan Bajo terdapat sejumlah pulau dengan panorama pantai indah yang dilengkapi resor dan bungalo.

"Wisatawan bisa menginap di Pulau Bidadari, Pulau Kanawa, Pulau Sebayur, atau Pulau Seraya. Namun, sebaiknya kalau ada rencana menginap satu minggu sebelumnya supaya memesan kamar sebab di tiap pulau jumlah kamar terbatas, yakni 10-15 kamar saja," kata Ferry.

Sekali lagi, berwisata ke Komodo penuh dengan sensasi. Di sana, Anda juga dapat melihat proses kerajinan kain tenun ikat tradisional atau pembuatan patung mini komodo yang dipahat dari kayo.

Sementara itu, bagi Anda yang akan kembali ke Jawa atau Denpasar, tak ada salahnya berangkat melalui kota Ende atau Sikka, kabupaten di bagian tengah Flores. Pasalnya, ada banyak tujuan wisata yang tak kalah menarik menuju daerah ini, di antaranya Danau Ranamese di Manggarai Timur, danau tiga warna Kelimutu Ende, serta taman laut Teluk Maumere di Sikka.

Yang kelas, berlibur ke Flores tidak untuk berwisata belanja di mal seperti kota-kota besar di Jawa. Pasalnya, daerah ini begitu kaya dengan obyek wisata budaya, bahari, dan alam.

Yang tak kalah menantang, jalur darat dari Labuan Bajo sampai ujung timur Flores begitu khas. Medannya naik-turun bukit dan gunung; melewati lembah, jurang, dan tebing terjal; juga berkelok-kelok bagaikan ular yang sedang berjalan meliuk-liuk. Sebab, Flores juga dikenal dengan Pulau Nusa Nipa atau pulau ular. Wow....

Penulis: Samuel Oktora, wartawan Kompas
Sumber: Kompas.Com 5 September 2011

Bebas Rabies atau Bebas Anjing?

Oleh Paul Budi Kleden, Dosen STFK Ledalero-Maumere

Anjing Rabies
RABIES kembali menjadi berita. Beberapa waktu lalu koran FloresStar memberitakan bahwa seorang perempuan dari kabupaten Ende, dipulang paksa ke rumah oleh keluarga karena RSUD TC Hillers sudah mengatakan terus terang bahwa pihaknya tidak berdaya lagi menangani pasien tersebut.

Dia didiagnosis menderita penyakit rabies stadium terakhir. Tanggal 20 Agustus, diberitakan bahwa dua orang warga yang sedang menonton karnaval di Maumere dalam rangka perayaan hari kemerdekaan, digigit anjing. Boleh jadi anjing tersebut sudah terinfeksi virus rabies.

Menanggapi kasus-kasus Bupati Sikka mempertimbangkan secara serius untuk menertibkan semua anjing. Tanggal 29 Agustus, kembali FloresStar mempublikasikan keputusan menetapkan mengumumkan kecamatan Nita sebagai kecamatan yang berada dalam kondisi luar biasa (KLB) karena ancaman rabies. Jumlah gigitan yang meningkat dengan satu kasus kematian menjadi alasan untuk keputusan ini.


Menurut dr. Asep Purnama, dokter yang memiliki kepedulian besar terhadap masalah rabies, menulis dalam opininya di harian ini tanggal 11 Juli bahwa sejak 1997 sampai sekarang sudah lebih dari 200 orang tercatat meninggal karena terinfeksi virus rabies. Ya, rabies mulai tercatat di Flores pada tahun 1997 dengan munculnya beberapa kasus di Flores Timur. Dari Flores Timur virus ini menyebar ke seluruh pulau Flores dan pulau-pulau sekitar Flores seperti Lembata, Solor dan Adonara.

Sejak saat itu, rabies bagai kapal selam torpedo yang untuk beberapa waktu hilanh di bawah permukaan, namun menyimpan kekuatan dahsyat untuk menghancurkan dan setiap saat dapat muncul ke permukaan. Ada yang mengumpamakannya dengan teroris, yang tiba-tiba muncul di saat dan tempat yang tidak diduga.

Seperti para teroris, kita tidak mempunyai sarana yang ampuh untuk mendeteksi secara dini, mana anjing yang membawa rabies dan mana yang tidak. Sebagaimana ada teroris yang bertampang baby face dan terkesan lembut dan halus, namun menyimpan dalam dirinya potensi kekerasan yang mengguncangkan, demikian pun anjing yang kelihatan sangat bersahabat, yang tidak rewel dan membuat banyak keonaran, dapat saja terinfeksi rabies menyebarkannya saat menyerang tuannya.


Menghadapi masalah rabies saat itu, ditetapkan langkah eliminasi total seturut prinsip: membebaskan wilayah dari rabies sama harus berarti membebaskan wilayah dari anjing. Kendati anjing bukan satu-satunya hewan penyebar virus rabies (masih ada kucing dan kelelawar), namun untuk kasus di Flores binatang yang paling sering menyebarluaskan rabies adalah anjing. Pertanyaannya, apakah tepat mengambil langkah eliminasi total sebagai pemecahan atas masalah rabies?


Kasus Flores Timur pada akhir dasa-warsa 90-an menunjukkan dan mengingat-kan, bahwa eliminasi bukanlah pilihan yang tepat. Posisi anjing yang sangat penting dalam masyarakat di Flores tidak memungkinkan eliminasi total. Anjing adalah binatang piaraan yang dijadikan penjaga rumah dan kebun serta konco dalam berburu. Para petani memang sa-ngat memerlukan anjing untuk melindungi tanamannya dari ancaman kera dan babi hutan. Ketika para petani menjaga kebun, anjing adalah temannya yang setia.


Karena alasan ini, maka orang sulit melepaskan anjing. Kalau pun dipaksa untuk dieliminasi, tidak sedikit petani menyembunyikaannya di hutan atau membiarkannya pergi mencari jalannya sendiri. Justru dengan cara seperti ini, anjing menjadi semakin tidak terkontrol. Ketika anjing tidak lagi terkontrol, maka penyebarluasan virus rabies menjadi semakin sulit dilokalisir.


Memperhatikan hal ini, maka jalan keluar yang dianjurkan Dr. Asep perlu mendapat tanggapan serius. Langkah pertama adalah membudayakan masyarakat untuk menjadi pemilik dan pemelihara ternak yang bertanggungjawab. Pemilik yang baik adalah pemelihara yang bertanggung jawab. Klaim kepemilikan tanpa pemeliharaan adalah absurd. Konkretnya, warga diwajibkan dan dibiasakan untuk tidak membiarkan anjing berkeliaran tanpa kendali. Penertiban kepemilikan ini merupakan satu bentuk tanggungjawab terhadap anjing dan terhadap sesama.


Hal seperti bukan tidak mungkin untuk dibiasakan. Di beberapa wilayah, kita sudah berhasil menunjukkan diri sebagai pemilik dan pemelihara babi. Sampai beberapa waktu lalu, di kota Maumere, misalnya, sejumlah pemilik babi membiarkan hewannya berkeliaran di tengah kota. Namun, terjadi pergeseran kesadaran yang dimungkinkan oleh peraturan dan penyadaran yang terus menerus.

Bukan mustahil, hal yang sama pun terjadi dengan pemeliharaan anjing. Melalui peraturan daerah yang didukung oleh penyadaran yang terus menerus dan menyeluruh, kita membudayakan pemeliharaan anjing yang bertanggungjawab. Anjing harus dijaga dan dijamin oleh pemiliknya bahwa dia tidak membahayakan orang lain.
Termasuk dalam kesadaran itu adalah memvaksinkan anjing. Anjing yang sangat jinak pun tidak secara otomatis terlindung dari bahaya rabies.

Maka, anjing-anjing piaraan di rumah pun perlu divaksinasi. Untuk anjing yang digunakan sebagai penjaga kebun, vaksinasi adalah jalan paling tepat. Secara berkala orang harus membiarkan anjingnya divaksin. Dan perlu ada bukti dari vaksinasi tersebut. Prioritas utama adalah memvaksinkan semua anjing.
Konsekuensinya, eliminasi hanya perlu untuk anjing-anjing yang berkeliaran tanpa tanda resmi bahwa anjing tersebut telah divaksinasi.

Kita tidak harus mencanangkan eliminasi total, sebab hal ini justru berarti melakukan kesalahan yang sama. Untuk menjamin vaksinasi dan eliminasi bagi yang tersisa, dibutuhkan payung hokum yang jelas. Peraturan daerah perlu didesak agar dibuat di kabupaten-kabupaten khususnya di Flores yang masih belum bebas rabies.
Upaya pemnberantasan rabies yang telah menghantui warga Flores selama lebih dari sepuluh tahun perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah dan seluruh elemen masyarakat.

Yang terutama adalah desakan kepada pemerintah untuk mengeluarkan perda atau peraturan sementara berkekuatan hukum setingkat untuk mencanangkan vaksinasi sebagai program. Ini adalah bukti rasa hormat kita kepada kehidupan. Kalau kita mengutuk aksi para teroris dan berupaya mencegahnya dengan berbagai cara, maka sepatutnya pula kita memberikan toleransi nol kepada para pemilik anjing yang tidak mau mengvaksinkan anjingnya.

Juga, apabila kita berjuang membela terpidana mati dari hukuman mati dan berdemonstrasi menolak aborsi, maka perlindungan warga terhadap bahaya virus rabies yang mematikan pun perlu didukung. Caranya bukan dengan eliminasi total, tetapi dengan membudayakan pemeliharaan hewan secara bertanggung jawab dan vaksinasi. Flores dan pulau-pulau harus bebas rabies, namun tidak mesti bebas anjing. *

Sumber: Pos Kupang, 3 September 2011 hal 4
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes