Tuntuni, Dusun yang Belum Merdeka

NAMANYA Tuntuni, sebuah dusun di Kelurahan Umanen, Kecamatan Atambua Barat, Kabupaten Belu. Letaknya terpaut 500 meter dari jalan umum jurusan Atambua-Atapupu. Sudah tiga kali berganti kepala kelurahan, namun dusun ini seperti dianaktirikan. Jalan sebagian beraspal. Inipun berkat kemurahan hati biarawati yang membangun biara di daerah itu.

Jalan beraspal hanya sekitar 200 meter, selebihnya berbatu-batu. Letak dusun ini di lereng bukit Lidak. Terkategori daerah pinggiran Kota Atambua, ibu kota Kabupaten Belu. Tapi, kondisi dusun ini sangat memprihatinkan. Bahkan, tanpa penerangan listrik. Warga mengandalkan lampu pelita.

Air bersih (air leding)? Jangan ditanya, masih jauh dari harapan. Warga harus berjalan kaki mencari sumur warga untuk mendapatkan air minum. Singkat kata, Dusun Tuntuni belum merdeka.

Warga Dusun Tuntuni, Frida Rika Halek, Yosefina Hoar, tokoh masyarakat, Felix Nesi, S.Pd, mengakui keterbelakangan warga Dusun Tuntuni. Warga merindukan sentuhan pembangunan seperti pungguk merindukan bulan.

Frida Rika Halek menuturkan, wilayah dusun mereka jarang mendapat perhatian terutama pembangunan penerangan dan air bersih. Sejauh ini mereka belum menikmati penerangan listrik seperti saudara mereka di kelurahan lainnya.

"Kami ini kan masuk wilayah kelurahan. Tapi, sudah tiga kali ganti kepala kelurahan, dusun kami tidak pernah mendapat perhatian. Listrik hanya sampai di Onoboi, sementara kami di Tuntuni tetap gelap. Kalau di wilayah kelurahan pinggiran kota saja begini, apalagi di kampung-kampung, pasti lebih tidak diperhatikan," kata Halek.

Menurut Halek, andalan warga selama ini hanyalah lampu pelita. Warga berupaya menghadirkan lampu petromax, namun persoalan pada ketersediaan minyak tanah. Karena itu, tidak heran kalau warga setempat berangkat ke peraduan pada pukul 19.00 Wita. Memprihatinkan memang.

Pengakuan lain disampaikan Yosefina Hoar. Dia menyatakan keprihatinannya terhadap nasib anak sekolah di dusun itu. Selama ini penerangan tidak memadai sehingga angka drop out dari dusun ini cukup tinggi. Para siswa hanya bisa belajar pada siang hari, sementara pada malam hari tidak bisa dilakukan. Persoalan ini, kata Hoar, sudah pernah disampaikan kepada aparat kelurahan, tetapi belum mendapat perhatian.

"Masalah lain soal air minum. Selama ini kami tidak punya air leding untuk memenuhi kebutuhan hidup kami. Kami hanya mengandalkan sumur milik warga lain. Dusun kami ini memang jarang diperhatikan," kata Hoar.

Tokoh masyarakat Felix Nesi menyampaikan soal nasib para siswa dari dusun itu. Selama ini, katanya, tingkat drop out (putus sekolah) siswa dari daerah itu cukup tinggi. Pasalnya, para siswa harus berjalan kaki mengikuti pendidikan di wilayah Kota Atambua. Terhadap kondisi itu, pemerintah menghadirkan SD kecil guna menampung calon siswa dari Dusun Tintua dan sekitarnya.

"Sejak tahun 2004 sudah ada SD kecil di Onoboi sehingga warga dari Dusun Tuntuni bisa sekolah. Kalau tidak ada SD, pasti orangtua tidak mau sekolahkan anaknya karena jarak yang cukup jauh. Tetapi sekarang sudah ada SDN, maka anak-anak dari daerah itu sudah bisa bersekolah. Kini warga Tuntuni tinggal menghadapi kesulitan penerangan listrik dan air minum. Mudah-mudahan hal ini menjadi perhatian pemerintah kelurahan dan pemerintah kecamatan," harap Felix Nesi.(Ferdy Hayong)

Pos Kupang 24 Oktober 2009 halaman 5

Hakim PN Ende Dipukul Pengunjung Sidang

ENDE, POS KUPANG.Com---Naas menimpa Ronald Masang, S.H, hakim di Pengadilan Negeri Ende.

Saat mengamankan tersangka kasus percabulan yang akan disidangkan di Pengadilan Negeri Ende, Kamis (29/10/2009), Ronald dipukul oleh sejumlah orang yang diduga keluarga korban percabulan. Akibatnya, sidang ditunda.

Menurut keterangan yang diperoleh Pos Kupang, Ronald dipukul karena diduga melindungi tersangka yang pertama dipukul keluarga. Keluarga korban merasa tidak puas saat membela tersangka yang dipukul. Akibat pemukulan tersebut sidang perdana kasus pencabulan dengan agenda pembacaan tuntutan terpaksa dibatalkan.

Staf Pidum Kejaksaan Negeri (Kejari) Ende, Markus Mbete, menjelaskan, aksi pemukulan terhadap tersangka, Olimpius Deobarin, terjadi ketika tersangka hendak dibawa masuk ke dalam Kantor PN Ende guna mengikuti sidang. Ketika baru memasuki ruangan kantor, tiba-tiba tersangka diserang sejumlah orang yang diduga kerabat dan keluarga korban percabulan.

Olimpius sehari-harinya berprofesi sebagai guru. Dia adalah tersangka percabulan terhadap muridnya sendiri, seorang siswi SMA Negeri di Ende.

Melihat situasi yang tidak kondusif tersebut, jelas Markus, dia langsung berlari menuju Kantor Kejaksaan Negeri Ende guna meminta bantuan polisi pertelepon. Namun karena ada gangguan teknis pada saluran telepon, maka dia langsung meminta bantuan kepada sejumlah anggota polisi yang kebetulan bertugas sebagai Patwal di Rumah Jabatan Bupati Ende untuk mengamankan situasi di PN Ende.

Markus mengatakan, pada saat kejadian tersangka hanya dikawal oleh satu jaksa, yakni M Blegur, SH, tanpa ada anggota polisi yang mendampinginya. Situasi ini kemungkinan dimanfaatkan oleh sejumlah orang yang diduga keluarga korban untuk menyerang tersangka.

"Biasanya kalau ada sidang para tersangka sesuai dengan prosedur yang berlaku mereka akan dikawal oleh polisi dan saya yang biasanya menjemput polisi. Namun dalam kasus ini tidak ada pengawalan karena ketika saya hendak menjemput polisi, jaksa bilang tidak usah karena hari sudah siang," kata Markus yang sehari-hari bertugas sebagai penjemput para tersangka, baik dari Lembaga Permasyarakatan maupun dari polisi.

Tentang kasus pemukulan terhadap Ronald Masang, Markus mengatakan bahwa dia tidak melihat langsung karena kejadiannya berlangsung cepat. "Saya tidak lihat karena ketika terjadi pemukulan terhadap tersangka saya langsung lari meminta bantuan kepada polisi," kata Markus.

Sementara Ronald Masang ketika dikonfirmasi di PN Ende mengatakan, kasus pemukulan terhadap dirinya terjadi ketika dia turun dari ruang kerjanya di lantai II menuju lantai I Kantor PN Ende saat mendengar ada keributan di lantai I. Pada saat itu, dia menyaksikan tersangka Olimpius Deobarin yang hendak dibawa masuk ke dalam PN Ende menuju sel telah menjadi sasaran pemukulan sejumlah orang. Melihat kondisi tersebut, Ronald meminta agar tersangka secepatnya dibawa ke dalam sel guna menghindari aksi pemukulan lebih lanjut.

Ketika tersangka sudah diamankan sejumlah warga yang kemungkinan tidak puas dengan aksinya mengamankan tersangka, melayangkan pukulan persis di bibirnya. Akibat pukulan itu bibirnya memar, giginya juga retak.

"Orang memukul, katanya karena saya melindungi tersangka, padahal saya sama sekali tidak berniat melindungi tersangka. Saya minta mengamankan tersangka ke dalam sel, hal itu sudah menjadi prosedur tetap sebelum seseorang menjalani proses persidangan," kata Ronald. Ronald meminta perlindungan hukum dengan melaporkan kasus tersebut ke polisi.

Ketua PN Ende, M Purba S.H, menyayangkan aksi pemukulan terhadap tersangka dan juga hakim. Purba berharap keluarga korban tidak main hakim sendiri. Purba mengatakan, jika situasi tidak kondusif, maka proses persidangan tersebut akan dipindahkan ke PN Kupang guna menghindari aksi anarkis massa. (rom)

Pos Kupang edisi Jumat, 30 Oktober 2009 halaman 1

Nadi


BARU sekitar lima menit take off dari Bandara Aroeboesman Ende di pagi yang cerah itu, Pilot Agus Maaruf tiba-tiba melihat ada yang aneh dengan mesin sebelah kanan. Rupanya oli bocor. Keputusan cepat dan tepat mesti diambil segera sebab oli bocor dapat menimbulkan kebakaran mesin. Agus mematikan baling-baling kanan lalu putar haluan. Pesawat kembali menukik menuju Aroeboesman dan mendarat dengan selamat.

Puji Tuhan! Namun, aroma panik dan cemas tetap menghiasi wajah 48 penumpang tujuan Kupang saat mereka turun dari tangga pesawat. Memang sulit membayangkan apa yang terjadi seandainya pilot Agus salah bikin keputusan di atas ketinggian 4.000 kaki. Boleh jadi Kamis 22 Oktober 2009 itu akan menjadi hari kelabu di beranda Nusa Tenggara Timur. Bila Agus kurang cermat, mungkin malam kelam menghiasi langit Flobamora yang selama lima tahun terakhir “dimanjakan” TransNusa, maskapai penerbangan yang dioperasikan putra-putri daerah tercinta.


Terima kasih untuk TransNusa yang mengutamakan keselamatan manusia ketimbang uang. Safety First. Itulah prinsip yang mesti dijunjung tinggi maskapai penerbangan. Pesawat onar jangan dipaksa terbang karena taruhannya adalah nyawa anak manusia.

Ya, tuan dan puan agaknya maklum bahwa pada 22 Oktober 2009, manajemen TransNusa mengalami masalah dengan pesawat yang selama ini menjadi jembatan udara Flobamora. Selain pesawat jenis Fokker 50 (F-50) yang mengalami gangguan mesin di Ende, dua pesawat lainnya juga mengalami kondisi tidak enak badan di Kupang dan Denpasar. Praktis sejak itu penerbangan TransNusa ke berbagai kota di NTT lumpuh.

Dalam empat hari terakhir terasa betul NTT kehilangan TransNusa. Pesawat F-50 dan ATR-42 yang biasanya sepanjang hari membawa ribuan manusia yang bepergian ke berbagai kota di NTT dan Nusa Tenggara kini parkir di apron menjalani perbaikan dan perawatan. Begitu banyak orang kehilangan kesempatan bepergian untuk menuntaskan beragam urusan penting dan mendesak. Begitu banyak orang kehilangan nafkah harian. Kerugian ekonomis jelas dan tegas. Dampak psikologis apalagi. Mau bilang apa, sarana transportasi sama dengan urat nadi. Bila urat nadi putus, siapa pun tak berdaya.

Beranda Flobamora sungguh bermuram durja. Betapa tidak. Gangguan yang menimpa tiga pesawat TransNusa Air Services terjadi bersamaan dengan kondisi transportasi laut NTT yang dapat dilukiskan sedang ”cuti besar” untuk tujuan sama yakni perawatan badan. Sudah beberapa pekan sebelumnya, kapal-kapal Pelni tidak beroperasi di NTT. Belum ada kepastian kapan kapal-kapal Pelni kembali beroperasi di sini. Juga belum ada kepastian kapan ketiga pesawat TransNusa selesai diperbaiki dan kembali melayani rute-rute antardaerah di NTT.

Kini, moda transportasi laut di propinsi yang sedang diperjuangkan menjadi propinsi kepulauan tinggal kapal-kapal feri yang dikelola ASDP (Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan). Sedangkan transportasi udara antar-wilayah di NTT nyaris lumpuh. Satu-satunya andalan NTT adalah pesawat Merpati jenis F-100 yang menerbangi rute Kupang-Maumere-Waingapu-Tambolaka.

Kapasitas Merpati jelas tidak sanggup memenuhi permintaan sangat tinggi dari berbagai daerah di NTT. Sontak mendadak Flobamora seolah kembali ke masa lalu. Masa lalu yang kelam ketika dalam jagat penerbangan daerah ini diplesetkan dengan analogi: Masuk Gampang, Susah Keluar. Masuk ke NTT mudah saja, tetapi untuk keluar dari sana susah setengah mati lantaran pesawat terbatas.

***

WAKIL rakyat NTT yang masih segar bugar hasil Pemilu 2009 merespons cepat masalah yang menimpa TransNusa. Tidak main-main, respons itu disuarakan tiga pimpinan fraksi besar di DPRD NTT dalam jumpa pers, Jumat (23/10/2009). Jumpa pers di ruang rapat komisi DPRD NTT dihadiri Ketua Fraksi Partai Golkar, Drs. Hendrik Rawambaku, Ketua Fraksi PDIP, Drs. John Umbu Deta dan Ketua Fraksi Partai Demokrat, Gabriel Suku Kotan, S.H.

DPRD berkata lantang dan masuk akal. Demi kelancaran transportasi udara di NTT, pemerintah propinsi perlu merealisasikan pengadaan pesawat udara. Bersama pemerintah kabupaten/kota, NTT sesungguhnya mampu beli pesawat udara. Dengan armada penerbangan sendiri, maka tidak akan terjadi monopoli harga tiket seperti selama ini. Jika keuangan daerah belum memungkinkan untuk beli pesawat, pemerintah propinsi perlu Kerja sama Operasional (KSO) dengan maskapai penerbangan untuk mengatasi kendala transportasi udara di NTT.

Sungguh ide bernas meski tidak baru sama sekali mengingat beli pesawat itu sudah lama jadi wacana dan wacana. Satu-satunya titik lemah Flobamora belum berani mengeksekusi. Ketika TransNusa mengoperasikan pesawat milik Riau Airlines dan Trigana Air mestinya mata NTT terbuka. Tetapi yang terjadi sebaliknya. Pejam makin lama. Soal sharing dana pemerintah propinsi dan kabupaten/kota untuk beli pesawat tergantung tiga huruf, mau! Mau atau tidak?

Kalau tidak mau, ya sudah. Kalau mau, na atur sudah. Mumpung anggota Dewan Yang Terhormat segera bahas RAPBD 2010. Misalnya harga satu unit pesawat F-50 (nol kilometer) Rp 100 miliar, tinggal dibagi merata atau proporsional ke setiap pemerintah kabupaten/kota dan propinsi. Ada 42 pemerintah kabupaten/kota dan propinsi di NTT. Jatah setiap daerah rasanya tidak terlalu besar dibandingkan total gelontoran DAU dan DAK saban tahun. Bahkan bisa diplot dari kue APBD saja. Toh bila dikalkulasi, masih lebih besar nilai uang Silpa di tiap daerah.

Soal pengelolaan, percayakan saja pada ahlinya. Manajemen TransNusa, misalnya, siapa berani meragukan profesionalisme putra-putri NTT sebagai operator penerbangan? Sudah teruji dan terbukti bertahun-tahun TransNusa cakap dan mampu mengoperasikan pesawat milik daerah lain. Mau atau tidak, tinggal itu masalah Flobamora. Cuma tiga huruf, tetapi susahnya bukan main untuk mencairkannya. Egoisme ”raja-raja” kecil di tiap daerah kerapkali menghambat niat maju atau sekurang-kurangnya bisa berdiri sejajar dengan daerah lain.

Serahkan pada ahlinya itu memang penting. Mengapa? Tuan dan puan kiranya belum lupa bahwa dalam hal beli-membeli sarana transportasi, NTT ini sangat piawai dan sarat pengalaman. Kepiawaian tiada duanya di dunia karena beli kapal laut untuk dilabuhkan di pelabuhan. Kapal tak berlayar tidak diapa-apakan. Ribut sehari dua lalu hilang bersama sang waktu berlalu. Yang diduga bersalah bebas hidup merdeka. Tidak apa-apa karena di sini mengenal prinsip, itu kan tanggung jawab bersama. Bersama-sama diam. Tidak penting uang rakyat untuk beli kapal hasilnya tidak bermanfaat bagi rakyat!

Di kampung kita para koruptor tidak perlu lari jauh lalu disebut buronan. Serahkan diri dengan ikhlas ke tangan polisi dan jaksa. Tak perlu ragu, tak mesti cemas. Mengapa?

Ah, tuan dan puan jangan pura-pura tidak tahu. Bukankah tempat paling aman bagi tersangka koruptor di negeri tercinta justru di pengadilan? Kalau tidak aman untuk apa repot-repot bikin KPK yang barusan dinistakan dengan kata-kata angkuh, cecak kok mau lawan buaya? Hahaha... (dionbata@yahoo.com)

Beranda Kita edisi Senin, 26 Oktober 2009 halaman 1

Albert Porsiana: Bersinar di Agroindustri Peternakan

Sungguh tak dinyana, peristiwa pahit pemecatan Albert Porsiana (48) sebagai Direktur Hotel Marina Kupang justru menjadi momentum awal kesuksesannya di bidang agroindustri peternakan Nusa Tenggara Timur.

Albert yang telah memimpin roda manajemen Hotel Marina sekitar empat tahun akhirnya harus dipecat pada 1994. Ia dianggap tidak mampu membawa hotel milik keluarga itu mencapai puncak kemajuan.

”Hotel itu merupakan perusahaan keluarga milik orangtua. Karena waktu itu ada konflik keluarga, saya akhirnya harus menerima pemecatan sebagai direktur,” kata Albert.

Anak bungsu dari 8 bersaudara pasangan C Porsiana dan Ny C Chamberlain itu pun harus merintis lagi kariernya dari nol. Beruntung pada masa awal yang amat sulit itu Albert didampingi istri tercinta sebagai pegawai negeri sipil di lingkungan Pemerintah Provinsi NTT. Dengan demikian, keuangan rumah tangganya masih dapat tertolong.

Albert tidak putus asa. Dia malah bersyukur atas jiwa kewiraswastaan yang ditanamkan dalam keluarga besarnya sehingga tidak menyurutkan semangatnya untuk mencari terobosan bisnis. Dia lalu melakukan survei di dua bidang usaha yang dinilainya prospektif: bambu untuk pembuatan tusuk gigi dan daging sapi.

Ketika itu, tanaman bambu di NTT tumbuh subur. Akan tetapi, oleh masyarakat—terutama di daratan Pulau Timor—tiap tahun tanaman bambu justru banyak yang dibakar. Hal ini tentu sangat disayangkan.

”Bagi saya, untuk menggeluti satu usaha harus dikuasai dulu ilmunya, baru ia bisa diterapkan. Saya mulai mendalami usaha bambu maupun daging sapi lewat buku-buku. Ternyata untuk bisnis daging sapi modalnya tidak terlalu besar. Dari satu sapi—mulai dari daging, kulit, tulang, lemak, dan isi perutnya—sebagian besar bisa menjadi uang. Akhirnya saya memilih bisnis daging sapi,” kata bapak tiga anak itu.

Albert telah menghitung secara cermat modal awal untuk bisnis daging sapi hingga dia pun berniat meminjam uang di bank. Akan tetapi, ketika dia merintis usaha tersebut, tahun 1995, tidak ada satu bank pun yang bersedia memberikan pinjaman modal.

Beruntung salah seorang temannya memberikan trik, yakni dengan cara meminjam dana bank seolah untuk perbaikan rumah. Albert kemudian mengajukan permohonan ke Bank Tabungan Negara (BTN). Sebagai jaminan, dia menyerahkan sertifikat rumah milik ibunya dan Albert pun berhasil memperoleh modal pinjaman Rp 35 juta.

Pada tahap awal usaha, tiap minggu dia membeli dua sapi yang kemudian diolah dengan produk utama daging se’i, daging sapi hasil panggangan khusus. Ia membeli dalam bentuk karkas, yakni daging dan tulang sapi setelah dipisahkan dari kepala, kulit, kaki bagian bawah, isi perut, dan ekor.

Albert membuka usaha agroindustri peternakan itu dengan bendera CV Aldia. Sebutan Aldia merupakan singkatan dari namanya sendiri, istri, dan anak-anaknya. Sampai kini daging se’i Aldia begitu terkenal dan menjadi oleh-oleh khas dari Kupang. Di luar NTT, daging se’i Aldia paling banyak diminati di kawasan Jawa.

Terus menanjak

Dengan telaten Albert menekuni bisnis barunya itu hingga secara perlahan, tetapi pasti, tahun 1997 usahanya terus menanjak. Sejumlah bank pun mulai menaruh perhatian. Mereka menawarkan pinjaman menggiurkan. Salah satunya Bank Bumi Daya yang mengucurkan kredit Rp 40 juta.

Sejak itu, Albert mulai membeli sapi hidup meski untuk pembelian dilakukan oleh orang lain yang memahami betul seluk-beluk tentang sapi. Baru pada tahun 2000-an ia turun langsung untuk pembelian sapi meski tetap didampingi pemandu. Pemandu itu diberi upah Rp 25.000-Rp 50.000 per sapi.

”Pemandu itu dapat memperkirakan dengan baik berat badan sapi tanpa harus ditimbang. Membeli sapi di pasar hewan memang tidak mudah karena di sana penuh mafia. Ibaratnya, pasar ternak sapi itu sarang penyamun. Jadi, untuk masuk ke sana harus menjadi penyamun juga,” kata Albert.

Perusahaannya, Aldia, saat ini menjual produk sapi dalam dua bentuk: daging olahan dalam kemasan dan daging segar. Di Kupang, produk-produknya dipasarkan di tiga tempat, yakni di Bandar Udara Eltari, Hotel Marina, dan di kawasan Oepura. Omzet di tiap tokonya per hari berkisar Rp 10 juta.

Untuk produksi, tiap bulan Albert membutuhkan sekitar 160 sapi atau per harinya rata-rata 5-7 sapi. Dia menjual daging olahan berupa daging se’i dan untuk bakso. Adapun tulang, lemak, dan daging segar banyak dipesan oleh pengusaha stik, rumah makan padang, restoran, penjual martabak, maupun penjual bakso setempat. Sedangkan kulit sapi dijual ke perajin kulit di Jawa.

Dari kesuksesannya, semua pinjaman bank sudah dapat dilunasi. Bahkan, tanah milik ibunya seluas 3.000 meter persegi di Oesapa yang ia pinjam untuk usaha, pada tahun 2000 akhirnya mampu ia beli seharga Rp 30 juta.

Selain Albert, sebenarnya ada sejumlah pelaku agroindustri peternakan, khususnya sapi, di daratan Timor. Akan tetapi, umumnya mereka tidak bertahan lama, bahkan kemudian gulung tikar.

Mengutamakan dan menjaga mutu serta cepat merespons keluhan konsumen, kunci suksesnya. Albert kini mengantongi sertifikat halal dari Majelis Ulama Indonesia NTT untuk rumah potong hewan, pemrosesan daging sapi, dan usaha pemrosesan ikan miliknya.

Dari bisnis yang digeluti Albert, jelas keberadaan sapi sangat vital sebagai bahan baku. Tren populasi maupun kualitas sapi di NTT yang cenderung menurun sejak 1990-an hingga kini membuat galau hatinya.

Dia mengusulkan agar dinas terkait di bidang pertanian, peternakan, dan industri dapat bersinergi. Dengan begitu, sapi-sapi dari NTT tidak hanya dijual antarpulau dalam bentuk sapi hidup, tetapi juga berupa daging olahan dengan nilai jual yang lebih tinggi.

Albert mencontohkan, produksi jagung setempat jangan hanya diproyeksikan untuk ekspor sebagai biji jagung untuk pakan ternak ataupun sektor pangan. Produksi biji jagung perlu diarahkan dalam bentuk produk olahan seperti baby corn, sedangkan batang dan daun jagung yang masih muda menjadi pakan ternak bergizi tinggi.

”Tanaman jagung untuk baby corn umurnya hanya 45 hari, setelah itu batang dan daunnya dapat dijadikan makanan yang sangat bergizi bagi sapi. Selain industri akan berkembang, sektor pertanian dan peternakan pun untung,” katanya.

Ia optimistis usaha agroindustri sapi di NTT sangat prospektif. ”Saya pun tidak ada niat ke depan untuk ekspansi usaha ke bidang lain. Namun, menyangkut sistem pengelolaan dan pengembangan peternakan di NTT perlu dilakukan revolusi atau lompatan besar. Jika langkah strategis tidak dilakukan dari sekarang, dalam kurun waktu 10-15 tahun lagi bukan tidak mungkin ternak di NTT akan habis,” tuturnya. (Samuel Oktora/Kornelis Kewa Ama/ Frans Sarong)

BIODATA

• Nama: Albert C Porsiana • Tempat, tanggal lahir: Ende, 15 September 1961 • Pendidikan terakhir: S-1 Ekonomi Universitas Surabaya tahun 1989 • Jabatan: 1. Direktur Hotel Marina Kupang (1990-1994)2. Pimpinan CV Aldia (1995-sekarang) • Istri: Yovita A Mitak • Anak : 1. Antonio, 2. Diandra, 3. Diony • Bapak: C Porsiana • Ibu: C Chamberlain

Timlico dan Besipae, Contoh Kelam Peternakan NTT

PETERNAKAN SAPI sebagai salah satu potensi unggulan Nusa Tenggara Timur pernah menarik minat investor nasional dan asing untuk membuka usaha ranch atau peternakan sapi di provinsi itu.

Dua di antaranya adalah PT Timor Livestock Company (Timlico) untuk pengembangan sapi potong di kawasan Asasu, Kabupaten Timor Tengah Utara, 1971-1980, dengan padang pendukung seluas 90.000 hektar. Investasi lain adalah proyek pertanian terpadu berbasis peternakan di Besipae, Kabupaten Timor Tengah Selatan, 1982-1989, yang meliputi areal seluas 4.000 hektar.

Pengembangan usaha sapi potong oleh PT Timlico di Asasu adalah paduan kerja sama investor nasional dari Jakarta dan Australia. Sejumlah warga sekitar lokasi di Maubesi (250 kilometer timur Kota Kupang), akhir September lalu, mengisahkan, di kawasan ranch nan luas itu pernah disebarkan sedikitnya 10.000 sapi.

Karena jumlah sapi ribuan dan kawasan padang begitu luas, penggiringan sapi di Asasu tidak lagi sebagaimana biasanya— penggembala cukup berjalan sambil menggiring sapi-sapi.

”Di peternakan Timlico penggiringan sapi-sapi sudah melibatkan cowboy (penggembala berkuda) hingga menjadi tontonan menarik bagi masyarakat sekitarnya,” tutur Frans Skrera, anggota DPR periode 1987-1997, yang kini menjadi peternak sapi di kampung asalnya di Insana, tidak jauh dari kawasan Asasu.

”Usaha peternakan sapi Timlico di kawasan Asasu sempat berkembang sangat pesat hingga menghasilkan sapi-sapi dengan berat badan hidup di atas 350 kilogram setelah dipelihara 2-2,5 tahun,” papar Lamber Lopo (70), warga Maubesi, yang juga bertetangga dekat dengan Asasu.

Pensiunan guru SD dan SMP itu juga mantan kleder atau pengantar sapi yang diantarpulaukan ke Jawa dan daerah lainnya, bahkan hingga Hongkong dan Singapura, tahun 1960-an.

Usaha ranch Timlico awalnya berlokasi di Oebelo, Kabupaten Kupang, tahun 1971. Karena kondisi lahan dinilai tidak mendukung, lokasi proyek dipindahkan ke Asasu tahun 1972. Di lokasi baru itu, Timlico mengawali usahanya dengan membeli puluhan sapi betina jenis sapi bali yang dikawinkan dengan sejumlah pejantan jenis sapi brahman dari Australia.

Selanjutnya, pada tahun 1975 didatangkan lagi sekitar 350 sapi brahman dari Australia untuk dikembangkan di ranch Asasu. Pada saat yang sama, Timlico membeli sekitar 10.000 sapi bali milik warga sekitar untuk pengembangan usaha di ranch Asasu.

Berselang dua tahun kemudian, atau sejak tahun 1977, PT Timlico dilaporkan sudah mampu mengantarpulaukan sedikitnya 200 sapi standar ekspor per triwulan. Sementara penduduk sekitar yang rata-rata sebagai peternak mulai ikut menikmati rezeki dari kehadiran Timlico, antara lain karena sapi mereka laku dengan harga wajar, sejumlah warga dilibatkan sebagai pekerja atau menggembala di ranch, serta kesempatan kerja lainnya.

”Warga sekitar memang sempat optimistis usaha peternakan di kawasan ini akan berkembang bagus dengan kehadiran Timlico. Namun, fakta ternyata berkisah lain, ranch-nya sendiri kini telah lenyap dan nyaris tanpa bekas. Sapi-sapinya juga telah hilang entah ke mana,” kisah Melkior Naisabu (43), ketua RT di Maubesi, akhir September lalu.

Usaha pengembangan sapi potong PT Timlico kini memang tinggal nama. Kehancurannya terjadi secara perlahan sejak tahun 1980. Bangunan ranch sudah tidak tersisa. Bahkan, sebagian kawasan padang penggembalaan sudah dikapling-kapling dan berubah fungsi menjadi perkampungan atau kebun warga sekitarnya.

Frans Skrera, Lamber Lopo, dan Melkior Naisabu memastikan, kehancuran ranch Asasu terjadi setelah kepemimpinan pengelolaan usaha dialihkan dari orang-orang Australia kepada orang-orang Indonesia.

Sejumlah warga berusia di atas 40 tahun di Biboki atau Insana bahkan masih ingat, ranch Timlico mulai amburadul dan kemudian hancur setelah pengelolaannya diserahkan kepada Anwar Abidin bersama drh Hendro Hendarto.

Sumber kehancurannya antara lain karena disiplin kerja mulai kendur. Selain itu, manajemen perusahaan pun tidak lagi transparan sehingga memancing kecurigaan di kalangan karyawan dan berbagai pihak terkait lainnya. Akibatnya, tugas-tugas tidak lagi dilakukan dengan tanggung jawab penuh sehingga roda proyek pun akhirnya macet dan berhenti total.

Serupa Besipae

Nasib ranch Timlico di Asasu persis sama dengan usaha pengembangan pertanian terpadu berbasis peternakan di kawasan Besipae, Timor Tengah Selatan. Bedanya, proyek Besipae adalah kerja sama Pemerintah Indonesia dengan Australia.

Proyek Besipae yang kawasannya meliputi empat desa: Mio, Polo, Oe Ekam, dan Linamnutu, memulai kegiatan lapangannya tahun 1981. Kegiatan awalnya adalah membangun 14 embung penampung air hujan. Dasar embung dilapisi sejenis lumpur kedap air atau bobonaro clay.

Oleh karena itu, air tampungan dalam embung yang lazim disebut danau buatan tersebut hanya akan surut karena diambil untuk kebutuhan manusia dan ternak atau penguapan.

Areal embung sendiri yang berukuran 1.500-2.000 meter persegi dilengkapi dengan jaringan pipa khusus mendistribusikan air untuk kebutuhan manusia dan hewan. Dengan demikian, areal embung terbebas dari penyerobotan manusia atau hewan.

Keberhasilan belasan embung sejak tahun 1982 itu langsung menjadi pendukung utama pengembangan ternak, tanaman pakan, serta usaha pertanian dalam kawasan tersebut. Sejak saat itu pula warga dan ternak sekitar tidak lagi harus kembali ke Sungai Noelmina (bukan Noelbaki seperti disebut di Kompas, 30/9)—berjarak sekitar 15 kilometer—seperti sediakala untuk mendapatkan air.

Selain itu, air embung di kawasan Besipae ternyata sekaligus menjadi kolam ikan air tawar. Karyawan proyek dan warga sekitar pun sempat menikmati lauk ikan air tawar dari belasan embung itu.

Seperti kawasan ranch Timlico, kini Besipae pun terabaikan dan terlupakan. Tidak sedikit remaja warga sejumlah kampung dalam kawasan Besipae, tidak tahu kalau kawasan itu dulunya pernah tersohor sebagai kawasan pengembangan pertanian terpadu berbasis peternakan.

Maklum saja, dari 14 embung dalam kawasan Besipae, hampir semuanya telah kering dan musnah tak berbekas. Yang tersisa hanya dua, yakni embung Nunak dan Manufonu, keduanya dalam kawasan Desa Mio. ”Hanya dua embung itu yang masih berfungsi dan tetap menjadi sumber air bagi warga dan ternak di desa kami,” tutur Timothius Nubatonis (56), pengawas embung Nunak.

Meski demikian, kedua embung itu tidak lagi berfungsi normal. Jaringan pipa distribusinya sudah tersumbat sehingga tidak bisa lagi mengalirkan air hingga keran khusus untuk kebutuhan manusia atau ternak. Akibatnya, warga terpaksa mengambil air langsung ke embung. Begitu pula kawanan ternak meminum air langsung di tepi embung.

”Kami selalu mengawasi agar tidak ada warga atau ternak yang menerobos ke dalam embung. Warga juga hanya dibolehkan menangkap ikan dengan alat pancing, tidak boleh pakai pukat atau jala. Kalau ada yang melanggar, akan didenda Rp 25.000,” tutur Timothius.

Kini sebagian besar kawasan Besipae telah gundul akibat penebangan atau perambahan untuk kebun serta permukiman. Bahkan, Pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan, sejak tahun 2007 memanfaatkan beberapa bagian kawasan sebagai lokasi penghijauan melalui proyek Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan), ditanami anakan kayu merah, jati lokal, gamalina, mahoni, dan kemiri.

Sama seperti proyek Timlico, Besipae mulai amburadul ketika pengelolaan proyek diserahkan sepenuhnya dari Australia kepada Pemerintah Indonesia tahun 1987.

Kini proyek itu sudah menjadi kisah masa lalu. Kehancuran ranch Timlico dan Besipae adalah contoh kelam usaha pengembangan ternak sapi di NTT. (Kornelis Kewa Ama/Samuel Oktora)

Sumber: Fokus Kompas, 16 Oktober 2009. Hasil diskusi kerja sama dengan Pos Kupang dan Unwira-Kupang.

Baca juga artikel terkait



Tiga Pelari Tewas di Tengah Jalan

DETROIT, SENIN - Tiga pelari maraton tewas sewaktu mengikuti kejuaraan Detroit Free Press/Flagstar Marathon ke-32 hari Minggu (18/10). Penyebab tewasnya mereka masih diselidiki.

Wakil Presiden Marketing Konsumen untuk Partner Media Detroit Rich Harshbarger mengatakan, ketiga pelari roboh di tengah jalan. Daniel Langdon (36), yang berasal dari Laingsburg, tumbang hari Minggu pukul 09.02 saat menempuh jarak 11-12 mil atau 17-19 kilometer.

Pelari lain, Rick Brown (65), dari Marietta, Ohio, terjatuh pada pukul 09.17 di dekat lokasi jatuhnya Langdon. Pelari ketiga, Jon Fenlon (26), dari Waterford, tumbang pukul 09.18 sesaat setelah menyelesaikan setengah maraton dalam waktu 1:53:37.

Belum jelas apakah Brown dan Langdon ikut di nomor 13,1 mil (21 kilometer) alias setengah maraton, ataukah lomba penuh sepanjang 42,05 kilometer.

Menurut Harshbarger, panitia menyediakan sedikitnya enam klinik di sepanjang jalur lomba. Petugas medik darurat juga segera datang dalam beberapa detik begitu seseorang dilaporkan sakit atau cedera.

Sebelum ikut lomba, peserta mengisi formulir kesehatan. Mereka juga dianjurkan berkonsultasi dengan dokter. ”Pada hari di saat begitu banyak orang menantang diri sendiri untuk berbuat yang terbaik, kabar ini berat didengar. Kami bersimpati untuk keluarga mereka,” kata editor media Free Press, Paul Anger.

Suhu udara saat dimulai lomba 28 derajat Fahrenhait atau -2,22 derajat celsius. Suhu beranjak naik hingga 41 derajat (5 derajat celsius) pada pukul 10.00. Pelatih Keith Hanson menegaskan, suhu udara bukan penyebab kematian tiga pelari. ”Angin tidak pernah membunuh,” ujarnya.

Tewasnya pelari maraton di tengah laga sangat jarang terdengar. Tahun 1994 di ajang yang sama, pelari cowok berusia 42 tahun dikabarkan tewas setelah menempuh jarak 32 kilometer.

Lomba lari ini diikuti lebih dari 19.000 peserta.

Melihat usia peserta yang beragam, lomba lari ini memang untuk umum. Lomba ini dimenangi Nicholas Stanko dari Michigan dalam waktu 2:20:24. Adapun pelari cewek yang tercepat adalah Sarah Plaxton, juga dari Michigan, dalam waktu 2:57:09. (AP/IVV)

Sumber: Kompas

Polisi


JEFRI Lay agak terburu-buru keluar dari rumah Senin pagi itu. Setelah hidupkan mesin sepeda motor, dia menjemput sobat karib sekaligus teman sekelasnya, Kristovel Taebenu. Kedua remaja yang tinggal bertetangga itu pun melaju dari kediaman mereka di Kelurahan Sikumana menuju Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Cahaya Putra-Kupang.

Hari Senin 12 Oktober 2009 ada ujian tengah semester di sekolah mereka. Jefri dan Kris berusaha sampai di sekolah tepat waktu. Keduanya melewati ruas Jalan HR Koroh, Jl. Soeharto, Jl. Soedirman dan Jl. Mohammad Hatta-Kupang. Pada pagi hari, arus lalu lintas di jalan protokol tersebut memang padat.


Awal "tragedi" menimpa kedua remaja itu ketika memasuki Jl. Mohammad Hatta atau sekitar satu kilometer dari SMK Cahaya Putra. Jefri dan Kris yang tanpa mengenakan helm dilihat anggota Satlantas Polresta Kupang yang sedang patroli.

Anggota Satlantas di dalam mobil berteriak menggunakan mikrofon, "Tangkap itu, tangkap itu!" Jefri tetap memacu kendaraannya ke arah sekolah. Teriakan itu rupanya didengar anggota Samapta Polda NTT yang sedang bertugas di depan toko Barata yang berhadapan dengan Rumah Sakit Umum (RSU) Prof. Dr. WZ Johannes Kupang.

Nah, menurut saksi mata, saat Jefri dan Kris melaju di depan Barata Swalayan, anggota Polda NTT menendang sepeda motor mereka. Kedua remaja hilang keseimbangan, terjatuh dan terlempar sekitar empat meter. Kristovel terseret ke arah kanan jalan, dan pada saat bersamaan dari arah berlawan melaju bemo (angkot) Genesis DH 2067 EA yang dikemudikan Marthen Daniel Ndolu. Tubuh Kris masuk kolong angkot dan digilas ban depan sebelah kanan. Kepalanya cedera berat dan Kris menghembuskan nafas terakhir. Sedangkan Jefri terseret ke sisi kiri jalan dan kepalanya terluka parah. Jefri sempat dirawat di RSU Kupang. Namun, sekitar pukul 17.30 Wita Senin (12/10/2009), Jefri Lay meninggal dunia.

Demikian kisah Jefri dan Kris yang beta rangkum kembali. Tuan dan puan yang setia mengikuti laporan media massa sepekan terakhir tentunya telah mengetahui beragam informasi tentang peristiwa itu. Warga masyarakat agaknya memaklumi bahwa kedua remaja itu salah karena tidak mengenakan helm. Mereka melanggar aturan berkendara di jalan umum.

Dan, polisi tidak salah menegur mereka. Polisi menjalankan tugasnya. Namun, penyebab kematian yang diduga akibat tendangan polisi perlu pembuktian lewat proses hukum yang transparan. Orang tak akan mudah menerima begitu saja jika pada akhirnya "tragedi" itu dibiarkan mengambang atau mengorbankan orang lain sebagai kambing hitam. Toh lebih dari satu orang saksi yang melihat peristiwa itu di TKP. Bahkan sebelum dipanggil penyidik para saksi dengan kesadaran sendiri telah memberikan keterangan kepada polisi.

Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) NTT, Brigjen Polisi Drs. Antonius Bambang Suedi, M.M sudah menyampaikan janji melegakan. Kapolda tidak akan melindungi oknum polisi yang menendang sepeda motor Jefri dan Kristovel. Kapolda pun telah memerintahkan penyidik memroses kasus tersebut.

Gayung bersambut! Tanggal 16 Oktober 2009, penyidik Provost Polda NTT melakukan olah TKP di Jalan Mohammad Hatta. Penyidik menghadirkan dua saksi mata, Ny. Salomi Nenogasu dan Leo Manuk serta Marthen Daniel Ndolu, sopir Genesis. Dihadirkan pula tiga anggota Samapta Polda NTT, Brigpol Salahudin, Bripda Hangri S Raja Tuka, dan Bripda Wiliam Trisna sebagai saksi. Keseriusan polisi patut diapresiasi. Semoga segera datang titik terang tentang penyebab kematian Kristovel dan Jefri.

Kematian mereka menyembulkan fakta menarik: Polisi periksa polisi! Beta percaya, tuan dan puan sedang harap-harap cemas menanti akhir kisahnya. Apakah akan berakhir sebagai sinetron berjudul jeruk makan jeruk? Huss! Jangan berburuk sangka dulu. Polisi sedang bekerja serius dan profesional. Tugas tuan dan puan cukup mengawal dan lihat hasilnya nanti.

Tuan dan puan pasti sayang polisi, tetapi lebih sayang diri sendiri bukan? Kalau jawab ya, maka beta sarankan untuk ikut menunaikan tugas ini. Tugas mulia yang tidak berat. Mulai detik ini ingatkan selalu anak, istri, suami, om, tanta, kakak, adik, sepupu jauh atau sepupu dekat, kekasih, pacar, teman, opa, oma, mertua, menantu atau ipar agar sayang nyawa saat berada di jalan raya. Kalau naik motor, entah sepeda motor sendiri atau ojek, jangan lupa pakai helm. Jangan lupa periksa kelengkapan kendaraan mulai dari kaca spion, plat nomor sampai SIM. Kalau anakmu belum cukup umur, ya tunda dulu beri dia kesempatan beraksi dengan sepeda motor tanpa SIM dan helm.

Mengapa beta sarankan hal yang mungkin dianggap sepele? Soalnya simpel, kawan! Orang kita betul-betul kepala batu kalau melintas di jalan umum. Hebat benar orang kita karena senang bermain-main dengan nyawa sendiri. Sikap malas tahu untuk menaati aturan lalu lintas sungguh "mengerikan" di beranda Flobamora. Sekarang UU Lalu Lintas No. 22/2009 wajibkan pengendara sepeda motor nyalakan lampu siang hari. Pasal UU itu kalah hebat! Kenapa? Asal tahu saja (mungkin) hanya di Kupang atau kota-kota NTT, sebagian orang lebih percaya ketajaman mata menembus kegelapan malam dengan sepeda motor.

Dan, mungkin cuma di kampung kita, 'kepala batu' tak kunjung melunak meski sudah berjuta kejadian sepeda motor tabrak sepeda motor atau sepeda motor bakucium dengan moncong oto. Beribu kali polisi dan pegawai Dinas Perhubungan menegur. Berulang jua peristiwa yang sama. Mengubah tabiat memang tak gampang. Jadi, baiklah bila kampanye sayang nyawa mulai dari diri sendiri, dari lingkungan terkecil; keluarga, tetangga, tempat kerja! Mudah to? (dionbata@yahoo.com)

Pos Kupang edisi Senin, 19 Oktober 2009 halaman 1

Mangan di Timor Kembali Menelan Korban

ATAMBUA, PK -- Dua warga Desa Taaba, Kecamatan Weliman, Kabupaten Belu, Klara Abuk (50) dan Hans (30), Minggu (18/10/2009) sekitar pukul 08.00 Wita tewas tertimbun tanah setelah menggali mangan di Tuataun, Kecamatan Toianas, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS).

Dengan peristiwa terakhir di TTS itu, maka sejak bulan Agustus 2009 tercatat sembilan warga NTT yang tewas di lokasi tambang mangan.

Klara Abuk ditemukan meninggal dunia dalam posisi berdiri, dan Hans melintang dengan tangan memegang Klara. Saat ini kedua korban sudah dievakuasi dari lokasi kejadian dan sudah diterima keluarga masing-masing. Kecamatan Toianas terletak di perbatasan TTS dan Belu.

Salah satu kerabat korban, Kamilus Seran, ketika dihubungi Pos Kupang melalui hand phone (HP) ke Desa Taaba, Minggu (18/10/2009) membenarkan kejadian itu. Hubungan Klara dan Hans, lanjutnya, Klara adalah mama mantu dari Hans.

Kamilus menjelaskan, kasus tewasnya kedua warga Taaba itu di luar dugaan. Pasalnya, selama sepekan ini Klara dan Hans menggali mangan di Tuataun, TTS. Pada Minggu (18/10/2009), suami dari Klara menyampaikan pesan kepada kedua korban untuk istirahat menggali karena harus ke gereja. Permintaan suami Klara agar mereka istirahat menggali mangan disampaikan oleh karyawan yang hendak membeli batu. Namun, penyampaian itu tidak dihiraukan Klara dan Hans. Keduanya tetap ke lokasi untuk menggali mangan.

"Saat sedang menggali mangan, tiba-tiba tanah runtuh dan menutup kedua korban. Lubang bekas galian mangan selama satu minggu ini sudah cukup besar. Kedua korban rupanya tidak menduga kalau kondisi tanahnya labil sehingga runtuh menimpa mereka," kata Kamilus.

Terhadap kejadian itu, jelas Kamilus, tanta dari Hans di Tuataun menyampaikan kepada keluarga di Taaba. Saat itu juga keluarga korban menuju lokasi kejadian untuk menggali reruntuhan tanah. Saat itu mereka mendapatkan Klara Abuk meninggal dunia dalam posisi berdiri, dan Hans dalam posisi telentang sambil memegang tangan Klara. Keluarga korban sejak pagi hingga sore terus menggali dan pukul 18.00 Wita kedua korban berhasil dievakuasi dan dibawah ke keluarga masing-masing. "Klara Abuk dibawa ke Taaba, dan Hans dibawa ke kampung halamannya di TTS," katanya.

Kepala Desa Taaba, Marsela Hoar Seran, ketika dihubungi Pos Kupang ke Wewiku melalui HP-nya, Minggu (18/10/2009) sore membenarkan kejadian itu.

Marsela menjelaskan, informasi tewasnya Kalra Abuk dan Hans ia terima dari warganya pada siang hari. Informasi dari warganya itu, kata Marsela, menyebutkan bahwa sepekan ini Klara dan Hans menggali mangan di wilayah TTS.

"Klara Abuk memang asal Taaba, dan Hans berasal dari TTS. Selama ini Hans tinggal bersama Klara Abuk, yang juga mama mantunya. Keduanya sudah dievakuasi dan sudah diterima keluarga masing-masing untuk dikuburkan," ujarnya. (yon)

Korban Tewas di Lokasi Mangan

17 AGUSTUS 2009: Daud Lomi Pita (48), warga RT 22/RW 06 Dusun C, Desa Tubuhue Kecamatan Amanuban Barat, TTS, meninggal akibat tertimbun galian mangan.

2 OKTOBER 2009: Dua warga Kelurahan Naioni, yaitu Simon Linsini dan Etri Linsini, tewas tertimbun tanah di lokasi penambangan mangan. Keduanya tewas saat sedang menggali batu mangan.

6 OKTOBER 2009: Empat penambang mangan di Kiumabun, Desa Oebola Dalam, Kecamatan
Fatuleu, Kabupaten Kupang, tewas tertimbun ketika sedang menggali batu mangan. Empat warga itu adalah Melianus Bariut (51), Petrus Sabloit (38), Ambrosius Seran (11) serta Marice Ton (38).

18 OKTOBER 2009: Dua warga Desa Taaba, Kecamatan Weliman, Kabupaten Belu, yaitu Klara Abuk (50) dan Hans (30) tewas tertimbun tanah ketika menggali batu mangan di Tuataun, Kecamatan Feoana, TTS.

Pos Kupang edisi Senin, 19 Oktober 2009 halaman 1

Pos Kupang Luncurkan Teenagers Space

KUPANG, PK -- Surat Kabar Harian (SKH) Pos Kupang meluncurkan Teenagers Space (halaman khusus remaja). Acara peluncuran berlangsung di area parkir Kantor Harian Pos Kupang, Jl. Kenari 1Kupang, Sabtu (17/10/2009) petang.

Peluncuran dilakukan Pemimpin Umum Harian Pos Kupang Damyan Godho yang ditandai dengan penekanan tombol mesin cetak oleh tiga wartawan pelajar, yaitu Grace Wisung (SMAK Giovanni Kupang), Berlian Tapatfeto (SMA Negeri 3 Kupang), dan Maria Sofyanti Taena (SMA Negeri 2 Kupang).

Turut menyaksikan peluncuran itu para guru dan orangtua, puluhan wartawan pelajar, Pemimpin Redaksi Harian Pos Kupang, Dion DB Putra, Pemimpin Perusahaan, Daud Sutikno, para manajer dan tim redaksi Harian Pos Kupang.

Semua yang hadir, terutama para pelajar, tampak ceria menyaksikan keluarnya lembaran-lembaran koran dari mesin cetak. Mereka pun langsung menyaksikan tampilan halaman- halaman hasil karya mereka sendiri. Sambil mengangkat koran itu, mereka mengabadikannya dengan foto sebagai kenangan yang tak terlupakan dalam hidup mereka.

Teenagers Space dibentuk dan dikelola langsung oleh tim para pelajar yang berasal dari SMAK Giovanni, SMA Negeri 2 dan SMA Negeri 3 Kupang. Sedangkan Pos Kupang hanya mendampingi, menyediakan tempat, fasilitas dan halaman koran (space).

Teenagers Space akan terbit setiap dua minggu sebagai bagian dari edisi Minggu Pos Kupang. Terdiri dari empat halaman, yaitu halaman etalase (17), Harmoni Prestasi (18), Inspirasi (19), dan Indah Budayaku (20).

Acara peluncuran juga ditandai dengan penyematan kartu wartawan pelajar secara simbolis kepada tiga pelajar oleh Pemred Pos Kupang, Dion DB Putra. Kartu ini akan menjadi pegangan sekaligus identitas bagi mereka selama menjalani tugas peliputan berita.

Koordinator Teenagers Space, Tulus Sianturi, dalam sambutannya menyampaikan terima kasih kepada Pos Kupang, guru dan orangtua atas kesempatan yang diberikan untuk mengembangkan kemampuan menulis.

"Banyak pendapat bahwa para remaja itu malas membaca dam menulis, tapi kami membuktikan bahwa kami bukan remaja pemalas. Kami remaja yang cerdas dan kreatif dengan menerbitkan Teenagers Space," kata Tulus dengan lantang, disambut tepuk tangan teman-temannya.

Willem Berybe, guru SMAK Giovanni, mewakili sekolah- sekolah yang terlibat dalam program ini, menyatakan bangga atas inisiatif Pos Kupang menerbitkan Teenagers Space. Program ini, katanya, memberikan peluang besar bagi para pelajar untuk belajar menulis.

Program ini juga, katanya, sangat mendukung program pembelajaran di sekolah khususnya bahasa Indonesia yang menjadi kebutuhan mendesak di sekolah saat ini.

Dia juga mengatakan, acara peluncuran ini sangat strategis karena menghadirkan unsur siswa, guru, orangtua, dan masyarakat. Mereka ini justru menjadi pendukung utama keberlangsungan pendidikan dan pembelajaran di sekolah. Dengan keterlibatan unsur-unsur ini, katanya, sekolah menjadi eksis dan tidak merasa sendirian di tengah masyarakat.

Dia berharap program ini terus berlanjut dan semakin baik, karena banyak siswa yang antre untuk mengikuti program ini. "Dengan ini para pelajar dipacu untuk menjadi penulis sejak dini," kata Berybe.

Pimpinan Umum Harian Pos Kupang, Damyan Godho, mengatakan, tim Teenagers Space merupakan generasi ketiga dari generasi para wartawan Pos Kupang saat ini.
"Ke depan dunia media akan sangat luas dan besar. Untuk itu perlu disiapkan kader-kader penulis secara baik. Adalah tanggung jawab Pos Kupang untuk menyiapkan generasi baru wartawan yang lebih baik daripada yang sekarang," katanya.

Menurut Damyan, sampai saat ini masih banyak orang yang bicara hanya berdasarkan kabar dari mulut ke mulut, tapi minat bacanya sangat rendah. Pos Kupang dengan visinya, kata Damyan, ingin agar masyarakat suka membaca. Karena itu, sejak terbit 17 tahun lalu Pos Kupang berusaha sekuat tenaga untuk terus terbit sampai saat ini.

Menurutnya, orang NTT memiliki kekayaan dan kebanggaan luar biasa karena menjadi "gudang wartawan". Di media mana pun di Jakarta, entah media televisi maupun surat kabar, pasti ada orang NTT yang menduduki posisi pimpinan. Dia menyebut beberapa nama beken sekadar contoh bagi para pelajar ini. "Ini membuktikan bahwa anak NTT memiliki potensi yang luar biasa asal diberi kesempatan," katanya.

Pemred Pos Kupang, Dion DB Putra mengatakan, Teenagers Space merupakan yang pertama di NTT. Dengan ini tulisan para pelajar tidak lagi hanya dibaca di mading sekolah, tetapi akan dibaca oleh teman-teman remaja di seluruh NTT, bahkan Indonesia dan dunia melalui koran dan website Pos Kupang. Dia mengatakan, Pos Kupang akan menjadi laboratorium bagi pelajar untuk belajar menulis. (nia)

Lihat Galeri foto klik di sini

Pos Kupang edisi Minggu, 18 Oktober 2009 halaman 1

Terobosan PS Kota Kupang

DI balik sukses penyelenggaraan Pekan Olahraga Sedaratan Flores dan Lembata (Pordafta) serta persiapan Pekan Olahraga Sedaratan Timor (Pordat) di Atambua, ada dua peristiwa olahraga yang menghentak kesadaran kita belakangan ini.

Pertama tentang warta kekalahan yang senantiasa menghiasi potret sepakbola Flobamora. Hari Selasa tanggal 13 Oktober 2009, kabar buruk itu datang dari Mataram, ibu kota Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Salah satu tim sepakbola kebanggaan masyarakat NTT, Persap Alor kalah telak enam gol tanpa balas dalam pertandingan pertama penyisihan Grup XIX Divisi II Liga Indonesia. Persap Alor digilas 6-0 oleh kesebelasan tuan rumah, KSB Sumbawa Barat.

Skor kekalahan yang sungguh membuat kita mengurut dada. Mengapa demikian banyak gol yang bersarang ke gawang Persap? Skor kemenangan KSB memberi kesan kuat, Persap Alor tidak memberi perlawanan sedikit pun.

Menurut laporan media massa, kekalahan tersebut memang tidak semata terkait faktor keterampilan pemain mengolah bola di lapangan. Ada faktor X, salah satu yang disebut adalah buruknya kepemimpinan wasit. Tapi apapun argumentasinya, kekalahan Persap mesti diterima dengan jiwa besar.

Kekalahan Persap dalam kompetisi Divisi II Liga Indonesia sekadar contoh tentang buruknya prestasi tim jawara sepakbola NTT bila bertanding di luar kandang. Dulu kita pernah berharap pada PSN Ngada. Hasilnya toh sama saja. Pada saat-saat yang menentukan, kesebelasan NTT tumbang.

Sudah berulangkali kita angkat dalam ruangan ini bahwa prestasi sepakbola NTT memang tidak pernah masuk hitungan, bahkan untuk kawasan Bali dan Nusa Tenggara. Tetapi sepakbola masuk cabang olahraga prioritas di NTT. Mengapa?

Prioritas bukan karena prestasi atlet melainkan karena pesona sepakbola sebagai cabang olahraga masyarakat. Cabang olahraga yang paling digemari di daerah ini.
Telah berkali-kali juga kita garisbawahi bahwa prestasi olahraga tanpa kompetisi adalah bohong besar. Tidak mungkin meraih prestasi yang membanggakan bila keterampilan atltet tidak diasah melalui kompetisi yang ketat, rutin dan terukur.

Kompetisi sepakbola di NTT bisa dilukiskan sebagai mati suri. Satu-satunya agenda kompetisi yang bergulir adalah El Tari Memorial Cup. Kompetisi perserikatan di setiap kabupaten/kota tidak bergulir secara rutin. Kalau pun ada, sulit disebut sebagai ajang kompetitif dengan hasil yang memuaskan.

Kenyataan tersebut mengantar kita untuk memberi apresiasi terhadap terobosan pengurus PSSI Kota Kupang. Mulai tanggal 17 Oktober 2009, Persatuan Sepakbola Kota Kupang (PSKK) menyelenggarakan kompetisi antar-klub. Ini momentum yang baik. Setelah mati suri selama belasan tahun, PS Kota Kupang kembali menggulirkan roda kompetisi.

Kompetisi ini akan diikuti 25 klub yang resmi tercatat sebagai anggota PSKK. Sebelum memulai kompetisi tersebut, PSSI Kota Kupang menggelar pelatihan wasit. Sebanyak 25 orang wasit telah mengikuti pelatihan selama dua pekan dan kini mereka siap memimpin kompetisi yang bakal menjadi hiburan akhir pekan bagi penggemar sepakbola di Kota Kupang dan sekitarnya.

Sekali lagi kita sambut baik terobosan PSSK menyelenggarakan kompetisi sepakbola antarklub. Tentu masih banyak kekurangan dan keterbatasan dalam pelaksanaan kompetisi nanti. Tidak apa-apa. Kekurangan selalu dapat diperbaiki kapan saja. Keterbatasan pun bisa dibenahi secara bertahap.

Keberanian memulai kompetisi, itulah poin penting bagi kemajuan sepakbola Kota Kupang di masa mendatang. Kita akan belajar banyak dari kompetisi tersebut. Kita pun akan memetik manfaatnya suatu hari nanti.

Indah sekali bila terobosan PS Kota Kupang diikuti perserikatan lainnya di Propinsi NTT. Jika semua pengurus perserikatan menggelar kompetisi antarklub, niscaya kualitas kejuaraan El Tari Memorial Cup akan lebih berbobot. Dan, tim juara kompetisi NTT tidak lagi sekadar jago kandang. *

Bola


HARI itu saat malam Minggu menjelang, beta terpaksa keluar dari tribun Stadion Oepoi Kupang menuju pelataran parkir untuk mencari udara segar. Setelah menyaksikan duel menarik selama satu setengah jam serta upacara penyerahan piala dan hadiah, beta sungguh tak tahan lagi berdesak-desakan dengan 35 ribu penonton yang berpesta pora. Mereka merayakan kemenangan klub Botung Anak Kupang alias Bonak menjuarai kompetisi Liga Kota KASIH (LKK) yang ketiga.

Di partai puncak hari itu, klub Bonak asuhan pelatih Petrus Abanat mengalahkan juara dua musim kompetisi sebelumnya AS Roma 1-0. Malang nian nasib AS Roma (singkatan dari Anak-anak Seputar toko Roda Mas) karena tim kebanggaan warga Kuanino itu cukup memerlukan hasil seri untuk pertahankan gelar. Tetapi tim asuhan Zeth Adoe lengah di menit akhir sehingga gelar juara di depan mata tak tergapai untuk ketiga kalinya. Bola memang bundar dan kini giliran Bonak berjaya.

Kembang api warna-warni menghiasi langit Kupang bersama terang bulan purnama kala itu ketika Walikota Kupang, Drs. Daniel Adoe menyerahkan piala bergilir LKK kepada kapten Bonak di tribun VIP. Ketua Umum Pengurus Cabang PSSI Kota Kupang, Drs. Daniek Hurek tersenyum ceria bersama jajaran pengurus teras seperti Pieter Fomeni, Melkisedek Madi, Felix Dando, Anton Kia dan lainnya.


Di tribun maupun di tengah lapangan Stadion Oepoi histeria penonton terekspresi dalam beragam wujud. Pengurus klub Bonak, pemain dan suporter
setia yang tergabung dalam Bonak Fans Club larut dalam pesta. Mereka bakupeluk, bakucium pipi kiri kanan, bersalam-salaman. Pesta Bonak masih berlanjut dengan pawai keliling Kota Kupang yang membuat jalanan macet total di sejumlah titik.

Kupang malam itu merayakan kemenangan sepakbola. Pesta untuk sukses Liga Kota Karang yang makin mendapat tempat di hati 400 ribu penduduk kota KASIH.
Sebagai juara kompetisi LKK, Bonak dapatkan hadiah uang sebesar Rp 150 juta. AS Roma (runner-up) Rp 75 juta, juara ketiga Kristal FC mendapat 50 juta dan Britama Kupang yang menempati ranking keempat mendapat hadiah Rp 25 juta.

Top Scorer atau pencetak gol tersubur diraih pemain Platina FC, Atus Karpitang dengan 26 gol. Atus berhak atas hadiah Rp 15 juta. Sedangkan pemain terbaik jatuh ke tangan striker AS Roma, Decky Kadja. Decky juga mendapat hadiah Rp 15 juta. Tim fair play direbut klub Sandelwood asuhan Paul Ngongo Bili.

Liga Kota KASIH merupakan perwujudan tekad pengurus PSSI pimpinan Daniel Hurek yang juga wakil walikota Kupang. Setelah bertahun-tahun mati suri, kompetisi antarklub perserikatan di ibu kota Propinsi NTT tersebut kembali diputar dengan manajemen lebih rapi dan konsisten. Sebanyak 24 klub di Kupang dibagi ke dalam dua divisi sesuai peringkat, yakni Divisi Utama dan Divisi I masing-masing beranggotakan 12 klub. Kompetisi sesuai format standar liga dunia itu menerapkan sistim promosi dan degradasi.

PSSI Kota Kupang menetapkan tiga tim promosi dan tiga tim degdarasi setiap musim kompetisi LKK yang bergulir selama delapan bulan. Jadwal pertandingan berlangsung setiap hari Sabtu dan Minggu di Stadion Oepoi. Mengingat Oepoi telah dilengkapi lampu sorot di empat sudut stadion, maka selalu ada pertandingan sore dan malam hari. Para pemain dimanjakan dengan rumput stadion yang lembut bagaikan permadani serta ruang ganti ber-AC.

Penonton pun menikmati pertandingan dari duduk tribun dengan kursi yang bagus.
Bergulirnya LKK diatur sedemikian rupa oleh PSSI sehingga tidak mematikan kompetisi yang sudah berjalan lama seperti Faperta Cup, Fosmab Cup, Imapem Cup, Ipelmen Cup, Dji Sam Soe-Pos Kupang Cup, Angkasa Pura Cup dan lainnya. Event-event tersebut justru menjadi penopang mutu LKK.

Pelatih klub di sini semuanya bersetifikat nasional. Dan, terjadi peremajaan wasit besar-besaran. Usia wasit sesuai ketentuan FIFA. Sejumlah wasit dari Kupang, misalnya Abdul Muis, Kid Bokilia, Athen Bana, Lukman Hakim dan Chris Umbu Yogar bahkan telah dipercayakan PSSI memimpin pertandingan Liga Indonesia.

Setelah tiga tahun bergulir LKK mulai menebarkan pesona. Membius warga Kupang. Kompetisi itu menjadi hiburan akhir pekan. Penonton selalu berduyun- duyun ke stadion. Mereka menghargai event sepakbola dengan membeli tiket masuk, menonton dengan tertib, mengekspresikan rasa dengan santun. Tak ada adufisik karena spirit LKK adalah kompetisi kasih. Laga bola tanpa kekerasan.
Suasana stadion warna-warni. Suporter yang masuk anggota Fans Club menyanyi sepanjang laga, menabuh gong gendang, meniup terompet dan suling. Melambai- lambaikan atribut klub bermotif lokal NTT. Tiap pertandingan adalah pesta bola.

Tiket masuk setiap pekan ratusan juta rupiah. Tiket itu dibagi adil kepada para pihak sesuai ketentuan yang disepakati bersama. Sudah pasti ada jatah tetap bagi klub yang bertanding. Makin banyak penonton, pundi-pundi klub semakin tebal.

Dan, LKK sungguh menggairahkan ekonomi rakyat sebagaimana harapan duet pimpinan Kota Kupang, Daniel Adoe-Daniel Hurek. Tidak hanya pendapatan Ina, Ama pedagang kaki lima (PKL) meningkat pesat. Di kota ini tumbuh beragam usaha bisnis berkaitan dengan cabang olahraga apa saja. Partisipasi kalangan swasta melalui sponsorship terus meningkat. LKK menjadi ikon kebanggaan Kupang.

Setiap akhir musim, tim juara ujitanding melawan juara Divisi Utama Liga Indonesia di Kupang. Mutu LKK yang semakin baik menarik minat klub anggota Divisi Utama Liga Indonesia merekrut pemain berbakat asal Kupang. Kupang jadi lumbung pemain-pemain hebat di klub papan atas Indonesia. LKK juga jadi model kompetisi yang ditiru perserikatan lain di seluruh NTT. Luar biasa bukan?

Tetapi maaf beribu maaf. Kisah panjang lebar di atas hanyalah mimpi beta, salah seorang warga Kupang yang mencintai sepakbola. Mumpung sedang musim jual mimpi menjelang pilpres, maka izinkan beta menjual mimpi bola kepada tuan dan puan. Bukankah mimpi bisa menjadi kenyataan? (dionbata@yahoo.com)


Pos Kupang edisi Senin, 15 Juni 2009 halaman 1

Mella Divonis 2 Tahun 10 Bulan

SOE, PK -- Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) SoE yang dipimpin Maurid Sinaga, S.H, memvonis dua tahun sepuluh bulan penjara terhadap mantan Kepala Dinas Kehutanan (Kadishut) Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Drs. Johanis Christofel Mella, dalam kasus illegal logging 211 kayu jati di kawasan Hutan Fatuanas, Desa Lilo, Kecamatan Amanatun Utara tahun 2004.

Amar putusan terhadap Johanis Christofel Mella, dibacakan bergantian oleh Ketua Majelis Hakim PN SoE, Maurid Sinaga, S.H, dan dua hakim anggota, yakni Amin Bureni, S.H dan Nunik Sri Wahyuni, S.H, di PN SoE, Rabu (14/10/2009). Tiga majleis hakim ini didampingi Panitera Pengganti, Daniel Betty.

Dalam amar putusan tersebut juga Johanis Christofel Mella, wajib membayar denda sebesar Rp 10 juta subsider dua bulan penjara. Hadir saat itu Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri (Kejari) SoE, Hendra Sudirman, S.H, penasehat hukum terdakwa, Jermias Haikase, S.H dan keluarga terdakwa.

Dibandingkan dengan tuntutan jaksa, putusan majelis hakim lebih ringan 14 bulan. Sedangkan JPUKejari SoE, Hendra Sudirman, menuntut terdakwa Mella, empat tahun penjara.

Dalam amar putusannya, majelis hakim meyakini terdakwa Drs. Johanis Christofel Mella bersalah melanggar pasal 78 ayat 5 jo pasal 50 ayat 3 huruf e Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Keyakinan itu diperoleh karena unsur dalam pasal itu terpenuhi sesuai fakta yang diperoleh majelis selama proses persidangan kasus ini berlangsung.

Majelis sepakat terdakwa Mella terbukti dengan sengaja menebang pohon atau memanen, atau memungut hasil hutan dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat berwenang berupa 211 kayu jati di Kawasan Hutan Fatuanas. Dengan keyakinan itu majelis memvonis terdakwa Mella bersalah dan dijatuhi hukuman sesuai ketentuan perundangan yang berlaku.

Terkait pembelaan penasehat hukum yang menyatakan tanggung jawab pidana kasus ini seharusnya dijatuhkan kepada mantan Bupati TTS, Drs. Daniel A Banunaek karena terdakwa melakukannya atas perintah Daniel Banunaek, majelis hakim mengesampingkannya. Majelis hakim menilai terdakwa melakukan perintah dalam keadaan sadar dan tidak dipaksa.


Selain itu, terdakwa sebagai Kadishut TTS saat itu mengetahui rencana penebangan itu melanggar aturan lantaran belum ada izin dari Menteri Kehutanan. Mestinya saat itu terdakwa tidak melaksanakan perintah bupati karena hal itu melanggar aturan.
Hal-hal yang memberatkan, penebangan kayu merusak ekosistem dan menimbulkan kerugian negara. Tidak hanya itu, akibat perbuatan terdakwa membutuhkan waktu lama dan biaya cukup besar untuk memulihkan hutan yang rusak.

Hal yang meringankan, terdakwa sopan dalam persidangan dan memiliki tanggungan istri dan anak-anak yang masih sekolah.

Terhadap putusan tersebut, terdakwa Mella melalui penasehat hukumnya, Jemi Haikase, menyatakan pikir-pikir. Hal yang sama dinyatakan JPU Kejari SoE, Hendra Sudirman. Kepada Mella dan JPU Sudirman, majelis hakim memberikan waktu tujuh hari untuk menyatakan sikap menerima atau banding. (aly)

Pos Kupang edisi Jumat, 16 Oktober 2009 halaman 1

Mantan Bupati TTS Dituntut Lima Tahun

SOE, PK -- Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri SoE, Suhadi, S.H, menuntut mantan Bupati Timor Tengah Selatan (TTS), Drs. Daniel A Banunaek, lima tahun penjara dalam kasus illegal logging penebangan 211 kayu jati di kawasan hutan Fatuanas, Desa Lilo, Kecamatan Amanatun Utara pada tahun 2004.

Tuntutan terhadap Daniel Banunaek lebih berat satu tahun dibandingkan mantan Kepala Dinas Kehutanan TTS, Jhon Mella, yang dituntut empat tahun penjara dalam kasus yang sama.

Tuntutan itu dibacakan Suhadi, S.H, dalam sidang lanjutan kasus illegal logging yang dipimpin Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) SoE, Maurid Sinaga,S.H, didampingi dua anggotanya, Amin Bureni,S.H dan Theodora Usfunan, S.H, Rabu (14/10/2009).

Suhadi menuntut Banunaek dengan pasal 78 ayat (5) jo pasal 50 ayat (3) huruf e Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, jo Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 jo pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP. Tidak hanya kurungan penjara, Suhadi juga menuntut Banunaek membayar denda sebesar Rp 20 juta subsider tiga bulan kurungan.

Suhadi meminta majelis hakim menyatakan terdakwa Banunaek bersalah melakukan tindak pidana kehutanan. Tindak pidana itu, yakni sengaja menganjurkan menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang.

Hal-hal yang memberatkan terdakwa, lanjut Suhadi, terdakwa melakukan perbuatannya saat masih menjabat sebagai bupati. Sebagai bupati seharusnya membantu pemerintah pusat dalam menjaga aset negara berupa hutan negara yang ada di dalam wilayah kerjanya. Namun, terdakwa malah merusaknya.

Selain itu, kata Suhadi, perbuatan terdakwa merusak citra aparatur negara. Perbuatan terdakwa juga berpotensi merusak lingkungan dan dapat menimbulkan dampak negatif terhadap sumber daya alam.

Suhadi menyatakan, akibat perbuatan terdakwa membutuhkan waktu cukup lama dan biaya cukup besar untuk memulihkan kondisi hutan yang rusak. Dalam kasus ini, terdakwa tidak mengakui perbuatannya dan tidak merasa bersalah.

Sementara hal-hal yang meringankan, demikian Suhadi, terdakwa bersikap sopan selama persidangan, belum pernah dihukum. Selain itu, terdakwa mempunyai tanggungan keluarga dan sudah sakit-sakitan.

Terhadap tuntutan itu, Ketua Majelis Hakim PN SoE, Maurid Sinaga, memberikan waktu kepada terdakwa bersama penasehat hukumnya menyusun pembelaan. Rencananya, pembelaaan Banunaek akan dibacakan, Rabu (21/10/2009). (aly)

Pos Kupang 15 Oktober 2009 halaman 1

Lidah

WANITA muda berwajah inosen itu terkejut diminta menjulurkan lidah. Meski terkesan malu-malu, gadis itu mau juga melakukannya mengingat yang meminta adalah mentornya dalam suatu pelatihan bagi calon tenaga kerja perusahaan.

"Seberapa penting lidah bagimu?" tanya sang mentor yang membuat gadis muda itu terkejut sekali lagi. "Penting sekali Bu. Tanpa lidah saya tidak bisa bicara dengan Ibu!" jawabnya. "Anak cerdas," kata sang mentor memuji.

Ya, tuan dan puan sulit membayangkan hidup tanpa lidah bukan? Lidah sangat penting bagi manusia dan hewan. Tidak butuh konfirmasi kepada hewan seperti monyet atau biawak komodo untuk membuktikan pentingnya peran lidah.

Lidah, satu di antara panca indera, merupakan sekumpulan otot rangka pada lantai mulut yang membantu manusia dan hewan mencerna makanan. Caranya dengan mengunyah dan menelan. Khusus bagi manusia, lidah membantu tindakan bicara. Tanpa lidah, tuan dan puan tak bisa omong!

Lidah adalah indera pengecap yang memiliki banyak struktur tunas pengecap. Bangunan lidah tersusun atas otot rangka yang melekat pada tulang rahang bawah dan tulang pelipis. Ada dua jenis otot lidah, yakni otot ekstrinsik dan intrinsik. Lidah memiliki permukaan kasar karena ada tonjolan yang disebut papila.

Bagi manusia, lidah tak terpisahkan dari bibir, gigi dan langit-langit mulut. Semua organ tubuh itu saling mendukung dan menopang dalam memainkan perannya. Lidah tetap butuh bibir agar komunikasi menjadi sempurna. Demikian pula sebaliknya. Tetapi bibir dan gigi tidak masuk kategori panca indera karena asas manfaatnya "kalah" bila dibandingkan dengan lidah.

Selain bermanfaat untuk pencernaan dan pengucapan, lidah manusia memiliki banyak peran. Lidah, misalnya, disebut-sebut cukup berperan dalam hal ciuman. Maka tidak mengherankan bila lidah kerap dihubung-hubungkan dengan konotasi erotis dan sensual. Menatap seseorang sambil "memainkan" lidah di bibir bisa dianggap menggoda. Ada maunya. Yang telah cukup umur tentu paham soal itu bahkan mungkin telah merasakan sensasi lidah yang sulit dilukiskan dengan kata- kata. Apa lagi manfaat lidah? Lidah digunakan pula untuk tindakan menjilat pada manusia dan hewan mamalia. Memang aneh kalau menjilat pakai bibir atau gigi. Bisa hancur obyek yang dijilati.

***
MENURUT ilmu lidah, di antara sederetan manfaat salah satu perkakas manusia tersebut, yang paling utama adalah perannya membantu tuan dapat bercakap-cakap dengan sesama. Barangkali karena itulah, maka kaum bijak bestari selalu mengingatkan: Jagalah lidahmu!

Iya, salah kelola lidah bisa bahaya. Gara-gara lidah, pamor seseorang bisa menjulang, bisa juga jatuh terhempas. Salah bercakap dapat mengobarkan perang. Ingat peribahasa, mulutmu harimaumu atau kata-kata lebih tajam daripada pedang. Tentang peran lidah, ada kiasan yang lebih terkenal, yaitu lidah tak bertulang, bersilat lidah dan keseleo lidah!

Mengapa beta panjang lebar mengulas lidah? Harap maklum, manajemen lidah itu kok relevan dengan suasana di beranda Flobamora belakangan ini. Sebagian anggota DPRD NTT dan DPRD Kabupaten/Kota di NTT yang sempat menyatakan menolak ikut bimbingan teknik (bimtek) di Jakarta, eh ternyata diam-diam sudah ke sana mengikuti acara bertitel: penguatan kapasitas kelembagaan DPRD. Kloter pertama DPRD NTT sebanyak 13 orang berangkat ke Jakarta, 4 Oktober 2009.

Mereka mengikuti kegiatan yang digelar Departemen Dalam Negeri (Depdagri) bersama anggota DPRD Rote Ndao dan Manggarai Timur sampai 8 Oktober. Para wakil rakyat yang terhormat (Yth) itu melahap materi penting seperti pengelolaan keuangan daerah, teknik menyusun APBD serta cara membuat peraturan daerah.
 

Setelah kloter pertama akan disusul kloter kedua dan seterusnya sampai 54 anggota DPRD NTT dapat giliran. Tidak penting apakah yang sudah "tua" di Dewan (baca: sudah dua tiga periode menghuni gedung Dewan) atau wajah baru nol pengalaman.

Salah seorang pimpinan DPRD NTT melukiskan kegiatan itu tidak wajib, tetapi dari sisi urgensi perlu diikuti wakil rakyat. Mengenai besar dana guna membiayai kegiatan itu, wartawan disarankan bertanya kepada Sekwan DPRD NTT. Sekwan berkata tegas, "Kami dilarang pimpinan Dewan memberi keterangan pers." Lidah oh.. lidah. Indah nian menyimak peranmu merangkai kata demi kata.

Rasanya masih segar dalam ingatan tuan dan puan ketika sebagian anggota DPRD hasil Pemilu 2009 menyatakan menolak ikut bimtek di Jakarta. Bahkan salah satu partai besar yang barusan menggelar Munas yang "riuh" di Pekanbaru -- melarang para kadernya yang terpilih sebagai legislator ikut kegiatan itu.

Kuat saran dan usul, bimtek diselenggarakan di NTT saja. Toh bisa menghemat anggaran sekaligus memanfaatkan pakar lokal. Kita tidak kekurangan pakar dari Undana, Unwira, UKAW, UMK, Ledalero, Unimor, Unipa, STKIP, PGRI dan lainnya. Mohon maaf Bapak/Ibu profesor, doktor, magister domisili kampung besar NTT. Kecakapan tuan dan puan tak laku. Sonde selevel orang Jakarta.

Hebat ooo... event organizer di Depdagri. Panen raya! Misalnya satu daerah menganggarkan dana rata-rata Rp 300 juta untuk bimtek, hitung sendiri berapa jumlah uang yang terbang ke Jakarta berlabel penguatan kapasitas Dewan. Kenapa tidak uang sebesar itu terbang rendah lalu mendarat di beranda Flobamora saja?
Nah, apa hadiah pertama bagimu yang memilih pada pemilu 2009? Ya, hadiah lidah. Bisa lidah tak bertulang atau sekadar keseleo lidah! Silakan tuan simpulkan sendiri. Apakah di sana mereka juga "bermain" lidah. Husss! Jangan tanya soal itu kepada beta. Bahaya kawan. Jaga lidah!! (dionbata@yahoo.com)

Pos Kupang edisi Senin, 12 Oktober 2009 halaman 1

Lupa


SEMBAB menghiasai wajah Nanda. Di tengah renai hujan, dia menatap nanar ke arah alat berat yang sedang menghancurkan dinding gedung yang roboh. Di dalam reruntuhan beton itu, kemungkinan besar Fitria (14), anaknya, terperangkap.

Nanda duduk tak jauh dari reruntuhan bangunan bimbingan belajar GAMA. Gedung di Jalan Proklamasi Padang itu merupakan salah satu dari ratusan bangunan yang runtuh ketika gempa 7,6 Skala Richter (SR) melanda Padang, Sumatera Barat, Rabu (30/9/2009) lalu. Di dalam reruntuhan selain Fitria, juga terdapat puluhan murid yang terperangkap.

Tidak banyak yang bisa dilakukan orangtua seperti Nanda, selain duduk memandangi mesin pelubang beton dan puluhan petugas yang berusaha menyingkirkan puing reruntuhan demi menemukan korban. Ada harapan, meski terasa mustahil, melihat Fitria ditemukan dalam keadaan hidup. Sampai hari keempat pasca gempa, Nanda mulai pasrah. Dari 100 orang yang terperangkap di gedung GAMA, baru 50 korban tewas yang dievakuasi. Sisanya masih tertimbun reruntuhan. Nasib yang sama menimpa 200 orang di Hotel Ambacang, 30 orang di Pasar Raya dan 300 lainnya di Gunung Tigo, Padang Pariaman.


Total korban tewas akibat gempa Padang diperkirakan lebih dari 1.000 orang dan sejauh ini belum sampai 50 persen yang dievakuasi. Memilukan. Begitulah perasaan kita setiap kali bencana alam merenggut nyawa sesama. Dalam bulan September 2009 saja dua kali gempa besar melanda Indonesia. Tasikmalaya remuk pada 2 September. Dan, 30 September 2009, air mata tumpah di ranah Minang. Keesokan harinya, 1 Oktober 2009, gempa kembali mengguncang Jambi dan sekitarnya dengan kekuatan serupa.

Gempa Padang dan Jambi itu menggenapi kenyataan betapa kerak bumi Indonesia retak pecah tak karuan dalam waktu empat tahun terakhir. Sejak gempa disertai tsunami melanda Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) 26 Desember 2004, tercatat 12 kali gempa berkekuatan di atas 7 SR melanda RI. Setelah gempa NAD yang menelan korban lebih dari 130 ribu jiwa, korban kedua terbesar adalah gempa Yogyakarta 9 Agustus 2007 dengan korban 5.000 jiwa.

Sejak lama pakar gempa telah mengingatkan bahwa wilayah Indonesia berada di atas kulit bumi yang rapuh. Di sini ada empat lempeng bumi yang saling bertubrukan sehingga gempa merupakan peristiwa alam yang pasti terjadi secara periodik. Dengan pergerakan lempeng secara konstan 7 cm per tahun, maka tinggal menunggu giliran daerah mana lagi yang bakal jadi target gempa berikutnya. Soal kepastian waktu tak seorang pun tahu. Yang pasti gempa hadir tak terduga, cepat dan gesit meremukkan apa saja.

***

TEROR gempa ada di depan mata, tetapi beranda Flobamora agaknya diam-diam bahkan santai saja sejak gempa dan tsunami melanda Flores 12 Desember 1992. Kita sudah lupa. Lupa ditakdirkan hidup di tengah Cincin Api, kawasan yang dikelilingi gunung berapi dan lempeng tektonik aktif. Kita lupa hidup bersama gempa setiap detik. Lupa bahwa gempa bumi bisa datang kapan saja.

Hari Minggu kemarin gempa mengguncang Papua Barat dan Gorontalo. Jangan-jangan malam ini, besok atau lusa gempa bumi meluluhlantakkan beranda Flobamora! Tuan dan puan waspada? Beta tidak begitu yakin tentang itu.

Sudah terbukti di mana-mana, kebanyakan korban gempa tewas karena tertimpa bangunan atau tanah longsor. Tujuh belas tahun lalu ketika gempa bumi dan tsunami melanda Flores, kencang nian tekad pemerintah dan masyarakat NTT membangun rumah atau fasilitas umum dengan konstruksi tahan gempa. Model rumah dan bangunan tahan gempa disosialisasikan. Bahkan diujicoba ketahanannya terhadap gempa bumi berkekuatan dahsyat di atas 7 SR. Besar harapan pemerintah dan masyarakat NTT menjadikan model bangunan tahan gempa itu sebagai pedoman membuat kebijakan publik yang sadar gempa. Hari ini semua orang sudah lupa!

Waktu itu para pakar gempa bumi, baik dari dalam maupun luar negeri memberikan solusi serta rekomendasi antara lain, mendorong akademisi rutin melakukan riset gempa di NTT. Melalui riset bisa diperoleh gambaran utuh tentang kawasan rawan gempa. Melalui riset pemerintah dapat membuat pemetaan wilayah yang boleh dan tidak boleh jadi daerah hunian atau perkantoran. Dengan pemetaan jelas, program relokasi penduduk dapat dijalankan.

Pasca gempa bumi dan tsunami 12 Desember 1992, program mitigasi (suatu upaya meminimalkan dampak bencana) berkumandang nyaring di NTT. Penduduk mesti dilatih terus-menerus agar siaga terhadap bencana. Sadar dan siaga bencana mesti menjadi bagian dari gaya hidup orang NTT. Apa hasilnya? Lagi-lagi rekomendasi 1992 sekadar macan kertas. Seiring berlalunya waktu, beranda Flobamora kembali terserang penyakit lupa.

Coba periksa hari ini di mana ada rumah penduduk dengan konstruksi tahan gempa? Di mana bangunan sekolah, rumah ibadah atau perkantoran tahan gempa? Di kampung halaman kita berlaku formula ini: Rumah setengah tembok disambung dinding kayu atau bambu bukan rumah. Apalagi rumah berdinding bebak. Itu tanda orang papa. Rumah identik dengan beton. Rumah mesti terbuat dari adonan semen, kerikil, pasir, batu, air dan besi. Takarannya? Ah, terserah siapa yang punya rumah dan bangunan. Tahan gempa atau tidak cukup pakai rasa, bukan nalar.

Di sini banyak arsitek hebat. Konsultan konstruksi cerdas. Kita kaya pakar di Dinas Pekerjaan Umum. Pernahkah mereka berpikir tentang desain bangunan tahan gempa? Serius menjadikan konstruksi tahan gempa sebagai syarat mutlak dalam Izin Mendirikan Bangunan (IMB) di daerah rawan gempa? Lupa. Lagi-lagi kita lupa sesuatu yang bisa membunuh kita secara massal kapan saja.

Tatkala bencana melanda, kita cenderung mengutuk alam. Mestinya ramai-ramai mengutuk pembuat kebijakan publik (pemerintah dan DPRD) yang tidak sadar itu. Yang tidak pernah mau belajar dari pengalaman serta sukses bangsa lain seperti Jepang yang piawai merancang bangunan elastis. Berapapun kuatnya gempa, bangunan di Jepang siap mengikuti irama yang dimainkan gempa. Tanpa rontok dan kecil kemungkinan menimbun penghuninya.

Teringat nenek moyang dulu yang bangun rumah panggung di dusun dari bahan lokal. Rumah sederhana tapi tangguh melawan gempa. Padahal mereka tidak sekolah, tidak belajar arsitektur di universitas, tidak bergelar doktor dan profesor. Siapa lebih cerdas dibandingkan tuan dan puan sekarang? Tuan hidup di zaman GPS yang mampu melihat pergerakan kerak bumi dari menit ke menit. Nah, siapa lebih primitif? Maaf, lupaaa! (dionbata@yahoo.com)

Pos Kupang edisi Senin, 5 Oktober 2009 halaman 1
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes