Air Kurang, Mandi dan Belajar Tidak Diutamakan

WEEPANGALI adalah sebuah desa yang terletak di Kecamatan Loura, Kabupaten Sumba Barat Daya (SBD). Bahasa masyarakat setempat, Wee berarti air dan Pangali adalah batu yang mengelilingi. Sehingga Weepangali, kurang lebih diartikan sebagai air yang dikelilingi batu.

Satu-satunya sumber air di Desa ini adalah mata air Weepangali, yang berjarak sekitar 500 meter dari permukiman warga di desa itu. Setiap warga desa yang hendak mendapatkan air di tempat itu, harus bersabar untuk menunggu berjam-jam, sampai air yang tertampung bisa digayung.

"Debit air yang keluar sangat lambat, sehingga kadang kita harus rela bersabar dari pagi hingga siang hari. Tidak jarang kita menunggu sampai jam delapan malam," kata Ketua Badan Perwakilan Desa (BPD), Eduardus Bili Daga, yang ditemui Pos Kupang di desa itu, Jumat (20/11/2009).

Eduardus menuturkan, untuk mendapatkan air satu gayung ukuran satu liter, setiap warga harus bersabar sampai sekitar setengah jam. Selain untuk konsumsi warga, air tersebut juga digunakan pemilik hewan untuk minum ternaknya seperti kuda dan kerbau.

Hal senada disampaikan oleh Sabinus Ngongo Routa, seorang warga lainnya. "Beberapa warga sudah memiliki bak penampung air sehingga kalau ada uang bisa membeli air dengan harga seratus ribu per tangki. Ini sangat membantu karena bisa mengurangi jumlah antrian di mata air," kata Sabinus. Namun, menurut Sabinus, sebagian besar warga di desa itu belum mampu membangun bak air sehingga hanya menampung air di drum. Harga per drum Rp 5.000.

Warga yang tidak memiliki bak atau drum bisa membeli air di tetangga yang sudah memiliki tampungan air, dengan harga Rp 20.000 tiga jerigen (satu jerigen ukuran 20 liter). "Kita tidak mungkin mandi setiap hari karena diutamakan untuk minum dan masak makanan, mandi seperlunya saja," kata Sabinus.

Warga yang kekurangan uang satu-satunya solusi adalah menungu dan tetap menunggu hingga air yang keluar dari matanya tersebut, bisa dipindahkan dan memenuhi jerigen atau ember yang disiapkan.

Lain halnya dengan Yovita Ghoghi. Siswi kelas 6 SDK Weepangali itu, harus mengorbankan jam belajar karena setelah keluar dari sekolah, dia wajib menunggu air di tempat tersebut sampai debit air yang keluar bisa memenuhi jerigen yang dibawanya.

"Setelah pulang sekolah, saya makan siang dan langsung datang menunggu air di sini (Mata air-Red). Setiap hari selalu begitu," kata gadis cilik yang ditemui di lokasi mata air tersebut.

Gadis itu mengaku tidak bisa mengikuti gadis di tempat lain yang seusianya, mereka mungkin bisa membuka kembali buku pelajaran yang didapatnya setelah pulang sekolah. Sedangkan dia, terpaksa harus mengutamakan kebutuhan air minum di rumahnya. Pekerjaan menunggu itu juga membuat gadis yang telah kehilangan ibu kandungnya itu capai, dan tidak bisa menggunakan waktu di malam hari untuk belajar.

Dia harus cepat tidur, karena besok harus melakukan aktivitas yang sama, yakni sekolah dan menunggu kedatangan air di mata air. Di rumahnya, dia hanya ditemani seorang kakak laki-laki dan ayah kandungnya. Dia mengambil alih pekerjaan Ibunya yang telah meninggal dunia, beberapa tahun silam.

Pantauan Pos Kupang di mata air itu sekitar pukul 15.00 Wita, sejumlah anak SD, SMP dan SMA, masing-masing membawa jerigen dan ember untuk ambil air. Mereka berlindung di bawa naungan pohon bambu di sekitar mata air tersebut, sambil
menunggu banyaknya air yang tertampung di mata air itu.

Beberapa di antaranya tidak mempedulikan panasnya mentari siang itu. Mereka memilih tetap bertahan di tepi mata air yang lebih menyerupai sumur itu. Mata air di Weepangali itu, berada di kedalaman sekitar enam meter dari permukaan tanah, terlihat seperti bekas galian, dengan diameter sekitar dua meter.

Warna airnya agak keruh. Sekelilingnya dipenuhi bebatuan yang tersusun rapi menggunakan campuran semen. Menurut warga sekitar, awalnya batu tersebut disusun oleh nenek moyang mereka, namun sekitar lima tahun lalu ada sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM), yang berinisiatif menata lokasi mata air tersebut dengan menyusun kembali batu-batu yang ada menggunakan campuran semen.

Eduardus mengaku, sudah beberapa kali menyampaikan kondisi tersebut kepada Pemerintah Kabupaten SBD, namun sampai saat ini tidak ada respon. (Servatinus Mammilianus)

Pos Kupang edisi Sabtu, 28 November 2009 halaman 1
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes