Wasit


STADE de France-Paris, Rabu malam 18 November 2009. Menit ke-104. Dua bintang bola memainkan perannya yang akan lama dikenang. Keduanya adalah Martin Hansson dan Thierry Henry. Di menit ke-104 yang tegang, Henry berada di kotak penalti, persis di sisi kanan gawang Shay Given. Hansson yang telah keletihan tercecer jauh di luar kotak 16 meter. Di dalam area terlarang, Henry menerima bola hasil tendangan bebas, bukan dengan kaki tetapi tangannya. Ha?

Tangan kiri Henry menyentuh bola dua kali. Sekali untuk menghentikan bola dan sekali untuk menyesuaikan arah bola sebelum mengumpankannya kepada William Gallas yang menanduk bola guna menyamakan kedudukan 1-1 pada masa perpanjangan waktu. Tanpa bertanya dulu kepada hakim garis, ofisial keempat dan Henry, Hanson meniup peluit mensahkan gol Gallas. Perancis yang ngos-ngosan menang agregat 2-1 dan terbang ke Afrika Selatan 2010.

Paris berpesta pora. Dublin bagaikan kota mati. Mestinya Rabu malam itu anak-anak Irlandia berhak pesta atas permainan mereka yang luar biasa di jantung ibukota Perancis. Hanson dan Henry merusaknya lewat sadisme bola yang kejam. Pemain dan fans Irlandia batal pesta bir sambil bernyanyi, "Drink, boys, drink all the night you like" (minum, minumlah sesukamu sepanjang malam).


Mimpi Irlandia buyar sekejap karena handball Henry dan ketidakjelian wasit Hansson memutuskan. Dalam tayangan ulang televisi terlihat bening Henry menyentuh bola dengan tangan. Dan, Henry jujur. "Saya jujur, itu handball. Namun, saya bukan wasit," kata Henry. Irlandia protes keras. Usulkan pertandingan ulang. "Betul, itu memang handball. Cara paling adil adalah pertandingan ulang," tambah Henry. Tapi badan sepakbola dunia (FIFA) merespons cepat dan tegas. Tidak ada laga ulang. Perancis lolos ke Piala Dunia 2010. Titik!

Setelah tragedi "Hand of God" Diego Maradona yang menghancurkan Inggris di Piala Dunia 1986, inilah tragedi kedua yang akan selalu dikenang dalam sejarah sepakbola. "Handball Henry" adalah cara terkejam untuk menghancurkan mimpi Irlandia tampil di Piala Dunia pertama di benua Afrika. Percayalah, seribu tahun lagi pun debat tentang gol Maradona dan Henry tak kan usai.

FIFA menjunjung tinggi prinsip fair play termasuk keputusan wasit yang mutlak meski sebagai manusia biasa wasit bisa salah. Dalam sepakbola berlaku adagium ini: Jika wasit sudah memutuskan, semuanya berakhir!

Dalam satu dasawarsa terakhir FIFA tak henti-hentinya didesak untuk mau menggunakan alat bantu teknologi. Misalnya tayangan ulang televisi untuk memastikan seorang pemain handball, melakukan pelanggaran atau memastikan si kulit bundar sudah melewati garis gawang. FIFA tidak menggubris karena ingin mempertahankan kemurnian permainan bola yang tak luput dari sisi lemah manusia. Sampai sekarang yang baru disetujui FIFA adalah alat komunikasi antarwasit saat memandu pertandingan.

Bola memelihara unsur manusiawinya. Itulah yang menjadikan sepakbola penuh pesona dan gairah. Bola bagaikan drama kehidupan yang selalu berwajah tangis dan tawa. Tangis Irlandia, tawa buat Perancis. Ibarat drama, dalam sepakbola mengenal prinsip to err is human. Kesalahan itu manusiawi. Mau apa lagi?

Hati nurani tuan dan puan pastilah terkoyak menyaksikan gol "Tangan Tuhan" Maradona 1986 dan "Hand of Frog" Henry 2009. Namun, sebagian dari tuan dan puan terhibur oleh aksi Maradona-Henry dan terutama kejujurannya mengakui penggunaan tangan. Mereka tahu itu salah, tetapi mengakuinya.

Kejujuran merupakan sisi manusiawi yang terpuji. Mendengarkan suara hati. Itulah keutamaan olahraga, termasuk sepakbola. Maka keputusan mutlak wasit sepakbola mengandung kelemahan manakala wasit tega membohongi hati nuraninya sendiri.

Di beranda Flobamora baru saja usai kejuaraan sepakbola bergengsi berlabel Piala Gubernur. Pemain bermain penuh semangat, penonton membanjiri stadion dan panitia bekerja keras. Segala sesuatu berjalan baik sampai grandfinal. Justru di partai puncak itu sadisme bola mengoyak nurani banyak orang yang memuja fair play. Pemicunya ketidakpuasan terhadap keputusan wasit. Laga berjalan cuma setengah jalan. Terhenti menit ke-36. Pemain satu kesebelasan enggan melanjutkan laga karena kecewa. Wasit memvonis salah satu tim berhak juara. Keputusan wasit mutlak. Itulah sepakbola. Biar jauh di kampung Flobamora, aturan FIFA tetap tegak berdiri. Jika wasit sudah memutuskan, semuanya berakhir!

Apakah wasit dan para ofisial di partai puncak Piala Gubernur NTT telah bertindak adil? Telah bekerja sesuai hati nurani? Tuan dan puan yang menonton laga itu berhak menilai sesuai perspektif masing-masing. Puas, tidak puas. Kecewa, gembira. Boleh jadi pengamatan beta keliru bila melihat banyak orang sore itu kecewa. Mereka tidak menemukan keadilan sepakbola.

Demikianlah bahaya keputusan mutlak. Orang dapat menyalahgunakan kewenangan untuk kepentingan materi sesaat. Dalam sejarah sepakbola skandal perwasitan bukan hal baru. Mafia perwasitan terjadi sejak lama dan berlangsung di mana-mana. Kompetisi elite Jerman (Bundesliga) pernah diguncang skandal perwasitan yang berakhir dengan penjara bagi para pelakunya.

Skandal terbaru melanda sepakbola Italia menjelang putaran final Piala Dunia 2006 di Jerman. Italia yang menjadi model sekaligus barometer kompetisi sepakbola sedunia ternyata tak luput dari prahara itu. Sejumlah wasit yang memimpin kompetisi Liga Serie A Italia terbukti mengatur skor pertandingan. Berbekal kewenangan mutlak, mereka mengatur tim A menang, tim B yang dikalahkan. Dalam waktu cukup lama Juventus merupakan salah satu klub raksasa Italia yang diuntungkan oleh pengaturan skor itu. Ketika skandal terkuak, Juventus dihukum. Super Juve turun ke Serie B dan berjuang susah payah untuk kembali ke Serie A.

Bagaimana Indonesia? Ah, ini negara bebas merdeka dari skandal perwasitan. Skandal perwasitan di negeri juara korupsi ini sekadar rumor, cuma sas sus dari mulut ke mulut karena belum pernah ada upaya konkret untuk mengungkap dengan serius disertai proses hukum. Jadi kalau mau menjadi wasit sepakbola, jadilah wasit di Indonesia. Tuan mendapat hak istimewa. Kebal hukum!

Berulang kali beta mendengar sendiri dari mulut pengurus teras PSSI di sini tentang busuknya mafia perwasitan nasional. Ketika tim NTT berlaga di luar daerah, tim didekati untuk membicarakan hasil pertandingan. Skor dapat diatur tergantung berapa bayarannya. Yang menang adalah yang mampu membayar. Tim juara tergantung kekuatan uang!

Indikator mutu wasit simpel saja. Berapa wasit Indonesia yang dipercaya memimpin laga internasional? Hampir tidak ada sekarang, bung! Wasit asal NTT, apakah pernah dipercaya memimpin laga resmi sekadar tingkat regional?

Tim kebanggaan kita toh kalah melulu! Kita sudah terbiasa melihat wasit melawan fair play. Sudah biasa melihat pemain mogok atau bakupukul. Kita merasakan kejamnya skandal, tetapi belum mau memberantas skandal itu. Teringat kegundahan salah seorang Bapak Bangsa Indonesia, Drs. Mohammad Hatta. Ikhwal korupsi, Hatta melukiskan seperti bau kentut. Tidak jelas sumbernya, tetapi aroma busuknya tercium dan terbang ke mana-mana. Sepakbola berwajah korup, termasuk di beranda Flobamora, apakah muskil? Siapa berani menampik? (dionbata@yahooo.com)

Pos Kupang edisi Senin, 30 November 2009 halaman 1

Air Kurang, Mandi dan Belajar Tidak Diutamakan

WEEPANGALI adalah sebuah desa yang terletak di Kecamatan Loura, Kabupaten Sumba Barat Daya (SBD). Bahasa masyarakat setempat, Wee berarti air dan Pangali adalah batu yang mengelilingi. Sehingga Weepangali, kurang lebih diartikan sebagai air yang dikelilingi batu.

Satu-satunya sumber air di Desa ini adalah mata air Weepangali, yang berjarak sekitar 500 meter dari permukiman warga di desa itu. Setiap warga desa yang hendak mendapatkan air di tempat itu, harus bersabar untuk menunggu berjam-jam, sampai air yang tertampung bisa digayung.

"Debit air yang keluar sangat lambat, sehingga kadang kita harus rela bersabar dari pagi hingga siang hari. Tidak jarang kita menunggu sampai jam delapan malam," kata Ketua Badan Perwakilan Desa (BPD), Eduardus Bili Daga, yang ditemui Pos Kupang di desa itu, Jumat (20/11/2009).

Eduardus menuturkan, untuk mendapatkan air satu gayung ukuran satu liter, setiap warga harus bersabar sampai sekitar setengah jam. Selain untuk konsumsi warga, air tersebut juga digunakan pemilik hewan untuk minum ternaknya seperti kuda dan kerbau.

Hal senada disampaikan oleh Sabinus Ngongo Routa, seorang warga lainnya. "Beberapa warga sudah memiliki bak penampung air sehingga kalau ada uang bisa membeli air dengan harga seratus ribu per tangki. Ini sangat membantu karena bisa mengurangi jumlah antrian di mata air," kata Sabinus. Namun, menurut Sabinus, sebagian besar warga di desa itu belum mampu membangun bak air sehingga hanya menampung air di drum. Harga per drum Rp 5.000.

Warga yang tidak memiliki bak atau drum bisa membeli air di tetangga yang sudah memiliki tampungan air, dengan harga Rp 20.000 tiga jerigen (satu jerigen ukuran 20 liter). "Kita tidak mungkin mandi setiap hari karena diutamakan untuk minum dan masak makanan, mandi seperlunya saja," kata Sabinus.

Warga yang kekurangan uang satu-satunya solusi adalah menungu dan tetap menunggu hingga air yang keluar dari matanya tersebut, bisa dipindahkan dan memenuhi jerigen atau ember yang disiapkan.

Lain halnya dengan Yovita Ghoghi. Siswi kelas 6 SDK Weepangali itu, harus mengorbankan jam belajar karena setelah keluar dari sekolah, dia wajib menunggu air di tempat tersebut sampai debit air yang keluar bisa memenuhi jerigen yang dibawanya.

"Setelah pulang sekolah, saya makan siang dan langsung datang menunggu air di sini (Mata air-Red). Setiap hari selalu begitu," kata gadis cilik yang ditemui di lokasi mata air tersebut.

Gadis itu mengaku tidak bisa mengikuti gadis di tempat lain yang seusianya, mereka mungkin bisa membuka kembali buku pelajaran yang didapatnya setelah pulang sekolah. Sedangkan dia, terpaksa harus mengutamakan kebutuhan air minum di rumahnya. Pekerjaan menunggu itu juga membuat gadis yang telah kehilangan ibu kandungnya itu capai, dan tidak bisa menggunakan waktu di malam hari untuk belajar.

Dia harus cepat tidur, karena besok harus melakukan aktivitas yang sama, yakni sekolah dan menunggu kedatangan air di mata air. Di rumahnya, dia hanya ditemani seorang kakak laki-laki dan ayah kandungnya. Dia mengambil alih pekerjaan Ibunya yang telah meninggal dunia, beberapa tahun silam.

Pantauan Pos Kupang di mata air itu sekitar pukul 15.00 Wita, sejumlah anak SD, SMP dan SMA, masing-masing membawa jerigen dan ember untuk ambil air. Mereka berlindung di bawa naungan pohon bambu di sekitar mata air tersebut, sambil
menunggu banyaknya air yang tertampung di mata air itu.

Beberapa di antaranya tidak mempedulikan panasnya mentari siang itu. Mereka memilih tetap bertahan di tepi mata air yang lebih menyerupai sumur itu. Mata air di Weepangali itu, berada di kedalaman sekitar enam meter dari permukaan tanah, terlihat seperti bekas galian, dengan diameter sekitar dua meter.

Warna airnya agak keruh. Sekelilingnya dipenuhi bebatuan yang tersusun rapi menggunakan campuran semen. Menurut warga sekitar, awalnya batu tersebut disusun oleh nenek moyang mereka, namun sekitar lima tahun lalu ada sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM), yang berinisiatif menata lokasi mata air tersebut dengan menyusun kembali batu-batu yang ada menggunakan campuran semen.

Eduardus mengaku, sudah beberapa kali menyampaikan kondisi tersebut kepada Pemerintah Kabupaten SBD, namun sampai saat ini tidak ada respon. (Servatinus Mammilianus)

Pos Kupang edisi Sabtu, 28 November 2009 halaman 1

Buta Aksara di NTT 420 Ribu Orang

Kupang, POS KUPANG.Com - Angka buta aksara di Nusa Tenggara Timur (NTT) hingga 2009 mencapai 420 ribu dari 4,6 juta jiwa penduduk NTT saat ini. "Meningkatnya jumlah buta aksara di NTT disoroti Komisi D DPRD NTT, karena pelaksanaan program pendidikan luar sekolah itu belum maksimal," kata Ketua Komisi D DPRD NTT Hendrik Rawambaku di Kupang, Sabtu (28/11/2009).

Menurut Rawambaku, dalam rapat komisi bersama mitra eksekutif, Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga (PPO) mendapat perhatian serius DPRD NTT, karena sub-sektor ini ikut memberi andil terhadap suksesnya program pendidikan terkait dengan bebas buta aksara yang telah dicanangkan bersama.

"Komisi D belum mengetahui persis duduk persoalannya ada di mana, sehingga jumlah buta aksara di NTT masih tinggi, sementara anggarannya cukup tersedia terutama dari pemerintah pusat untuk pemberantasan buta aksara," katanya.

Rawambaku mengatakan, apakah karena program yang dicanangkan tidak sesuai dengan yang diinginkan peserta pendidikan dan pelatihan ataukah ada sebab lain, katanya. Misalnya, program yang dilaksanakan lebih mengutamakan praktek ketimbang teori, sehingga selesai program praktek itu, jumlah peserta buta aksara bukan berkurang, tetapi justru tetap seperti semula.

Sekretaris Dinas PPO NTT, Klemens Meba ketika dihubungi secara terpisah mengatakan, jumlah buta aksara yang masih tergolong tinggi di NTT antara lain disebabkan berubahnya kriteria usia buta aksara. "Sebelumnya hanya usia 15-44 tahun. Namun, saat ini tidak ada batasan usia lagi sehingga jumlahnya meningkat," katanya.

Artinya meningkatnya jumlah buta aksara di NTT salah satu faktor penyebabnya kebijakan yang membolehkan semua golongan usia penduduk yang ada menjadi peserta buta aksara, sehingga jumlahnya membengkak menembus angka 420 ribu. "Tidak mudah menurunkan atau menuntaskan angka buta aksara menjadi lima persen atau tuntas pada tahun 2009," katanya.

Karena itu, lanjutnya, sasaran penuntasan buta aksara tidak lagi hanya terbatas pada usia 15-44 tahun tetapi termasuk mereka diatas 44 tahun. "Kami sangat menyadari bahwa menurunkan angka buta aksara menjadi lima persen atau tuntas pada 2009 sesuai amanat Inpres Nomor: 5 Tahun 2006 bukan perkara mudah," katanya.

Menurut dia, jika pada tahun-tahun mendatang, kondisi anggaran sudah memadai baik bersumber dari APBN, APBD provinsi dan kabupaten/kota, dan ditunjang dengan partisipasi semua pihak seperti lembaga keagamaan, maka tahun 2010 sisa buta aksara tidak hanya lima persen tetapi langsung tuntas. (ant)

Sumber: Pos Kupang

DAK Kehutanan Rp 1,3 Miliar Melayang

KUPANG, PK--Gara-gara pengelolaan dana alokasi khusus (DAK) kehutanan tahun anggaran 2008 sebesar Rp 2 miliar lebih menyimpang dari petunjuk teknis (juknis), Dinas Pertanian dan Kehutanan (Distanhut) Kabupaten Kupang dipenalti tidak mendapat DAK kehutanan tahun anggaran 2010. Akibatnya, dana sekitar Rp 1,3 miliar melayang.

Pada tahun anggaran 2010, Dinas Kehutanan dan Pertanian Kabupaten Kupang hanya mendapat DAK pertanian sebesar Rp 4,2 miliar atau meningkat dari tahun anggaran sebelumnya sebesar Rp 1 miliar.

Hal ini diungkapkan Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan (Kadistanhut) Kabupaten Kupang, Ir. Marthen LA Sakkung, M.Si, dalam jumpa pers di Rumah Jabatan Bupati Kupang, Minggu (22/11/2009) malam.

Meski dipenalti atau mendapat sanksi, Marthen mengaku tetap memperjuangkannya untuk mendapat DAK kehutanan tahun anggaran 2010. Upaya itu, antara lain, dilakukan dengan cara meminta Pemkab Kupang (bupati) untuk membuat surat kepada Departemen Pertanian dan Kehutanan Pusat.

Marthen menjelaskan, kasus penyimpangan pengelolaan DAK kehutanan tahun anggaran 2008 dimaksud sedang diproses secara hukum.

Pada kesempatan yang sama, Bupati Kupang, Ayub Titu Eki, menggarisbawahi alasan pemberian sanksi tersebut tidak terkait molornya penetapan perubahan anggaran 2009 di lingkup pemerintah setempat, namun semata-mata karena pengelolaan DAK kehutanan tahun 2008 menyimpang dari juknis. "Saya memandang perlu menggarisbawahi hal ini agar tidak diinterprestasi atau dipelintir yang berbuntut memojokkan pemerintah," tandas Titu Eki.

Sementara Kepala Bappeda Kupang, Charles Banamtuan, M.Si, mengagendakan minggu depan, pemerintah setempat menggelar musrenbang menyusul pihak Undana Kupang telah merampungkan penyusunan RPJP Kabupaten Kupang. "RPJP ini seharusnya dibuat pada tahun 2005 lalu," tandasnya.

Charles juga menjelaskan semua dokumen untuk kepentingan penyusunan, penghitungan, dan perubahan anggaran 2009 telah disiapkan untuk dibahas di DPRD, minus RPJP. "RKPD juga sudah siap. KUA telah diserahkan ke DPRD untuk dibahas," tambahnya.

Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kabupaten Kupang, Joao MME Mariano, menjelaskan, penyelesaian sarana infrastruktur PU tahun anggaran 2009 di daerah itu mencapai 50 persen. Pihaknya sangat mengharapkan sidang perubahan anggaran dilakukan sebelum 31 Desember 2009 untuk mengakomodir aspirasi masyarakat. (eni)

Pos Kupang 24 November 2009 halaman 12

Inventaris di Rujab Bupati Kupang Raib

KUPANG, PK--Inspektorat Kabupaten Kupang hanya menemukan dua kursi sofa ketika memeriksa kondisi barang-barang inventaris di rumah jabatan (Rujab) Bupati Kupang setelah ditempati Bupati Ayub Titu Eki. Barang-barang lainnya seperti televisi, kulkas, AC, kain gorden dan sebagainya 'raib' entah ke mana.

Kondisi ini memaksa inspektorat melakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk mengetahui keberadaan barang-barang inventaris dimaksud. Pemeriksaan itu, antara lain, dengan mengonfirmasi kepada kepala bagian (lama) atau rumah tangga yang berurusan dengan inventaris.

"Kita masih melakukan pemeriksaan. Hasilnya akan disampaikan kepada bupati untuk ditindaklanjuti," ujar Kepala Inspektur pada Inspektorat Kabupaten Kupang, Goni Nggadas, pada jumpa pers di Rumah Jabatan Bupati Kupang, Minggu (22/11/2009) malam.

Perihal kondisi barang-barang inventaris pada saat inspektorat melakukan pemeriksaan, Goni mengakui kosong, hanya ada dua kursi sofa. "Barang inventaris lainnya tak ada, termasuk televisi, kulkas. Kain jendela sekalipun tak ada," ujar Goni.

Langkah inspektorat memeriksa barang-barang inventaris di rujab Bupati Kupang, diakui Goni, juga untuk membuktikan kebenaran tudingan sejumlah oknum--pernah diberitakan sebuah media cetak di Kupang--, bahwa Bupati Kupang, Ayub Titu Eki, 'makan' uang sebesar Rp 400 juta terkait pengadaan barang-barang baru inventaris rujab.

Bawa TV dari Rumah
Pada kesempatan yang sama, Bupati Kupang, Ayub Titu Eki, membenarkan dirinya dituding 'makan' uang Rp 400 juta dimaksud hingga memicu aparat Polresta Kupang memeriksa barang-barang inventaris di rujab Bupati Kupang. "Barang- barang apa yang ditinggalkan pada saat saya masuk di sini (Rujab, Red). Tak ada. Televisi (TV) saya bawa dari rumah pribadi. Begitu juga kulkas. Kain gorden yang ada juga kami pesan sendiri. Belum dibayar, pemiliknya sudah tagih-tagih," tegas Titu Eki.

Bupati Titu Eki mengakui aparat Polresta Kupang sudah memeriksa di rujab yang ditinggalnya untuk mengetahui fisik barang yang diduga oleh oknum tak bertanggung jawab dari hasil 'pembelanjaan' Rp 400 juta dimaksud. "Tak ada apa- apa. Polisi lihat semua sampai di dapur, kolong tempat tidur kami. Mana? Kalau berdasarkan DPA, seharusnya ada dua televisi di rujab ini, begitu juga kulkas. Tapi fisiknya tidak ada. Saya justru bawa televisi dan kulkas dari rumah. Sekarang polisi diam saja karena tak temukan apa-apa," ungkapnya.

Sebagaimana disaksikan Pos Kupang, pada setiap fisik AC yang dipasang di rujab Bupati Kupang masih terpampang tulisan, "Utang Pemda 2009."

Tak menempuh jalur hukum atas pemberitaan media miring tanpa konfirmasi? "Buang-buang energi saja. Biar masyarakat menilai media mana yang profesional. Meski diberitakan negatif, saya tak peduli, karena saya merasa tidak bersalah. Berita media tanpa konfirmasi itu memprovokasi masyarakat." tandasnya. (eni)

Pos Kupang 24 November 2009 halaman 13

Kampanye Kemesraan dari Kota Kupang

KEMESRAAN tercipta di ruang kerja Ketua DPRD Kota Kupang, Victor Lerik, S.E hari Selasa 17 November 2009. Banyak orang di dalam ruangan tersebut menyaksikan kemesraan antara dua tokoh terkemuka di kota ini, Walikota Kupang, Drs. Daniel Adoe dan pendahulunya mantan Walikota, Semuel Kristian Lerik. Keduanya bertemu seusai mengikuti upacara pelantikan pimpinan definitif DPRD Kota Kupang periode 2009-2014.

Seperti diwartakan harian ini, kemesraan itu merasuk orang lain yang melihatnya ketika keluarga besar Lerik dan Adoe saling menyapa, bercanda dan berbagi cerita. Usai pelantikan pimpinan Dewan, Daniel Adoe menemui pendahulunya SK Lerik dengan mendaratkan ciuman di pipi kiri dan kanan. Adoe pun tak sungkan mengambil nampan berisi kue kemudian melayani seniornya.

Keakraban antara kedua tokoh yang pernah bersama memimpin Kota Kupang sebagai walikota dan wakil walikota tersebut sungguh menyejukkan hati. Satu contoh keteladanan yang patut diapresiasi dan mesti ditiru siapa pun. Bahwa pernah terjadi perbedaan atau semacam gesekan di masa lalu hal itu biasa. Lumrah dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Toh yang utama dan terpenting ialah gesekan yang pernah ada tidak boleh dipelihara selama-lamanya. Ada saat berbeda sikap, ada waktu untuk menganyam kembali rasa kebersamaan, tali persaudaraan dan kasih sebagaimana motto ibu kota Propinsi Nusa Tenggara Timur ini.

Di tengah maraknya perseteruan kalangan elite di berbagai tempat di wilayah ini, SK Lerik dan Daniel Adoe seolah sedang mengingatkan semua pihak bahwa "kampanye kemesraan" tidak boleh berhenti. Dan, para pemimpin masyarakat wajib mengambil peran sebagai juru kampanye (jurkam) kemesraan. Pemimpin masyarakat mutlak berperan sebagai jurkam pembawa damai, bukan jurkam perseteruan tiada akhir. Pemimpinnya damai, yang dipimpin pun senang.

Orang bijak berulangkali mengingatkan kita bahwa keutamaan pemimpin justru terletak pada kerendahan hatinya. Pada ketulusan mengakui kesalahan dan selalu berusaha memperbaiki kesalahan itu. Keutamaan pemimpin juga pemaaf. Dia selalu membuka pintu maaf selebar-lebarnya bagi siapa saja. Sebab manusia tidak sempurna. Setiap insan pasti pernah melakukan kesalahan atau kekhilafan.

Orang agaknya gundah melihat perseteruan yang masih terjadi di berbagai daerah. Misalnya di Kabupaten Kupang. Gesekan-gesekan yang terjadi di sana belum menunjukkan tanda-tanda segera mereda. Kita tiada henti mengajak para pemimpin masyarakat di sana agar meluangkan waktu bertemu, menyapa, membuka diri untuk saling memaafkan manakala terjadi kesalahpahaman atau keliru tindak. Perseteruan berlarut-larut kontra produktif. Menghabiskan banyak energi sehingga fokus melayani masyarakat akan terbaikan.

Tahun depan ada delapan kabupaten di Propinsi Nusa Tenggara Timur yang bakal menyelenggarakan pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung. Setiap event politik semacam itu pasti melahirkan gesekan. Masyarakat dan elite akan terkotak-kotak dalam kubu pro dan kontra. Bila tidak dikelola secara bijaksana ekses pilkada bahkan berpeluang menimbulkan konflik horisontal.

Dalam pesta demokrasi memilih pemimpin daerah, kemesraan sebagai sesama saudara hendaknya tetap dijunjung tinggi. Perbedaan pandangan, pilihan sikap politik atau perbedaan kepentingan bukan alasan untuk berperang secara terbuka dan saling melukai. Ciptakan pilkada yang damai di NTT! Demikianlah yang tiada henti kita ingatkan. Sekali lagi aura kedamaian itu hendaknya berpancar mulai dari dalam diri para pemimpin.*

Pos Kupang 18 November 2009 halaman 4

Prosedur


"KALIAN wartawan tahu apa tentang prosedur kerja birokasi? Birokrasi punya ketentuan dan prosedur baku yang harus ditaati tetapi tidak gampang. Jadi, jangan salahkan pemerintah terus kalau realisasi proyek di NTT rendah. Kami kerja keras sesuai prosedur. Tidak boleh keluar dari itu!"

Pesan singkat yang cukup menohok itu masuk ke ponselku akhir pekan lalu. Beta tersenyum setelah melihat pengirimnya. Ah, ternyata pesan dari seorang teman karib yang tergolong pejabat teras dalam lingkungan pemerintaan daerah. Dia termasuk eselon kelas kakap yang bersentuhan langsung dengan berbagai keputusan penting tentang kebijakan publik.

Mengingat pertemanan kami yang telah lama, dia biasanya berkata jujur. Kalau tidak suka dia kemukakan secara lugas. Dan, kali ini dia merasa agak tersinggung atas sorotan media massa tentang realisasi proyek yang rendah di beranda Flobamora. Tersinggung karena dia menilai media seolah menimpakan kesalahan itu semata kepada pemerintah. Beta membalas pesannya dengan kalimat singkat, padat dan jelas. "Bagus kalau bung tersinggung. Hati dan nalarmu masih normal sebagai pamongpraja!" Sontak ponselku berdering. Tak ada kata-kata. Di ujung sana dia sedang ngakak sendiri. Kena dia. Hahaha...


Begitulah tuan dan puan. Hari-hari belakangan ini mungkin ada seseorang atau sekelompok orang yang terganggu. Bahkan tersinggung dengan warta rendahnya realisasi fisik proyek di berbagai kabupaten/kota di NTT. Baiklah bila tersinggung demi perbaikan kinerja di masa depan. Kalau tersinggung dengan anggapan bahwa media menyentuh sisi salah atau benar, jelas keliru. Toh media massa bukan hakim yang memvonis. Anak kecil pun tahu media massa sesuai peranan dan fungsinya di bawah payung Undang-Undang Pers sekadar mengungkap fakta, menunjuk data. Fakta tak terbantah betapa di beranda Flobamora tercinta penyakit klasik tahunan itu masih saja menyembul dengan riang.

Dan, data membuktikan realisasi proyek tahun 2009 di banyak kabupaten/kota masih di bawah 50 persen. Angka tertinggi sekitar 70 persen. Salah satu SKPD di Sumba bahkan realisasinya baru mencapai 5,18 persen. Bayangkan tuan dan puan. Dengan waktu tinggal sebulan menuju ujung 2009, realisasi 100 persen merupakan harapan sulit terwujud bukan? Harapan rakyat yang sia-sia.

Ironis memang. Saban tahun semua daerah berlomba-lomba berusaha mendapatkan alokasi DAU dan DAK yang besar jumlahnya. Perolehan DAU/DAK yang besar selalu dibangga-banggakan sebagai prestasi. Setiap daerah pun tak kenal letih memeras keringat rakyat lewat aneka pungutan dan retribusi agar PAD kian membengkak dan postur APBD subur dan tambun.

Eh, ketika uang itu terkumpul dan hendak dikembalikan kepada rakyat melalui proyek pembangunan, pelaksanaannya setengah hati, cara kerja mati angin, realisasi angin-anginan. Dan, pengguna anggaran tak merasa bersalah. Yang salah cuma kambing hitam seperti prosedur birokrasi tadi. Dewan yang terhormat pun tetap merasa terhormat meski pengawasan tidak jalan. Sebagian bahkan malas tahu. Cuek bebek. Tidak naik darah (baca: marah) meski berulang dikibuli. Silpa makin besar diklaim sebagai sukses efisiensi dana. Luar biasa Flobamora. Punya uang, tapi tak cakap mengelola. Disapa begitu sontak tersinggung dan berang.

Bicara prosedur, kerja apa di bumi ini tanpa prosedur? Sekadar pasang tali sepatu atau tali lain, membuka celana dalam atau celana luar pun ada prosedurnya. Jadi, mengapa kambinghitamkan prosedur? Jika prosedur menghambat, kenapa tidak ditebas? Sesederhana itu kok urusannya. Idealnya yang enteng jangan dipersulit. Teringat kenangan mantan Wakil Presiden HM Jusuf Kalla. Menurut Jusuf Kalla, birokrasi kita mengutamakan prosedur bukan hasil akhir.

Belum lama ini beta urus legalisir dokumen penting dan mendesak. Dokumen itu perlu tanda tangan basah kepala kantor yang punya otoritas.Apa yang terjadi? Beta menunggu seminggu lebih gara-gara pejabat tukang paraf (sebelum dokumen ditandatangani kepala) sedang tugas ke luar kota. Kepala Kantor ada, tetapi dia tak mau tanda tangan karena belum diparaf. Prosedurnya begitu. Mau apa lagi?
Masuk akal bila salah satu penyebab lambannya pelaksanaan proyek karena para kontraktor cukup dipusingkan oleh prosedur yang berbelit-belit semacam itu. Belum lagi intervensi yang kuat kuasa, tarik-menarik kepentingan elite serta upaya sadar menahan lama agar menjelang deadline proyek itu di-PL-kan saja. Spirit pelayanan baru sebatas pemanis bibir, tidak dalam praktik nyata.

Siapa lagi penyulam benang kusut yang lain? Bukan orang lain. Mereka adalah para kekasih kita wakil rakyat terhormat yang tuan dan puan pilih. Entah mengapa kalau bahas anggaran, mereka rapat lamaaaaa sekali! Beda kalau rapat agenda lain. Jarang terjadi pembahasan APBD tepat waktu yaitu bulan Desember sudah ketuk palu. Selalu saja molor bahkan sampai bulan ketiga tahun anggaran berjalan.

Nah, kita titip kepada DPRD yang baru bekerja sekarang dengan semangat empat lima. Kalau bisa, bapa ibu dorang disiplinkan diri. Kalau rapat, ya rajin-rajinlah datang ke ruang sidang bawa memang dengan konsep jelas biar rapat efisien- efektif. Tidak perlu bertele-tele sekadar perang kata-kata, perang interupsi dan lain- lain yang tidak penting. Kalau Dewan telat mengetuk palu, eksekutif selaku eskekutor proyek pun terlambat bekerja. Hasil akhirnya mudah ditebak.

Namun, tidak semua realisasi penyerapan anggaran di beranda Flobamora berlabel buruk rupa. Ada kisah sukses tahunan yaitu anggaran selalu seratus persen penyerapannya, misalnya pos belanja rutin, belanja administrasi umum, perjalanan dinas dan lain-lain. Sekalipun waktu sangat mepet, penyerapannya bisa digenjot menuju 100 persen dalam tempo sesingkat-singkatnya. Jarang nian silpa bersumber dari pos perjalanan dinas. Apakah dengan begitu pemerintah boleh disebut ingat diri? Husss! Hati-hati bicara. Ada yang bisa tersinggung! (dionbata@yahoo.com)

Rubrik Beranda Kita edisi Senin, 23 November 2009 halaman 1

5,9 Juta Ha Laut di NTT Dikonservasi

Kupang, POS KUPANG.Com - Kawasan laut seluas 5,9 juta hektare yang berada di 11 kabupaten/kota di Nusa Tenggara Timur (NTT) dikonservasi.

"Luas laut yang dikonservasi 5,9 juta hektare yang tersebar di 11 kabupaten/kota tergabung dalam cadangan konservasi Laut Sawu," kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Propinsi NTT, Ansgerius Takalapeta di Kupang, Kamis (19/11/2009).

Sebanyak 11 kabupaten yang memiliki wilayah perairan untuk cadangan konservasi tersebut adalah Manggarai Barat, Manggarai, Sumba Barat, Sumba Barat Daya, Sumba Tengah, Sumba Timur, Kota Kupang, Kabupaten Kupang, Rote Ndao, Sabu Raijua dan Timor Tengah Selatan (TTS).

Tujuan dilakukan konservasi, katanya, untuk melindungi ribuan tumbuhan air, ikan, karang, dan mamalia di kawasan itu terhadap ancaman bom dan sianida yang digunakan nelayan lokal dan asing. Konservasi Laut Sawu, katanya, dibagi dalam dua zona, yakni zona perairan Laut Sawu seluas 3,5 juta hektare, terdiri atas perairan Sumba dan sekitarnya seluas 567.165,64 hektare.

Kedua, zona Timor, Rote, Sabu (Tirosa) dan Pulau Batek yang meliputi, perairan Sabu, Rote, Timor dan Batek seluas 2.953.964,37 hektare. Selain itu, Kabupaten Alor pada Maret 2009 telah menetapkan kawasan konservasi daerah Alor seluas 400.000 hektare. "Jadi total laut yang akan dikonservasi di NTT seluas 5,9 juta hektare," katanya.

Pencadangan kawasan konservasi Laut Sawu tersebut, jelasnya, berdasarkan surat keputusan (SK) Menteri Kelautan dan Perikanan No.Kep.38/MEN/2009 yang dideklarasikan pada 13 Mei 2009. Laut Sawu ditetapkan sebagai kawasan konservasi, karena berada di segi tiga emas tarumbu karang dunia, bersama enam negara lainnya, dan alas segi tiga terumbu karang tersebut berada di Laut Sawu.

"Kawasan konservasi tersebut akan ditingkatkan menjadi taman nasional atau "Sawu sea projeck pada waktu yang akan datang," katanya. Dengan dilakukan konservasi ini, katanya, diharapkan juga agar pemanasan global yang menyebabkan arus dingin tidak merusak terumbu karang yang berada di dasar laut. "Laut Sawu sering terjadi arus dingin. Kami berharap dengan konservasi ini, maka tarumbu karang yang ada masih dapat bertahan," katanya.

Walaupun 5,9 juta hektare laut di NT dikonservasi, namun aktivitas ekonomi masyarakat dan pariwisata di perairan tersebut tetap berjalan. Pemerintah pusat pada 2009-2010 telah mencangkan konservasi laut seluas 10 juta hektar. Dan, NTT telah menyumbang seluas 5,9 juta hektare konservasi laut nasional. (ant)

Sumber: Pos Kupang

DPRD Ende Kecolongan

ENDE, PK---Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Ende periode 2004-2009 kecolongan oleh tindakan Pemerintah Kabupaten Ende memberikan pinjaman uang kepada Sam Matutina. Secara lembaga, DPRD tidak pernah diberitahu oleh pemerintah ihwal pemberian pinjaman itu. DPRD baru mengetahui adanya pinjaman setelah dilakukan audit oleh BPK.

Anggota DPRD Kabupaten Ende, Justinus Sani, SE, mengatakan hal itu kepada Pos Kupang di Ende, Rabu (18/11/2009), ketika ditanya mengenai peran DPRD Kabupaten Ende periode 2004-2009 dalam proses pemberian pinjaman uang kepada pengusaha Sam Matututina senilai Rp 3,5 miliar.

Justinus mengatakan, sebagai lembaga yang bertugas untuk melakukan pengawasan keuangan daerah dan juga memiliki hak anggaran, semestinya DPRD Ende periode 2004-2009 harus tahu pemberian pinjaman oleh Pemkab Ende kepada pihak ketiga. Dia menyesalkan pinjaman itu baru diketahui DPRD Ende setelah adanya temuan BPK tahun 2008, padahal proses pemberian pinjaman terjadi sejak tahun 2005.

Ketika tahu ada pinjaman ke pihak ketiga itu, kata Justinus, DPRD Ende meminta penjelasan pemerintah, soalnya pinjaman seperti itu tidak dibenarkan. "Saat itu semua fraksi menolak pemberian pinjaman kepada pihak ketiga meskipun pada kenyataannya pinjaman telah diberikan pemerintah tanpa sepengetahuan DPRD Kabupaten Ende," kata Justinus.

Justinus mengatakan, kalau saat itu pemerintah jujur mengaku adanya pemberian pinjaman kepada pihak ketiga, tidak mungkin DPRD Ende menyetujuinya. Karena APBD hanya bisa digunakan untuk kepentingan masyarakat sesuai yang telah direncanakan dalam rancangan APBD.

Justinus mengatakan, begitu rapinya pemerintah menutupi pemberian pinjaman kepada pihak ketiga agar tidak diketahui oleh DPRD Ende. Dalam laporan pertanggungjawaban mantan Bupati Ende, Drs. Paulinus Domi tahun anggaran 2008 pinjaman kepada pihak ketiga itu tidak muncul.

Justinus mengharapkan agar pemerintah menagih kembali uang pinjaman tersebut sehingga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat banyak. "Pemerintah telah membentuk Tim Pembendaharaan dan Ganti Rugi (TPGR), maka diharapkan tim tersebut dapat bekerja efektif untuk menagih kembali uang yang dipinjamkan kepada pengusaha Sam Matutina," kata Justinus.

Sementara anggota DPRD Ende periode 2009-2014, Armin Wuni Wasa, mengatakan, apa pun argumen yang dibangun pemerintah, yang namanya pemberian pinjaman kepada pihak ketiga dengan sumber dana APBD tetap tidak dibenarkan. Karena itu Wasa mengharapkan pemerintah segera menagih uang tersebut.

Wasa sangat menyayangkan tindakan pemerintah yang terkesan ceroboh dalam memberikan pinjaman kepada pihak ketiga tanpa pernah melakukan kajian, terutama dari segi dampak dan proses pemberian pinjaman itu. "Saya berharap pemerintah dapat segera menagih dalam waktu dekat sehingga uang tersebut bisa dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat banyak, apalagi nilainya mencapai miliaran. Ironis memang, pada satu sisi pemerintah mengatakan bahwa uang daerah minim, namun pada sisi lain pemerintah justru memberikan pinjaman kepada pihak ketiga," kata Wasa.

Secara terpisah Kepala Dinas Pendapatan, Keuangan dan Aset Daerah (PKAD) Kabupaten Ende, Abdul Syukur Muhamad, mengatakan, untuk menagih kembali uang yang dipinjamkan kepada pihak ketiga, Pemkab Ende telah membentuk tim yang dinamakan TPGR (Tim Pembendaharaan dan Ganti Rugi). Tim yang diketuai Plt. Sekda Ende, Drs. Bernadus Guru M.Si, itu bertugas mengklarifikasi dan menagih uang yang dipinjamkan kepada pihak ketiga itu.

Seperti diberitakan sebelumnya, terkait kasus ini, Kejati NTT telah mengantongi tiga calon tersangka. Meski belum disebut secara resmi, sumber Pos Kupang menyebutkan tiga calon tersangka itu, yakni Drs. Paulinus Domi (mantan Bupati Ende), Drs. Iskandar Mberu (mantan Sekda Ende) dan Sam Matutina (pengusaha yang meminjam uang). (rom)

Pos Kupang edisi Kamis, 19 November 2009 halaman 1

Domi: Jangan Lempar Batu Sembunyi Tangan"

KUPANG, PK--"Jangan lempar batu sembunyi tangan. Saya sudah memberikan tanggung jawab tapi semua lari. Semua harus dari saya, saya tidak kebal hukum. Saya siap bertanggung jawab," kata mantan Bupati Ende, Paulinus Domi, saat ditemui di Gedung DPRD NTT, Jalan El Tari, Kupang, Selasa (17/11/2009).

Menurut Domi, yang saat ini menjabat sebagai anggota DPRD NTT, ada pihak lain yang lari dari tanggung jawab terhadap dugaan kebocoran dana APBD Ende Rp 5 miliar. Anggota Fraksi Partai Golkar ini menyatakan siap memberikan keterangan kepada penyidik Kejaksaan Tinggi NTT. Namun Domi mengaku belum ada panggilan dari penyidik.

Di hadapan aparat penegak hukum, kata Domi, dia akan membuka sebenarnya siapa-siapa yang paling bertanggung jawab dalam kasus itu. "Saya akan buktikan di hadapan penegak hukum, apakah saya yang salah atau pihak lain yang mendapat kepercayaan. Kita lihat nanti di hadapan hukum," kata Domi.

Apa urgensinya pemerintah meminjamkan dana APBD kepada pihak ketiga? "Ini akan saya jelaskan kepada aparat penegak hukum. Sebagai kepala wilayah saat itu, saya patut menjelaskan siapa yang diberi kepercayaan mengurus itu, lalu hasilnya seperti apa," kata Domi.

Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTT, seperti diberitakan kemarin, telah mengantongi tiga nama calon tersangka dalam kasus bobolnya dana APBD Kabupaten Ende, senilai Rp 5 miliar. Meski belum disebut secara resmi, sumber Pos Kupang menyebut tiga calon tersangka itu, yakni Drs. Paulinus Domi, Drs. Iskandar Mberu (mantan Sekda Ende) dan Sam Matutina (pengusaha Ende).

Dari gelar perkara kasus ini di Kejati NTT, Senin (16/11/2009), tiga orang ini dinilai sangat berperan dalam kebocoran dana APBD Ende Tahun Anggaran 2005, 2006 dan 2008.

Siap diperiksa
Dari Ende dilaporkan, mantan Sekda Ende, Drs. Iskandar M. Mberu, mengaku belum mendapat surat panggilan dari Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTT di Kupang. Apabila dipanggil, ujar Mberu yang ditemui di Ende, Selasa (17/10/2009), maka dirinya siap memberikan keterangan.

Mberu meminta penyidik kejaksaan memeriksanya di Ende, karena dirinya sudah pensiun. "Kalau boleh saya diperiksa di Ende, karena saat ini saya sudah pensiun. Jika diperiksa di Kupang, saya harus mengeluarkan biaya pribadi dan selama di Kupang juga harus mengeluarkan biaya penginapan dan makan serta berbagai kebutuhan lain, namun kalau itu menjadi tanggungan kejaksaan, tidak masalah," ujarnya.

Soal aliran dana yang berujung pada pemberian pinjaman kepada Sam Matutina, Mberu mengatakan, hal tersebut akan diberitahu pada saat pemeriksaan oleh aparat kejaksaan. Menurutnya, tidak etis kalau dibuka kepada wartawan.
Mberu menegaskan, secara pribadi dia tidak menikmati sedikit pun uang yang dipinjamkan kepada Sam Matutina. Bahkan semenjak dirinya pensiun dari Sekda Ende, dia tidak pernah berurusan lagi dengan Sam Matutina.

Tentang dirinya yang ditetapkan sebagai calon tersangka oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTT di Kupang, Mberu mengatakan, itulah konsekuensi logis dirinya sebagai seorang mantan pejabat. Sebagai mantan pejabat, tentu dia dianggap tahu tentang soal kebocoran dana APBD tersebut, namun untuk kejelasan duduk persoalan yang sebenarnya, Mberu akan memberitahukan kepada aparat kejaksaan apabila diperiksa nanti.

Sam Matutina, pengusaha yang disebut-sebut menjadi calon tersangka dalam aliran dana APBD Kabupaten Ende, belum berhasil ditemui di Ende. Bahkan tempat usahanya di Jalan Kelimutu-Ende berupa hotel telah berpindah tangan kepada pemilik lain. Sam Matutina saat ini kemungkinan sudah tidak berada di Ende. Kemungkinan yang bersangkutan ada di Kupang atau Jakarta. (gem/rom)

Pos Kupang edisi Rabu, 18 November 2009 halaman 1

Ruang Kelas Jadi Tempat Mangkal Sapi

SOE, POS-KUPANG.COM -- Sarana pendidikan di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) memrihatinkan. Ruang kelas SD Inpres Tuafatu, Desa Nunfutu, Kecamatan Fatukopa menjadi tempat mangkal belasan ekor ternak sapi.

Ketua Komisi A DPRD TTS, Marten Tafuli, dikonfirmasi di SoE, Selasa (17/11/2009) siang membenarkan salah satu ruang kelas SD Inpres Tuafatu menjadi tempat mangkal belasan ekor sapi tak bertuan.

Fakta itu ditemuinya saat ia bersama rekan-rekan anggota Komisi A berkunjung ke sekolah itu, (Rabu, 11/11/2009) lalu. Kunjungan Tafuli bersama rekan-rekannya ke sekolah itu hendak mengecek perkembangan penggunaan dana alokasi khusus (DAK) bidang pendidikan tahun anggaran 2009. Pasalnya, SD Inpres Tuafatu menjadi salah satu sekolah penerima DAK sebesar Rp 114 juta.

"Saat kami datang ke sekolah itu kami mendapati belasan ekor sapi sementara berada dalam ruang kelas. Jangan sampai lantaran ruang kelas dingin sehingga pemilik sapi memasukkan ternaknya ke ruang kelas tersebut. Saat itu juga meja dan kursi berserakan lantaran sapi mngobrak-abrik ruang kelas," kata Tafuli.

Dia mengaku sempat menanyakan perihal pemilik sapi. Namun kepala sekolah setempat menyatakan tidak tahu pemiliknya. Anehnya, saat itu ia memperkirakan masih sementara jam pelajaran sekolah lantaran masih ada anak-anak SD yang bermain di halaman sekolah.

Tidak hanya persoalan sapi masuk ruang kelas, lanjut Tafuli, timnya juga memeriksa pekerjaan fisik yang bersumber dari DAK tahun 2009. Di tempat itu ia mendapati manajemen sekolah hanya menambal tembok yang rusak.

"Sementara kerja kap, seng dan plafon tidak turun. Kemarin kepala sekolah kami panggil dan dia bersedia memperbaiknya. Sebenarnya dalam juknis bila tembok rusak harus bangun baru dengan mengganti kap dan atap seng. Ternyata dia hanya mengoles oli kap dan seng," jelas Tafuli.

Terhadap persoalan itu, tim akan memanggil Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (PPO), Drs. Hendrik Paut, M.Pd, untuk mengklarifikasi permasalahan ini. Tak hanya itu, Kadis PPO TTS juga dipanggil untuk klarifikasi berbagai persoalan DAK pendidikan tahun 2008 dan 2009 yang tidak sesuai petunjuk teknis.

"Kami mendapat informasi ada sosialisasi pengelolaan dan pelaksanaan sebelum dana itu dicairkan ke rekening sekolah. Namun kenyataan di lapangan tidak begitu sehingga kami perlu memanggil kepala dinas untuk klarifikasi," kata Tafuli.

Kepala Dinas (Kadis) PPO TTS, Drs. Hendrik Paut, M.Pd yang dikonfirmasi mengatakan, akan menelusuri lebih jauh terkait persoalan tersebut.

Menurutnya dirinya akan segera mengkonfirmasi kepala dinas cabang Amanuban Timur untuk mengecek kebenaran. "Saya akan membina guru dan kepala sekolah setempat agar tidak membiarkan persoalan itu terus berlanjut. Masak ruang kegiatan belajar dan mengajar dijadikan tempat kandang sapi. Dan tentunya hal itu menjadi masukan berharga bagi kami untuk membina kepsek agar pemanfaatan aset pemerintah sesuai dengan peruntukkan," ujarnya.


Paut mengatakan, ia akan menurunkan tim untuk klarifikasi masalah tersebut. Ia pun siap memberikan klarifikasi berbagai masalah yang menjadi temuan DPRD TTS saat berkunjung ke sekolah penerima DAK. (aly)

Domi, Mberu, Matutina, Calon Tersangka

KUPANG, POS KUPANG.Com--Kejaksaan Tinggi (Kejati) Nusa Tenggara Timur (NTT) telah mengantongi tiga nama calon tersangka dalam kasus bobolnya dana APBD Kabupaten Ende, senilai Rp 5 miliar.

Meski belum disebut secara resmi, sumber Pos Kupang menyebut tiga calon tersangka itu, yakni Drs. Paulinus Domi, Drs. Iskandar Mberu dan Sam Matutina.

Dari gelar perkara kasus ini di Kejati NTT, Senin (16/11/2009), Drs. Paulinus Domi (mantan Bupati Ende), Drs. Iskandar Mberu (mantan Sekda Ende) dan Sam Matutina (pengusaha di Ende) dinilai sangat berperan dalam kebocoran dana APBD Ende Tahun Anggaran 2005, 2006 dan 2008.

Kepala Kejaksaan Tinggi NTT, Faried Hariyanto, SH, melalui Kasi Penyuluhan Hukum dan Humas Kejaksaan Tinggi, NTT, Muib, SH, kepada wartawan usai gelar perkara kasus ini, kemarin, menjelaskan, sesuai hasil gelar perkara yang dipimpin langsung Kajati NTT, Faried Hariyanto, kasus dugaan pembobolan dana APBD Kabupaten Ende senilai Rp 5 miliar ditingkatkan statusnya dari penyelidikan menjadi penyidikan.

"Yang menjadi tersangka itu adalah orang-orang penting saat itu. Siapa pun yang terlibat dalam kasus ini akan kita tindak secara hukum. Kita akan libas semuanya sesuai target Pak Kajati. Calon tersangka sudah kita pegang, tinggal kita libas," tegas Muib.
Beberapa kali Muib menyebut nama tiga calon tersangka dalam kasus ini. "Tiga nama calon tersangka itu sudah dikantongi Kejati NTT. Pokoknya mereka yang bakal menjadi tersangka itu adalah orang-orang penting saat itu maupun saat ini," ujar sumber itu.

Sesuai keinginan Kajati NTT, kata Muib, kasus dugaan korupsi yang menyebabkan bobolnya dana APBD Kabupaten Ende ini harus diproses secepat mungkin. Karena itu, kata Muib, dalam waktu dekat beberapa pihak yang menjadi calon tersangka akan segera dipanggil untuk diperiksa.

Dalam kasus ini, kata Muib, sejumlah pimpinan bank di Kabupaten Ende telah dimintai keterangannya oleh penyidik Kejaksaan Tinggi NTT, kemarin. Empat pegawai di Setda Ende juga sudah dimintai keterangannya.

Ketika ditanya tentang perlunya izin pemeriksaan terhadap Drs. Paulus Domi yang kini menjabat sebagai anggota DPRD NTT kalau yang bersangkutan ditetapkan menjadi tersangka, Muib mengatakan, apabila prosedur hukumnya seperti itu, maka penyidik kejaksaan akan mengajukan izin kepada Mendagri untuk memeriksa mantan Bupati Ende dua periode itu.

"Tidak ada masalah. Kalau prosedur hukum seperti itu, kita akan lakukan. Dalam kasus ini kita akan tangani secara profesional. Siapa saja yang terlibat akan kita proses," tegas Muib.

Untuk diketahui, dari hasil audit BPK RI ditemukan kebocoran dana ABPD Ende mencapai Rp 5 miliar lebih. Hasil temuan itu kini sedang dalam proses pengusutan aparat Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTT. Pihak Kejati NTT sudah mengatakan bahwa ada dugaan mantan pejabat dan pejabat pentung di Ende yang terlibat dalam kasus tersebut.

Data yang diperoleh Pos Kupang dari Dinas Pendapatan Keuangan dan Aset Daerah (PKAD) Ende menyebutkan, kebocoran dana tersebut sebagian besar akibat dipinjamkan ke pengusaha Sam Matutina, sejumlah SKBP, tim evakuasi bangkai KM Nusa Damai, dan juga partai politik. Selain itu, dari total kebocoran Rp 5 miliar lebih itu, sebagian lain juga akibat penyalahgunaan oleh oknum PNS setempat.

Dinas PKAD Ende sudah membentuk tim untuk melakukan penagihan. Apabila langkah penagihan tidak membuahkan hasil, maka tim akan merekomendasikan ke aparat penegak hukum untuk menempuh langkah penegakan hukum.

Kepala Dinas PKAD Ende, Abdul Syukur Muhamad, mengatakan, pengusaha Sam Matutina yang meminjam uang di Pemkab Ende sebesar Rp 3,5 miliar lebih, baru mengembalikan Rp 10 juta. "Ya, saya ada lihat bukti transfer uang dari Sam Matutina sebesar Rp 10 juta untuk mengembalikan pinjaman kepada Pemkab Ende," kata Abdul. (ben/gem)

Pos Kupang edisi Selasa, 17 November 2009 halaman 1

Mengenang Bencana Larantuka dan Lembata

Mengingat Kembali Bencana Larantuka dan Lembata 1979-2009

(The Forgotten Disasters? Remembering The Larantuka and Lembata Disaster 1979-2009)
By Jonatan Lassa

KLIK DI
SINI

Baca Mutiara Flobamora di SINI

Baca Mutiara Flobamora di SINI. Lengkap!!!


Silakan KLIK

Mau Tahu Musik di Flores?

Anda ingin tahu musik di Flores?


Klik SAJA

Tentang Lamaholot

Artikel Menarik Tentang Lamaholot


Klik DI SINI dan DI SANA

Kisah Wato Wele-Lia Nurat

Kisah Wato Wele-Lia Nurat dalam tradisi puisi lisan Flores Timur

By Yoseph Yapi Taum, Achadiati Ikram

Selengkapnya DI SINI

Po'e


FAJAR belum menyingsing ketika bus antarkota dalam propinsi tujuan Kefamenanu masuk Terminal Noelbaki-Kupang hari itu. Om Pe'u -- sapaan akrab Petrus -- buru-buru meminta izin kepada sopir agar berhenti sejenak di dalam kawasan terminal. Om Pe'u bergegas turun lalu gesit menyelinap di antara pematang sawah kering menuju rimbunan pohon pisang.

Dalam posisi jongkok, Om Pe'u sejenak melirik ke kiri dan kanan. Aman! Tak ada orang yang melihat. Om Pe'u menahan napas sambil pejamkan mata. Dalam hitungan detik terdengar sayup creeett... pisss! Benda lonjong berwarna coklat kekuning-kekuningan mendarat mulus di tanah kering. Perasaannya lega. Om Pe'u berhasil po'e (buang air besar) yang telah mengganggu perutnya sejak dia dijemput sopir bus di rumah koleganya sekitar jam 04.00 Wita.

Tapi urusan Om Pe'u belum selesai di situ. Masih ada sisa yang perlu pembersihan. Air tak ada, Om Pe'u pakai cara kampung, memanfaatkan tisue alam yakni dedaunan kering di dekatnya. Tuntas! Dia pun berlari-lari kecil menuju bus yang siap meninggalkan Terminal Noelbaki menuju Kefamenanu, ibu kota Kabupaten Timor Tengah Utara, sekitar 270 km timur Kupang.


Sebagai pedagang yang biasa bolak-balik Kefamenanu-Kupang, Om Pe'u tahu kalau di Terminal Noelbaki tersedia tiga kamar WC alias toilet. Tetapi sejak lama toilet di terminal yang segera naik pangkat sebagai terminal antarnegara RI-Timor Leste itu tidak berfungsi. Lahan kosong atau jamban di rumah penduduk sekitar terminal menjadi pilihan penumpang manakala po'e dan kincing (bahasa Kupang = buang air besar dan kecil) ingin menjejak bumi karena sudah tiba deadline atau batas waktu bermukim di dalam usus.

Begitulah tuan dan puan pengalaman nyata Om Pe'u, famili jauhku dari Kefamenanu. Sangat mungkin tuan dan puan pernah mengalami sendiri situasi seperti Om Pe'u ketika berada di fasilitas umum seperti terminal bus, terminal pelabuhan dan pasar. Di beranda Flobamora, tempat umum semacam itu sungguh tidak ramah dan nyaman manakala po'e dan kincing tiba waktunya. WC atau jamban adalah sarana yang terpinggirkan di ruang publik daerah ini. Satu-satunya yang lebih terjamin hanya toilet di terminal bandar udara (bandara).

Tuan dan puan ingin bukti? Tidak perlu jauh-jauh mencari lokasi. Minimnya pengeloaan serius tentang toilet umum ada di Kupang, ibu kota Propinsi Nusa Tenggara Timur, barometer kemajuan peradaban masyarakat Flobamora. Di sini orang cenderung sonde toe (baca: tidak peduli) dengan toilet di fasilitas umum. Cobalah jalan-jalan ke Terminal Kupang, Terminal bus Oebobo, Pasar Inpres Naikoten, Pasar Oeba, Pasar Oebobo, Kuanino, Pelabuhan Tenau dan Bolok. Lihat dan rasakan sendiri sensasi toilet di sana.

Kita adalah anak-anak zaman milenium ketiga yang kemajuannya melesat pesat dibandingkan satu dua dasawarsa lalu. Tapi cara berpikir soal kakus masih di zaman batu. Toilet urusan buntut. Orang lupa toilet itu ukuran peradaban. Fungsi toilet tak kalah penting dibandingkan ruang tidur, dapur, kamar makan atau ruang tamu.

Kebutuhan akan toilet sama nilainya dengan rasa lapar dan dahaga. Saat dahaga tuan butuh air. Saat lapar puan butuh makanan. Nah, tatkala makanan dan minuman habis masa berlakunya, dia butuh pembuangan yang tidak bisa ditunda-tunda. Po'e dan kincing pun sungguh egaliter. Tak memandang status sosial, eselonering atau pangkat. Tak mengenal batasan kaya-miskin, ganteng, cantik atau nia ngere ro'a (Bahasa Ende = wajah seperti monyet).

Di dalam kakus kemanusiaan tuan polos telanjang. Bebas rekayasa. Tiada mafia pertoiletan. Tak ada perbedaan cicak-buaya. Yang jelita, rupawan, pejabat atau staf, pemimpin atau jelata sama-sama tahan napas dengan mimik lucu tak terlukiskan manakala po'e mau mendarat, ketika air pipis hendak mengalir sampai jauh.

Lalu mengapa toilet umum terpinggirkan dalam pawai pembangunan? Harap maklum tuan dan puan. Toilet umum adalah kebutuhanmu saja. Tuan yang berlabel rakyat banyak. Toilet umum bukan kebutuhan bos-bos yang punya oto (mobil) dinas, yang ke mana-mana lebih kerap naik kapal terbang. Kecuali karena dipaksa keadaan, mana pernah bos-bos yang punya oto dinas mau berdesak sesak menumpang bus umum, kapal feri atau belanja ke pasar?

Mana pernah mereka mau mencium amis bau badan rakyat? Toilet umum tak terurus membuktikan satu hal, selalu terbentang jarak antara pemimpin dan rakyat. Tidak perlu berdalih macam-macam deh. Hehehe..

Kakus umum tak terurus itu tanda kegagalan pemimpin. Makanya beta heran sekali, mahasiswa dan mahasiswi pujaan hati jarang nian ya berorasi dan berdemo soal ini. Kaum cerdik cendekia mulai dari guru kecil sampai guru besar diam-diam saja. Apakah toilet tidak berhubungan dengan demokrasi? Jangan salah, bro! Demokrasi itu mulai dari makan minum sampai po'e dan kincing. Po'e sembarang tempat adalah wujud hidup belum sejahtera kan?

Ayo dong, buka mata, buka telinga. Sebusuk-busuknya bau toilet di pasar, terminal atau pelabuhan, tapi tempat tersebut sangat favorit lima tahun sekali. Jelang pilkada-pemilu semua ramai-ramai memilih pasar untuk cari muka, pergi ke terminal dan pelabuhan untuk tunjuk muka. Bahkan memilih tempat pembuangan sampah agar dibaptis pro rakyat. Setelah duduk di kursi kuasa mereka lupa!

Izinkan beta menawarkan saran. Bagi Bapak Ibu Anggota Dewan Yth yang (hampir pasti) sangat bersemangat studi banding ke mana-mana, pelajarilah manajemen po'e dan kincing di daerah orang untuk diterapkan di terminal dan pasar kita yang masih kampungan ini. Buat yang getol mau memimpin wilayah, partai politik pengusung bolehlah bikin fit and proper test tentang manajemen po'e dan kincing. Setiap kandidat wajib persentasikan proposal dengan agenda aksi yang SMART.

SMART seperti apa? Simpel saja. Harum-wangikan jamban di terminal, pelabuhan dan pasar-pasar agar Flobamora tidak malu terhadap tetamu, agar kampung kita sungguh bermartabat. Sebetulnya masih banyak saran yang beta tawarkan. Sorry berat, bahasa perut sudah beri tanda-tanda kuat mau po'e sekaligus kincing. Beta pamit dulu guna menuntaskan urusan manusiawi ini! (dionbata@yahoo.com)

Sumber: Rubrik Beranda Kita edisi Senin, 16 November 2009 halaman 1

Mantan Bupati Ende Harus Bertanggung Jawab

ENDE, PK -- Mantan Bupati Ende, Drs. Paulinus Domi dan DPRD Ende periode 2004-2009 harus bertanggung jawab atas bocornya dana APBD Ende sebesar Rp 5 miliar. Sebab karena tanpa peran mereka tidak mungkin terjadi kebocoran APBD selama tiga tahun anggaran.

Demikian ditegaskan anggota DPRD Kabupaten Ende periode 2009-2014, Gabriel Dalla Ema, Sabtu (14/11/2009). Dia dimintai tanggapannya mengenai kebocoran dana APBD Ende selama tiga tahun, yaitu APBD 2005, 2006 dan 2008. Sebagian besar kebocoran dana itu akibat dipinjamkan kepada pihak ketiga.

"Pejabat di eksekutif yang menandatangani pemberian pinjaman harus bertaunggung jawab. Sedangkan mantan Bupati Domi sebagai atasan langsung dan juga DPRD Ende periode sebelumnya yang ikut menyetujui pemberian pinjaman, juga harus bertanggung jawab karena tanpa peran mereka tidak mungkin terjadi kebocoran dana APBD itu," tandas Gabriel.

Dia mengatakan, apa pun alasannya, kebijakan meminjamkan dana APBD kepada pihak ketiga tidak dibenarkan. Sebab, APBD APBD harus digunakan untuk kepentingan pembangunan bukan untuk dipinjamkan kepada pihak lain.

Dikatakannya, sesuai aturan dan prosedur yang berlaku dana APBD dapat digunakan untuk kebutuhan mendadak apabila terjadi satu hal-hal darurat seperti bencana alam. Itu pun, setelah pemanfaatannya harus dipertanggungjawabkan secara resmi kepada DPRD.

Pemberian pinjaman kepada pihak ketiga tidak masuk dalam kategori kebutuhan mendadak sehingga tidak dibenarkan.

"Dana APBD itu bukan seperti dana di bank yang bisa dipinjamkan. Kalau ada pengusaha mau pinjam uang, suruh saja pinjam di bank," kata Gabriel.

Dia meminta aparat penegak hukum secara serius memroses hukum kasus itu. Kepada pengusaha yang meminjam dana APBD, katanya, harus segera dikembalikan karena dana yang dipimjam itu adalah uang rakyat yang semestinya dipergunakan untuk kepentingan rakyat banyak.

Secara terpisah Kepala Dinas (Kadis) Pendapatan Keuangan dan Aset Daerah (PKAD) Kabupaten Ende, Abdul Syukur Muhamad mengatakan, pengusaha Sam Matutina yang meminjam uang di Pemkab Ende sebesar Rp 3,5 miliar lebih, baru mengembalikan Rp 10 juta.

"Ya saya ada lihat bukti transfer uang dari Sam Matutina sebesar Rp 10 juta untuk mengembalikan pinjaman kepada Pemkab Ende," kata Abdul.

Untuk diketahui, hasil audit BPK RI menemukan kebocoran dana ABPD Ende mencapai Rp 5 miliar lebih. Hasil temuan itu kini sedang dalam proses pengusutan aparat Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTT. Pihak Kejati NTT sudah mengatakan bahwa ada dugaan mantan pejabat dan pejabat pentung di Ende yang terlibat dalam kasus tersebut.

Data yang diperoleh Pos Kupang dari Dinas PKAD Ende, kebocoran dana tersebut sebagian besar akibat dipinjamkan ke pengusaha Sam Matutina, sejumlah SKBP, tim evakuasi bangkai KM Nusa Damai, dan juga partai politik. Selain itu, dari total kebocoran Rp 5 miliar lebih itu, sebagian lain juga akibat penyalahgunaan oleh oknum PNS setempat.

Pihak PKAD sudah membentuk tim untuk melakukan penagihan. Apabila langkah penagihan tidak membuahkan hasil maka tim akan merekomendasikan ke aparat penegak hukum untuk menempuh langkah penegakan hukum. (rom)

Pos Kupang edisi Senin, 16 November 2009 halaman 1

APBD Ende Dipinjamkan ke Pihak Ketiga

ENDE, PK -- Kebocoran dana APBD Kabupaten Ende yang saat ini sedang diselidiki aparat Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTT adalah dana yang dipinjamkan ke pihak ketiga dan penyalahgunaan oleh oknum PNS.

Jumlah dana APBD yang bocor selama tiga tahun anggaran (2005, 2006 dan 2008), tidak hanya Rp 3,5 miliar melainkan Rp 5 miliar. Dari jumlah itu Rp 3.540.000,000 dipinjamkan kepada pengusaha Sam Matutina dan sekitar Rp 2 miliar berupa penyimpangan oleh oknum PNS.

Demikian informasi yang dikumpulkan Pos Kupang di Ende, Kamis (12/11/2009).

Kepala Dinas (Kadis) Pendapatan dan Keuangan Daerah, Abdul Syukur yang ditemui beberapa waktu lalu, pernah mengatakan, dalam kurun waktu tiga tahun terakhir Pemerintah Kabupaten Ende telah memberikan pinjaman uang kepada pihak ketiga baik masyarakat umum dan pengusaha senilai Rp 5 miliar lebih, di ntaranya Rp 3,5 miliar lebih kepada pengusaha Sam Matutina dan sisanya kepada masyarakat umum dan juga oknum PNS. "Kalau untuk oknum PNS itu bukan pinjaman namun penyalahgunaan keuangan," katanya.

Abdul mengatakan, peminjaman uang oleh pemerintah kepada pihak ketiga sebenarnya wajar-wajar saja namun yang jadi pertanyaan adalah prosedur peminjaman itu apakah dipayungi oleh peraturan atau tidak. Jika pinjaman tidak ada aturan yang menjadi payung hukum, katanya, maka itu dikategorikan pelanggaran. "Ketika saya masih jadi Kadis Koperasi, dinas itu kerap memberikan pinjaman kepada masyarakat karena memang telah diberikan rambu-rambu yang memperbolehkan pemberian pinjaman, namun kalau yang non-dinas seperti di kantor bupati rasanya tidak ada ketentuan untuk memberikan pinjaman," kata Abdul.

Abdul yang baru menjabat selaku Kepala Dinas Pendapatan Daerah dan Keuangan Kabupaten Ende itu, mengatakan, proses pemberian pinjaman kepada pihak ketiga dikategorikan melanggar ketentuan karena selain tanpa sepengetahuan DPRD Ende selaku pemegang hak budget, juga tidak ada regulasi yang mengatur bahwa pemerintah diperbolehkan memberikan pinjaman begitu saja kepada pengusaha.

"Kalau pinjaman dalam arti ada kerja sama yang sifatnya saling menguntungkan dan juga sepengetahuan dewan, tentu konteksnya lain. Namun pinjaman yang diberikan selama ini tanpa sepengetahuan dewan dan juga tidak ada kerja sama, jadi diketagorikan pelanggaran," jelasnya.

Guna mengusut kebocoran uang yang diakibatkan pinjaman tersebut, lanjutnya, pemerintah membentuk tim Tuntutan Perbendaharaan dan Tuntutan Ganti Rugi (TPGR). Tim diketui oleh Plt. Sekda Ende, Drs. Bernadus Guru. Ada dua tugas utama, yakni melakukan penagihan dan mengeluarkan rekomendasi kepada penegak hukum apabila penagihan tidak membuahkan hasil.

Abdul mengatakan, tim tersebut juga mengusut keterlibatan PNS/pejabat yang berperan dalam memberikan pinjaman kepada pengusaha. Abdul juga mengatakan sudah meminta klarifikasi kepada pengusaha, Sam Matutina yang meminjam uang pemerintah dan yang bersangkutan menyatakan akan mengembalikan uang tersebut dengan cara mencicil.

Sementara itu, anggota DPRD Ende yang juga Ketua Lembaga Anti Korupsi (LAK) NTT, Gabriel Dalla Ema, Kamis (12/11/2009), meminta aparat penegak hukum mengusut tuntas kasus penyalahgunaan APBD Ende tersebut. "Jangan main-main dengan uang rakyat," tegasnya. (rom)

Pos Kupang, 13 November 2009 halaman 1

APBD Ende Bocor Rp 3,5 Miliar

KUPANG, PK -- Aparat Kejaksaan Tinggi (Kejati) Nusa Tenggara Timur (NTT) saat ini sedang menyelidiki kebocoran ABPD Kabupaten Ende selama tiga tahun anggaran yang mencapai Rp 3,5 miliar. Kebocoran dana diduga akibat dikorupsi. Beberapa pejabat dan mantan pejabat penting di Ende diduga terlibat.

Penyelidikan kasus tersebut dipimpin Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi (Wakajati) NTT, Suhardi, S.H. Kepada wartawan di kantor Kejati NTT, Jalan Adhyaksa-Kupang, Rabu (11/11/2009), Suhardi mengatakan, penyelidikan kasus itu sudah dimulai sejak beberapa waktu lalu.

Kebocoran dana APBD Ende itu terjadi selama tiga tahun anggaran yakni 2005, 2006 dan 2008. Dari tiga tahun anggaran tersebut, total dana yang tidak dapat dipertangungjawabkan mencapai Rp 3,5 miliar. Salah satu sumber kebocoran berasal dari pos anggaran tidak tersangka.

"Tapi bisa saja nilai kerugian negara lebih dari Rp 3,5 miliar, karena proses pemeriksaan terhadap pihak-pihak terkait masih sedang berlangsung," kata Suhardi.

Ditanya siapa saja pejabat dan mantan pejabat penting di Ende yang terlibat dalam kasus itu, Suhardi mengatakan bahwa pada saatnya akan disampaikan kepada wartawan untuk dipublikasikan.

Sejauh ini, katanya, jaksa sudah meminta keterangan empat orang saksi dari Setda Kabupaten Ende.

"Sudah empat orang yang diperiksa sebagai saksi," kata Suhardi yang saat itu didampingi Kasi Penyuluhan Hukum dan Humas Kejaksaan Tinggi NTT, Muib, S,H.

Dia menegaskan bahwa kasus itu akan diusut sampai
tuntas dan pihak-pihak yang terlibat akan diproses hukum dan ditahan di Kupang.

Sumber Pos Kupang menyebutkan, kebocoran dana itu terjadi karena pengeluaran atau pemanfaatan dana itu tidak melalui prosedur yang benar. Sebagian besar dana ditransfer ke rekening orang tertentu atas perintah pejabat dan mantan pejabat penting di Ende. Dan, petugas yang diperintahkan untuk mentrasfer uang tersebut sudah diperiksa dan mengakuinya. (ben)

Pos Kupang 12 November 2009 halaman 1

NTT dan Pulau-Pulaunya


Kabupaten Alor
  1. Pulau Alor
  2. Pulau Pantar
  3. Pulau Pura
  4. Pulau Retta
  5. Pulau Buaya
  6. Pulau Nuhabeng
  7. Pulau Ternate
  8. Pulau Treweng
  9. Pulau Batang
  10. Pulau Lapang
  11. Pulau Marisa
  12. Pulau Rusa
  13. Pulau Kambing

Kabupaten Kupang
  1. Pulau Semau
  2. Pulau Tikus
  3. Pulau Burung
  4. Pulau Tabui
  5. Pulau Kambing
  6. Pulau Kera
  7. Pulau Sabu
  8. Pulau Raijua
  9. Pulau Ndana Sabu
  10. Pulau Batek

Kabupaten Rote
  1. Pulau Rote
  2. Pulau Ndao
  3. Pulau Nuse
  4. Pulau Doo
  5. Pulau Kodi
  6. Pulau Dao
  7. Pulau Ndana
  8. Pulau Landu
  9. Pulau Nusa Manuk
  10. Pulau Helihana
  11. Pulau Bibi
  12. Pulau Lai
  13. Pulau Liu
  14. Pulau Ingguhun



Kabupaten Flores Timur
  1. Pulau Solor
  2. Pulau Adonara
  3. Pulau Konga
  4. Pulau Suanggi
  5. Pulau Besar
  6. Pulau Kambing

Kabupaten Sikka
  1. Pulau Palue
  2. Pulau Babi
  3. Pulau Pangabatan
  4. Pulau Damhila
  5. Pulau Permaan
  6. Pulau Besar
  7. Pulau Pemana Besar
  8. Pulau Pemana Kecil


Kabupaten Ende
  1. Pulau Ende
  2. Pulau Sanga
  3. Pulau Koa

Kabupaten Ngada
  1. Pulau Mborong
  2. Pulau Dua
  3. Pulau Ontoloe
  4. Pulau Gong
  5. Pulau Lainjawa
  6. Pulau Nelo
  7. Pulau Bobajie
  8. Pulau Pata
  9. Pulau Bakau
  10. Pulau Rutong
  11. Pulau Sui
  12. Pulau Tembang
  13. Pulau Tiga
  14. Pulau Taor
  15. Pulau Tembaga
  16. Pulau Wire
  17. Pulau Batu

Kabupaten Manggarai Barat
  1. Pulau Mules
  2. Pulau Longos
  3. Pulau Komodo
  4. Pulau Gilibodo
  5. Pulau Langka
  6. Pulau Tala
  7. Pulau Logo
  8. Pulau Punya
  9. Pulau Kelor
  10. Pulau Gilibugis
  11. Pulau Gililawa Darat
  12. Pulau Gililawa Laut
  13. Pulau Kecil
  14. Pulau Besar
  15. Pulau Pilar
  16. Pulau Serai
  17. Pulau Kode
  18. Pulau Rinca
  19. Pulau Gilimotang
  20. Pulau Baleh
  21. Pulau Muang
  22. Pulau Nusarohbong
  23. Pulau Wainelu
  24. Pulau Pengah Kecil
  25. Pulau Pengah Besar
  26. Pulau Papagaran Besar
  27. Pulau Papagaran Kecil
  28. Pulau Pungu Besar
  29. Pulau Pungu Kecil
  30. Pulau Mangiatan
  31. Pulau Tatawa
  32. Pulau Siaba Besar
  33. Pulau Sebayur Besar
  34. Pulau Sebayur Kecil
  35. Pulau Suleman
  36. Pulau Kanawa
  37. Pulau Situri
  38. Pulau Bajo
  39. Pulau Kelapa
  40. Pulau Tobolon
  41. Pulau Kukusan
  42. Pulau Seraja Besar
  43. Pulau Seraja kecil
  44. Pulau Sebolan Besar
  45. Pulau Sebolan Kecil
  46. Pulau Bidadari

Kabupaten Sumba Timur
  1. Pulau Haluru
  2. Pulau Koatak
  3. Pulau Mangkudu


Sumber : Data Base dan Informasi DAS di Wilayah BP DAS Benain-Noelmina Propinsi NTT Tahun 2005. Disusun Balai Pengelola DAS Benain-Noelmina kerjasama dengan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup dan Sumberdaya Alam Universitas Nusa Cendana, dan berbagai sumber lainnya.

Data lain

1.627 Desa di NTT Belum Tersentuh Listrik

Kupang, POS KUPANG.Com - Sebanyak 1.627 dari 2.577 desa yang tersebar di 62 kecamatan di provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), hingga September 2009 ini belum tersentuh listrik.

Gubernur NTT Frans Lebu Raya di Kupang, Sabtu (14/11/2009), mengakui masih ada ribuan desa di 62 dari 276 kecamatan di wilayah itu yang belum berlistrik, belum termasuk 20 dari 380 kelurahan.

"Sampai saat ini masih ada 62 kecamatan di NTT belum berlistrik. Untuk tingkat kelurahan ada 20 kelurahan belum berlistrik dan 1.627 dari 2.577 desa juga belum berlistrik," katanya.

Dia mengatakan, pemerintah dan PT PLN (Persero) sedang berjuang keras agar wilayah yang belum tersentuh energi listrik bisa mendapat pelayanan. Menurut dia, salah satu solusi yang terus diupayakan untuk memenuhi kebutuhan listrik masyarakat di daerah ini adalah dengan pemanfaatan potensi energi baru dan terbarukan.

"Potensi energi baru dan terbarukan merupakan terobosan yang sangat tepat untuk mengatasi dan meningkatkan rasio elektrifikasi di NTT. Hal ini sudah sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 5 tahun 2006 yang mengharuskan peran energi baru dan terbarukan dalam bauran energi nasional sebesar 1,4 persen," katanya.

Dia mengatakan, untuk memanfaatkan seluruh potensi energi terbarukan, memang membutuhkan waktu dan biaya yang sangat besar tetapi tidak ada pilihan lain jika NTT ingin menjadi propinsi mandiri energi.

Gubernur mengharapkan pihak PLN mengambil langkah-langkah strategis dengan melakukan upaya diversifikasi energi. Hal ini penting dilakukan untuk mengatasi harga bahan bakar minyak (BBM) yang semakin tinggi yang berdampak pada kenaikan biaya energi pembangkit konvensional, katanya. (ant)


Bergandengan Tangan Membangun NTT

KUPANG, PK -- Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Drs. Ibrahim Agustinus Medah mengajak pemerintah untuk bersama-sama dewan bergandengan tangan membangun NTT agar kesejahteraan rakyat dapat ditingkatkan.

Medah juga mengajak semua anggota dewan wajib melaksanakan amanat yang dipercayakan rakyat. "Kita harus berbuat banyak, memberikan perhatian pada bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi dan rasa aman. Pendidikan di NTT masih banyak tantangan sehingga instansi terkait harus bergandengan tangan meningkatkan kualitas pendidikan," tegas Medah dalam sambutannya usai pelantikan pimpinan DPRD NTT, Jumat (13/11/2009).

Dia juga mengingatkan pentingnya peningkatan produktivitas perekonomian, peningkatan kualitas pelayanan kesehatan dan rasa aman agar rakyat berusaha dengan tenang.

Medah dilantik dan diambil sumpahnya bersama tiga wakil ketua yakni LS Foenay (Gerindra), Nelson Matara (PDIP) dan Anselmus Tallo (Demokrat), oleh Ketua Pengadilan Tinggi Kupang, A Th. Pudjiwahono, S.H,M.Hum, Jumat (13/11/2009) malam.

Medah mengingatkan pemerintah dan semua stakeholder agar memaksimalkan pemanfaatan potensi sumber daya alam (SDA) demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dia yakin sumber daya manusia (SDM) NTT yang penuh daya juang mampu mengelola potensi SDA itu.

DPRD NTT mendukung langkah pemerintah yang telah menetapkan delapan program strategis. Dewan mengharapkan pemerintah melakukan terobosan- terobosan positif bagi rakyat. Dewan, katanya, akan mendukung melalui penetapan APBD sehingga setiap program yang bertujuan mensejahterakan rakyat dapat berjalan lancar dan berhasil.

Dia meminta pemerintah daerah agar selalu bersinergi dengan pemerintah pusat, pemerintah kabupaten/kota hingga ke kelurahan dan desa sebagai basis masyarakat. Dewan sebagai mitra pemerintah, katanya, berkewajiban mendorong pemerintah untuk bekerja lebih keras.

"Hilangkan anggapan dewan sebagai tukang kritik pemerintah. Kritikan harus bersifat membangun untuk kemajuan daerah," katanya.

Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya pada kesempatan tersebut, menegaskan bahwa DPRD setara dan menjadi mitra pemerintah dalam membangun daerah. Dia juga mengajak dewan bersama-sama bergandengan tangan dengan pemerintah untuk membangun NTT agar lebih maju lagi. Dia juga meminta agar dewan mendukung tekad pemerintah menjadikan NTT sebagai propinsi jagung, ternak, cendana dan koperasi. (gem/aa)

Pos Kupang edisi Sabtu, 14 November 2009 halaman 1

Air Tak Pernah Mampir ke Desa Kami

BAGI warga Desa Oelet, Kecamatan Amanuban Timur, Kabupaten Timor Tengah Selatan memiliki sarana air bersih yang mudah diakses merupakan impian sejak dahulu kala.

Namun keinginan masyarakat untuk bangun dari mimpi dan mendapatkan air bersih dengan gampang belum pernah menjadi kenyataan.

"Untuk memenuhi kebutuhan air bersih, kami warga Oelet harus berjalan kaki sepanjang 4 kilometer pergi pulang. Sumber mata airnya pun bukan dari sumber mata air yang bersih, tetapi dari hamparan tiga sungai di dekat desa kami," ujar Arnolus Nesimnasi kepada Pos Kupang pekan lalu di Oelet.

Sebenarnya ada mata air di desa tetangga yakni Desa Pili berjarak sekitar delapan kilometer yang dapat menyuplai kebutuhan air bersih 1.783 jiwa di desa itu. Namun keluhan dan usulan warga yang disampaikan lewat musrenbang tingkat kecamatan dan kabupaten belum terealisasi hingga kini.

Kendati demikian, warga Oelet tetap survive kendati hidup dengan ketiadaan sarana air bersih yang memadai selama berpuluh-puluh tahun. Kehidupan di Oelet tetap berjalan seperti biasa meski harus bersusah payah setiap harinya untuk mengambil 20 liter air bersih dengan menuruni dan mendaki bukit sepanjang empat kilometer.


Menurut Arnolus, ada tiga kali yang menjadi sumber mata air bagi warga Desa Oelet. Ketiga kali itu, yakni Oeuah, Oeuayu dan Oeunbu. Namun semenjak musim kering terus berkepanjangan warga tak semudah dahulu mendapatkan air. Untuk mendapatkan satu jerigen air warga harus menggali sungai dan menunggu hingga berjam-jam hingga air memenuhi kubangan.

Tak hanya masalah air. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula, masalah penerangan juga menjadi persoalan tertinggalnya desa itu dibandingkan dengan desa lain.

Beberapa upaya telah dilakukan pemerintah dengan memberikan bantuan beberapa unit PLTS bagi warga setempat. Namun rasa keadilan itu hanya diperoleh bagi yang mendapatkan bantuan.

Lantas bagaimana dengan warga yang terus bergelap gulita saat malam tiba.

"Sebenarnya kami bisa mendapatkan sarana penerangan bila PLN mau menyambungnya dari Ibu Kota Kecamatan Amanuban Timur di Oeekam. Tapi sampai kini sambungan listrik itu juga tidak pernah mampir di desa kami. Masyarakat kami banyak menggunakan pelita untuk penerangan malam hari," ujar Antonius.

Antonius bercerita, nyala pelita akan mengisi ruang gelap di rumah warga bila masyarakat mampu membeli minyak tanah. Pasalnya harga minyak tanah di Oelet cukup `mencekik' leher warga. Satu liter minyak tanah warga harus merogoh kocek sebanyak Rp 5.000.

Harapan Antonius dan Arnolus, Pemkab TTS tak melupakan Oelet sebagai salah satu desa yang harus mendapatkan kue pembangunan. Bukan tak mungkin keterisolasian warga setempat terjadi lantaran masalah air bersih dan penerangan yang tak kunjung datang. (Muhlis Al Alawi)

Pos Kupang, Sabtu 14 November 2009 halaman 5
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes